“Aim, kamu yang sabar ya, Nak. Umi tahu ini berat buat kamu,” ucap Sarah lembut sambil mengusap pundak putrinya, Naima. Sentuhannya penuh ketulusan, seolah mencoba menyalurkan kekuatan yang tak terlihat kepada gadis semata wayangnya.
Naima hanya menatap ujung kakinya yang menjuntai, tatapannya kosong, samar, dan tak fokus. “Iya,” jawabnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti angin yang hampir hilang—singkat dan samar, seperti isi hatinya saat ini.
Di sisi lain, Abraham—Abi Naima—meraih tangan putrinya. Genggamannya hangat, penuh rasa perlindungan. “Yuda bukan sosok yang Allah pilih untukmu, Aim. Karena itu Allah palingkan wajahnya darimu,” ucapnya mantap. Kata-katanya dimaksudkan untuk menanamkan keyakinan dalam hati putrinya.
Namun, kata-kata itu hanya mengisi udara, tidak menembus hati Naima. Ia merasa kosong, seperti berada di ruang hampa. Tidak ada yang bisa ia tanggapi, tidak ada yang bisa ia pahami. Ia hanya duduk di sana, membiarkan keheningan menelan sisa percakapan mereka.
Matanya tetap terpaku pada lantai. Ia ingin menangis, tetapi bahkan air matanya pun enggan keluar. Apa ini yang disebut ikhlas? pikirnya dalam hati. Atau hanya ketidakmampuan untuk merasa lagi?
Sarah melirik suaminya, memohon bantuan dengan tatapannya. Tapi Abraham hanya menggeleng pelan, memberikan isyarat bahwa putrinya membutuhkan waktu.
“Kamu nggak sendiri, Aim. Umi dan Abi di sini. Apa pun yang kamu rasakan, katakan saja. Kami dengar,” Sarah akhirnya berkata, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Naima sedikit menoleh, menatap wajah kedua orang tuanya. Ada cinta yang besar di sana, cinta yang tak diragukan, tetapi hatinya masih terlalu rapuh untuk menjangkaunya.
“Terima kasih, Umi, Abi,” katanya akhirnya. Suaranya serak, tetapi cukup untuk menyampaikan bahwa ia sedang mencoba—meskipun perlahan—untuk kembali berdiri dari rasa patah itu.
“Aku ingin sendiri dulu, maaf,” kata Naima akhirnya, suaranya hampir berbisik. Ia tidak berani menatap langsung wajah umi dan abinya.
Sarah menghela napas panjang. Tangannya terhenti di pundak putrinya, lalu perlahan turun. “Kalau kamu ada masalah, bilang sama umi, Nak. Jangan dipendam sendiri.” Suaranya penuh kekhawatiran, tetapi ia berusaha untuk tidak memaksa.
Naima hanya mengangguk kecil, masih memandang ke arah lantai. Hatinya terasa seperti medan perang; ada keinginan untuk bersandar, tetapi ada juga dorongan kuat untuk menarik diri.
Abraham memandangi putrinya dengan tatapan lembut. “Baiklah, seperti yang kamu mau, Aim. Maaf kalau kami tidak bisa membantu lebih banyak,” ucapnya dengan nada pasrah. Ia tahu, terkadang cinta berarti memberi ruang, meskipun sulit.
Keduanya berdiri perlahan, memberi Naima waktu yang ia minta. Sarah menyeka sudut matanya yang mulai basah, sementara Abraham menggenggam bahu istrinya dengan lembut, menuntunnya keluar dari kamar.
Saat pintu tertutup, Naima mendesah panjang. Udara di sekelilingnya terasa lebih sepi, lebih dingin. Tapi itulah yang ia pikir ia butuhkan saat ini—kesendirian untuk mengurai apa yang berantakan di hatinya.
Namun, dalam hening, pikirannya mulai mengusik. Apa benar aku hanya butuh sendiri? Atau sebenarnya aku hanya takut terlihat lemah di depan mereka?
Naima tahu dirinya berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Mereka tampak lebih dekat dengan orang tua mereka, seperti ada jembatan yang menghubungkan mereka—jembatan yang ia tidak pernah miliki. Rasanya orang tuanya selalu berada jauh darinya, tak terjangkau. Tidak pernah benar-benar ada percakapan yang saling menyuarakan isi hati.
Sering kali, mereka justru menekan, seolah ia harus memenuhi ekspektasi tanpa pernah ditanya apa yang sebenarnya ia inginkan. Ketidakadilan itu tumbuh menjadi dinding tebal yang memisahkan dirinya dari mereka. Dinding yang juga membuatnya enggan untuk bercerita, enggan membuka hatinya.
Ketimpangan itu tidak berhenti di keluarga. Ia membayang-bayangi langkah Naima, membuatnya ragu menjalin hubungan dengan orang lain. Jika dengan keluarganya sendiri ia tidak bisa menjadi dirinya, bagaimana ia bisa percaya kepada orang luar?
Kemudian datanglah Yuda. Lelaki itu, dengan percaya diri, berkata bahwa dia ingin melamarnya. Di awal, Naima ragu. Ia takut membuka pintu hatinya. Tetapi entah bagaimana, ia memilih memberinya kesempatan. Ia menarik lelaki itu masuk ke dalam hidupnya, berpikir bahwa mungkin inilah saatnya ia membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda.
Namun, janji pernikahan yang sudah direncanakan itu runtuh. Dalam beberapa bulan, Naima seharusnya mengenakan gaun pengantin. Tapi semuanya berubah. Janji-janji yang Yuda buat ditarik kembali.
Yuda pergi, meninggalkannya dengan alasan bahwa ia adalah masalahnya. Naima yang awalnya ragu, kini kembali mempertanyakan dirinya. Apakah benar aku yang salah? Atau hanya luka lama yang membuatku kehilangan lagi?
Rasa hampa menyelimuti Naima. Ia mencoba mencari alasan di balik semua itu, tetapi jawabannya selalu berada di luar jangkauannya.
Di tengah kekacauan itu, ia bergumam lirih, “Hei, sudah aku bilang, bukan? Ini menyebalkan.”
Tapi tiba-tiba, tanpa peringatan, air matanya mulai mengalir. Setetes demi setetes, jatuh tanpa bisa ia tahan. Ada sesuatu yang terasa patah di dalam dirinya, meski ia tidak tahu apa.
Kenapa aku harus sedih? pikirnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. Tidak ada alasan yang jelas, tidak ada yang benar-benar menyakitinya saat ini, tetapi perasaan itu tetap ada—menekan dada, menyelimuti pikirannya.
Naima mengepalkan tangannya, mencoba menahan tangis yang semakin deras. “Akh, menyebalkan!” desisnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia membenci kelemahan ini, membenci bagaimana perasaannya bisa begitu kuat, meskipun ia sudah mencoba mengabaikannya. Tetapi semakin ia melawan, semakin deras air matanya, seolah mengkhianati usahanya untuk tetap terlihat kuat.
Naima ingin berhenti, ingin memadamkan semua itu. Tetapi di dalam hatinya, ia juga tahu mungkin inilah caranya memahami apa yang selama ini tak pernah bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Pagi yang dingin menyelimuti puncak Gunung Dieng. Kabut tebal menari pelan di antara rerumputan basah, sementara uap dingin mengepul dari mulut para pendaki. Temperatur yang menusuk tulang membuat tubuh mereka menggigil meski sudah berlapis mantel tebal. Namun, tidak ada waktu untuk mengeluh atau sakit. Mereka datang ke sini untuk bersenang-senang, melarikan diri sejenak dari rutinitas yang menyesakkan, dari tumpukan pekerjaan yang selalu menunggu di meja kantor.
Di ufuk timur, matahari mulai merangkak naik perlahan. Cahayanya menghangatkan kaki langit yang tadinya kelabu, membingkai siluet jingga yang memukau. Langit seolah menjadi kanvas yang dilukis dengan warna-warna hangat, memberikan rasa damai dan tentram di hati siapa saja yang memandang. Semua mata terpaku pada pemandangan itu, terpesona oleh keindahan yang sulit diungkapkan kata-kata.
Namun, di tengah keheningan yang menyelimuti momen itu, suara seorang pendaki memecah suasana.
“Hei, Naima, bagaimana dengan lamarannya? Kamu menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Naima menoleh pelan, menatap wajah orang yang baru saja bertanya. “Em, entahlah,” jawabnya dengan nada datar. “Aku minta dia menunggu. Dia setuju.”
“Eh, jangan dibuat menunggu lama-lama. Nanti keburu diambil orang loh,” balasnya, kali ini dengan nada sedikit menggoda.
Naima tersenyum tipis, lebih seperti senyuman lelah daripada senang. “Kalau diambil orang, berarti dia bukan jodoh aku, kan?” balasnya tenang, tanpa emosi.
“Kamu ini, kalau dibilangin bebal ya. Terserah deh,” sahutnya lagi, kali ini sambil mengangkat bahu, menyerah pada logika Naima yang sulit dipahami.
Naima hanya memalingkan pandangan kembali ke arah matahari yang terus merangkak naik. Keindahan itu tidak mampu menenangkan pikirannya yang terusik oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Kenapa semua orang begitu peduli dengan kisah cinta orang lain? pikir Naima. Sebegitu menariknya kah urusan ini?
Pikirannya melayang, mencari jawaban. Mungkin mereka hanya penasaran. Sekadar ingin tahu, seperti anak kecil yang gemar membuka hadiah hanya untuk melihat isinya. Setelah rasa penasaran itu habis, mereka berhenti peduli.
Wajah Yuda melintas di benaknya. Atau mungkin dia sama seperti mereka, hanya tergerak oleh rasa penasaran? Setelah semua yang dia ingin tahu sudah terjawab, dia akan berhenti, mencari hal lain yang lebih menarik.
Naima menarik napas panjang, udara dingin masuk ke paru-parunya, memberikan sensasi perih yang aneh. Namun, ia tetap membiarkan pikirannya berputar. Mungkin itulah kenapa aku biarkan rasa penasarannya habis. Karena setelah itu, dia akan pergi juga, entah dengan atau tanpa permisi, seperti lebah yang meninggalkan bunga setelah nektarnya habis.
Dia menutup matanya sejenak, mencoba membiarkan pikirannya kosong. Tapi, bayangan itu tetap tinggal, menggantung di sudut pikirannya yang paling dalam, seperti awan kelabu yang enggan pergi.
Saat matahari perlahan naik, Naima masih terpaku menikmati sunrise di puncak Dieng. Jingga hangat yang menghiasi langit membuatnya sejenak lupa pada segala keruwetan pikirannya. Namun, suasana itu terusik ketika seorang gadis menyenggol lengannya pelan.
“Eh, kita disuruh ke tenda, nih,” bisik gadis itu dengan nada mendesak.
“Buat apa?” Naima menoleh setengah malas.
“Persiapan buat surprise-nya Malik,” jawabnya, kali ini lebih pelan sambil melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.
“Sekarang? Banget nih?” Naima mengerutkan alis, merasa enggan meninggalkan pemandangan indah di depannya.
“Iya, yuklah. Bantu-bantu yang lain,” desak gadis itu, yang ternyata bernama Susi. Tanpa basa-basi, Susi menarik lengan Naima, memaksanya beranjak dari tempatnya duduk. Naima hanya menghela napas panjang, tidak punya pilihan selain mengikuti.
Mereka berdua tiba di tenda utama yang terletak tak jauh dari area kemah. Di dalam tenda, suasana sudah ramai. Beberapa orang sibuk meniup balon berbentuk huruf, menyusun untaian kata "HAPPY BIRTHDAY" di bagian tengah. Yang lain sibuk menata kue kecil.
“Weh, satu orang pegang satu balon, biar nggak kabur!” seru salah satu dari mereka yang terlihat seperti pengatur acara dadakan.
“Eh, kabarin yang di depan dong, bentar lagi kita keluar,” teriak seseorang dari sudut tenda, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian.
“Woke, siap!” sahut seorang pria sambil berlari keluar tenda. Namun, langkahnya terhenti ketika temannya menarik kerah bajunya.
“Di WA aja, dodol! Lu mau rencana kita gagal?” hardik temannya dengan nada kesal.
“Lah, iya, lupa,” jawab pria itu dengan cengiran konyol, kemudian kembali ke dalam tenda sambil mengeluarkan ponselnya.
“Kebanyakan makan gorengan sih, lu,” gumam temannya, geleng-geleng kepala sebelum kembali sibuk dengan balon.
Sementara itu, Naima berada di pojok tenda, sibuk mengisi balon dengan udara. Tangan kurusnya juga cekatan memasukkan potongan kertas sparkling ke dalam balon-balon itu agar saat meletus nanti, suasana terlihat lebih meriah.
Naima melirik ke arah Susi yang sibuk menata balon-balon di meja. Gadis itu terlihat penuh semangat, seperti ini adalah hal paling penting di dunia saat ini. Naima menghela napas. Di satu sisi, ia tidak ingin merusak momen ini untuk yang lain. Tapi di sisi lain, pikirannya terusik oleh betapa sia-sianya semua ini, terutama jika tidak ada yang peduli dengan dampaknya.
Dengan perasaan bercampur aduk, Naima tetap melanjutkan tugasnya. Meski pikirannya dipenuhi kritik dan keraguan, ia tahu, kadang ikut serta lebih mudah daripada melawan arus.
"Woi, apa maksud lo, hah?!" teriak seseorang dari luar tenda, suaranya menggema tajam di udara pagi yang dingin. Semua orang yang berada di dalam tenda terdiam sejenak, terkesiap mendengar suara itu.
Tidak sulit menebak siapa pemilik suara tersebut. Itu adalah Malik, si lelaki yang sedang berulang tahun. Nada marah dalam suaranya cukup membuat suasana berubah tegang.
"Gw nggak tau ya, ternyata lo pengecut! Kalau lo suka sama cewek gue, bilang langsung! Jangan nikung dari belakang!" teriak lawannya, Rizal, dengan nada penuh emosi.
Keduanya terdengar seperti akan meledak kapan saja, mengundang perhatian seluruh pendaki yang ada di sekitar area kemah. Namun, semua orang di dalam tenda tahu bahwa ini hanyalah bagian dari skenario. Sebuah rencana yang telah disusun matang-matang oleh teman-teman Malik untuk membuat momen kejutan ulang tahunnya semakin seru.
Keributan ini dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian Malik. Beberapa pria segera keluar dari tenda, berpura-pura melerai pertikaian yang tampak memanas. Mereka melangkah dengan wajah serius, meski di dalam hati mereka sebenarnya ingin tertawa melihat ekspresi kebingungan Malik.
"Sudah, bro! Jangan di sini, malu dilihat orang lain!" seru salah satu dari mereka, berusaha memisahkan Malik dan Rizal yang pura-pura hendak saling serang. Malik hanya menatap Rizal dengan tatapan bingung dan geram, tidak menyadari bahwa ini semua hanyalah sandiwara.
Sementara itu, di dalam tenda, para perempuan sibuk dengan bagian mereka. Mereka bergegas menyiapkan kue ulang tahun dan balon yang telah didekorasi sedemikian rupa. Kegugupan terlihat di wajah mereka, takut rencana ini akan terbongkar sebelum waktunya.
"Siap, bawa kuenya sekarang," bisik salah satu gadis sambil memberi aba-aba pada yang lain.
Begitu keributan di luar mencapai puncaknya, dengan Malik yang sudah benar-benar kebingungan, para perempuan muncul dari tenda. Mereka berjalan perlahan, membawa kue ulang tahun yang menyala dengan lilin, serta balon-balon yang dihiasi kertas sparkling. Wajah mereka berseri-seri, siap memberikan kejutan yang telah direncanakan.
Ketika Malik akhirnya menyadari kehadiran mereka, semua orang yang ada di sekitar tenda, baik yang di dalam maupun di luar, serempak berteriak, "Happy birthday, Malik!"
Ekspresi bingung di wajah Malik berubah menjadi campuran antara lega dan tak percaya. Dia tertawa kecil, menyadari bahwa semua keributan tadi hanyalah bagian dari rencana mereka. Rizal, yang sebelumnya berteriak marah, kini tertawa paling keras, menepuk-nepuk bahu Malik dengan penuh kepuasan.
"Surprise, bro!" katanya sambil mengedipkan mata. "Gimana? Gue aktor yang hebat, kan?"
Malik hanya menggeleng-gelengkan kepala, tertawa kecil sambil mengusap wajahnya. "Gila, kalian benar-benar bikin gue panik setengah mati!" katanya, tetapi senyum di wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat menghargai usaha teman-temannya.
Keramaian berubah menjadi sorakan gembira, dengan semua orang menyanyikan lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan. Meski pagi di Dieng terasa dingin, suasana di sekitar tenda kini dipenuhi kehangatan dari kebersamaan mereka.
Naima berdiri di barisan belakang kerumunan, matanya hanya mengikuti kejadian itu tanpa benar-benar terlibat. Pertikaian antara Malik dan Rizal menakutkannya. Itu bukan sekadar pertengkaran biasa, tetapi kekerasan yang ia lihat dengan jelas. Malik dan Rizal, dua orang yang ia kenal, kini berdiri dalam keadaan terluka. Luka memar di wajah Malik yang sudah membiru, darah yang menetes dari sudut bibirnya, dan ekspresi Rizal yang masih tampak marah dan kesal—semua itu membuat hati Naima terasa berat.
Tatapan mata Naima tak sengaja bertemu dengan mata Malik. Lelaki itu tersenyum, sebuah senyuman yang tampaknya berusaha menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun bagi Naima, senyum itu terasa hampa. Hatinya tidak bisa terhubung dengan senyum itu. Tanpa berkata apa-apa, Naima memalingkan pandangannya dan menundukkan kepala, merasa semakin kecil di tengah keramaian ini.
Ia berdiri di barisan paling belakang, berusaha menyembunyikan dirinya dari perhatian. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, tidak ingin terlihat. Biarlah semuanya berjalan sesuai rencana mereka, biarlah mereka merayakan kejutan ini—sementara Naima hanya menjadi penonton dalam perayaan yang tidak bisa ia nikmati.
Di dalam dirinya, ada perasaan hampa yang tak kunjung hilang, seolah ia sedang berada di tempat yang salah, dengan perasaan yang salah. Naima lebih memilih diam, tetap berada di sudut yang paling jauh, berharap agar dunia di sekitarnya bisa sedikit melambat, memberi ruang bagi dirinya untuk menarik napas dengan lebih tenang.
Matahari telah meninggi, menggantikan siluet jingga dengan langit biru cerah yang menghampar luas, sementara awan putih berarak perlahan. Suasana yang semula tenang kini dipenuhi tawa dan canda, dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Seseorang membawa meja kecil untuk meletakkan kue ulang tahun yang sudah siap dibagikan.
"Potong kuenya dong, Malik," seru seseorang, menyela obrolan santai mereka.
"Iya nih, laper," balas yang lain, dengan semangat menunggu.
"Potongan pertama buat siapa nih?" tanya beberapa gadis, penasaran.
"Untuk bang Rizal," jawab Malik sambil tersenyum dan sedikit mengelus pipinya yang masih terasa sakit. "Ah, sakit banget pipi gw. Gw yakin sih bang Rizal mukul beneran, haha."
"Ya penonton kecewa," ucap seorang laki-laki, menanggapi dengan canda.
Malik, dengan karisma dan sikap ramahnya, selalu berhasil menarik perhatian. Wajahnya yang tegas namun tidak menutup kemungkinan untuk bersikap hangat membuatnya semakin mudah didekati. Tak heran kalau ulang tahunnya kali ini menjadi sorotan banyak orang.
"Sorry, gw kebawa peran," ucap Rizal, diselingi senyum ceria saat menerima potongan kue dari Malik.
"Lo mau potong sendiri aja ya," ujar Malik sambil mundur sedikit untuk memberi ruang.
"Oke, siap Malik," jawab Rizal dengan kompak, sambil mengambil giliran untuk memotong kue.
"Woy, yang mau merapat!" seru seseorang, menggugah perhatian orang lain yang masih berada di luar kerumunan.
"Aim, sini loe, jangan ngumpet mulu," ujar Rizal, melihat Naima yang berdiri jauh dari kerumunan.
"Wih, pohara!" Naima membalas dengan tawa jail sambil mendekat, akhirnya bergabung dengan yang lain dan mengantri kue ulang tahun.
"Kebiasaan ngumpet sih lo," ujar Rizal, mendekatkan potongan kue padanya. "Nih, ambil."
"Banyak banget," kata Naima, terkejut dengan banyaknya potongan yang diberikan Rizal.
"Ya biar puas," balas Rizal sambil tersenyum, kembali menuju kerumunan yang masih mengantri.
"Si belum dapet? Gw dapet banyak nih, haha, mau barengan," tawar Susi, sambil menyodorkan potongan kue pada Naima.
"Mantap," Naima menanggapinya sambil tertawa, merasa sedikit lebih ringan meskipun perasaan dalam dirinya masih membayangi.
Keramaian itu terus berlanjut, tawa dan canda memenuhi tenda. Namun, Naima merasa seolah-olah ada dinding yang membatasi dirinya dengan kebahagiaan sekitarnya. Meskipun begitu, ia masih mencoba menikmati momen itu, meski hatinya tak sepenuhnya ikut bersukacita.
“Bang Rizal ga papa tuh?” tanya Susi, matanya menyelidik. Naima tampak agak terganggu melihat sikap Rizal yang tampaknya belum benar-benar mereda.
Naima mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Ga papa kali, laki-laki kan biasa berantem,” jawabnya sambil berusaha bersikap tenang, meskipun ada sedikit rasa cemas yang menggerayangi hatinya. Ia tidak suka terlibat dalam urusan seperti itu.
Susi mengangguk, tapi ada senyum kecil yang bermain di bibirnya. “Ah, Malik selain ganteng juga kayaknya jago berantem ya, Aim,” katanya dengan nada yang sulit dibaca, antara penasaran dan sedikit nakal.
Naima menggelengkan kepala dan membola, bingung harus merespons apa. "Ha, tiba-tiba banget," jawabnya dengan canggung. Ia merasa seperti terjebak dalam percakapan yang tidak biasa baginya. Membicarakan laki-laki tidak pernah mudah untuknya.
Susi tersenyum dengan mata berbinar, sedikit menjaili. “Menurut Lo Malik gimana?”
Naima mendelik sejenak. “Yaaa, ga gimana-gimana,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan, tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Baginya, membicarakan laki-laki selalu terasa aneh. “Kenapa, Lo suka ya?” ucap Naima, mencoba mengalihkan perhatian dengan sedikit bergurau.
Susi sedikit tertawa, namun matanya tajam, seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang ia coba gali. “Ya wajar kan kalo tertarik sama lawan jenis,” jawabnya santai, meskipun nada suaranya menunjukkan bahwa ia serius. “Tapi ya, sebenarnya gw penasaran aja sih pendapat Lo.”
Naima menatapnya, merasa terjebak dalam pertanyaan yang makin mengarah ke dirinya. "Penasaran banget?" tanyanya dengan nada tak acuh, meskipun hatinya mulai sedikit berdebar. Ada rasa gugup yang perlahan menggelayuti pikirannya.
“Iya,” Susi mengangguk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Soalnya Lo tuh," dia berhenti sejenak, berpikir keras. "Ya gimana ya. Duh susah deh ngegambarin Lo," tambahnya sambil tersenyum lugu.
Naima memutar mata, merasa semakin canggung. "Menurut Lo gimana tuh, si Malik?" tanyanya balik, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang mulai merayap.
Susi menyandarkan punggungnya ke pohon, menyilangkan tangan di dada, tampak serius meski ada senyum di ujung bibirnya. "Hem, menurut pandangan gw Malik itu humoris. Liat aja deh, baru beberapa bulan gabung sama kita, tapi yang lain udah antusias banget tuh sama dia. Selain itu dia juga tanggung. Lo inget kan waktu si Mikaya hampir jatuh? Dia loh yang nolongin. Terus dia cekatan, semua hal yang dia kerjain tuh beres."
Naima melirik Susi, matanya terfokus pada ekspresi serius teman di depannya. "Beh, segitunya Lo merhatiin," ujarnya, berusaha meredakan ketegangan dengan candaan, meskipun hatinya tak begitu yakin apa yang sebenarnya dirasakannya.
Susi terkekeh. "Target baru nih?" Naima nyengir nakal, memberi pertanyaan yang mungkin lebih untuk menutupi rasa canggungnya.
Susi tertawa ringan, menggelengkan kepala. "Ha-ha, gue sadar diri lah," jawabnya santai, meskipun ada kerlingan di matanya yang menunjukkan dia tidak sepenuhnya serius. "Lagian gw udah suka sama yang lain kok."
Naima terkejut, kue di depannya terasa semakin hambar. "Siapa tuh?" tanyanya penasaran, meskipun hatinya sedikit berdebar—sebuah perasaan aneh yang mulai muncul.
Susi memalingkan muka, seolah tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Ah, udah ah," ucapnya dengan canggung. "Kenapa jadi gw yang kena sih?" Susi bangkit dari tempat duduknya, dengan cepat mengambil wadah kue yang kosong untuk dibuang, berusaha mengalihkan perhatian Naima.
Naima melirik Susi yang tiba-tiba mengalihkan perhatian. “Tunggu, Lo nggak bisa kabur gitu aja,” Naima berkata dengan nada menggoda, meski hatinya masih terasa canggung. "Siapa tuh yang Lo suka?"
Susi hanya tertawa sambil melangkah pergi, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar candaan. “Nggak ada yang perlu Lo tahu, Aim. Lagi pula, Lo yang lebih misterius dari gue," jawab Susi sambil melambaikan tangan, menandakan percakapan ini selesai.
Naima terdiam, merasa sedikit tertinggal. Susi memang selalu bisa mengalihkan perhatian dengan mudah. Namun, hatinya kembali terarah pada Malik—perasaan yang bahkan ia sendiri tak tahu harus disebut apa.
Brugh.
Naima tersentak ke belakang, tubuhnya terhuyung beberapa langkah. "Eh, maaf," ucapnya refleks, tangannya buru-buru menepuk rok yang tak terlihat kotor, lebih karena gugup daripada alasan sebenarnya.
"Ow, it's okay. Kamu nggak papa?" Suara itu terdengar lembut namun tegas.
Naima mendongakkan kepala dengan cepat, hampir tanpa berpikir. Malik? Matanya membesar seketika. Tubuhnya terasa beku di tempat. Ia langsung memalingkan wajah, berharap Malik tidak menangkap ekspresinya yang mungkin tampak terlalu terkejut.
"Kamu nggak papa?" ulang Malik, kali ini suaranya terdengar lebih khawatir, seolah-olah Naima benar-benar jatuh.
Naima menegakkan diri, berusaha terlihat biasa saja meskipun jantungnya seperti genderang perang. "Iya, aku baik-baik aja," jawabnya terburu-buru. "Maaf."
Malik mengangkat alis, tersenyum kecil. "Kamu udah bilang itu sebelumnya, loh." Ada nada ringan dalam ucapannya, membuat Naima semakin salah tingkah.
Belum sempat ia merespons, suara lain memotong suasana.
"Malik!"
Naima refleks menoleh ke arah suara itu, dan menemukan Mikaya berdiri tak jauh, melambaikan tangan dengan semangat. Oh, Mikaya. Tentu saja. Naima menggigit bibirnya tanpa sadar, sesuatu yang tak ia kenali perlahan mencengkeram dadanya.
Malik menoleh ke sumber suara, namun hanya sebentar sebelum kembali menatap Naima. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi, seolah belum puas dengan jawaban sebelumnya.
Naima mengangkat bahu ringan, berusaha terlihat setenang mungkin. "Kamu dipanggil tuh," ucapnya, mengisyaratkan Mikaya dengan dagunya. "Aku duluan ya."
Sebelum Malik sempat menjawab, Naima sudah berbalik, melangkah cepat menjauh. Namun, ia tak bisa mengabaikan suara langkahnya yang terasa lebih berat dari biasanya.
Di belakangnya, suara Malik terdengar samar, "Oh, oke. Hati-hati ya."
Naima menahan napas, tidak berbalik, hanya terus melangkah. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, seperti sebuah percikan emosi yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia melangkah cepat berharap langkah cepatnya mampu mengusir perasaan aneh itu.
Siapa sangka dia akan bicara dengan Malik. Malik. Ah, bagi Naima, sosok itu hanya orang baru. Ya, baru—seperti kedatangannya dua bulan lalu tanpa permisi, mengetuk pintu rumahnya dan membawa angin perubahan yang tidak diinginkan. Naima tak pernah menanyakan bagaimana mereka bisa saling mengenal, siapa yang memperkenalkan mereka, atau mengapa kehadirannya terasa begitu mendesak. Semua terasa begitu tiba-tiba, sangat mendadak.
Jika boleh lari, ia ingin lari. Jauh. Sejauh mungkin, hingga nafasnya habis. Agar hatinya tidak lagi terluka. Tapi kenyataannya, dia tidak bisa. Ada Abi di sana, di depan matanya, ada keluarganya yang kini saling berbincang dengan keluarga Malik. Jika Naima melarikan diri, Abi akan malu. Semua orang akan tahu betapa besar jarak yang dia ciptakan, betapa menolaknya dia terhadap kehadiran orang-orang yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal.
Naima menghela napas panjang. Rasanya ada beban berat yang mengendap di dadanya. Perlahan, ia memberanikan diri duduk di antara orang tuanya, berhadapan langsung dengan Malik dan keluarganya.
Malik—lelaki itu, dengan senyum ramahnya yang selalu ia kenali. Tapi bagi Naima, senyum itu hanya terasa seperti ejekan. Seolah ia sedang dilihat dengan cara yang tidak seharusnya. Seolah ia hanya sebuah objek di hadapan Malik, tanpa memahami betapa setiap tatapan itu terasa seperti beban yang semakin menekan.
Abi menggenggam tangan Naima, memberinya sedikit kenyamanan. Sentuhan itu terasa seperti Dejavu yang luar biasa, membuatnya mengingat kembali saat-saat ketika ia merasa tak berdaya di masa lalu. Ada perasaan yang tak bisa ia hindari, sebuah ketakutan yang mulai menggelayuti dirinya.
Dia ingin melarikan diri. Melarikan diri jauh-jauh. Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh perasaan bersalah yang menguasai hatinya. Ia tak bisa. Di depannya, ada ayahnya, ada keluarganya, ada banyak mata yang memperhatikannya.
Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, menepis perasaan yang mendalam itu. Namun, semakin lama ia duduk di sana, semakin terasa seperti dinding yang menekan dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia hindari. Suasana ini begitu menyesakkan.
Di sisi lain, Malik telah kehilangan senyumnya. Sebuah teka-teki muncul di kepalanya. Raut wajahnya terlihat khawatir. Ketidaknyamanan Naima terpancar dari gelagatnya.
"Naima," suara Abi lembut, namun ada nada khawatir di sana.
Naima tersadar dari pikirannya. Dia menatap tangannya yang terjepit erat di antara tangan Abi. Senyum Abi yang hangat seolah memberikan sedikit ketenangan. Namun, hati Naima tetap bergemuruh.
"Mereka bertanya pendapatmu. Apa kamu menerima Malik?”
Naima menghela napas berat, dia hanya bisa menggeleng pelan. Logikanya masih bersarang di kepala. Tapi tertanam rasa ragu untuk bersuara. Mulutnya terkunci. Apapun yang dia utarakan pasti akan mendapatkan bantahan. Tolong hentikan sekarang juga.
“Kenapa?” tanya Malik, suaranya penuh kebingungan, matanya memandang Naima dengan tatapan yang tak bisa dipahami.
Naima hanya bisa menundukkan wajahnya, berusaha menahan gejolak yang datang begitu mendalam. Namun, seketika, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya, meluncur tanpa bisa ditahan.
“Eh—!” Naima terkejut dengan dirinya sendiri, matanya membulat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pikiran Naima kosong, hanya ada gejolak emosi yang berputar cepat, menghantam setiap sudut kepalanya. Air mata itu adalah wujud dari rasa cemas, marah, dan frustasi yang menguasai dirinya.
“Aim, kenapa?” Sarah, yang melihat Naima terisak, langsung mendekat, membungkuk sedikit untuk melihat lebih dekat. Sarah melirik ke arah suaminya, Abraham, seakan mencari petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. "Mas?"
Abraham, dengan tatapan serius, berdiri perlahan, matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan kekhawatiran. “Bawa Naima ke kamar, Sar,” ucapnya, suaranya tegas namun penuh perhatian.
Sarah segera menuntun Naima, yang hampir tak mampu berjalan dengan tenang. Langkahnya berat, tubuhnya terasa seperti kosong, di luar kendali. Mereka berdua meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Malik dan keluarga lainnya yang masih terdiam, bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Di tempat itu, hanya ada kesunyian. Raut wajah Malik terlihat bingung—ada kebingungannya yang mendalam, dan sedikit rasa khawatir. Tapi ia tetap diam, seakan menunggu penjelasan lebih lanjut.
Abraham menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan ketegangan yang tiba-tiba melanda ruangan itu. “Maafkan aku, sungguh,” ucap Abraham, tatapannya penuh penyesalan. “Maafkan aku, Malik. Sepertinya Naima masih terguncang dengan kegagalan pernikahannya.” ucap Abraham. Raut wajahnya mendung seperti keadaan langit saat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!