... - Sesakit apapun kenyatan, jauh lebih sakit saat tahu ada sebuah kebohongan yang ditutupi -...
Ballroom hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan diselenggarakan nampak sangat mewah. Rangkaian bunga putih menghiasi hampir di setiap sudut ruang. Harum semerbak wangi bunga langsung memenuhi indra penciuman para tamu undangan. Semua tamu yang hadir kagum dengan dekorasi pernikahan yang digadang-gadang merupakan resepsi pernikahan termewah tahun ini.
Hari ini, Kana Adhisti, seorang artis cantik akan mengikat janji suci dengan Adnan Chaman, seorang politikus muda sekaligus pebisnis sukses yang sangat karismatik. Pernikahan mereka menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, perpaduan sempurna antara dunia hiburan dan politik.
Kana berdiri di depan cermin, mengamati dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang anggun. Detik-detik menjelang resepsi pernikahan ini membuatnya merasa gugup sekaligus bahagia. Namun, di balik senyum yang terukir di wajahnya, Kana teringat secuil keraguan yang menghantui hatinya saat upacara sakral dilakukan tadi siang. Entah mengapa tiba-tiba perasaan itu menelusup dalam diri Kana seolah menjadi sebuah pertanda namun Kana memilih untuk mengabaikannya. Hari ini adalah hari bahagianya, titik. Kana yakin dengan pilihannya dan ia tak akan mundur lagi.
Pesta pernikahan berlangsung meriah. Tamu undangan dari berbagai kalangan hadir untuk memberikan ucapan selamat kepada pasangan baru secara langsung. Para wartawan dari berbagai media massa berdesakan untuk mendapatkan foto-foto eksklusif. Sorot lampu blitz menyilaukan mata, namun Kana berusaha untuk tetap tenang.
Kana Adhisti berjalan dengan anggun di atas karpet merah dengan dagu yang terangkat dan senyum bahagia di wajahnya. Tangannya menggandeng lengan lelaki tampan nan gagah penuh pesona, Adnan Chaman. Tamu undangan yang hadir terpukau melihat sepasang pengantin yang nampak serasi, cantik dan tampan, seperti menonton adegan di dalam film dimana aktor dan aktris sedang beradu akting. Senyum Kana seakan menghapus semua luka yang beberapa waktu lalu menghinggapi hidupnya. Kana merasa pada akhirnya ia mendapat akhir kisah yang bahagia yakni memulai kehidupan baru dengan pria sangat spesial di dalam hidupnya.
Alunan musik yang dinyanyikan oleh trio diva terkenal di negeri ini membuat suasana pesta semakin meriah. Sungguh pesta pernikahan yang mewah, yang tak akan pernah dilupakan oleh para tamu undangan.
"Kana, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Sayang," puji Adnan seraya berbisik. Adnan sesekali melempar senyum untuk menyapa orang-orang penting yang ia lewati.
"Terima kasih, kamu juga tampan sekali hari ini, Mas," jawab Kana, balas tersenyum.
Kana dan Adnan terus berjalan sampai pelaminan. Hanya ada mereka berdua yang berdiri di atas pelaminan nan megah, tak ada kedua orang tua yang mendampingi. Orang tua Kana diminta membaur bersama tamu undangan sebab orang tua Adnan tidak hadir dengan alasan sedang di luar negeri mengurus bisnis penting. Adnan beralasan kalau hanya ada orang tua dari satu pihak saja yang mendampingi, maka akan menjadi sasaran empuk media untuk menciptakan gosip baru, lebih baik tak usah ada yang mendampingi, cukup Adnan dan Kana saja yang berdiri di pelaminan, bak raja dan ratu sehari.
Kana tak mau banyak protes pada Adnan. Bisa menikah dengan lelaki hebat seperti Adnan saja sudah membuatnya banyak mengucap syukur. Adnan telah menariknya dari lumpur fitnah dan hinaan sehingga Kana bisa berdiri tegak sambil tersenyum seperti hari ini.
.
.
.
Setelah acara resepsi selesai, Kana dan Adnan menuju rumah mewah milik Adnan. Tak pernah terbayang dalam benak Kana kalau suatu hari nanti ia akan tinggal di rumah nan megah dan mewah seperti rumah Adnan ini.
Senyum di wajah Kana menunjukkan betapa bahagianya ia saat ini. Banyak impian indah yang menari di benaknya. "Aku akan memulai kehidupan baruku yang bahagia di rumah ini. Bersama suamiku yang hebat dan anak-anak kami kelak," batin Kana.
"Kana, ayo masuk!" ajak Adnan dengan wajah yang nampak letih sehabis menerima banyak tamu undangan.
"I-iya," jawab Kana agak gugup.
Adnan memperkenalkan Kana dengan Ibu Erin, pelayan di rumah mereka yang terlihat sangat setia padanya. Setelah berkenalan, Adnan mengajak mereka ke lantai atas. "Ayo, kita ke atas!"
"Kamar kita di atas, Mas?" tanya Kana. Mata Kana tertuju pada kamar utama yang ada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya. Ada masalah?" tanya balik Adnan.
"Bukankah ... kamar utamanya ada di sana?" Kana menunjuk kamar besar yang menyita perhatiannya.
"Kamar itu memang kamar utama namun sudah ada yang menempati," jawab Adnan.
"Sudah ada yang menempati? Siapa? Orang tua Mas Adnan?" tanya Kana semakin penasaran. Kana sadar rasa penasaran dan banyak pertanyaan yang ia ajukan hanya akan membuat keadaan makin tidak nyaman namun Kana tak peduli. Ia tetap ingin tahu karena terlalu banyak hal yang ia tidak ketahui dari suaminya.
"Bukan orang tuaku," jawab Adnan.
"Lalu ... siapa?"
"Istriku. Lebih tepatnya istri pertamaku."
Pengakuan Adnan membuat Kana tertegun. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang dicintainya sudah memiliki istri. Rasa sakit dan kecewa pun langsung memenuhi hatinya.
"Kenapa kau tidak pernah memberitahuku tentang ini?" tanya Kana dengan suara bergetar.
"Kita bicarakan di atas!" Adnan berbalik badan. Ia berjalan menaiki anak tangga dan meninggalkan Kana yang masih tak percaya dengan kenyataan yang baru ia ketahui.
"Mas, tunggu!" Meski enggan, Kana akhirnya memilih untuk mengejar langkah Adnan. Ia butuh penjelasan.
Adnan masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu terbuka. Ia yakin Kana tak lama lagi akan masuk dan menuntut penjelasan darinya.
Benar saja, tak lama Kana masuk ke dalam kamar dengan langkah kesal. Wajah Kana memerah dengan air mata yang sudah berkumpul dan tinggal menetes saja.
"Jelaskan padaku apa maksud semua ini, Mas?" tanya Kana seraya mengontrol emosinya.
"Tutup pintu baru aku jawab!" balas Adnan dengan tegas. Adnan membuka jas miliknya lalu melemparkannya dengan asal ke atas sofa.
Dengan kesal, Kana menutup pintu di belakangnya. Sekali lagi ia harus menahan kemarahannya.
Adnan melepaskan dasi lalu melemparkannya ke sofa, sama seperti jas yang tadi. Ia menatap Kana seraya tersenyum tipis. "Bagus. Ternyata kamu istri yang penurut ya?"
"Sekarang jelaskan padaku apa maksud ucapan kamu tadi?" tagih Kana.
"Tentang istriku?" Adnan melipat kedua tangannya di dada. Senyum tipis di wajahnya lenyap sudah. "Istri pertamaku ada di kamar utama."
"Istri pertama? Lalu aku?"
"Kamu adalah istri keduaku."
Kana menggelengkan kepalanya. "Kamu bohong, Mas. Aku sudah memeriksa latar belakangmu. Kamu belum menikah, bagaimana mungkin kamu sudah punya istri?"
Adnan kembali tersenyum kecil. "Bagaimana kalau pernikahan pertamaku tidak pernah kudaftarkan? Sudahlah, tak perlu repot mengurusi urusanku. Aku akan membagi waktu dengan adil pada kalian berdua."
Adnan berjalan menuju toilet lalu secara tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Jangan coba-coba untuk menemuinya atau kamu akan kuhukum!"
****
... - Sungai yang tenang pun tak pernah tahu kapan arus deras akan datang -...
3 Bulan Sebelumnya
Suara dentuman musik kencang terdengar saat Kana memasuki ruangan dengan lampu yang membuatnya agak pusing. Kana tak suka tempat ini namun mau bagaimana lagi, Kana harus menyelesaikan syuting hari ini sebagai tanggung jawabnya atas kontrak yang ia tanda-tangani beberapa bulan lalu.
Kana adalah seorang artis cantik yang namanya sedang naik daun. Banyak tawaran main film dan syuting iklan yang ia terima. Setiap hari Kana sibuk syuting, tak terkecuali hari ini, Kana harus syuting di salah satu club malam untuk adegan di film layar lebar yang ia perankan. Di film ini Kana berperan sebagai perempuan lugu yang diajak clubbing oleh lawan mainnya, aktor terkenal yang juga sedang naik daun.
Kana sadar saat dirinya melangkah memasuki club malam, banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Ada yang menatap dengan tatapan bersahabat, ada yang menatap dengan sebal dan ada juga yang menatap dengan tatapan seolah bersahabat padahal sebenarnya musuh dalam selimut.
"Tuh lihat tas yang dia pakai, tujuan dia apa sih pakai tas lokal murahan begitu? Biar fansnya bilang kalau dia cantik natural meski tanpa barang branded gitu?" cibir salah satu artis senior yang sejak awal tak pernah menyukai Kana.
"Namanya juga artis modal hoki. Mana punya uang sih dia untuk membeli barang branded?" balas rekan si artis senior tak kalah nyinyir. Mereka tertawa bersama, menertawakan Kana yang memilih pura-pura tak mendengar.
Dunia artis yang terkesan glamor memiliki banyak sisi gelap, salah satunya adalah adanya sistem senioritas. Belum lagi sifat iri dan suka menjatuhkan antar sesama artis. Kana tahu semua sisi gelap tersebut. Kana tahu dirinya tak disukai namun Kana mencoba untuk terus bertahan. Menutup telinga lebih baik daripada mendengar hal yang membuat hatinya sakit.
"Akhirnya kamu datang juga." Rio, manager Kana datang menghampiri. Rio mengambil jaket dan tas milik Kana untuk dibawakan. "Kamu make up dulu di ruang VIP 1. Aku sudah siapkan tempat untukmu."
Kana mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Kak, terima kasih."
Kana mengikuti Rio menuju ruang VIP 1. Di balik semua sisi gelap dunia artis, Kana beruntung memiliki Rio sebagai managernya. Rio pernah menjadi manager seorang artis terkenal sebelum menjadi manager Kana. Berkat Rio, Kana yang sedang naik daun bisa mendapat pengaturan jadwal terbaik dan kontrak dengan nilai fantastis.
Di dalam ruang VIP 1, sudah ada beberapa make up artis yang sedang mendandani artis lain. Kana tersenyum ramah pada rekan sesama artis namun lagi-lagi ia tak mendapat balasan yang hangat. Kana menghela nafas dalam, inilah resiko terkenal karena hoki dan tak punya background orang penting. Dianggap receh dan tak dihargai. Ia harus menerimanya, tak boleh mengeluh. Kelak, jika Kana kaya raya karena kerja kerasnya, ia akan menunjukkan pada semua orang yang mencibirnya kalau ia bisa sukses berkat kerja kerasnya bukan hanya modal hoki semata.
Untunglah syuting berjalan lancar. Meski tak dihargai namun dalam bekerja mereka tetap bersikap profesional. Kana merasa lelah sekali malam ini. Kana merindukan kasur empuk di kamarnya yang nyaman. Kana membayangkan tidur di kamarnya dan terbangun keesokan hari ketika mencium aroma masakan sang mama yang lezat.
Sayangnya, suasana mendadak berubah mencekam. Suara sirine polisi memecah keheningan malam dan berhenti di depan klub malam tempat Kana dan pemain lain sedang syuting. Petugas bersenjata lengkap menyerbu masuk, siap menggeledah setiap sudut ruangan.
"Gawat, ada razia!" ucap salah seorang kru film seraya berlari cepat menuju sang sutradara.
"Huft ...." Kana menghela nafas dalam. Kesabarannya kembali diuji. Keinginannya tidur di kasur nyamannya yang empuk harus ia tunda sejenak.
Wajah panik terlihat di beberapa kru film, ada yang berusaha bersembunyi dan kabur agar tidak terkena razia. Tidak demikian dengan Kana, ia tenang saja menghadapi situasi seperti ini karena seumur hidupnya Kana tak pernah menyentuh barang haram tersebut.
Satu per satu barang-barang pribadi digeledah. Meski sutradara dan produser sudah menjelaskan kalau mereka sedang syuting, polisi tetap tak peduli. Mereka tetap melakukan tugasnya, melepaskan yang dianggap bersih dan yang dirasa agak mencurigakan diminta untuk melakukan tes urin.
"Kami mau masuk ke dalam!" Polisi meminta masuk ke ruang VIP 1.
Nampak beberapa kru merasa keberatan namun Polisi tak peduli. Mereka membuka pintu dan melakukan pemeriksaan. Tak lama salah seorang Polisi keluar seraya mengangkat sebuah jaket semi kulit berwarna cokelat tua yang tadi Kana pakai.
Tatapan semua orang tertuju pada Kana. Seorang petugas menghampirinya, lalu mengangkat jaket semi kulit tersebut dengan tangannya. "Ini milik Anda, Nona?" tanyanya tegas.
"Iya, itu benar jaket milikku, Pak!" jawab Kana dengan jujur.
"Tangkap dia!"
Mata Kana terbelalak mendengar perintah dari Polisi yang memegang jaket miliknya pada anak buahnya.
"Kenapa aku ditangkap, Pak?" tanya Kana saat tangannya dipegangi oleh dua orang Polisi.
"Anda ditangkap atas kepemilikan barang haram ini!" Polisi mengeluarkan plastik kecil dari dalam saku jaket milik Kana. Ia membuka bungkusan tersebut dan menunjukkan isinya kepada Kana. Serbuk kristal putih berkilau terhampar di atas telapak tangannya.
Jantung Kana bak berhenti berdetak untuk sesaat. Ia tak menyangka kalau barang haram tersebut bisa ada di dalam saku jaket miliknya.
"Itu bukan punyaku, Pak." Kana menggelengkan kepalanya dengan wajah yang kini sudah pucat.
"Silahkan beri keterangan di kantor Polisi. Anda berhak diam sampai pengacara Anda datang." Polisi yang tak mau mendengar alasan Kana membawa Kana keluar dari club malam.
Entah suatu kebetulan atau memang sudah direncanakan sebelumnya, di depan club malam sudah ada banyak wartawan. Melihat Kana yang berjalan dengan diapit dua polisi, para wartawan langsung merangsek maju.
"Woy lihat, ada yang keciduk!" teriak salah seorang wartawan membuat wartawan lain berlari ke arah Kana.
"Bukannya itu Kana? Apa jangan-jangan dia pemakai?"
Mereka berdesakkan ingin mewawancarai Kana yang menundukkan kepalanya serta menutup mulutnya rapat-rapat.
"Kana, apa benar kamu memakai benda haram tersebut? Sudah berapa lama?"
"Jadi penampilan polosmu berbeda dengan sifat aslimu yang seorang pemakai ya?"
"Kana, bicara sedikit dong. Kamu pakai obat karena pergaulan ya? Mana nih spek bidadari kamu? Nyatanya kamu nakal ya?"
Pertanyaan yang diajukan semakin pedas dan menusuk hati Kana. Kana sangat takut namun ia memilih menahan air matanya saat para wartawan tersebut mengambil gambar sebanyak mungkin sampai Kana masuk ke dalam mobil Polisi.
Seketika itu juga, dunia Kana terasa runtuh. Ia tak pernah menyangka hidupnya akan berakhir seperti ini. Nama besarnya sebagai artis papan atas kini tercoreng oleh tuduhan sebagai pemakai narkoba. Flash kamera wartawan menangkap setiap momen penangkapannya sampai ia pergi dengan mobil polisi. Wajah cantiknya yang dulu selalu menghiasi sampul majalah dan film, dalam sekejap menjadi bahan cemoohan publik.
.
.
.
Kana ditempatkan di dalam jeruji besi bersama beberapa napi yang menatapnya seolah Kana adalah ayam bakar lezat yang siap disantap kapan saja. Kana ketakutan, ia hanya bisa menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia juga tak punya kenalan pengacara terkenal karena selama ini tak pernah berurusan dengan hukum.
Kana sudah menghubungi Rio managernya namun ponselnya tak aktif. Kana hanya bisa pasrah sampai keluarga yang ia hubungi datang. Kana sudah menjalani tes urin dan rambut. Kini, ia hanya tinggal menunggu hasil dan berdoa agar hasilnya negatif (meski Kana yakin 100 persen negatif namun bisa saja semua terjadi bukan? Buktinya barang haram itu bisa ada di dalam saku jaket Kana).
Kana memeluk lututnya dengan erat seraya menyandarkan kepalanya di jeruji besi. Ia tak berani jauh-jauh dari pengawasan polisi. Ia takut dengan tahanan lain. Lama sekali rasanya menunggu bantuan datang sampai akhirnya suara yang ia ingin dengar datang.
"Kana?"
Mendengar namanya disebut, Kana mengangkat wajahnya. Air matanya kembali tumpah ruah. "Papaaaaaaa!"
****
... - Tempat ternyaman bukan berada di dalam istana megah, melainkan di dalam pelukan orang tua tercinta-...
Udara dingin sel penjara menyelimuti tubuh Kana. Ia duduk seraya menyandarkan kepalanya ke jeruji besi. Maskara yang dikenakannya sudah luntur, membuat wajah cantiknya belepotan warna hitam. Matanya yang bengkak karena terus menangis nampak sedang menerawang jauh dengan tatapan kosong.
Rupanya tahanan yang semula ingin memangsa Kana hidup-hidup, berubah menjadi kasihan padanya. Kana dibiarkan seorang diri hanyut bersama kesedihannya.
Kana, hidupnya tak selalu beruntung. Terlahir dari orang tua yang hidup sederhana. Pak Abdi -Papa Kana- adalah seorang pegawai negeri pemerintahan yang bertugas sebagai tukang bersih-bersih di salah satu kementrian, sedangkan Ibu Sari -Mama Kana- hanyalah ibu rumah tangga biasa yang membuka usaha warung kelontong kecil di depan rumah untuk membantu perekonomian keluarganya.
Keberuntungan datang menghampiri Kana secara tiba-tiba. Saat ada syuting di kampusnya, Kana yang diminta menjadi pemeran figuran justru menjadi pusat perhatian masyarakat berkat wajah cantiknya yang mengalahkan kecantikan Ratu -artis yang sedang naik daun dan juga pemeran utama- saat itu. Dari situlah karir Kana mulai menanjak dan semakin bersinar.
Hidup Kana berubah dalam sekejap. Ia yang semula hanya mahasiswi dengan uang jajan pas-pasan berubah menjadi artis dengan banyak tawaran main film dan iklan. Kana memiliki penghasilan yang besar, ia membiayai renovasi rumah orang tuanya, membeli mobil sendiri serta nekat mengambil kredit untuk membangun bisnis kafe miliknya.
.
.
.
Kana dibebaskan karena hasil tes miliknya negatif. Tentu saja ada andil pengacara yang disewa keluarganya, pengacara tersebut menyuap sana sini agar Kana dibebaskan meski ada barang bukti yang ditemukan di dalam saku jaket milik Kana. Tabungan Kana terkuras banyak demi bisa keluar dari jeruji besi bahkan Kana harus menjual mobil kesayangannya tersebut.
Kana pikir, setelah keluar dari penjara ia akan bisa kembali berkarir dan mengumpulkan pundi-pundi uang seperti sebelumnya. Namun, semua sudah berbeda. Semua terasa bagai mimpi buruk yang tak kunjung usai. Selain harus menanggung beban psikologis akibat skandal kepemilikan benda haram, Kana juga dihadapkan pada masalah finansial yang pelik. Skandal narkoba telah menghancurkan segalanya. Kontrak-kontrak yang menguntungkan telah dibatalkan bahkan Kana harus membayar pinalti, tawaran syuting pun tak ada lagi. Nama baiknya kini tercemar dan ia menjadi bahan gosip di mana-mana.
Sebulan ... dua bulan ... tak ada pekerjaan yang datang untuk Kana. Endorse produk yang biasanya ramai memenuhi sosial media milik Kana, kini sepi. Jumlah pengikut Kana pun turun drastis.
"Kana, ada surat lagi dari bank." Kana menerima surat dari Mama Sari dengan wajah keruh. Ia sudah menunggak 2 bulan, kolektibilitasnya pun sudah tidak lancar seperti biasa. "Kana, apa Mama pinjam sama ya sama bank keliling agar kamu bisa bayar hutangmu?"
Kana menggelengkan kepalanya. "Tenang saja, Ma. Aku pasti bisa membayar hutang ini."
Meski sok kuat di depan kedua orang tuanya, namun saat sendiri, Kana dilanda kekalutan. "Darimana aku bisa mendapat uang untuk membayar hutangku?" batin Kana.
Ingatan Kana kembali pada saat ia memutuskan untuk membuka bisnis kafe dengan mempekerjakan Desi, sahabatnya. Ia berharap bisnis ini bisa menjadi sumber penghasilan tetap setelah pensiun dari dunia hiburan. Namun, takdir berkata lain. Skandal yang menimpanya membuat semua rencana yang telah ia susun hancur berantakan. Bisnis kafe miliknya belum sempat berkembang sudah dihadapkan pada kewajiban membayar pinjaman yang bernilai besar.
Kana mencoba menghubungi beberapa kenalannya di dunia hiburan, berharap mereka bisa membantunya. Namun, semua usahanya sia-sia. Mereka semua menghindarinya seakan Kana mengidap penyakit menular. Tak ada yang mau membantu Kana sama sekali.
Kana merasa sangat tertekan. Ia duduk termenung di kafe miliknya yang sepi pengunjung. "Aku benar-benar sendirian," ucapnya pilu.
Sebuah tepukan di bahu miliknya membuat Kana tersadar. "Melamun aja! Mikirin apa sih?" sapa Desi, sahabat sekaligus karyawan di kafe milik Kana.
"Lagi mikirin utang, Des," jawab Kana dengan nada lesu.
"Jangan sedih gitu dong. Aku punya kabar baik nih," ujar Desi semangat. "Kampus kita lagi ada seminar, pembicaranya politikus terkenal lho. Kamu ikut yuk, biar pikiran kamu jadi lebih fresh, daripada kamu melamun terus, pikiranmu makin mumet. Siapa tahu kamu dapat pencerahan."
Kana terlihat ragu-ragu. "Aku nggak yakin mau ikut acara-acara kayak gitu, Des."
"Ayolah, Na. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa kamu dapatkan dari sana. Lagian, nggak ada salahnya 'kan refreshing sebentar?" bujuk Desi.
"Iya deh, aku ikut." Akhirnya, Kana pun luluh juga. Ia memutuskan untuk ikut seminar tersebut. Siapa tahu, ada keajaiban yang menunggunya di sana.
.
.
.
Hari seminar pun tiba. Kana dan Desi duduk di barisan depan. Pembicara hari ini adalah seorang politikus muda dan terkenal bernama Adnan Chaman, ia tampil dengan sangat memukau. Pidatonya yang inspiratif membuat Kana terkesima. Setelah acara selesai, Desi mengajak Kana untuk menghampiri Adnan.
"Permisi, Pak Adnan," sapa Desi. "Aku sangat terinspirasi dengan pidato Bapak. Boleh aku minta foto bareng sama Bapak?"
Kana menundukkan wajahnya karena malu dengan ulah Desi. Sahabat sekaligus karyawannya itu memang suka minta foto dengan orang-orang terkenal, katanya sih untuk koleksi.
Adnan tersenyum ramah. "Tentu. Teman kamu ... mau ikut foto bareng juga?" Adnan melirik Kana yang nampak tersipu malu. Saat Kana mengangkat wajahnya, kening Adnan sedikit berkerut.
"Mau! Kana juga suka sekali dengan pidato Bapak. Kita foto bareng ya!" Desi menarik tangan Kana dan mengajaknya berfoto bersama Adnan.
Selesai foto, Adnan masih terus memperhatikan wajah Kana. "Kamu ... Kana si artis terkenal itu, bukan?" Kana yang biasa tampil di TV ternyata jauh lebih cantik saat dilihat secara langsung, apalagi dengan make up minimalis seperti ini, kecantikannya semakin memukau Adnan.
Kana tersipu malu mendengar pertanyaan Adnan. Kana tak menyangka kalau Adnan akan mengenali dirinya, si artis yang pernah terkena skandal yang karirnya kini redup. "I-iya, aku ... Kana. Namun aku ... tak lagi terkenal," jawab Kana dengan jujur dan agak gugup.
Adnan tersenyum mendengar jawaban jujur Kana. Ia mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu, Nona Kana. Aku sering sekali menonton film yang kamu perankan."
Kana membalas uluran tangan Adnan. "Terima kasih. Aku juga senang bertemu Pak Adnan dan bisa datang ke seminar yang keren ini."
Mereka pun terlibat dalam percakapan yang cukup panjang. Saking asyiknya mengobrol, Desi sampai terlupakan. Rupanya Adnan dan Kana bisa nyambung. Kana menceritakan sedikit tentang dirinya dan masalah yang sedang ia hadapi dan Adnan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Jangan menyerah, Nona Kana," ucap Adnan menyemangati. "Setiap masalah pasti ada solusinya."
Pertemuan singkat dengan Adnan memberikan secercah harapan bagi Kana. Ia merasa ada seseorang yang peduli dengan masalahnya. Setelah itu, mereka sering berkomunikasi melalui pesan singkat. Adnan bahkan beberapa kali mengunjungi kafe milik Kana.
Hubungan Kana dan Adnan semakin dekat. Hubungan ini pun terendus wartawan. Kana yang semula dianggap sebagai artis penuh skandal, kini mulai dilirik kembali oleh dunia hiburan.
Sampai akhirnya Adnan mengajak Kana makan malam di sebuah restoran mewah. Secara mengejutkan, Adnan melamar Kana dengan sebuah cincin berlian yang berharga fantastis. Semua ditayangkan secara live di sosial media milik Adnan.
"Kana, kekasihku yang cantik, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku ingin berbagi setiap memori denganmu. Kana, maukah kau menerima lamaranku?" tanya Adnan sambil berlutut.
Wajah Kana nampak bahagia. Ia tak menyangka kalau hidupnya yang selama 3 bulan ini amat berat akhirnya berakhir bahagia. "Tentu, aku mau."
Flashback End
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!