Celia Maharani Wiguna bersandar pada loker sambil memperhatikan Ethan Aditya Pratama yang luar biasa sedang bersama teman-temannya saling memberi tos. Tenggorokannya terasa sesak, kakinya seperti kehilangan kekuatan. Dia menggenggam bukunya lebih erat di dadanya. Andai saja mereka tidak pernah ditugaskan untuk mengerjakan proyek sejarah bersama. Saat itu, Ethan hampir gagal, dan tim basket terancam kehilangan pemain bintangnya, jadi Celia menawarkan bantuannya. Celia menggigit bibirnya. Inilah bagian yang tidak pernah diceritakan dalam novel romantis atau komedi romantis. Ini adalah kisah "si tampan dan si kutu buku" yang sering disembunyikan para ibu dari anak-anak perempuan mereka.
Celia melangkah maju ketika kelompok Ethan mulai bubar. Dina mendekat dan mencium pipinya. Celia segera bersembunyi di balik pintu kelas. Ethan telah berpacaran dengan Dina selama dua tahun, dan dalam satu malam Celia merasa seperti perusak hubungan. Andai saja dia tidak memakai gaun merah muda itu, andai saja tali gaunnya tidak terjatuh, andai saja tangan Ethan tidak menyentuh kulitnya. Celia merasakan bahunya kembali bergetar seperti saat disentuh Ethan malam itu. Mengintip dari pintu, dia melihat Dina pergi, sementara Ethan berjalan ke arahnya.
Celia berdiri di depannya. "Ethan?"
Ethan terdiam. "Lia."
Celia menyukai nama itu, cara Ethan memanggilnya membuat perasaannya bergetar.
"Ethan, kita harus bicara." Suaranya serak, berbicara saja terasa menyakitkan.
"Aku terlambat ke kelas," jawab Ethan sambil gugup melihat sekeliling. "Aku harus pergi."
"Ethan, tentang malam itu," kata Celia, meskipun dalam pikirannya dia tahu itu tepat empat belas hari, delapan jam, dan empat puluh lima detik sejak momen itu terjadi.
"Dengar, aku tidak tahu kalau kamu masih perawan," jawab Ethan dengan suara pelan. "Aku masih bersama Dina. Maaf, tapi aku benar-benar sedang kacau, oke?" katanya sambil meletakkan tangan di bahu Celia. "Proyeknya sudah selesai, kita berdua dapat nilai A. Ayo kita anggap semuanya selesai."
“Aku…”
“Kita hanya terbawa suasana, itu saja,” Ethan menghela napas lagi. “kita akan segera lulus sekolah, dan sebentar lagi kita semua akan menjalani jalan masing-masing. Tidak ada gunanya membesar-besarkan ini.”
Celia merasakan keringat dingin menjalar di tubuhnya, menyerang dari dalam ke luar. “Tapi, Ethan…”
“Lia, aku benar-benar hanya ingin kita berteman.”
Celia menelan ludah, merasa tubuhnya perlahan menghilang dalam rasa malu. Dia mengangguk, suaranya tertahan oleh tenggorokan yang semakin menyempit.
“Aku tahu kamu akan setuju,” kata Ethan dengan senyum. “Tetap semangat, semoga aku melihatmu di tribun besok.” Dia mundur, mengedipkan mata ke arahnya, lalu berbalik meninggalkannya.
Celia meletakkan tangannya di atas perutnya yang kecil dan rata. Dia terlambat enam hari, tanpa tanda-tanda menstruasi, dan dia tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Sebuah isakan keluar dari bibirnya, dan Celia menutup mulutnya dengan tangan yang sama. Dengan cepat, dia berlari ke kamar mandi terdekat, masuk ke dalam bilik, dan menangis.
"Ayah?" Celia meraih kunci dari gantungan. "Aku mau ke minimarket membeli susu, apa Ayah ingin sesuatu?" Celia memandangi tumpukan surat di meja sambil menunggu jawaban. Ketika tidak ada respon, dia meletakkan surat-surat itu dan berjalan ke ruang tamu. "Ayah?"
Heru membuka matanya dan menoleh ke arah putrinya. "Maaf, Sayang, kamu tadi bilang apa?"
"Ayah, kalau lelah, tidurlah di tempat tidur," katanya sambil membungkuk untuk memungut beberapa pakaian dari lantai. "Tidur di kursi tua itu tidak baik untuk punggung Ayah."
"Biarkan pria tua ini istirahat, ya. Ayah sudah tidur siang di kursi ini sejak kamu berumur lima tahun," katanya sambil mendorong dirinya bangkit dari kursi.
Celia memutar mata. "Aku mau ke minimarket, Ayah ingin menitip sesuatu?"
Heru berpikir sejenak lalu mengangkat satu jari. "Kita butuh susu."
Celia menghela napas dan menggelengkan kepala. "Rion?" panggilnya sambil berjalan ke kamar mandi untuk memasukkan pakaian ke keranjang cucian. "Rion, mau ikut ke minimarket?"
"Aku datang, Mommy," suara langkah kaki kecil terdengar berlari di lorong. "Boleh aku beli sereal?" tanyanya sambil menatapnya dengan mata biru polosnya.
"Boleh, dan kita juga bisa mampir membeli es krim dalam perjalanan, bagaimana menurutmu?"
"Luar biasa!" serunya sambil melompat-lompat, rambut cokelat kusamnya bergoyang saat dia berpura-pura memainkan gitar udara.
Celia memperhatikan putranya yang sedang membuat suara untuk alat musik imajinernya. Enam tahun yang lalu, dia yakin dunianya sudah berakhir. Namun, ketika melihat ke belakang, dia menyadari bahwa dunianya baru saja dimulai. Dengan bantuan ayahnya, dia berhasil masuk ke perguruan tinggi dikotanya dan meraih gelar bisnis. Sekarang, dia sedang dalam proses mengambil alih toko perangkat keras milik ayahnya, sambil bekerja paruh waktu di bengkel mobil di kota untuk memperbaiki mobil. Celia tersenyum kecil.
"Pergi pakai sepatumu, dan ganti baju dengan yang bersih," katanya saat putranya berlari ke kamar. Celia menoleh ke arah ayahnya, yang terlihat membungkuk sedikit, memegangi punggungnya sambil bergerak perlahan ke dapur.
Celia memandang kursi tua itu. Seiring bertambahnya usia, tubuh ayahnya tidak lagi mampu pulih seperti dulu. Celia tahu apa yang akan datang; dia sadar bahwa masa depannya akan penuh tantangan. Ayahnya menderita diabetes yang tidak sepenuhnya dirawat, tulang-tulangnya selalu terasa sakit, dan dia menolak untuk pergi ke dokter. Celia menyilangkan tangan dan mengenyahkan pikiran itu ke belakang pikirannya, lalu pergi untuk memeriksa putranya.
*****
Bel berbunyi di atas pintu saat Celia dan Rion memasuki toko es krim.
"Rion, mau es krim rasa apa?"
"Permen karet, permen karet, permen karet!" serunya sambil melompat-lompat. Celia tertawa sambil mengacak rambutnya dan mengeluarkan uang dari dompetnya.
"Lia, sudah dengar kabar?" Siska memberikan es krim kepada seorang pelanggan dan segera berjalan cepat ke arah Celia yang berdiri di dekat konter.
"Kabar apa?" tanya Celia sambil bersandar di konter. Rion menatap Siska dari balik konter, matanya kecil dan penuh rasa ingin tahu. Jemarinya naik ke atas konter, membuat Siska tersenyum. Dulu, ketika Rion berusia enam tahun, dia bahkan tidak bisa terlihat dari balik konter itu.
Siska menatap Rion. "Apa yang ingin kamu pesan siang ini, Arion?" tanyanya dengan senyum lebar sambil memandangnya dari balik konter.
"Aku mau satu scoop es krim rasa permen karet."
"Akan segera datang, Tuan Muda," jawab Siska sambil tersenyum kecil. Dia mengambil cone es krim lalu menoleh ke Celia.
"Dia akan datang ke Bandung."
Celia, yang sedang memeriksa rasa es krim, menoleh ke Siska.
"Siapa yang akan datang?"
Siska mengambil es krim dengan sendok dan meletakkannya di cone. "Tuan J.K.T Blaze lah siapa lagi," katanya sambil tersenyum dan memberikan cone itu kepada Rion.
"Belum paham juga?, Ethan Pratama" Ucapan terakhir Siska bagaikan petir di telinga Celia.
Celia terdiam, memperhatikan Rion yang memegang cone dengan kedua tangan dan menjilat es krimnya dengan semangat, dimulai dari bagian bawahnya.
"Kenapa dia datang?" tanya Celia, kembali melihat ke arah Siska.
"Dia cedera di pertandingan minggu lalu. Dokter bilang dia butuh waktu istirahat untuk penyembuhan, jadi tentu saja para reporter mengatakan dia akan pulang ke sini. Katanya dia rindu dengan kota lamanya." Siska memutar matanya. "Siapa sangka, padahal dia menganggap kota ini kuno."
"Itu omong kosong," kata Celia sambil memandang ke luar jendela. Detak jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat membuatnya jengkel, seolah ada harapan kecil yang bangkit. Sembilan tahun lalu, dia berdoa agar dia kembali, agar dia sadar dan memilih menghabiskan hidup bersamanya. Bahwa masa depannya melibatkan dirinya. Tapi Celia telah banyak berubah sejak saat itu—atau setidaknya, dia pikir begitu.
Sekarang, dia hanya ingin dibiarkan sendiri. Dia tidak berkencan, tidak berusaha mencari pasangan. Baginya, satu-satunya laki-laki yang perlu dia bahagiakan adalah putranya. Jadi, mengapa tiba-tiba ada percikan kegembiraan di hatinya membayangkan bertemu dengannya lagi setelah sekian lama?
"Aku juga berpikir begitu. Kupikir semua itu hanya omong kosong belaka, tapi lalu aku mendengar Eric sedang telponan dengan Kevin, yang mengatakan kalau dia akan mengunjungi orang tuanya dan rindu tempat ini. Jujur saja, aku tidak mengerti, mengingat dulu dia seperti tidak sabar untuk pergi dari sini," kata Siska sambil mengambil cone es krim lainnya.
"Kamu mau pesan apa siang ini?" lanjutnya.
"Apa kamu punya sesuatu yang bisa membuatku tidak terlihat?" Celia bertanya dengan malu. Rion memiliki mata abu-abu gelap khas Ethan, dia juga memiliki rambut cokelat yang sama dengan Ethan. Anak laki-lakinya, sekeras apa pun Celia mencoba untuk tidak memikirkan Ethan, tetap terlihat dan berjalan seperti Ethan Pratama. Celia menggigit bibirnya sambil melihat ke bawah ke arah Rion yang sudah empat kali menjilat es krimnya. Dia harus tenang, tidak ada yang akan mengetahuinya. Lagipula, apa mungkin dalam sembilan tahun ini Ethan bahkan masih mengingat namanya?
"Tenang saja, ini bukan masalah besar. Dia hampir tidak tahu ataupun memiliki niat khusus untuk mencarimu," kata Siska dengan santai sambil menyendok es krim vanila. "Kamu akan baik-baik saja. Kamu lihat saja nanti, rasanya seperti dia bahkan tidak pernah ada di sini."
Celia mengangguk, seolah setuju dengan Siska. "Kamu benar. Maksudku, dia pasti punya banyak hal untuk diurus. Dia mungkin bahkan tidak ingat aku... atau malam itu."
"Malam apa, Mommy?"
Celia menoleh ke Rion. "Bukan apa-apa, Sayang. Habiskan es krimmu, ya." Dia kembali memandang Siska. "Aku harus pergi ke Minimarket. Aku akan menelponmu nanti malam."
"Baiklah. Rion, jangan merepotkan Mommy, ya. Kamu dengar?"
"Ya, Bu Siska," jawab Rion sambil tersenyum, lalu mengikuti ibunya keluar dari toko.
Celia menjilat es krimnya sementara angin sepoi-sepoi lembut menyentuh kulitnya. Sambil menggenggam tangan Rion, dia mulai menyeberang jalan.
"Besok mau makan roti isi selai kacang dan jelly untuk makan siang?" tanyanya pada putranya.
"Iya, Mommy. Aliya kemarin makan itu, tapi mamanya memotong bagian cokelatnya," jawab Rion sambil menjilat es krimnya lagi.
"Tidak semua mama punya waktu untuk itu," kata Celia sambil mendorong pintu kaca dan membiarkan Rion masuk lebih dulu. Celia sendiri sudah cukup kewalahan mengurus toko milik ayahnya, pekerjaannya di bengkel, dan keluarganya. Dia menarik napas dalam-dalam—dan sekarang, semua urusan tentang Ethan ini menambah bebannya.
"Celia, kamu terlihat cantik," sapa Budi dengan senyum lebar sambil bersandar di konter. Budi adalah pria tua, teman ayahnya, dan pemilik minimarket ini selama dua puluh tiga tahun terakhir. Ayahnya sering bercerita bahwa Budi adalah salah satu alasan utama dia membuka toko perangkat keras di jalan ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan suasana ramah kota Bandung.
"Terima kasih, Pak Budi. Aku selalu bisa mengandalkanmu jika menyangkut pujian," jawab Celia sambil tersenyum kecil saat berjalan melewati konter depan menuju bagian belakang. "Aku sudah punya engsel pintu yang kamu pesan minggu lalu. Kalau kamu mampir ke toko nanti, aku pastikan barangnya siap."
"Kamu memang gadis yang baik, Nak," balas pria tua itu.
"Bagaimana kehidupanmu yang lajang akhir-akhir ini?" tanyanya sambil membalik halaman majalahnya. "Oh, dan tahu tidak, anak-anak Hera dan Toni akhirnya mengaku kalau mereka benar-benar pacaran."
"Itu sudah menjadi gosip di jalanan beberapa hari belakangan, Pak Budi. Kamu mulai ketinggalan zaman," kata Celia sambil tertawa. Budi memang suka gosip selebriti, dia membaca semua tabloid dan majalah yang ada di tokonya.
"benarkah, aku ketinggalan berita. Sekarang katanya benar-benar serius, bahkan ada rumor hamil segala," serunya sambil membalik halaman majalahnya lagi. "Kamu dengar soal pemain basket yang mau datang ke kota ini? Namanya Ethan, kalau tidak salah."
Celia memutar mata sambil membawa keranjang belanjaannya ke depan toko. "Aku dulu satu sekolah dengannya saat SMA," jawab Celia. "Dia menyebalkan," gumamnya pelan.
"Apa itu menyebalkan, Mom?" tanya Rion polos.
"Lupakan, dan jangan ulangi apa yang tadi Mommy katakan," katanya sambil mengambil selai jelly dari rak dalam perjalanannya ke depan.
"Katanya dia mengalami robekan tendon, mungkin tidak bisa main basket lagi untuk sementara waktu—atau bahkan selamanya," kata Budi, menarik keranjang lebih dekat saat Celia meletakkannya di konter.
"Dia benci kota ini, katanya terlalu kecil untuk semua mimpi besar yang dia punya," jawab Celia sambil merogoh dompetnya untuk mengeluarkan uang, sementara Budi mulai memindai barang-barang belanjaannya.
"Yah, aku juga ingat dulu ayahmu pernah mampir ke sini dan bercerita tentang seorang gadis kecil yang tidak ingin apa pun selain meninggalkan kota kecil yang sepi ini," kata Budi sambil tersenyum kecil.
"Waktu itu aku masih anak-anak," jawab Celia sambil memandangi Rion yang masih asyik menjilat es krimnya. Dia sendiri juga menjilat es krimnya. "Aku pikir aku ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang besar."
"Kamu memang ditakdirkan untuk melakukan sesuatu," kata Budi sambil tersenyum.
"Sesuatu yang lebih dari sekadar menjalankan toko perangkat keras dan bekerja di bengkel mobil Rudi. Aku hanya berpikir, pada titik ini, aku seharusnya melakukan sesuatu yang lebih besar dengan hidupku."
"Tapi kamu sudah melakukannya. Putramu tidak akan tumbuh sehat seperti sekarang jika bukan karena kamu yang merawatnya dengan penuh kasih sayang," katanya sambil melirik Rion, yang terlalu sibuk dengan es krimnya untuk peduli. "Kamu ditakdirkan untuk hal hebat, memastikan putramu mendapatkan segala yang dia butuhkan."
Celia menghela napas. "Terima kasih, Pak Budi." Dia memandang Budi, melihat kebaikan dalam matanya, dan tersenyum. "Kamu memang pandai memuji."
"Begitulah apa kata orang," jawab Budi sambil terkekeh.
Celia meletakkan tangannya di bahu Rion. "Kami harus pergi. Shift kerjaku akan dimulai satu jam lagi," katanya sambil menarik Rion lebih dekat. "Nanti aku akan mampir ke toko saat istirahat dan memasang engsel itu sendiri," katanya sambil melirik Budi.
"Baiklah, aku akan menunggumu," jawab Budi dengan anggukan.
Ethan memandangi gedung-gedung yang berlalu di jendela mobilnya.
"Aroma ini mengingatkan kita pada masa lalu," katanya sambil menutup jendela dengan sentuhan tombol. Hal yang tidak ia rindukan dari rumahnya adalah aroma dan perasaan sempit di kota kecil ini.
Mobilnya lebih kecil daripada yang biasa ia naiki di Jakarta, dia memakluminya karena ini kota kecil. Dia menatap kakinya yang dibalut gips, tergeletak di sana seolah mengejeknya. Di Jakarta, orang-orang selalu sibuk, pesta-pesta selalu berlangsung, seperti hidup di jalur cepat. Ethan kembali melihat keluar jendela, hanya ada beberapa anak bermain kejar-kejaran di halaman, itu saja.
"Ayolah, pasti ada sesuatu di kota ini yang bisa membuatmu tertarik," kata Dewi sambil menyilangkan kakinya, mengulas jadwal Ethan sekali lagi.
Ethan berpikir sejenak, tapi tidak menemukan jawaban. "Tidak ada. Percaya atau tidak, aku benar-benar tidak peduli."
"Aku rasa justru kamu terlalu peduli," kata Dewi sambil melihat ipadnya sekali lagi.
"Apa jadwal pertamaku?" tanya Ethan sambil melihat-lihat keluar, mencari tanda-tanda kehidupan.
"Pertama, makan siang di rumah orang tuamu, lalu ke SMA Harapan untuk mengunjungi tim basket," kata Dewi sambil tetap melihat ipadnya.
"Aku akan dapat banyak waktu istirahat," kata Ethan, melirik Dewi.
"Yah, sisi baiknya, kamu selesai jam tujuh. Besok, walikota ingin menyambutmu dengan memberikan penghargaan, acaranya jam sebelas," kata Dewi sambil mengklik ipadnya, lalu menatap Ethan dengan senyum.
"Lalu, aku sudah jadwalkan waktu untukmu menjadi sukarelawan di rumah sakit pada jam satu siang. Percayalah, itu akan membuatmu terlihat baik, terutama dengan buku Dina yang akan terbit."
Ethan menghela napas panjang. "Kamu tahu setengah dari omong kosong itu bohong, kan?"
"Bro, kita berdua tahu itu, tapi orang-orang di luar sana akan langsung mempercayainya tanpa berpikir dua kali, terutama karena kamu tidak memberikan sanggahan atau menggugat apa pun," kata Dewi sambil membungkuk ke depan. "Singkatnya, kamu terlihat seperti pria murahan yang tidak bisa melakukan apa-apa selain memantulkan bola basket dan tidur dengan wanita."
Ethan mengepalkan bibirnya sejenak sebelum menghela napas lagi.
"Dulu Dina menikmati bagian tidurnya," kata Ethan, bersandar di kursinya. Dulu Ethan menikmati hidupnya, tapi sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Jika pergelangan kakinya tidak sembuh, dia tidak bisa bermain basket lagi. Haruskah dia kuliah? Mencoba gelar di bisnis atau hukum? Ethan menggelengkan kepalanya. Dia bukan orang yang suka belajar, tidak suka ruang kelas, dan gagasan duduk di ruangan penuh remaja sambil tetap menjadi yang paling bodoh di sana tidak menarik baginya.
"Itu sebelum dia mendapat kontrak film dan buku," kata Dewi sambil bersandar kembali. "Maksudku, kamu bahkan tidak berjuang untuk melawan perceraian, dan sekarang kamu tidak melakukan apa pun untuk menghentikan buku ini terbit. Ethan, aku mengenalmu. Kamu tidak suka selingkuh, kamu bukan orang yang pemarah, dan meskipun rasa percaya dirimu kadang terdengar menyebalkan, tapi kamu adalah orang yang diajak bekerja sama."
"Terima kasih, senang rasanya mendengarmu memuji diriku," jawab Ethan dengan nada sarkastik. Tapi dia memang pernah berselingkuh, meskipun tidak sebanyak yang Dina klaim. Dia melakukannya dua kali. Yang terakhir tidak berarti apa-apa, tapi yang sebelumnya... Ethan tersenyum kecil. Ada seorang gadis yang sudah tidak dia temui selama sembilan tahun, tapi dia masih mengingatnya seperti kemarin.
"Aku managermu. Kalau aku tidak jujur padamu, siapa lagi yang akan melakukannya?" kata Dewi dengan senyum tipis.
Ethan menggelengkan kepala. "Hidupku hancur berantakan. Kalau aku tidak bisa bermain basket lagi, apa yang harus kulakukan?"
Ekspresi Dewi melunak. Dia membungkuk sedikit, meraih lutut Ethan, dan meletakkan tangannya di sana. "Kita akan melewati ini bersama."
"Aku tidak melihat caranya. Rasanya seperti aku kembali ke titik awal hidupku," kata Ethan sambil menyilangkan tangannya.
"Tapi sekarang kamu lebih kaya dan punya sembilan tahun pengalaman," jawab Dewi, bersandar kembali di kursinya. "Kita fokus saja untuk melewati hari ini dan besok. Setelah itu, kamu bisa istirahat dan mengunci diri di kamar. Kevin baru sampai besok sore, dan setelah itu aku akan liburan. Lagipula, tidak banyak hal yang bisa membuat masalah di kota ini," tambahnya sambil terdiam sejenak. "Kevin bilang sesi terapimu akan intens."
"Dia spesialisnya. Aku percaya dia bisa membuatku kembali ke permainan," kata Ethan sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
"Dia pasti bisa. Kevin yang terbaik, kamu tahu itu," ujar Dewi dengan senyum kecil. "Kamu yang membiayai dia, kan."
"Lebih tepatnya aku yang membayar hutang kuliahnya," Ethan terkekeh. "Aku bersyukur dia menjadi terapis pribadiku."
"Dan aku managermu, aku suka saat kamu membayar gajiku," kata Dewi dengan senyum kecil.
"Aku hampir menyesal memperkenalkan kalian berdua," kata Ethan, kembali melihat keluar jendela. "Apakah Kevin mengatakan sesuatu tentang dimana kalian akan menginap?"
"Tidak, aku pikir kami akan tinggal di rumah orang tuanya dulu, setelah itu mungkin di hotel. Aku tidak tahu pasti."
"Yah, tidak banyak hotel di sini. Kota ini kecil. Semacam kota yang hanya punya satu kedai kopi," kata Ethan sambil melihat keluar jendela lagi, mulai melihat orang-orang menjalani kehidupan mereka.
“Terlihat manis,” katanya sambil memandang keluar jendela. “Kamu tahu, aku tumbuh besar di Jakarta, dan selalu berpikir tempat seperti ini hanya ada di film.”
“Tidak, mereka benar-benar ada,” jawab Ethan sambil bersandar di kursi dan menatap ke atap mobil. Dia menutup matanya, membiarkan ingatan muncul di benaknya. Rasanya seperti baru kemarin, dia duduk di ruang tamu orang tuanya, buku-buku berserakan di meja kopi, dan aroma parfum milik gadis itu menggoda hidungnya.
“Mengapa mereka menyebutnya zaman keemasan?” tanya Ethan, menatapnya dari balik buku yang ada di pangkuannya. Dia memperhatikan bagaimana gadis itu berpikir sejenak, lalu dengan ekspresi bingung, dia melihatnya melepas kalungnya.
"Itu disebut Zaman Keemasan karena semuanya seperti dilapisi emas, seperti kalung ini," katanya sambil mengangkat kalungnya.
"Di bawah lapisan emas itu mungkin ada baja, perak, atau tembaga, tetapi dilapisi emas supaya terlihat lebih baik. Begitulah arti 'gilded'—sesuatu yang mungkin mengerikan atau jelek tapi ditutupi dengan lapisan emas yang berkilau untuk membuatnya terlihat lebih baik." Dia meletakkan kalung itu di tangan Ethan agar dia bisa merasakannya.
"Jadi, biar aku pahami. Orang-orang di dalamnya sedang mengalami masa-masa sulit, bahkan mungkin ada yang terbunuh, tapi daripada menunjukkan bagaimana perasaan mereka, mereka berpura-pura semuanya baik-baik saja?" tanya Ethan.
“Lebih dari sekadar baik-baik saja. Mereka membuatnya seolah-olah semuanya sempurna, padahal sebenarnya tidak,” jawabnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil kembali kalungnya.
“Aku yang akan melakukannya,” kata Ethan sambil menarik tangannya menjauh dari genggamannya. Dia sudah lama menunggu momen untuk menyentuhnya lebih dari sekadar bahu yang bersentuhan saat belajar.
Dia berbalik dan memindahkan kuncir kudanya ke samping. Ethan mendekat, memegang kalung itu dengan kedua tangannya dan menyatukan ujungnya di belakang lehernya. "Ini kalung yang cantik," katanya pelan.
“Terima kasih, ibuku yang memberikannya sebelum dia meninggal,” jawabnya dengan suara rendah.
“Aku turut berduka atas ibumu,” kata Ethan lembut. Setelah kalung itu terkunci, dia membiarkan punggung jarinya menyentuh lehernya dengan perlahan. Kulitnya terasa lembut dan hangat.
"Terima kasih," ucapnya sambil membiarkan rambutnya terurai kembali dan berbalik menghadap Ethan. Namun, Ethan tidak menjauh. Bahkan, dia tidak ingin pergi. Mata hitam gadis itu tampak sedikit terkejut karena kedekatannya. Bibirnya berwarna merah muda lembut, mengilap dengan sesuatu yang tampak seperti lip gloss. Ethan penasaran, lip gloss apa yang dia pakai? Strawberry? Cherry? Semangka? Atau mungkin dia tidak memakai lip gloss sama sekali?
"Ethan?" suaranya pelan saat dia menatap bibirnya.
"Celia?" bisik Ethan, keduanya tetap membeku di sofa, hanya beberapa inci terpisah.
"Aku pikir aku harus pergi," katanya, sedikit menjauh.
Ethan mendekat, dia memberikan ciuman sederhana dibibir bawah Celia. Gadis itu tersentak ketika bibir Ethan menyentuh bibirnya, tetapi setelah beberapa detik, tubuhnya tampak rileks. Ciuman itu bertahan selama lima detik sebelum Ethan menarik diri. Celia mengangkat jemarinya ke bibirnya, ke tempat di mana dia merasakan ciuman itu. Ethan tersenyum kecil sambil menjilat bibirnya, mencicipi rasa anggur dari lip gloss-nya.
"Itu tadi," kata Celia dengan suara pelan, tangannya perlahan turun. Dia terdiam sejenak. "Luar biasa."
"Iya," jawab Ethan, mencoba menyembunyikan rasa bahagianya yang meluap-luap di dalam.
"Tapi aku masih harus segera pergi," katanya, mulai mengumpulkan barang-barangnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!