NovelToon NovelToon

BARTENDER NAKAL ITU, ISTRIKU

Indi Adalah Ajeng

"Indi!!!!"

Ajeng membuka matanya perlahan, ia berdecak kesal. Baru saja hendak memejamkan mata yang sudah mengantuk minta diistirahatkan, suara cempreng khas madura teman satu kamar kostnya membuat ia terpaksa membuka lagi matanya itu.

"Apaan sih?! Mata gue masih ngantuk nih!" balas Ajeng sambil berteriak pula.

"Lo liat Bra tali kupu-kupu gue gak??"

Nada panik itu malah membuat Ajeng semakin kesal. Dia mendelik, menatap jengah kepada Vira.

"Enggak!"

"Please bantuin gue cari. Koko mau lihat gue tar malem atraksi pake bra itu!"

Sudah seperti kebakaran jenggot, Vira membongkar lemari hingga semua benda yang ada di sana berhamburan. Satu benda terlempar begitu saja di kepala Ajeng membuat ia menaikkan bola mata melihat bra berwarna hitam yang kini nemplok begitu saja di kepalanya.

Sahabatnya yang asli madura dan awalnya berkulit hitam manis yang kini sudah putih sekali seperti cat tembok karena rutin injeksi whitening itu benar-benar membuat waktu tidur Ajeng terganggu.

"Pake yang ada aja kenapa sih, ribet banget!"

Ajeng melempar balik bra yang tadi bertengger manis di kepalanya ke punggung Vira yang masih mengobrak-abrik isi lemari hanya untuk mencari bra bertali kupu-kupu berwarna merah.

"Gak bisa, Indi Sayang! Koko pengennya gue pake bra itu."

Ajeng menarik nafas panjang, antara kesal dan gemas dengan sahabatnya itu. Vira adalah teman satu kosan yang Ajeng dapatkan ketika ia merantau ke Jakarta dua tahun yang lalu. Mereka sama-sama baru datang ke Jakarta untuk mengadu nasib di sana. Kebetulan, kos-kosan yang mereka datangi tinggal satu kamar kosong dan akhirnya mereka setuju berbagi ruang.

Ternyata keduanya cocok. Sama-sama blak-blakan dan suka bekerja malam hari. Vira sendiri kini sudah resmi menjadi seorang Sugarbaby seorang lelaki Tionghoa yang suka dia panggil Koko. Pekerjaannya sebagai pemandu karaoke waktu itu akhirnya mempertemukan dia dengan koko yang kini berperan aktif sebagai Sugardaddy-nya. Vira sangat suka dengan profesinya itu, membuatnya banyak uang dan punya fasilitas mewah. Sampai sekarang Ajeng kurang tahu, profesi sebagai Sugarbaby itu sudah disahkan atau belum oleh negara apalagi sama istri tua.

"Nih!" Ajeng berdiri lalu meraih bra merah dengan tali kupu-kupu yang sedang bertengger manja di atas pintu kamar kos mereka. Entah sejak kapan kupu-kupu jadi-jadian itu terbang lalu hinggap di atas sana.

"Nah ini nih!" Vira berteriak kegirangan menerima benda itu dari Ajeng.

Ajeng kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia harus mengoptimalkan tenaga agar bisa kembali beraktivitas di meja bar dengan berbagai jenis minuman beralkohol.

Ya, Diajeng Batari Indira adalah seorang bartender perempuan andalan di salah satu club malam di Jakarta. Vira sendiri lebih suka memanggilnya Indi. Kata Vira, kalau dipanggil Ajeng tidak cocok sama sekali untuk dia yang bar-bar dan tidak ada kalem-kalemnya sama sekali.

Ajeng merantau bermodal nekat dan berbekal sekolah bartender yang pernah diikutinya secara diam-diam dahulu. Kalau dari penerawangan mbah dedemit, sebenarnya Ajeng lebih tepat itu kabur dari rumah sebab tidak pernah setuju dengan perjodohan yang akan dilakukan oleh orangtuanya dengan anak juragan sapi yang sedari masa bayi hingga Ajeng sudah tumbuh cantik dengan dua benda besar kayak bola voli, naksir dia setengah mampus.

Sudahlah itu anak juragan sapi lemotnya minta ampun, sok-sokan mau deketin dia yang punya standar hidup bebas tak tentu arah tanpa aturan ini itu! No, baby, aku bukan putri keraton! Begitu tolak Ajeng dahulu setiap kali anak juragan sapi datang bawa rendang untuk menyuap ayahnya yang punya riwayat darah tinggi.

"Kalau tidak mau menikah dengan anak pak Karta, lebih baik Ajeng tinggalkan rumah ini!" Begitu kata mima (Panggilan Ajeng untuk ibunda tercinta) bu Neneng, sambil memberikan segepok uang untuk Ajeng minggat.

Ajeng jelas bahagia, dia diusir tapi diberikan bekal untuk bertahan hidup. Demi Power Ranggers berbaju pink, nikmat mana lagi yang kamu dustakan! Maka waktu itu berbekal uang pengusiran, Ajeng melenggang santai meninggalkan bumi sunda dengan lambaian tangan. Ibunya memang TOP BGT ( Dibaca TE O PE, BE GE TE ).

Sejatinya Ajeng tahu, mima sama saja dengannya, tak setuju dengan perjodohan konyol yang dilakukan ayahnya dengan pak Karta. Masa anaknya yang cantik aduhai body montok kayak Mia Khalifah harus nikah sama kang lemot yang kalau keseruduk sapi peliharaan bapaknya pasti nangis. Gak banget.

Balik lagi ke cerita, sekarang Ajeng sudah tidak mengantuk lagi. Matanya sudah sepenuhnya terbuka, ia menatap Vira yang sedang berlagak di depan cermin dengan bra kupu-kupu, terus memandang Ajeng dengan tatapan iri.

"Jujur sama gue, lo silikon kan?" tuding Vira tiba-tiba. Ajeng mendelik, ingin rasanya ia menyumpal mulut sahabatnya itu dengan bungkusan tisu magic yang sering Vira hadiahkan buat koko yang sempat lemah syahwat, tapi suka banget main kuda lumping.

"Emangnya gue elo, dikit-dikit permak sana sini!" balas Ajeng jengah. Tapi Vira tetap saja menatapnya dengan tatapan mengintimidasi seolah tak percaya bahwa aset berharga milik Ajeng itu nyata adanya, sudah besar dari sananya tak ada campur tangan dokter bedah plastik dan semacamnya!

"Atau lo pasti pake sumpelan busa kan?" desak Vira lagi, kali ini ia sudah mendekat dengan mata yang tertuju ke arah sana (Tak usah kujelaskan ke arah mana, cukup kalian bayangkan saja) dengan lekat.

"Nih, lo perhatiin ya ada enggak busa di sini."

Ajeng membuka tanktop putih yang ia kenakan menyisakan bra berwarna mocca dengan sesuatu yang tersembul manja ulala. Vira mengangguk-angguk, lalu membandingkan dengan punyanya sendiri yang berukuran standar, tidak besar dan tidak kecil pula, yang sedang-sedang saja.

"Terus kenapa lo masih betah jadi jomblowati?"

Please, apa hubungannya ukuran dadanya yang besar dengan status jomblo yang masih ia sandang sampai hari ini? Ajeng melempar g-string dari banyaknya benda keramat yang berhamburan dari lemari Vira ke wajah sahabatnya itu.

"Otak lo isinya begituan semua! Udah pergi sana sama koko, gue mau tidur. Tar malem bar bakalan rame. Gue mesti siapin mental sama tenaga."

Ajeng melengos lalu kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Matanya kembali terpejam dan tak berapa lama kemudian, Ajeng sudah berlayar ke alam mimpi. Seperti yang ia katakan barusan, ia harus menyiapkan mental dan tenaga untuk bekerja dan menunjukkan atraksi di meja bar malam nanti.

Sebagai bartender, Ajeng sadar resiko yang harus ia hadapi cukup besar. Dari omongan ibu-ibu yang suka bergosip kalau dia kerja jadi orang tidak benar lalu seringnya mendapat pemandangan mengerikan saat di bar. Orang-orang yang bertengkar dengan pemandangan botol pecah sudah biasa dilihatnya, belum lagi kalau ada pemandangan romantis dan panas di depan mata saat beberapa pasangan berciuman mesra sambil bergoyang. Kena mental dan membuat jiwa jomblo Ajeng jadi meronta-ronta! Cium aku, Abang, ciuuuuuum! Begitu teriakl alam bawah sadar Ajeng yang sejatinya masih perawan ting-ting.

Tapi, profesinya sebagai bartender membuatnya jadi cukup dikenal banyak orang sekaligus bikin dia juga jadi punya cukup banyak uang. Ya, kalau buat beli cilok satu gerobak mah kecil. Seperti itu, tiap kali ada orang yang bertanya tentang penghasilannya jadi bartender.

Maka jangan heran kalau Diajeng Batari Indira itu kini hidup bebas apa adanya, juga semaunya. Suka-suka dia.

Bar Lady

"Hai Indi, makin cantik aja."

"Weeeiisst Indi kekasihku, kapan kita bisa jalan bareng?"

"Ndi, lo dipanggil Om Johan tu!"

Sudah berapa sapaan dan celetukan nakal yang Ajeng dengar malam ini ketika ia baru saja menjejakkan kaki di room khusus karyawan bar tempatnya bekerja.

Ajeng membuka jaket, memakai kaus crop top yang menunjukkan pusarnya lalu meraih celemek apron bartender. Malam ini ia tidak memakai seragam seperti biasa. Kebetulan, ada acara ulangtahun anak orang kaya yang diadakan di dalam bar dan mereka para pegawai diwajibkan memakai pakaian bebas yang menarik.

Celana jeans ketat Ajeng menjadikan tampilannya nampak santai tapi juga sedap dipandang mata. Ajeng juga akan melakukan atraksi atas permintaan bosnya. Ia menguncir rambut panjangnya yang bergelombang menjadi bentuk ekor kuda.

Sepanjang lorong menuju meja bar ia membalas sapaan para karyawan dan pengunjung yang kebetulan sedang lewat di sana.

"Bos!" Ajeng menepuk pundak Johan, pengelola club malam yang sedang menunggu dirinya di meja bar.

"Dateng juga lo. Malam ini yang punya party minta lo atraksi sebagus mungkin buat dia dokumentasi acaranya." Om Johan mulai menjelaskan maksud dan tujuannya menunggu Ajeng malam ini.

Ajeng mengangguk paham. Ia melihat sekeliling, meja DJ dengan panggung cukup besar dan luas juga table-table yang telah terisi pengunjung. Asap rokok mulai memenuhi ruangan, Ajeng mulai standby di posisinya.

"Hai, Indi, biasa ya. Dua gelas."

Ajeng membentuk jari melingkar dengan tiga jari tegak mengatakan oke. Sang pelanggan melihatnya meracik minuman dengan antusias. Ajeng mulai meraih sebotol minuman beralkohol dari speed rail dan meletakkan gelas di atas bar mat. Ia mulai sibuk dengan cocktail shaker juga mengambil beberapa bongkahan es batu dari ice bucket lalu meraih bar spoon untuk mengaduk minuman. Ajeng meletakkan satu gelas minuman yang sudah jadi ia racik di atas servis mat.

Beberapa tamu mulai merapat ke bar, menyaksikan bartender cantik itu memberikan aksi kecil dengan cocktail Shaker juga jigger. Ia tersenyum setiap kali mendapati para pelanggan menatap kagum ke arah lalu tak segan merogoh kocek lebih sebagai tips.

"Gila, keren banget lo makin hari!" puji salah satu bartender pria yang juga sedari tadi menyaksikan aksinya.

"Ya dong, Indira gitu loh!" balas Ajeng membuat teman satu profesinya tertawa.

Suasana club malam ternama itu semakin padat, asap rokok dan para perempuan dengan baju kurang bahan semakin menambah panas suasana.

Indi berdecak kesal ketika ia melihat sepasang muda mudi sedang asyik berciuman di depan meja barnya. Sungguh pemandangan tak indah baginya yang sedang jomblo menahun.

"Sialan, yang kayak gini nih gue sebel!" gerutu Ajeng.

"Makanya, Ndi, pacaran! Jadi lo bisa cip*kan kayak mereka," sambar temannya.

Ajeng mendengus kesal. Ia mengangkat jari tengah mengarahkannya ke arah teman yang tadi mengejek dirinya.

"Oke malam ini, Tuan Galuh berulang tahun yang ke dua puluh sembilan tahun. Wow, kita bikin acara malam ini dahsyat. Satu persembahan dari gue buat Galuh, selamat ulang tahunnya Jamrud yang udah gue remix keren! Lets get the party! One two three, hari ini , hari yang kau tunggu bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu!"

Iringan musik DJ dengan lagu selamat ulang tahun mulai memenuhi ruangan. Semua orang bernyanyi juga bergoyang mengikuti alunan musik. Ajeng tak terlalu memperhatikan si pemilik acara yang sedang bersama teman-temannya dalam satu lingkaran table khusus yang sudah dipesan. Selain minuman-minuman beralkohol, ada beberapa kue ulang tahun dengan lilin juga di sana.

Ajeng masih duduk santai sesekali ikut bergoyang di seputaran meja bar. Ia sedang menunggu giliran untuk menunjukkan atraksi hebatnya malam ini.

"Lo tahu gak yang punya acara malam ini orangnya?" tanya Riko, teman sesama bartender yang bertugas malam ini bersama Ajeng.

"Gak tahu dan gak mau tahu," balas Ajeng sedikit berteriak karena musik yang semakin menghentak.

"Tuh," Riko menunjuk seorang lelaki yang tengah dikelilingi teman-temannya, juga beberapa perempuan yang terlihat memeluk lelaki itu. Ajeng bergidik ngeri. Ia paling tidak suka lelaki murahan.

Meski samar karena kerlap kerlip cahaya lampu disko, Ajeng bisa melihat perawakan lelaki itu. Tinggi, tegap dan tampan. Ya, tampan, seperti wajah lelaki playboy. Tak menarik sama sekali bagi Ajeng.

"Anak orang kaya, Ndi. Gue denger, dia masih ada keturunan bangsawan jawa gitu deh."

Ajeng menoleh, menatap sekilas Riko lalu melengos lagi. Tetap saja baginya tak menarik.

"Alah, tampang penjahat wanita gitu."

Riko tertawa renyah mendengar nada santai Ajeng yang kini sudah sibuk lagi dengan peralatan bartender. Banyak pelanggannya malam ini. Ia benar-benar akan bekerja lebih keras dari malam biasa.

Musik semakin menghentak, Ajeng akan memulai atraksinya sebentar lagi. Dari kejauhan ia melihat Vira datang bersama Koko. Temannya yang centil itu melambai-lambai ke arahnya.

"Gila, rame banget!" seru Vira sembari menggamit lengan koko ke sana kemari. Kelihatan koko tidak terlalu menyukai tempat itu saat ini. Wajahnya mirip kue serabi tidak jadi, gak ada manis-manisnya.

"Udah selesai lo atraksi sama beha kupu-kupu?" tanya Ajeng kepada Vira yang sudah menggelayut manja di leher koko.

"Udah dong. Koko itu kuat banget sekarang, jadi pengen goyang mulu!"

Ajeng melempar bulatan tisu ke wajah Vira yang nampak mesum-mesum kampret saat ini. Terkutuklah Vira beserta beha kupu-kupunya! Ajeng mengumpat dalam hati.

Ia meninggalkan Vira dan koko yang sudah saling bergerak nakal bersama pengunjung lain. Ajeng bersiap untuk atraksinya malam ini. Di samping DJ, Ajeng mulai menunjukkan atraksi di atas panggung dengan music DJ mengiringi. Seruan namanya mulai terdengar. Ia mulai melakukan atraksi juggling dengan beberapa botol.

Terlihat ia begitu mahir memainkan dan memutar botol sesuai pola yang dipelajarinya selama ini. Tangannya begitu lentur dan lampu sorot yang menyorot ke arahnya membuat Ajeng nampak begitu memukau seluruh tamu yang menyaksikan atraksinya.

Di antara orang-orang yang sedang menyaksikan Ajeng, Galuh juga menatap lekat bartender seksi itu.

"Siapa tuh?" tanya Galuh pada temannya yang sudah mulai mabuk.

"Oh, itu Indi. Bartender perempuan andalan di club malam ini. Mau dikenalin?"

Galuh menggeleng lalu matanya kembali fokus kepada Ajeng. Meski memukau, perempuan yang akrab dengan dunia malam sama sekali bukan tipenya. Galuh kemudian tenggelam dengan minuman bersama teman-temannya hingga menjadikannya sedikit mabuk saat ini. Sejenak, Galuh bisa melupakan kesuntukan juga kehidupan monotonnya di rumahnya yang megah dan penuh aturan ini itu. Aturan bagaimana cara ia bicara, makan dan sebagainya. Beruntung urusan buang air besar tak diatur juga. Coba kalau iya, berarti ia harus menghitung jumlah feses yang keluar berikut mengamati konsistensi bentuk dan warnanya apakah padat atau cair khas orang diare. Sungguh edan untuk dibayangkan!

Malam Apes

Begitu ramai dan padatnya manusia-manusia kesepian yang butuh hiburan malam ini membuat club malam jadi lebih kotor dari malam biasa setelah club itu tutup saat semua lampu telah dinyalakan.

Ajeng bergegas pergi ke loker tempat ia menyimpan jaket juga tas untuk segera pulang. Waktu sudah menunjukkan ke angka empat subuh. Ia sudah mulai mengantuk. Baru saja hendak pulang, ia mendengar suara orang muntah di dalam kamar mandi.

Tadinya Ajeng tidak mau menggubris, lagipula ia sempat berpikir kalau itu salah satu pegawai yang ikutan mabuk. Tapi karena mendengar beberapa benda berjatuhan dari dalam juga melihat sekeliling yang sudah sepi ia jadi penasaran.

"Masa gue mesti masuk ke dalam sini?" tanya Ajeng sama diri sendiri sembari menatap palang pintu bertuliskan laki-laki itu.

Mundur lagi Ajeng, bergegas mau pergi tapi suara seseorang meminta pertolongan membuatnya jadi kesal sendiri. Ajeng akhirnya memberanikan diri membuka pintu dan terlihatlah seorang lelaki tampan dalam keadaan mabuk dan sudah muntah di sana.

Ajeng menepuk jidatnya, antara kasihan juga kesal kenapa pria yang ia tahu adalah sosok bernama Galuh, yang punya acara party beberapa jam yang lalu itu sekarang sedang sekarat karena alkohol di dalam ruangan ini tanpa seorang teman pun.

"Kenapa lo? Aduh, makanya kalo gak bisa minum gak usah sok-sokan minum. Mabok gini kan! Nyusahin orang aja!" Ajeng ngedumel sendiri. Tadinya ia pikir lelaki itu tak tahu apa yang sedang ia katakan namun saat ia melihat lelaki itu membuka mata dan menatapnya tajam dengan pandangan tak suka ia langsung menutup rapat bibirnya.

"Bantuin! Nanti gue bayar lo," ujar Galuh memerintah sambil mengulurkan jemarinya berharap Ajeng menyambut dan menariknya untuk berdiri.

Tapi bagaimana mau membuat lelaki dengan perawakan kekar itu berdiri, yang ada malah Ajeng yang kini terjerembab begitu saja di atas tubuh lelaki itu. Ajeng menatap kesal sekalian jijik pada jaketnya sendiri yang sudah kena muntahan lelaki itu. Di luar perkiraannya, lelaki itu malah tertawa kesenangan melihat Ajeng yang nampak kesal kepadanya.

"Makanya, punya badan gedean dikit. Narik gini aja gak bisa. Tunggu ya, lo mesti bantuin gue ke mobil, gue masih sadar cuma rada puyeng."

Ajeng menatap jengkel pada Galuh yang sedang berusaha berdiri dengan susah payah saat ini. Orang mabuk memang begitu, terlalu denial bahwa mereka memang sedang kacau. Akhirnya setelah melalui perjuangan dengan susah payah, Galuh berhasil berdiri dan langsung merangkul pundak Ajeng.

"Bawa gue keluar!"

Ingin sekali Ajeng menggigit paru-paru Galuh sekarang juga agar lelaki itu tak hanya sekedar mabuk tapi juga mengalami henti nafas sekalian. Sudahlah memerintah seenak jidat, lelaki itu juga berat. Dan lagi, tangannya yang memang panjang itu kini menimpa aset berharga Ajeng yang tak pernah disentuh pria manapun.

"Gila ya, ada manusia kayak elo gini. Nyusahin orang aja! Lagian, mana teman-teman lo yang tadi ikutan party. Mau enaknya doang, susahnya bagi ke orang lain."

Masih bersungut, Ajeng memapah Galuh yang hanya tertawa mendengar kekesalan Ajeng. Ia membuka sedikit matanya, melihat ke belahan dada yang tak sengaja terlihat begitu saja karena kancing kaus Ajeng yang terlepas.

Galuh tertawa lagi, bau alkohol menyengat membuat Ajeng kesal sendiri padahal ia sudah terbiasa mencium aroma alkohol dari minuman-minuman yang ia cicip dan ia racik.

"Mana mobil lo?" tanya Ajeng yang sudah mulai kewalahan memapah tubuh Galuh.

Galuh mengeluarkan kunci mobilnya lalu menekan remot. Ajeng segera pergi ke sumber suara.

"Harusnya lo bayar gue seharga satu bulan gaji gue nih!"

Ajeng masih betah mengomel sedangkan Galuh sudah mulai kehilangan kesadaran dan benar saja, saat ia sudah berhasil memasukkan Galuh ke dalam, lelaki itu malah tidur dengan nyaman. Ajeng meraup wajahnya sendiri, merasa tak sampai hati mau meninggalkan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya itu tapi juga merasa enggan mau mengantarnya.

Tiba-tiba ia melihat seorang staff pengamanan lewat sambil berlari.

"Pak, tolongin saya, Pak!" Ajeng berteriak melambai-lambai seperti memanggil teman lama yang sudah lama tak bertemu. Tapi yang dipanggil tidak berhenti malah semakin kencang berlari.

"Sorry, Neng Ajeng, ada yang berkelahi di depan!" teriak pak satpam menyebalkan. Bilang dong dari tadi, dia sudah action dengan melambai-lambai kegirangan tapi malah tidak mendapat bantuan.

"Ya Tuhan, mimpi apa sih gue semalem? Sial banget! Masa gue mesti anterin ini laki-laki pulang?"

Setelah menimbang-nimbang, berapa kali bolak balik dan mondar mandir di depan mobil dengan pemiliknya yang sudah bobo ganteng, akhirnya Ajeng masuk ke dalam mobil itu setelah sebelumnya ia memindahkan Galuh dengan susah payah ke kursi sebelah setir.

"Oke, semoga dengan bantuin elo malam ini, bisa menghapus dosa gue karena udah kabur dan bikin bokap darah tingginya gak sembuh-sembuh." Ajeng merogoh celana Galuh, bermaksud mencari dompet tapi ia malah melihat pemandangan durjana dimana pistol air selaras panjang milik Galuh bangun dan bangkit dari posisi yang semula rebahan.

Ajeng tak menghiraukan pemandangan langka itu ia masih terus merogoh saku celana Galuh lalu akhirnya menemukan dompet dengan banyak sekali kartu di dalamnya.

Ia melihat sebuah alamat gedung apartement. Lalu bergegas menghidupkan mesin mobil dan membawa Galuh ke sana. Sampai di apartemen yang dihuni kaum elit itu, Ajeng kebingungan tidak tahu dimana apartemen Galuh berada.

"Pak, maaf mau tanya, laki-laki ini tinggal di apartemen yang mana ya?" tanya Ajeng pada security yang sedang asyik makan singkong rebus dengan ikan asin.

Tampak lelaki itu melongok sebentar lalu tersenyum sembari menelan bongkahan singkong yang kemudian membuatnya hampir kehabisan nyawa karena singkong rebus nyangkut di tenggorokan. Ajeng jadi turun dari mobil dan segera memberikan air yang ada di dalam pos.

"Selamet ... Selamet." Pak satpam mengusap dada dan berterima kasih karena Ajeng sudah menyelamatkannya dari singkong durhaka yang hampir membuat pak satpam kehilangan nyawanya.

"Mas Galuh apartemennya yang paling atas, Neng. Nanti dari sini, Neng ke kanan ada lift masuk situ."

Ajeng manggut-manggut. Baru saja ia hendak minta bantuan kepada pak satpam untuk mengalihkan tanggungjawab, bermaksud meminta lelaki itu saja yang membawa Galuh ke tempatnya, tapi pak satpam malah ngacir ke dalam pos.

"Pak! Mau ngapain, Pak. Tolongin saya anterin laki-laki ini ke tempatnya!" teriak Ajeng sudah seperti tukang kredit panci nagih hutang ke ibu-ibu komplek.

"Maaf, Neng, saya sakit perut gak tahan pengen berak!" balas pak satpam diiringi suara bom yang keluar memenuhi toilet yang kecil itu. Suaranya sampai keluar, terdengar pula oleh Ajeng. Sungguh estetik sekali.

Ajeng akhirnya terpaksa membawa Galuh sendiri ke apartemennya yang berada di lantai paling atas. Nampak sekali kayanya lelaki itu. Sepanjang perjalanan membawa Galuh dengan lift Ajeng tak berhenti mengeluh tentang kesialannya subuh ini.

Sementara pak satpam yang baru saja keluar dari toilet melihat ke air yang ia minum, air yang diberikan Ajeng kepadanya saat sedang berusaha menelan bongkahan singkong rebus.

"Yaaaaa, pantesan saya sakit perut! Aer kobokan dikasih begini!"

Pak satpam mau nangis karena sekarang perutnya sudah mulas lagi. Tau aja kalau pak satpam udah seminggu gak buang hajat!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!