Di tahun yang tidak diketahui kapan pastinya, hiduplah sepasang nenek dan kakek yang menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia. Kendati mereka tidak juga memiliki keturunan di usianya yang semakin uzur. Bukannya tidak menginginkan keturunan, namun memang seperti itulah garis kehidupan yang harus mereka lalui.
Tidak kurang usaha yang mereka lakukan untuk mendapatkan keturunan. Bertapa di bawah air terjun, minum ramuan herbal, membaca buku tentang cara cepat memiliki anak, berdo'a, bahkan sesekali hal-hal berbau klenik pun mereka lakukan. Tapi, semuanya tidak membuahkan hasil.
Hal tersebut tidak mengurangi kebahagiaan mereka, karena mereka selalu mensyukuri hidup mereka. Mereka menghabiskan waktu dengan bercocok tanam bersama di sawah dan ladang yang ada di depan rumah mereka, melakukan hal-hal sederhana untuk saling berbagi kasih.
Di suatu pagi yang cerah nan hangat, sang Kakek berpamitan kepada sang Nenek untuk pergi turun gunung.
"Nini, Aki pergi menjual hasil ladang kita dulu ya, Nini baik-baik di rumah!" pamitnya dengan suara lembut penuh kasih sayang.
"Aki juga. Nggak apa-apa pulang nggak bawa uang, yang penting Aki pulang bawa nyawa," ucap si Nenek sedikit tersedu.
Mereka sudah melakukan rutinitas seperti ini selama puluhan tahun bersama-sama. Namun, si Nenek tetap saja merasa sedih saat ia harus melepas kepergian sang Kakek.
"Pasti, Nini! Aki akan membawa raga Aki bersama nyawa Aki kembali ke pelukan Nini!"
Si Kakek tersenyum menunjukkan deretan giginya yang masih kokoh, meskipun kulitnya sudah kusam dan keriput. Ia acungkan dua jempol tangannya dengan penuh percaya diri untuk meyakinkan istri tercintanya.
"Kalau perlu, nih Aki tambah satu jempol lagi biar Nini semakin yakin hehehe," ucapnya seraya melepaskan sandal jepit yang ia pakai, lalu mengangkat kakinya untuk menunjukkan jempol kakinya kepada si Nenek.
"Hahaha. Aki ini ada-ada saja!" kata si Nenek tersenyum geli dengan kelakuan siKakek.
"Pokoknya Nini percaya saja ya sama Aki! Nggak cuma nyawa Aki saja yang akan pulang. Entar Nini nggak bisa peluk Aki lagi kalau cuma nyawa Aki saja yang pulang."
"Iya-iya. Bawa pulang nyawa utuh dengan raganya ya, biar Nini bisa cubit hidung pesek Aki ini!" balas si Nenek seraya mencubit hidung kakek dengan gemas.
"Eh...eh...eh!" si Kakek kehilangan keseimbangan lalu terjatuh ke tanah.
"Hihihihihihihi!"
Si Nenek tertawa melengking ala-ala Kuntilanak saat melihat suaminya terjatuh.
"Adudududuh. Untung nggak encok ini pinggang. Nini ini, orang jatuh bukannya ditolongin, malah diketawain!" keluh si Kakek seraya mengelus-elus pinggangnya.
"Mana ketawanya kayak Mbak Kunti pula. Serem ah Nini! Mending Aki cepetan berangkat," lanjutnya bergidik ngeri.
"Masih cantikan Nini kali daripada Mbak Kunti. Nih lihat! Imut, kan?" kata si Nenek seraya memegang pipinya yang sudah kempot.
"Tahu ah, Nini!"
Si Kakek berdiri, lalu berlari kecil ke arah gerobak kayu yang penuh dengan karung-karung berisi beras dan palawija.
"Ayo Ireng, kita berangkat!" ajak si Kakek kepada kuda penarik kereta gerobaknya.
Si Kuda hitam legam, bermata merah yang sedang asyik menikmati rumput segar di depannya itu pun meringkik terkejut mendengar suara kakek, lantas lari tunggang langgang meninggalkan sang Kakek.
"Loh, eh?! Tungguuuuuu Ireeeeeng, woooiii Ireeeeeng, aku belum naik ini!" teriak si Kakek berlari mengejar kudanya seraya melambai-lambaikan tangannya.
Dari depan halaman rumah si Nenek menyaksikan suaminya yang pergi semakin menjauh.
Sementara itu, si Kakek masih berusaha mengejar kudanya yang berlari membawa hasil panennya. Kuda tersebut masih bisa berlari dengan kencang, meskipun ia membawa beban yang cukup berat.
Di tengah pengejaran, tiba-tiba segerombolan kancil berlari melintang, menghalangi jalan sang Kakek.
"Aduh. Kenapa tiba-tiba kawanan kancil ini lewat sih? Mana banyak banget pula!" gerutu si Kakek berlari di tempat dengan gelisah.
Ia khawatir akan kehilangan kuda beserta hasil panennya yang terlihat semakin menjauh.
"Kok nggak habis-habis sih?" gerutunya lagi dengan tidak sabar.
Ia melihat ke arah datangnya kawanan hewan itu, dan ia tidak menemukan tanda-tanda parade kancil berlarian itu akan segera berakhir.
Akhirnya, ia putuskan berlari ke samping, melompat dari pohon ke pohon bak seekor tupai untuk melanjutkan pengejaran.
Hari masih sangat pagi, tapi si Kakek sudah diajak olah raga oleh kuda peliharaannya.
"Dasar Kuda tidak tahu diri! Masak orang tua dibikin ngos-ngosan kayak gini? Awas ya! Kalau pulang nanti kugembleng kamu sama pelajaran etika, sekalian aku skors nggak boleh makan!" gumam si Kakek kesal.
Kuda itu masih terus berlari melewati segerombolan orang yang berkumpul di jalan setapak bawah gunung.
Si Kakek yang berada jauh di belakang pun semakin mendekat ke arah gerombolan itu.
"Bagus! Tadi gerombolan hewan, sekarang gerombolan manusia. Semoga kali ini aku bisa lewat dengan mudah!" harap si Kakek di dalam hati.
Dari kejauhan ia sempat mendengar orang-orang tersebut mengumpat saat kuda si Kakek menerobos tanpa permisi.
Semakin mendekat, si Kakek pun semakin bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.
"Serahkan emas itu pada kami!" kata salah seorang pria seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Itu adalah milik tuan kami. Cepat kembalikan!" kata pria lainnya seraya menghunuskan mata pedang ke pipi wanita berbaju putih.
"Aku tidak akan pernah menyerahkan benih itu kepada kalian!" tolak si Wanita.
"Cepat katakan dimana kau menyembunyikannya!" pekik pria yang memegangi wanita itu seraya menjambak rambut panjangnya.
"Aaaaah!" jerit kesakitan si Wanita yang spontan memejamkan mata.
"Tuan kalian itu pencuri. Aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkan apa yang menjadi milikku!" dengan tegas wanita tersebut masih berpegang teguh pada pendiriannya.
"Jangan banyak bicara! Benih emas itu sudah menjadi milik tuan kami!" bentak pria lainnya lagi.
Si Kakek mengamati kejadian tersebut dari atas salah satu pohon rindang berada tidak jauh dari lokasi mereka. Merasa tidak tega dengan wanita yang ditindas, si Kakek pun memutuskan untuk ikut campur.
Si Kakek melompat turun, lalu berjalan mendekat.
"Weleh-weleh. Tuan-tuan ini kalau punya masalah, sebaiknya selesaikan dengan jalur diskusi! Jangan asal main kekerasan, apalagi ngeroyok wanita! Benar-benar perilaku yang tidak patut dicontoh!" celetuk si Kakek diakhiri dengan decak prihatin.
Semua orang pun langsung menoleh ke arah si Kakek.
"Bukan urusanmu!" bentak salah seorang pria.
"Siapa kau?" tanya pria lainnya.
"Hm. Siapa ya? Menurut kalian aku ini siapa?" si Kakek melipat tangan lalu sedikit menunduk dan menunjuk jidatnya sendiri dengan jari telunjuk tangan kanannya, bergaya bak orang sedang berpikir.
"Hey, Tua Bangka pikun! Kami tidak punya urusan denganmu, sebaiknya kau pergi sebelum kami berubah pikiran!" ucap salah seorang pria.
"Aku juga tidak punya urusan dengan kalian. Tapi kalian akan berurusan denganku bila kalian melanjutkan penindasan ini. Karena akulah si Tukang rusuh urusan orang lain yang kebetulan lewat. Pastinya dalam kebaikan. Hehehe," balas si Kakek.
"Kuhabisi kau, pengganggu!" teriak seorang pria seraya menghunuskan pedang ke arah si Kakek.
Si Kakek menggeser posisinya beberapa langkah untuk menghindar.
Pria tersebut mengayunkan pedangnya ke arah menghindarnya sang Kakek. Mata pedang yang tajam terus mengejar si Kakek yang terus saja menghindar.
Dengan gesit sang Kakek langsung berpindah ke belakang pria tersebut.
"Jurus tapak cengel, nih rasakan!" si Kakek yang tidak bersenjata langsung memukul tengkuk pria tersebut dengan telapak tangannya.
Si Pria langsung melotot saat menerima pukulan tersebut, dan ia pun terjatuh ke tanah tidak sadarkan diri.
Melihat rekannya terjatuh, pria lainnya pun mulai mengangkat senjata untuk menyerang si Kakek.
"Hyaaaa!" teriak pria pembawa tombak.
"Hap ! Ototototototo nyaris saja...."
Si Kakek melompat untuk menghindari hunusan tombak tersebut. Gerakan si Pengguna tombak itu lebih lincah dari gerakan pria pengguna pedang sebelumnya.
Dengan pola yang sama si Pria terus menyerang membabi buta.
Si Kakek pun terus bergeser ke sana-kemari sambil sesekali melompat untuk menghindar.
Kali ini kakek melompat lalu mendarat di atas tombak yang dihunuskan kepadanya. Kemudian ia berlari cepat menyusuri tombak, dan menendang kepala pemegang tombak hingga terjatuh.
"Tidakkah kalian diajari untuk bersikap santun terhadap orang yang lebih tua?" si Kakek mendarat dengan sempurna setelah melepaskan tendangan.
Pria tersebut bangkit lagi dan mulai menyerang kembali. Satu per satu pria yang menyaksikan pun juga ikut menyerang.
"Gawat!" batin kakek mulai khawatir.
Kini lebih dari sepuluh orang menyerangnya secara bersamaan. Tubuh tua rentanya pastilah kewalahan menghadapi serbuan ini.
Di sisi lain, ia tidak ingin menghabiskan banyak waktu untuk menghadapi mereka. Karena ia masih harus mencari kudanya.
"Apa boleh buat. Tidak ada cara lain. Aku harus melakukan itu," gumam si Kakek di dalam hati seraya menghela napas.
Setelah itu, si Kakek menenangkan pikirannya dan mulai merapalkan mantra.
Seketika angin yang sangat kencang melewati mereka dalam beberapa detik. Dan dalam sekejap mata, segerombolan pria berjumlah lebih dari dua puluh orang itu lenyap tidak berbekas.
Hanya tertinggal sang Kakek, wanita yang ditolongnya, dan seekor kuda tidak jauh dari si Wanita.
"Huft. Selesai juga," si Kakek menghela napas lega. Ia menyeka keringat di keningnya dengan tangannya.
"Tadi itu apa, kemana perginya mereka semua?" tanya si Wanita yang masih terduduk di tanah.
"Oh itu tadi namanya jurus abra ngaleh enggon," sahut si Kakek.
"Oh. Jurus macam apa itu?" tanya si Wanita lagi.
"Semacam jurus teleportasi. Jadi, mereka semua sudah pindah ke suatu tempat entah dimana, saya sendiri tidak tahu. Hahaha," balas si Kakek lagi seraya menggaruk kepalanya.
"Kenapa tidak memindahkan kita saja? Bukankah memindahkan lebih banyak orang membutuhkan lebih banyak energi?" tanya si Wanita lagi seraya mulai berdiri.
"Memang sih. Tapi kalau kita yang pindah nanti saya bisa kehilangan kuda saya. Saya kan sedang mengejar...."
Sejenak si Kakek menjeda kalimatnya karena ia teringat akan kuda dan gerobaknya yang sudah tidak terlihat lagi.
"Maaf ya Neng. Saya harus pergi. Semoga Eneng baik-baik saja!" dengan tergesa-gesa si Kakek berkata, lalu mulai berlari.
"Tunggu!" cegah si Wanita.
Namun, si Kakek tidak mendengarnya dan terus berlari.
Wanita itu pun mengambil cemeti miliknya, lalu mencambukkannya. Ujung cemeti berhasil melilit kaki kanan si Kakek. Kemudian wanita itu menarik cemetinya dengan kuat. Sehingga membuat kakek terjerembab ke tanah.
Mulut dan hidung kakek mencium tanah dengan keras, membuat hidung kakek yang pesek semakin pesek. Sungguh malang nasib kakek hari ini.
Setelah berhasil menghentikan langkah sang Kakek, wanita itu mengambil sesuatu dari kantong yang berada di pelana kudanya. Lalu, ia membawa benda itu mendekat ke arah si Kakek yang berusaha membersihkan tanah dari tubuhnya.
"Maaf ya, Kek! Saya tidak bermaksud melukai Kakek," ucap wanita muda itu seraya duduk berjongkok di sebelah si Kakek.
"Nggak apa. Lagian saya cuma nyium tanah, bukan nyium kulit durian. Jadi nggak masalah," kekeh si Kakek dengan santai.
Wanita muda itu pun tersenyum lalu berkata, "Saya hanya ingin memberikan ini sebagai rasa terima kasih saya. Karena Kakek sudah menolong saya."
Ia menyerahkan sesuatu berbentuk seperti tunas yang berwarna emas kepada sang Kakek.
Sang Kakek menerimanya lalu bertanya, "Apa ini?"
"Ini anak pisang. Rawatlah ini dengan baik untuk saya! Saya yakin buahnya kelak akan sangat bermanfaat bagi Kakek. Dan saya yakin Kakek bisa menjaganya hingga tumbuh besar," jawab si Wanita.
"Oh. Si Eneng tahu saja kalau saya suka bercocok tanam," si Kakek menatap pokok pisang di tangannya lalu memandang wanita di depannya.
Setelah diperhatikan, ternyata wanita yang ditolongnya memiliki paras yang sangat cantik. Si Kakek kagum dengan kecantikan dan keanggunan wanita tersebut.
"Kalau begitu, saya permisi dulu!" pamit si Wanita, lalu pergi menghampiri kudanya.
Si Kakek duduk termangu menatap kepergian si Wanita yang menunggangi kuda.
"Astaga raga naga jaga kali paga! Ireng. Kemana pula perginya tuh jaran?" sentak si Kakek saat ia ingat apa yang harus ia lakukan.
Seharian sang Kakek mencari kudanya yang kabur entah kemana. Ia bahkan bertanya kepada orang-orang di pasar dan orang-orang yang lalu lalang di sepanjang jalan yang ia lalui. Akan tetapi, ia masih saja belum bisa menemukan titik temu.
"Ireng!" teriaknya memanggil nama si Kuda.
Sang Kakek mengedarkan pandangan ke segala arah mencari sosok kuda hitam itu.
"Ireng, yuhu Ireng!" teriaknya lagi sambil terus berjalan.
Sejenak sang Kakek menghentikan langkahnya. Ia menatap langit yang mulai menguning.
"Sudah mau malam. Akang Syamsu saja sudah siap-siap ganti shift sama Mbak Wulan. Mending pulang sjalah," gumam si Kakek di dalam hati.
Kakek pun berbalik arah. Ia berlari kencang menyusuri jalan pulang. Sebisa mungkin ia ingin sampai rumah sebelum gelap. Karena melewati hutan saat malam itu merepotkan.
Setelah berlari cukup lama, akhirnya kakek berhasil sampai rumah sebelum hari benar-benar gelap.
Nini, Akipulang!" teriak si Kakek dengan napas tersengal-sengal.
Mendengar suara si Kakek, si Nenek pun membukakan pintu rumah.
"Selamat datang kembali, Aki!" sambut si Nenek dengan senyuman lembut.
"Maaf ya, Nini. Aki gagal bawa uang hari ini," kata si Kakek dengan sedih.
"Nggak apa-apa. Seorang istri yang baik tidak akan menanyakan berapa penghasilan suaminya saat kembali ke rumah," hibur si Nenek dengan nada lembut.
"Aki bisa pulang dengan selamat saja Nini sudah bersyukur," lanjutnya tersenyum bahaagia.
"Aki beruntung sekali punya istri sebaik Nini," si Kakek langsung memeluk si Nenek.
"Nini juga beruntung mempunyai suami sesetia dan sebaik Aki."
Mereka saling membalas pelukan dan saling memberikan ketenangan. Mencurahkan perhatian tanpa merasa sungkan. Itulah bumbu yang menjadi pupuk keharmonisan hubungan mereka berdua.
"Oh iya! Tadi Aki dapat pokok pisang dari seorang wanita cantik banget kayak bidadari," ucap si Kakek seraya melepaskan pelukan.
"Ini dia!" lanjut si Kakek menunjukkan pokok pisang emas yang ia tenteng.
Wajah kalem si Nenek langsung berubah muram setelah mendengar kata wanita cantik dari mulut si Kakek.
Menyadari hal tersebut, si Kakek pun bertanya, "Nini kenapa? Sakit? Kok mukanya jadi kusut gitu?"
"Aki kepincut sama tuh wanita cantik ya?" tanya si Nenek dengan nada kesal.
"Nini nggak usah cemburu seperti itu! Meskipun di luar sana banyak wanita cantik, tapi yang tercantik di hati Aki hanyalah Nini seorang," ujar si Kakek tersenyum manis.
"Bagus deh kalau begitu."
Si Nenek tersenyum kembali, lalu melanjutkan kalimatnya, "Sekarang Aki istirahat makan dulu, terus mandi!"
"Tapi ini bakal pohon pisangnya gimana?"
"Ditanam besok saja. Aki pasti capek. Sekarang sini pokoknya biar Nini simpan!" pinta si Nenek.
Kakek pun memberikan pokok pisang tersebut kepada istrinya. Kemudian nenek membawanya ke dapur. Ia meletakkan pokok pisang tersebut ke atas dipan tempat ditaruhnya perkakas.
Setelah meletakkan pokok pisang, nenek kembali ke meja makan dengan membawa sebaskom air untuk cuci tangan.
Di sana terlihhat kakek yang sudah duduk meluruskan kakinya di atas tikar yang digelar.
"Hari ini Nini masak apa?" tanya si Kakek saat melihat si Nenek kembali.
"Nini cuma menggoreng ikan bagong sama bikin sambal terasi, sambal bawang, sambal balado, sambal orek, sambal ijo, sambal matah, sambal tomat, sambal terong, sambal teri, sambal kecap, sambal pecel, sambal petis. Hm...apa lagi ya?" balas si Nenek.
Nenek meletakkan baskom ke atas meja, lalu membuka tudung saji. Ia mengambil piring dan duduk di sebelah suaminya.
"Wih banyak bener sambalnya? Kita mau makan sambal nih? Harusnya lauknya yang banyakan, bukan sambalnya! Nini mah kebalik. Lauknya satu, sambalnya sejagad raya dibikin."
Kakek menceburkan kedua tangannya ke dalam baskom berisi air seraya menatap deretan sambal yang berjajar rapi di atas meja. Setelah itu ia mengeringkan tangannya dengan serbet yang terletak tidak jauh dari baskom air.
"Mau bagaimana lagi? Tadi Nini bingung. Daripada kelamaan mikir, ya Nini bikin saja semuanya. Hehehe," jelas si Nenek.
"Ampun deh, Nini."
Si Kakek hanya bisa menepuk jidat dan menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan pemikiran si Nenek.
"Aki mau makan apa?" tawar si Nenek seraya menaruh secentong nasi ke atas piring.
"Sambal bawang saja," jawab si Kakek.
"Cuma pakai sambal, nggak pakai ikan?" tanya si Nenek seraya mengambilkan sambal yang dimaksud.
"Ya pakai ikan dong, Nini! Maksudnya sambalnya sambal bawang saja!" jawab si Kakek geregetan.
Si Nenek pun tertawa. Seusai melayani suaminya, si Nenek mengambil makanan untuk dirinya sendiri, dan mereka pun makan bersama.
Setelah makan bersama, mereka pun bersantai sejenak. Kakek menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkan pokok pisang tersebut hingga ia kehilangan jejak perginya sang Kuda yang membawa hasil panen mereka.
Malam pun ditutup dengan kisah sang Kakek. Keesokan paginya, mereka berdua berkeliling di sekitar rumah untuk mencari tempat yang cocok untuk menanam pohon pisang.
Setelah mengitari rumah, dan berdiskusi dengan seksama, akhirnya mereka memutuskan untuk menanamnya di depan rumah saja. Hal tersebut dilakukan supaya mereka bisa mengamati pertumbuhannya setiap hari dengan mudah.
"Nini ambil pokoknya dulu ya!" pamit si Nenek, lalu berlari memasuki rumah.
"Iya," balas si Kakek.
Kakek mengambil cangkul, lalu mulai menggali lubang untuk menanam anak pisang.
"Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Menanam pisang di depan rumah...," dengan riang si Kakek mencangkul seraya bernyanyi.
Nenek kembali dengan membawa anak pisang. Ia menunggu kakek selesai menggali di sebelahnya.
"Yosh. Akhirnya selesai juga!"
Si Kakek menyingkirkan cangkulnya.
"Ini anak pohon pisangnya, Ki," kata si Nenek seraya menyerahkan anak pohon pisang kepada kakek.
Kakek menerimanya, ia langsung menanamnya di lubang yang ia buat, lalu ia naik dari lubang dangkal tersebut begitu selesai.
Kedua nenek dan kakek itu duduk di pinggir lubang tersebut. Mereka tersenyum mengamati pohon kecil yang mereka tanam tersebut.
"Semoga bisa tumbuh subur ya, Ki!" ucap si Nenek.
Kakek mengangguk setuju dengan ucapan si Nenek.
Hal kecil nan sederhana tersebut mampu memberikan kebahagiaan yang sangat berarti.
Saat mereka sedang memandang pohon kecil itu dengan khidmat, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda.
"Woa semele kete!" Umpat si Kakek terkejut.
Ia hampir saja menindih pohon pisang yang baru ia tanam karena terkejut. Kalau saja ia telat merentangkan tangan untuk menyangga tubuh, pastilah ia sudah terjatuh ke dalam lubang dan menghancurkan pohon tersebut.
"Kuda Sempol, jangan tiba-tiba mengejutkan orang dong!" dengan kesal si Kakek mencoba berdiri.
"Ireng!" ucap nenek menatap Kuda yang ada di belakang si Kakek.
"Oh, ternyata kau toh, Ireng? Tahu jalan pulang juga kau kuda tak tahu diri," tutur si Kakek memarahi si Kuda seraya berdiri.
Si Kuda hanya meringkik, lalu menjilat muka si Kakek.
"Hahahaha," si Nenek tertawa menyaksikannya.
"Hentikan! Muka ganteng sudah cuci muka gini main dijilat saja. Aku nggak butuh bantuanmu buat cuci muka!"
Si Kakek menjauhkan kepala si Kuda darinya.
"Kujadiin sempol beneran baru tahu kau!" lanjutnya lagi masih dengan nada kesal.
Si Kuda hanya menanggapi dengan ringkikan lagi.
"Ralat. Sepertinya sate kuda jauh lebih enak," kata si Kakek tersenyum licik kepada si Kuda.
Kali ini si Kuda meringkik dan menggeleng-gelengkan kepala hingga moncongnya membentur hidung si Kakek.
Spontan si Kakek memegang hidungnya dan mengaduh kesakitan.
"Hati-hati dong, Ireng! Nanti hidung pesek Aki bisa tambah tenggelam gara-gara kamu seruduk," ucap si Nenek.
"Nasib, nasib. Kemarin nyium tanah, hari ini diseruduk Ireng," decak si Kakek meratapi kesialannya.
"Ngomong-ngomong, kita kok sampai nggak sadar Ireng datang bawa gerobak ya?" tanya si Nenek.
Ia berjalan mendekati Ireng.
"Mungkin kita dihipnotis sama itu anak pohon pisang," canda si Kakek.
"Tapi baguslah dia pulang. Jadi kita nggak rugi, dan masih bisa menjual hasil panen kita besok," lanjutnya.
"Tapi gerobaknya kosong gitu loh, apa yang mau dijual?" tanya si Nenek lagi yang melihat gerobak tanpa muatan itu.
"Apa?!" sentak Kakek terkejut.
Ia turut menengok ke gerobak yang sudah kosong.
"Kau kemanakan hasil panennya? Terjatuh, dirampok, kau makan...."
Si Kakek terus menceramahi kuda yang tidak bisa berbicara itu. Karena ia hanya pulang membawa diri bersama gerobak kosong.
Ya. Ireng adalah kuda setia peliharaan sang Kakek dan Nenek. Kemanapun ia pergi, ia selalu bisa menemukan jalan pulangnya menuju tempat kakek dan nenek itu beradAa.
Pagi itu, sang Kakek telah pergi ke sawah untuk menanam bibit kubis dan memanen tomat yang telah siap panen. Sementara si Nenek masih di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Saat sedang menyapu halaman rumah, ia melihat beberapa ekor ayam mencoba mematuk-matuk anak pohon pisang yang ditanam di hari sebelumnya.
"Heeeeeey ayam nakal, jangan makan pohonnya, hush hush pergi sana!" usir si Nenek dengan mengayun-ayunkan sapu korek yang ia pegang.
Para ayam pun berkokok seraya terbang ke sembarang arah untuk menghindari serangan si Nenek.
"Sana cari makan di tempat lain, dan jangan kembali ke sini!" pekik si Nenek.
"Awas ya kalau masih ngeyel, kalian nggak akan dapat jatah makan siang dan malam hari ini!" lanjutnya mengancam dengan tatapan mata tajam.
Para ayam pun pergi menjauh sebelum kemarahan si Nenek naik ke level berikutnya. Para ayam itu cukup bijak dalam mengambil keputusan. Ya, daripada harus kelaparan, lebih baik menjauh.
"Tahu diri juga ternyata, kalian Ayam-ayam badung!" ucap si Nenek berkacak pinggang.
Ia mengamati sekeliling, lalu berteriak memanggil kudanya.
"Ireng uuuuuu Ireng kuda paling ganteng!"
Mendengar panggilan itu si Kuda langsung berlari mendekat. Ia meringkik ceria di hadapan si Nenek.
"Kamu jaga anak pohon pisang ini, jangan sampai dimakan binatang liar ya!" perintah si Nenek.
Si Kuda pun menjawab dengan anggukan dan ringkikan.
"Bagus. Kuda pintar!" pujinya seraya mengelus-elus kening si Kuda dengan lembut.
Setelah itu si Nenek pergi ke samping rumah tempat penyimpanan kayu.
Dengan sok gagah Ireng berjalan mengitari lubang tempat tertanamnya pohon pisang. Bahkan ia juga berjalan dengan gaya yang sedikit dibuat-buat.
Di tempat penyimpanan kayu, si Nenek memilah-milah kayu yang tidak terlalu besar. Ia membawa kayu-kayu tersebut ke dekat pohon pisang. Lalu ia kembali ke gudang untuk mengambil golok, tali, dan beberapa perlengkapan yang mungkin ia butuhkan.
Ia memotong kayu-kayu tersebut sama panjjang, lalu mengikatkan satu sama lain membentuk pagar.
"Untung aku suka membantu Aki bertukang. Jadi bisa bikin pagar kan. Hehe," kata si Nenek bangga dengan dirinya sendiri.
Begitu selesai, ia langsung memasang pagar mengitari pohon pisang yang baru mulai hidup itu.
"Nah. Lumayan cakep juga," si Nenek tersenyum puas dengan hasil kerjanya.
"Sekarang waktunya mengirim makanan ke Aki," ucapnya seraya berlalu pergi, tidak lupa ia bereskan peralatannya dan ia kembalikan ke tempat semula.
Hari demi hari bibit pohon pisang itu tumbuh semakin besar. Bibit tersebut tumbuh menjadi pohon pisang yang sangat besar dalam kurun waktu satu bulan.
Tidak ada hal aneh yang terlihat kecuali pohon pisang yang tumbuh subur. Daun hijaunya yang lebar tumbuh dengan lebat, pucuk pohon pisang tersebut pun mulai menampakkan jantung pisang kecil yang menjadi bakal buah pisang kedepannya.
Suatu hari, kakek dan nenek duduk bersantai di depan rumah mereka, menikmati hangatnya mentari senja di tengah angin sepoi pegunungan yang berhembus. Pemandangan kala itu sangatlah indah.
Sepasang kakek dan nenek itu membangun rumahnya di atas dataran air terjun. Di sebelah timur mengalir sungai berair dingin, sementara di arah sebaliknya mengalir sungai berair panas.
Kedua sungai itu bersatu membentuk air terjun hangat yang mengalir mulai dari halaman belakang rumah mereka.
Suara gemerisik air itu menambah suasana alam semakin asri. Ketenangan alam yang tidak sunyi sangatlah bagus untuk terapi jiwa.
Jauh di barat terlihat lingkaran tebing berongga di atas Bubungan awan putih. Cahaya senja yang menyilaukan menerobos masuk melalui lubang tersebut, membuat hamparan awan putih menguning keemasan. Pucuk-pucuk gunung menyembul ke atas dari hamparan awan tersebut.
"Seperti melihat jalan menuju surga ya, Ni?" ucap si Kakek mengawali pembicaraan kala itu.
"Iya kalau benar surga, kalau portal menuju dimensi lain bagaimana?" timpal si Nenek.
"Ya nggak apa-apa. Kita kan cuma menikmatinya," balas si Kakek.
Mereka pun kembali mengagumi keindahan alam dengan khidmat. Kemudian si Nenek menyandarkan kepalanya ke bahu sang Kakek.
"Nini ngantuk?" tanya si Kakek seraya menoleh ke arah si Nenek.
Saat itulah matanya berpapasan dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Dengan penasaran, mata sang Kakek pun mencari arah asal pantulan cahaya tersebut.
"Nggak kok. Cuma mau manja-manjaan saja sama Aki," balas si Nenek..
Mata kakek membulat menyaksikan sesuatu di depannya. Rasa kagum dan heran berbaur menjadi satu.
"Nini, Nini, Nini bangun, Nini!" dengan penuh semangat si Kakek berkata seraya menggoyang-goyangkan tubuh si Nenek.
"Apaan sih, Aki? Kan sudah Nini bilang kalau Nini nggak tidur," dengan kesal si Nenek berkata.
"Itu Ni, itu coba lihat!" kata si Kakek seraya memegang pipi nenek dengan kedua tangannya. Lalu ia membuat si Nenek memandang ke arah pohon pisang.
"Ontongnya ada dua?"
Si Nenek berdecak kagum atas apa yang ia saksikan.
"Iya, Ontongnya dua," angguk setuju si Kakek.
"Ki, tolomng kucek mata Nini dong, Ki!" pinta si Nenek.
"Hah, untuk apa?" tanya si Kakek tidak mengerti seraya memiringkan kepala.
"Ya kali aja mata Nini ini masih rembes karena ngantuk. Atau jangan-jangan Nini ini mulai rabun senja? Hah ? Waduh. Bagaimana ini, Aki?" si Nenek mulai panik tidak jelas.
"Nanti Nini malah ngerepotin Aki. Nanti Nini tidak bisa melayani Aki lagi. Huaaa," lanjutnya semakin panik karena takut tidak bisa berbakti lagi kepada suaminya karena keterbatasan yang ia miliki.
"Hish. Nini yang tenang dong!" hardik si Kakek.
"Itu ontongnya memang ada dua. Satu berwarna ungu, dan satunya lagi berwarna emas mengkilat," lanjutnya.
"Oh benarkah? Nini baru pertama kali ini melihat phohon pisang berontong dua," ujar si Nenek.
"Sama. Sepertinya kita memiliki pohon pisang berbuah kembar," ujar si Kakek.
Keduanya pun tersenyum melihat pohon pisang berjantung ganda itu. Sebuah keunikan yang baru mereka sadari.
*****
Empat bulan berlalu sejak pertama kali pohon pisang tersebut tertanam di halaman kakek dan nenek.
"Ki, Aki bangun, Ki!"
Si Nenek mencoba membangunkan suaminya karena merasa risih dengan suara gemuruh yang sangat keras malam itu. Ditambah dengan gempa yang terjadi cukup sering, benar-benar membuat si Nenek merasa terganggu dan tidak bisa memejamkan mata dengan tenang.
"Ng...apaan sih, Ni? Masih gelap ini," dengan malas si Kakek menanggapi si Nenek.
"Aki denger nggak sih? Nggak biasanya loh rumah kita seberisik ini. Apalagi di tengah malam begini," ujar si Nenek.
"Ng...."
Si Kakek mengucek matanya. Kemudian ia mencoba mendengarkan dengan seksama. Memang terdengar suara geraman dan raungan yang saling bersahut-sahutan.
Tiba-tiba terdengar pekikan suara yang sangat nyaring disertai getaran yang sangat hebat.
"Waaa kutil kuntilanak badak bengkak," sontak si Nenek memeluk si Kakek dengan erat karena terkejut.
Suara dan getaran itu pun berhasil menyadarkan sepenuhnya si Kakek.
"Wadaw. Cumpleng kupingku," si Kakek menutup telinganya karena tidak tahan dengan suara yang memekakkan telinga itu.
"Masak ia ada perang di halaman rumah kita?" lanjutnya bergumam keheranan.
Keduanya pun saling pandang.
"Bagaimana kalau kita cek saja keluar?" usul si Nenek.
Keduanya saling pandang lagi. Si Nenek masih menunggu keputusan si Kakek tanpa melepaskan pandangannya darinya.
"Baiklah, ayo!" dengan mantab kakek menjawab.
Mereka berdua pun mulai berjalan keluar kamar. Si Nenek memeluk erat lengan si Kakek.
"Kita bubarkan para pengganggu itu. Seenaknya saja membuat keributan di rumah orang," gerutu si Kakek sepanjang jalan.
Sesampainya di pintu utama rumah, si Kakek pun dengan perlahan membuka pitu. Betapa terkejutnya mereka saat menyaksikan apa yang berada di luar rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!