Malam semakin larut ketika Terry membantu Arlan yang mabuk keluar dari mobil. Tubuh Arlan yang berat membuatnya terhuyung beberapa kali, tetapi dengan susah payah, ia berhasil memapah pria itu ke kamarnya.
Malam yang telah larut membuat tidak ada seorang pelayan pun yang melihat Terry memapah Arlan, terutama karena para pelayan berada di belakang rumah utama.
Setelah pintu tertutup rapat, Terry menghela napas panjang, kemudian menyeringai licik. Matanya memandangi Arlan yang terbaring tak sadarkan diri, wajah pria itu memerah karena pengaruh alkohol.
"Malam ini kau akan jadi milikku, Arlan," gumamnya penuh keyakinan. Ia mendekati ranjang, jari-jarinya menyentuh dagu pria itu dengan lembut, lalu melangkah mundur untuk mengambil ponsel dari sakunya, bersiap merekam adegan yang sebentar lagi terjadi.
Namun, wajahnya berubah panik ketika ia tidak menemukan ponselnya. "Sial! Ke mana ponselku?" desisnya sambil merogoh saku celana dan jaketnya. Kekesalan mulai memuncak saat ia menyadari di mana ponsel itu mungkin berada. "CK. Pasti jatuh di mobil Arlan."
Terry berjalan cepat keluar dari kamar, meninggalkan pintu sedikit terbuka. Ia melangkah menuju garasi dengan langkah tergesa-gesa, bertekad menemukan ponsel itu agar rencananya berjalan lancar. Namun, ia sama sekali tidak menyadari bahwa satu kejadian tak terduga akan segera menggagalkan niat liciknya.
Setelah Terry meninggalkan kamar Arlan, tak lama kemudian Alika melewati kamar Arlan. Ia tersentak mendengar suara benda pecah dari dalam kamar. Ia menghentikan langkahnya, alis mengernyit penuh kekhawatiran. "Kak Arlan? Apa yang terjadi di dalam?" panggilnya penuh kekhawatiran.
Tidak ada jawaban.
Alika merasa semakin khawatir. "Kak Arlan, aku masuk ya!" katanya lagi sambil mengintip di celah pintu kamar yang tidak tertutup rapat, tapi tak bisa melihat apa yang terjadi di dalam dan tetap tak ada sahutan dari dalam.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Arlan berdiri di sana, terlihat berantakan. Matanya merah, sorotnya tidak fokus, dan aroma alkohol menyeruak di udara. Ia tidak seperti dirinya yang biasa.
"Kak, apa kau baik-baik saja?" tanya Alika dengan nada cemas.
Namun tanpa peringatan, Arlan menarik pergelangan tangan Alika dengan kasar, membuatnya terseret masuk ke dalam kamar. Alika berusaha menyeimbangkan tubuhnya, tetapi sebelum ia bisa protes, Arlan sudah menutup dan mengunci pintu di belakang mereka.
Alika berdiri kaku di balik pintu kamar Arlan, merasa bingung sekaligus cemas melihat keadaan pria itu. Arlan tampak tak seperti biasanya, mata merah, napas berat, dan tingkah laku yang tidak terkendali.
"Kak Arlan, apa yang kau lakukan?!" seru Alika, suaranya sedikit bergetar, tangan kanannya masih dipegang Arlan.
Arlan tidak menjawab. Ia mendekatkan tubuhnya pada Alika, napasnya berat dan wajahnya semakin dekat. Aroma campuran alkohol dan sesuatu yang asing menusuk hidung Alika, membuatnya menyadari ada yang salah.
"Kau tahu, Alika..." gumam Arlan dengan suara serak, tangannya menyentuh pipi Alika. "Aku... aku tidak bisa lagi menahan ini."
"Kak, kau mabuk! Berhenti, lepaskan aku!" Alika mencoba mendorong tubuh Arlan menjauh, tetapi kekuatannya tak cukup melawan pria itu.
Dengan gerakan yang tiba-tiba, Arlan menundukkan wajahnya dan mencium bibir Alika. Ciuman itu penuh dorongan tak terkendali, membuat Alika terkejut dan panik. Ia berusaha melawan, tapi tubuh Arlan yang tinggi dan kekuatan genggamannya membuat Alika sulit bergerak.
"Arlan, hentikan! Kau tidak sadar dengan apa yang kau lakukan!" teriak Alika, ketika akhirnya berhasil mendorong Arlan sedikit menjauh dengan tangan kirinya, membuat ciuman mereka terlepas.
Namun pria itu hanya menatapnya dengan sorot mata yang kabur, jelas sedang tidak berada dalam kendali penuh dirinya. "Aku tidak bisa, Alika... Aku tidak bisa..." katanya dengan suara parau. Tangan kirinya tetap menggenggam tangan Alika, sedangkan tangan kanannya masih mencoba menyentuh Alika.
Alika melihat ke sekeliling, mencari cara untuk menyelamatkan diri. "Kak Arlan, tolong sadarlah! Ini aku, Alika!" ucapnya sambil menguatkan diri untuk menjauh.
"Alika, tolong aku," Arlan semakin mendekat.
"Kak Arlan, kau tidak baik-baik saja. Sebaiknya aku memanggil seseorang untuk membantumu," ujar Alika, mencoba menjaga jarak dengan kembali mendorong tubuh Arlan.
Namun, ia tak bisa melepaskan tangannya, Arlan kembali mendekat, menatapnya dengan intensitas yang tidak biasa. "Jangan pergi," gumamnya, suaranya serak dan penuh rasa yang sulit diartikan.
Di sisi lain, Terry melangkah cepat menuju mobil Arlan di garasi, kakinya berderap di lantai dingin. "Ponsel sialan itu pasti ada di sini," gumamnya sambil membuka pintu mobil. Dengan terburu-buru, ia menggeledah konsol tengah, hingga bawah kursi. Namun, ponsel yang dicarinya tidak ada.
Ia berdiri dengan frustrasi, tangannya mengacak rambut. “Di mana lagi kalau bukan di sini?” desisnya sambil memeriksa sekali lagi, kali ini lebih ceroboh.
"Sial! Ponsel itu benar-benar tak ada di sini." Saat akhirnya ia menyerah, Terry berbalik menuju pintu garasi. Namun, ketika mencoba memutar gagang pintu, ia mendapati pintu itu terkunci. Ia mencoba lagi, kali ini dengan lebih keras, tetapi hasilnya sama.
“Tidak mungkin…” gumamnya dengan napas tertahan. Matanya menatap pintu dengan tak percaya. Ia menggedor keras, tangannya meninju pintu berulang kali. "Hei! Ada orang? Bukakan pintunya!" teriaknya, suaranya menggema di ruang kosong itu.
Namun, hanya keheningan yang menjawab. Malam sudah terlalu larut, dan tak ada tanda-tanda siapa pun akan datang menolong.
Terry mundur selangkah, menggigit bibirnya dengan kesal. Ia mencoba mencari tombol pengunci otomatis di sekitar dinding garasi, tetapi tidak menemukannya. Dengan putus asa, ia mendudukkan diri di lantai, menyandarkan punggungnya pada pintu.
“Menyebalkan!” Ia menghentakkan kakinya, rasa frustasi dan amarah membara dalam dadanya. Malam yang dingin terasa semakin panjang, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan apa yang mungkin terjadi di kamar Arlan tanpa kehadirannya.
Di Kamar Arlan
"Kak, kau sedang tidak sadar. Lepaskan aku," ujar Alika, mencoba menarik tangannya. Namun genggaman Arlan terlalu kuat, dan dia mendekat dengan langkah goyah, membuat jarak di antara mereka nyaris hilang.
Alika mencoba berbicara lagi, tetapi kata-katanya tertahan saat Arlan mendekat lebih jauh. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya, sebuah kombinasi dari dorongan yang tak terkendali dan kebingungan.
Arlan memegang tangan Alika dengan kuat. Alika berusaha melepaskan diri, tapi gagal. "Kak Arlan, sadar! Lepaskan aku!" katanya, namun Arlan tidak merespons.
Dengan langkah goyah, Arlan menarik Alika mendekati ranjang dan menjatuhkan Alika ke atasnya. Alika terus mencoba memanggil namanya, tapi Arlan terus mengungkungnya. Alika merasa tak berdaya.
Tangisan Alika mengalir tanpa suara saat tubuh mereka menyatu tanpa pembatas. Ia merasa bersalah dan terjebak dalam keadaan yang tidak terkontrol. "Kak..." desahnya, berusaha menyadarkannya.
"Alika..." desah Arlan bergerak cepat di atas Alika, mengguncang tubuh Alika penuh hasrat.
Alika menahan suaranya, mencengkeram seprei dengan erat. Jujur, ia tak lagi bisa menolak dan tak bisa memungkiri bahwa momen ini terasa indah, meskipun rasa bersalah terus menghantuinya. Tubuhnya terombang-ambing di bawah kuasa Arlan, merasa tak berdaya.
"Alika...." Arlan benar-benar kehilangan kendali, melabuhkan hasratnya pada wanita yang diam-diam ia kagumi.
Alika, seorang janda yang menjadi ibu susu untuk putra Arlan setelah istri Arlan meninggal dunia saat melahirkan. Wanita yang tanpa sadar telah membuat Arlan jatuh hati.
Semua terjadi begitu cepat. Dalam kondisi mabuk dan pengaruh yang tidak sepenuhnya dia pahami, Arlan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dan dalam kebingungannya, Alika menemukan dirinya berada di tengah badai emosi yang tak terelakkan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Keesokan harinya
Sinar matahari menerobos tirai yang setengah tertutup, menimpa wajah Alika yang terbaring di sisi ranjang. Matanya terbuka perlahan, dan rasa berat segera memenuhi dadanya saat ia menyadari apa yang telah terjadi malam itu.
Ia menoleh, melihat Arlan masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat damai tetapi lelah. Ingatan samar tentang malam sebelumnya membuat tubuhnya membeku. Arlan tidak sadar sepenuhnya akan tindakannya, dan ia sendiri terperangkap dalam situasi yang di luar kendalinya.
Dengan hati-hati, Alika bangkit dari ranjang, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan rasa bersalah yang menghantui. Ia menghela napas berat, pandangannya beralih pada Arlan yang masih tertidur pulas di ranjang.
Sebelum melangkah keluar, Alika menoleh sekali lagi ke arah pria itu. Ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan, antara marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri.
Saat pintu kamar itu tertutup di belakangnya, Alika tahu, apa pun yang terjadi setelah malam ini, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
Namun, sebelum Alika bisa melangkah lebih jauh, suara penuh amarah menghentikannya.
"Dasar wanita murahan! Apa yang kau lakukan di kamar Arlan?"
Alika tersentak. Ia mendongak dan melihat Terry berdiri tak jauh darinya, wajahnya penuh kemarahan. Mata Terry menatap tajam, tertuju pada Alika yang masih terlihat berantakan, dengan bercak merah keunguan di lehernya yang sulit disembunyikan.
"Apa maksudmu?" tanya Alika, mencoba menguasai dirinya meski suaranya terdengar bergetar.
Terry mendekat, sorot matanya semakin tajam. "Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau memanfaatkan keadaan Arlan! Kau pikir, dengan tidur dengannya, kau bisa mendapatkan posisi di hatinya?" ucap Terry, sinis.
Alika menggeleng, langkahnya mundur. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Terry. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
"Benar-benar menjijikkan!" Terry meludah dengan suara keras. Namun, dalam hatinya, ia tahu siapa sebenarnya yang menjijikkan. Rencananya yang telah ia atur dengan matang malam itu justru berantakan karena Alika.
Terry mengingat semuanya dengan jelas. Ia yang memasukkan obat itu ke minuman Arlan di bar, memanfaatkan momen ketika pria itu sudah terlalu mabuk untuk sadar. Ia yang membantu Arlan ke kamar dan berniat merekam adegan yang pasti akan terjadi setelah obat yang ia berikan bereaksi.
Namun semuanya hancur saat ia menyadari ponsel yang akan ia pakai untuk merekam momennya bersama Arlan tertinggal di mobil. Ketika akan kembali ke rumah, ia mendapati garasi terkunci otomatis, memaksanya terjebak sepanjang malam di dalam mobil. Pagi ini, ia akhirnya keluar hanya untuk menemukan Alika meninggalkan kamar Arlan.
Matanya menyipit, menatap penuh kebencian pada Alika. "Kau mencuri kesempatan itu dariku. Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja!"
Alika merasa tubuhnya menegang. Ia tidak tahu apa maksud sebenarnya dari Terry, tetapi satu hal yang jelas, malam itu tidak hanya menghancurkan dirinya, tetapi juga membuka jalan untuk konflik baru yang lebih rumit.
Terry mendekatkan wajahnya ke arah Alika, sorot matanya penuh ancaman. "Dengar baik-baik, Alika," bisiknya tajam, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. "Kau akan menutup mulutmu rapat-rapat soal apa yang terjadi semalam."
Alika mundur selangkah, namun punggungnya menyentuh dinding koridor. Ia merasa terjebak di bawah tatapan dingin Terry. "Kenapa aku harus menutup mulut? Kak Arlan berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya, meskipun suara gemetar mengkhianati keberaniannya.
Terry tertawa sinis. "Berhak tahu? Kau benar-benar lucu. Kau pikir, dengan statusmu yang cuma pemilik rumah makan kecil itu, kau pantas jadi bagian dari keluarga Arlan? Tante Widi saja sudah terang-terangan tidak menyukaimu sejak awal."
Alika menunduk, hatinya mencelos mendengar kata-kata Terry. Namun, ia mencoba menguatkan dirinya. "Aku tidak peduli apa pendapatmu atau mama Kak Arlan. Ini bukan urusanmu."
Namun Terry mendekat lagi, wajahnya semakin menekan. "Bukan urusanku? Kau bodoh kalau berpikir aku akan membiarkan ini merusak rencanaku. Kau tahu, Alika, aku bisa menghancurkanmu dengan mudah. Rumah makan kecilmu itu? Aku hanya butuh satu telepon untuk membuat tempat itu bangkrut."
Mata Alika membesar. "Kau tidak bisa melakukan itu!"
Terry menyeringai, puas melihat ketakutan di wajah Alika. "Oh, aku bisa, dan aku akan. Kalau kau berani buka mulut soal apa pun yang terjadi semalam, kau akan melihat rumah makanmu hancur, dan keluargamu terlilit utang. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum bertindak bodoh."
Alika menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu Terry tidak main-main dengan ancamannya.
"Terry..." Alika mencoba bicara, tetapi suaranya hampir berbisik. "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa yang kuinginkan? Mudah saja." Terry menatapnya tajam. "Setelah kontrakmu sebagai ibu susu habis, kau pergi dari hidup Arlan. Jangan pernah muncul di hadapan dia atau keluarganya lagi. Dan jangan berani-berani membuka mulut soal semalam. Jika kau melanggar... kau tahu apa yang akan terjadi."
Dengan ancaman itu, Terry melangkah masuk ke dalam kamar Arlan tanpa menoleh lagi pada Alika, meninggalkannya diam terpaku di tempat dengan rasa takut dan bingung yang membelenggu. Di dalam hatinya, Alika tahu ancaman Terry hanya awal dari konflik yang lebih besar. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Terry terus mengontrol hidupnya. "Apa yang harus ia lakukan sekarang?" batinnya.
Suasana koridor terasa hening, tetapi di dalam kepala Alika, pikiran-pikiran bergemuruh tanpa henti. Ia mencoba mengatur napas, tetapi rasanya dada terlalu sesak untuk bisa bernapas lega. Ancaman Terry tadi terus terngiang-ngiang di telinganya, sementara ingatannya kembali pada masa lalu, pernikahannya yang gagal, cinta yang ia perjuangkan, tetapi akhirnya kandas karena tidak direstui orang tua.
Ia tahu benar apa yang akan terjadi jika ia melawan. Widi, ibu Arlan, sudah sejak lama memperingatkannya untuk menjauh dari putranya. "Status sosialmu dan Arlan itu sangat jauh berbeda. Kau tak pantas bersanding dengannya, dan aku tak akan pernah merestui hubunganmu dengan Arlan. Ingat itu." ucapan dingin Widi terngiang kembali, mengiris perasaannya seperti sembilu.
Namun kini ancaman Terry menambah beban itu. "Aku hanya butuh satu telepon untuk membuat tempat itu bangkrut," kata-kata itu terus bergema dalam pikirannya, membuat lututnya lemas.
Alika menghapus air matanya dengan cepat sebelum orang lain melihat. Ia menatap pintu kamar Arlan untuk terakhir kalinya, hatinya terasa perih membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah ini. Arlan tidak akan tahu apa pun. Ia akan tetap menjadi putra yang tak tersentuh oleh aib, sementara ia sendiri menanggung beban rahasia ini sendirian.
Dengan langkah gontai, Alika kembali ke kamarnya. Tangannya yang gemetar membuka pintu, dan ia segera masuk, menutupnya rapat-rapat di belakangnya. Di dalam ruangan itu, ia menyandarkan punggung pada pintu, membiarkan dirinya terisak pelan dalam kesunyian.
“Mungkin aku memang tidak pernah pantas...” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Tetapi jauh di dalam hatinya, ada rasa sakit dan penyesalan yang sulit ia abaikan.
Namun, satu hal yang pasti: malam itu mengubah segalanya. Dan ia tahu, keputusan apa pun yang ia ambil setelah ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Tiba-tiba tatapan mata Alika jatuh pada Adriel, putra Arlan, yang masih tertidur lelap di atas ranjang kecilnya. Anak yang telah ia susui hampir dua tahun ini, anak yang tak hanya membangun kembali kekuatan dirinya, tetapi juga menjadi alasannya untuk bertahan hidup.
Adriel telah menjadi cahaya dalam hidup Alika setelah semua kehancuran yang ia alami. Kehancuran itu dimulai dari perselingkuhan suaminya dengan ibu kandungnya sendiri, diikuti oleh kehilangan bayinya yang hanya sempat ia peluk sebentar. Dalam keterpurukan itu, hadir Adriel, anak yang membuatnya merasa berarti lagi, anak yang memulihkan hatinya yang terkoyak.
Namun, ingatan semalam menghantamnya seperti badai. Arlan, dalam keadaan mabuk, telah menidurinya tanpa kesadaran penuh. Alika mengepalkan tangannya, menahan getaran di tubuhnya. Ia tahu, rahasia ini akan mengubah segalanya, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk Adriel, anak yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Di Kamar Arlan
Tanpa ragu Terry melepaskan pakaiannya hingga tak tersisa, melemparnya asal. Ia berencana untuk berada di samping Arlan saat pria itu membuka mata, menjadi sosok yang "menyelamatkan" dan memanfaatkan momen ini untuk menjadikannya nyonya Arlan.
Dengan hati-hati, Terry membaringkan dirinya di samping Arlan, menyusup ke dalam selimut yang sama. Senyum licik tersungging di wajahnya sebelum ia mengubah ekspresi menjadi lebih lembut, pura-pura rapuh.
Arlan mengerang pelan, matanya terbuka sedikit. Tatapannya buram, mencoba memahami bayangan samar di hadapannya. "Apa yang terjadi...?" tanyanya dengan suara serak, masih setengah mabuk.
Terry terdiam sejenak, menunduk seolah malu, sebelum akhirnya berkata pelan, "Arlan, kau mabuk. Aku... aku membantumu pulang, tapi... kau malah..." Ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis pelan, meski dalam hatinya ia tertawa puas.
Arlan perlahan menegakkan tubuhnya, mengerjap beberapa kali untuk mengusir sisa mabuknya. Tatapannya menyapu ranjang yang acak-acakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan sosok Terry yang masih menangis di sampingnya. Sebuah kilasan singkat muncul di benaknya, semalam, ia yakin sosok terakhir yang bersamanya adalah Alika.
"Alika..." batinnya menggema, tapi kenyataan di hadapannya membuat pikirannya semakin kacau. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Terry memandang Arlan dengan mata basah. "Arlan, kau tak akan lari dari tanggung jawab, 'kan?" tanyanya dengan nada penuh harap, suaranya terdengar gemetar, meski matanya menyiratkan manipulasi.
Arlan menatap Terry dengan ekspresi dingin dan datar. "Tanggung jawab? Untuk apa?" tanyanya tanpa nada, seolah tak ada emosi yang tersisa dalam suaranya.
Terry tersentak, tidak menyangka respon Arlan akan sedingin itu. "Untuk... apa yang terjadi tadi malam. Kau tidak ingat? Kita... kita bersama," ujarnya dengan nada yang lebih memelas, mencoba menggapai tangan Arlan.
Arlan menepis tangannya dengan lembut tetapi tegas, membuat Terry terdiam. "Dengar, Terry. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku tahu aku tidak pernah menyentuhmu. Jangan mengira aku sebodoh itu."
"Tapi—" Terry mencoba memprotes, tetapi Arlan memotongnya.
"Sudah cukup." Suaranya terdengar seperti pisau yang tajam dan dingin. Ia bangkit dari ranjang, mengabaikan pakaian yang berserakan di lantai. "Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi jangan mencoba memainkan drama murahan ini di hadapanku."
Terry menatapnya dengan mata melebar, rasa panik mulai merambati dirinya. Namun, Arlan hanya melangkah pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Terry yang terpaku dengan kegagalannya yang mulai terbuka.
Beberapa menit kemudian, Terry berdiri di depan pintu kamar Arlan, wajahnya masih tampak gugup. Ia baru saja ditinggalkan Arlan dengan sikap dingin yang membuatnya merasa terpojok. Namun, otaknya mulai bekerja cepat. Senyuman licik mengembang di bibirnya saat melihat Widi memasuki rumah Arlan dari jendela lorong.
"Aku harus membalik situasi," gumamnya, sambil merapikan rambut dan wajahnya di cermin di lorong.
Ia melangkah ke ruang tengah dengan langkah gemetar yang disengaja, berusaha terlihat seperti orang yang baru saja mengalami sesuatu yang berat.
Widi, yang baru saja masuk ke ruang tengah dengan ekspresi tenang, terkejut melihat Terry ada di rumah Arlan pagi-pagi. Ia menatap Terry dengan alis terangkat. “Terry? Kenapa pagi-pagi begini kamu sudah di sini? Dan kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Terry menghela napas panjang, lalu tersenyum getir. “Aku tidak ingin membuat Tante khawatir. Tapi, aku rasa aku harus memberitahu ini agar tidak ada kesalahpahaman nantinya.”
"Apa maksudmu?" tanya Widi, matanya menyipit. Ia merasa akan mendengar sesuatu yang tak mengenakkan.
Terry menunduk, seolah sedang menahan air mata. “Semalam, Arlan... dia mabuk berat di luar. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai seperti itu. Saat aku menemukannya di bar, aku khawatir terjadi sesuatu padanya jika pulang dengan kondisi mabuk, jadi aku mengantarnya pulang.”
"Apa? Arlan mabuk?” Widi nampak tak percaya, karena selama ini putranya dikenal sangat menjaga diri.
Terry mengangguk, suaranya gemetar. “Aku tidak bisa membiarkan Arlan pulang sendirian, Tante. Dan aku juga khawatir orang-orang akan menyebarkan gosip buruk tentang Arlan. Bagaimanapun, dia pewaris keluarga ini, dan nama baiknya sangat penting. Jadi, aku membawanya masuk ke kamar memastikan tidak ada pelayan yang tahu kondisinya. Tapi...” Ia menggigit bibir, terlihat ragu untuk melanjutkan.
“Tapi apa?” Widi menatapnya tajam, rasa khawatir mulai terlukis di wajahnya.
Terry memainkan jemarinya, seolah sedang berjuang mengendalikan emosi. “Arlan...dia memaksaku melayaninya. Aku sudah menolak, Tante, tapi dia tidak menghiraukan aku.” Terry menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis terisak untuk menyempurnakan aktingnya.
Wajah Widi berubah pucat seketika. Ia berdiri membatu di tempat, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Terry. Reputasi keluarga adalah segalanya baginya, dan cerita ini bisa menjadi bencana jika sampai keluar.
“Kau yakin... Arlan melakukan itu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Terry mengangguk pelan, menurunkan tangannya dari wajah. “Aku tidak ingin membesar-besarkan ini, Tante. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa... hancur, Tante.”
Widi menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak ingin bertindak gegabah. Setelah beberapa saat hening, ia berkata dengan nada tegas, “Terry, aku ingin kau tetap tenang. Masalah ini jangan sampai bocor ke luar rumah ini. Aku akan berbicara dengan Arlan dan memastikan dia bertanggung jawab.”
“Tante, aku tidak ingin membuat masalah,” Terry berkata dengan nada merendah, menatap Widi penuh harap. “Aku hanya ingin semuanya tetap baik-baik saja.”
Widi menepuk bahu Terry dengan lembut. “Aku mengerti, Terry. Kau sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga nama baik keluarga ini. Aku tidak akan membiarkan Arlan lepas dari tanggung jawabnya.”
Dalam hati, Widi merasa marah, bingung, dan dikhianati oleh putranya. Namun, sebagai seorang ibu yang menjaga citra keluarga, ia tahu bahwa langkah berikutnya harus diambil dengan hati-hati.
Widi membawa Terry ke kamar Arlan dengan wajah tegang. Tangannya menggenggam pergelangan Terry, memastikan perempuan itu tidak berubah pikiran di tengah jalan. Terry menunduk sepanjang perjalanan, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang tersungging di sudut bibirnya.
Begitu pintu terbuka, Arlan yang sedang mengenakan kemeja bersih berdiri di dekat jendela, wajahnya datar seperti biasa. Namun, ada kilatan tajam di matanya begitu ia melihat Widi dan Terry memasuki kamar.
"Arlan," Widi memulai, suaranya tegas tetapi terdengar sedikit bergetar. "Aku ingin penjelasan darimu. Terry mengatakan sesuatu yang sangat serius, dan aku perlu mendengar langsung darimu."
Arlan melipat tangan di depan dada, wajahnya tetap dingin. "Penjelasan tentang apa?"
"Tentang apa yang kau lakukan padanya semalam." Widi melirik Terry sekilas sebelum kembali menatap putranya. "Dia bilang kau mabuk dan—"
"Aku memaksanya tidur denganku?" Arlan memotong dengan nada datar. Ia menatap ibunya dan Terry secara bergantian, rahangnya mengeras. "Itu tuduhan yang serius."
Terry langsung terisak, menutup mulut dengan tangan seolah menahan tangis. "Arlan, aku tidak ingin membuat masalah, tapi—"
"Kalau begitu jangan buat masalah," potong Arlan dingin, matanya menatap Terry tajam. "Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi."
Widi menghela napas, mencoba menenangkan situasi. "Arlan, dia bilang dia membawamu pulang karena kau mabuk. Kau mungkin tidak sadar apa yang terjadi setelah itu. Terry hanya ingin keadilan."
Arlan mengerutkan kening. "Keadilan? Ma, aku mabuk, itu benar. Tapi aku ingat siapa yang ada di sini semalam, dan itu bukan Terry."
Terry tersentak, menatap Arlan dengan mata membelalak. "Kau... kau tidak ingat, Arlan? Kau bahkan memanggil namaku semalam!"
Arlan menyipitkan mata, langkahnya mendekati Terry dengan perlahan. "Kalau begitu, mari buktikan. Tes DNA. Kita lihat apakah ada jejakku di tubuhmu atau sebaliknya."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!