"Nah, saatnya berpakaian." Seorang wanita berusia 25-an mengambil sebuah kaos berwarna hitam yang sebelumnya telah ia persiapkan. Namun saat hendak memakaikan pakaian itu, sang putra menepis dengan kesal.
"Baju biru aku mana?" Anak berusia lima tahunan itu berkata dengan angkuh. Sementara yang diajak berbicara langsung menarik senyum meski dengan wajah lelah.
"Baju biru yang mana? Tunggu sebentar ya, mommy cariin dulu," jawabnya dengan lembut. Ia hendak mengelus rambut sang putra, namun bocah lelaki itu langsung mengelak duduk di kasur.
Ia mendengus tidak suka. "Cepat Carikan! Aku mau memakainya hari ini!"
"Iya, Sayang. Tunggu sebentar, ya!" pinta wanita itu sembari masuk ke walk in closet.
"Yang ini?"
"Bukan! Yang ada gambar baby shark nya!"
"Oh, bukankah yang itu belum kering? Kamu baru memakainya kemarin, Sayang."
"Pokoknya aku mau pakai itu! Itu baju pemberian bibi Freya, aku mau memakainya hari ini!"
Wanita itu menghela napas berat, ia lalu mendekati sang putra yang sudah melipat kedua tangan di dada. "Sayang, engga bisa dong. Kan bajunya baru dicuci, nanti mommy beliin yang baru saja ya. Yang ada gambar baby shark juga."
"Engga mau! Engga mau! Pokoknya aku engga mau!"
"Kenapa, huh? Pagi-pagi sudah ribut begini. Astaga Cedric, kamu belum bersiap-siap? Bukankah hari ini ada study tour, sebentar lagi bisa terlambat." Seorang pria dewasa yang baru keluar dari kamar mandi berkata dengan kesal.
Ia melihat ke arah sang istri, menatap tajam seakan menyalahkan. "Ini Cedric mau memakai baju pemberian kak Freya. Tapi bajunya masih belum kering."
"Ck, begitu saja sampai ribut seperti ini. Pakai yang ada saja dulu!" titahnya yang membuat kedua mata sang putra berkaca-kaca.
Anak itu mau tidak mau menerima kaos warna hitam yang dipilihkan sang ibu. Ia mendengus setelah selesai, lalu berlari keluar tanpa mengatakan apa pun.
"Payah! Kau tidak bisa mengambil hati anak sendiri? Lihatlah, dia bahkan lebih patuh pada Freya dibandingkan denganmu," cibir pria itu saat sang istri tengah mengikatkannya dasi.
Wanita itu hanya diam, ia sebenarnya juga berpikir demikian. Anaknya sama sekali tidak mau mendengarkannya, sedangkan sang suami juga selalu bersikap acuh tak acuh dengannya. Mereka bahkan tampak lebih dekat dengan wanita lain dibanding dengannya.
Elodie Estelle, nama wanita itu. Ia langsung bergegas ke kamar mandi setelah sang anak dan suaminya selesai bersiap. Ia mandi dengan kilat, memakai pakaian yang menurutnya paling terbaik untuk mendampingi sang anak pergi ke study tour.
"Loh, Cedric mana?" tanya Elodie saat melihat hanya ada sang suami di meja makan.
"Sudah berangkat bersama Freya," balas Grayson dengan dingin. Pria itu tetap fokus pada makanannya tanpa menyadari perubahan raut wajah sang istri.
"Padahal aku sudah bersiap-siap untuk menemaninya," cicit Elodie pelan namun masih bisa didengar oleh pria di depannya.
"Sudahlah, kau saja yang lelet," sarkas pria itu sembari mengelap bibirnya dengan tisu. Ia beranjak pergi. Meski sedih, Elodie tetap mengikuti dari belakang. Ia mengantar sang suami hingga masuk ke dalam mobil.
"Kami berangkat dulu, Nyonya." Asisten Al pamit dengan sopan. Wanita itu mengangguk sembari menarik senyuman tipis pada pria yang selalu mendampingi suaminya itu.
"Nyonya, mari masuk. Nyonya belum sarapan." Seorang wanita paruh baya menatap majikannya itu dengan penuh perhatian.
Elodie adalah wanita yang sangat baik, ia tentu turut sedih dengan perilaku sang tuan dan tuan muda nya yang tidak pernah berubah.
"Aku akan keluar bersama temanku, Bibi. Makanan di atas meja, disimpan saja dulu." Elodie menarik senyuman tipis, namun dari sorot matanya tidak bisa membohongi. Bibi Erin hanya bisa mengangguk, memandangi punggung rapuh yang semakin menjauh itu.
"Semoga kedua tuan tidak menyesal nantinya, entah kenapa aku merasa nyonya mulai menyerah," gumamnya namun segera menggeleng pelan. Ia sedikit menyesal karena mendoakan hal yang tidak-tidak.
.
.
.
"Aku bukan bermaksud untuk mencampuri rumah tangga kalian. Tapi sudah berapa lama kamu seperti ini?"
Elodie menunduk sembari menyuap makanan di depannya. Namun rasanya sangat sulit ditelan, semuanya terasa hambar. Sama seperti kehidupannya saat ini.
"Dulu kamu sangat periang, blak-blakan, ceria. Kamu yang sekarang? Aku bahkan seperti tengah berbicara pada orang asing. Sebenarnya apa yang bagus dari Grayson itu? Selain kaya dan memiliki wajah sedikit tampan, dia benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding mantanmu , Axel."
"Ara, aku ...."
"Bercerai, lebih baik kamu gugat cerai dia! Aku engga mau lihat kamu menderita terus seperti ini."
"Aku ... aku cinta sama dia."
"Cinta? Cinta yang buat kamu jadi seperti ini? Dia sama sekali tidak menghargai kamu, Elli!"
"Aku akan memikirkannya nanti."
"Nanti, nanti. Selalu nanti! Elli, aku tahu kamu merasa bersalah pada Glenca. Tapi bukan berarti kamu harus mengorbankan seluruh hidupmu seperti ini."
"Aku ...." Perkataan Melodie terputus saat ponsel di dalam tasnya berdering. Wanita itu segera mengangkatnya saat melihat nama yang tertera.
"Apa?" Ia menggumam dengan kaget. Wajahnya memucat seiring dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
"Ada apa?" tanya Clara dengan panik. Gadis itu langsung berdiri menghampiri sang sahabat yang duduk di depannya itu.
"Cedric ... Cedric menghilang."
.
.
.
"Mama Cedric." Seorang guru wanita segera menghampiri Elodie yang baru sampai.
"Dimana putraku?" Wanita itu tampak kacau, kedua matanya memerah menahan tangis.
"Mohon maaf, Nyonya. Saat ini kami masih berusaha mencari Cedric."
"Bagaimana bisa putraku menghilang?" Tanpa sadar suara Elodie meninggi. Wanita itu menatap guru yang menghampirinya dengan tajam. Sementara Clara yang baru bergabung setelah memarkirkan mobil itu tampak lebih tenang.
"Dimana Freya? Bukankah dia yang mendampingi Cedric?" tanya wanita itu yang langsung dijawab sang guru.
"Dia di sana," ujarnya sembari menunjuk pada seorang wanita yang tengah bertelponan di depan sebuah ruangan.
Elodie tidak berkata apa-apa. Wanita itu langsung menghampiri Freya. "Kemana putraku? Kenapa kamu tidak menjaganya dengan baik?"
Wanita itu sudah menangis, air mata membanjiri kedua pipinya yang tirus. Tampak begitu menyedihkan di mata Freya. "Aku tadi ke toilet sebentar, setelah keluar Cedric sudah tidak ada. Aku juga tidak tahu dia kemana."
Elodie mengusap wajahnya dengan kasar. Saat akan kembali beranjak, seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Bibi Cantik, aku melihat Cedric menuju keluar tadi."
"Dimana?"
Anak perempuan itu menunjuk ke sebuah arah. Elodie tanpa berkata langsung berlari ke sana. "Cedric," teriaknya berulang kali.
Orang-orang dewasa juga berpencar ikut mencari. Sementara anak-anak yang lain telah diamankan di dalam museum.
"Cedric." Teriakan demi teriakan terus bersahutan. Elodie semakin kacau, ia sudah berjalan hampir 2 kilometer jauhnya. Tapi sama sekali tidak ada jejak sang putra. Kepalanya pun terasa berputar, bahkan hampir jatuh jika seseorang tidak menahannya.
"Gray ...."
Grayson melepas pegangannya pada sang istri. Elodie kembali mendapat tatapan tajam yang menyalahkan. Namun itu hanya sesaat, karena setelah itu Grayson pergi meninggalkan sang istri melanjutkan pencarian.
"Cedric, itu Cedric!" teriak seseorang sembari menunjuk ke sebrang jalan. Grayson langsung menoleh. Dapat ia lihat sang putra yang tengah kebingungan ingin menyebrang.
"Cedric, tunggu di sana. Daddy yang akan menyebrang!" teriak Grayson namun Cedric tidak mendengar. Anak lelaki itu begitu senang saat melihat sang ayah. Begitu melihat jarak mobil yang lumayan jauh, ia langsung berlari kencang. Hingga tidak menyadari mobil itu menambah kecepatan.
"CEDRIC!" teriak Grayson saat menyadarinya. Di saat ia akan berlari, seseorang sudah mendahului. Dalam sekejap tubuh kecil itu terdorong ke arah trotoar, sementara orang itu tertabrak hingga terpental ke tengah jalan.
Grayson terpaku, tubuhnya kaku hingga sulit digerakkan. "E-elodie."
.
.
.
Hallo semua, aku kembali dengan karya baru. Mohon dukungannya biar aku makin semangat. Terima kasih.
Sepasang netra yang sudah cukup lama tertutup itu mulai mengedip pelan. Ia membuka kedua matanya perlahan, lalu kembali menutup saat merasakan cahaya yang begitu silau. Begitu beberapa kali hingga ia berhasil menyesuaikan.
"Ini dimana?" gumamnya pelan. Kedua matanya meneliti langit-langit ruangan, semuanya putih tanpa cela.
"Ini di rumah sakit? Aku kenapa?" gumamnya lagi tampak bingung. Seingatnya ia tidak mengalami sesuatu yang mengharuskan untuk dirawat seperti ini.
Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. "Kenapa?" tanyanya lagi semakin kebingungan.
Ia segera menoleh saat seseorang membuka pintu. Tampak seorang perawat yang langsung terkejut saat melihatnya. "Anda sudah sadar? Saya akan memanggil dokter terlebih dahulu."
Setelah beberapa saat, perawat itu kembali bersama seorang dokter. Elodie membiarkannya memeriksa, hingga dokter pria itu menyelesaikan pekerjaannya baru ia mulai bertanya.
"Saya kenapa? Kenapa harus dirawat seperti ini?" tanya Elodie penasaran.
"Nyonya tidak ingat? Anda mengalami kecelakaan hingga koma sebulan lebih. Sekarang lebih baik Anda beristirahatlah terlebih dahulu untuk memulihkan diri."
"Apa?" Elodie termenung sebentar hingga tidak sadar bahwa ia kembali ditinggalkan sendiri di ruangan.
"Apa-apaan? Aku dipanggil nyonya? Heh, aku bahkan masih gadis sembilan belas tahun!"
.
.
.
Kriet.
Elodie yang masih terjaga itu langsung menoleh saat seseorang membuka pintu. Ia mengernyit aneh ketika melihatnya dengan jelas. Seorang pria dewasa, tubuh tinggi menjulang, dan wajah tegas rupawan.
"Siapa kamu?" tanya Elodie saat pria itu mendekat dengan tatapan tajamnya.
"Aku? Siapa? Hah, kau mau bermain drama lagi?"
"Apa maksudmu? Aku sungguh tidak mengenalmu."
"Sudahlah! Aku baru saja ingin mulai bersikap baik padamu. Tapi jika kau seperti ini, maka jangan harap!"
"Cih, aku tidak peduli kamu bersikap baik atau buruk. Kita tidak saling mengenal, jadi apa urusannya sikapmu denganku?"
"Kau! Aku ini suamimu!" Tanpa sadar suara Gray meninggi. Pria itu berkata dengan cukup keras lalu memperhatikan sang istri yang kini terdiam.
"Kita lihat seberapa lama kamu tahan berpura-pura."
Elodie yang bergeming cukup lama sembari menatap Gray akhirnya tertawa kecil yang lama kelamaan menjadi tawa keras. "Hahaha. Yang benar saja? Aku ini masih gadis 19 tahun. Belum pernah menikah sama sekali. Lagian kalau pun aku mau menikah juga tidak akan mencari pria tua seperti kamu."
Alis Gray terasa berkedut, wajahnya juga terasa menegang karena emosi yang hampir meledak. Apa-apaan? Tolong katakan telinganya bermasalah! Wanita ini baru saja mengatakannya tua?
"Lebih baik kamu keluar dari sini sebelum aku meminta seseorang untuk mengusirmu!"
Semakin tercengang saja Gray. Pria itu bahkan tanpa sadar sampai menganga sebentar. "Jika kau memainkan peran ini untuk mendapat perhatianku, maka hentikan sekarang juga! Aku tidak punya cukup kesabaran untuk menanggapi kelakuan seperti ini."
Elodie tertawa kecil, lalu menggeleng dengan acuh tak acuh. "Aneh, kalau tidak punya waktu untuk apa kamu masih di sini? Lebih baik kamu pergi, aku nyaman, aku tenang, dan kamu bisa mencari istrimu yang mungkin kabur entah kemana. Secara, istri mana yang bisa tahan dengan pria tua dan kasar sepertimu?"
"Kau!" Tak mau semakin merasa emosi, Gray lebih baik keluar dari ruangan itu. Ia keluar sembari membanting pintu, membuat Elodie sempat tersentak.
"Pria tua gila!" teriaknya yang masih bisa didengar Gray. Pria itu mengepalkan tangan, lalu menatap asisten Al yang menunggu di luar itu dengan kesal.
"Cari tahu apa yang terjadi pada wanita itu!" titahnya dan langsung pergi dari sana. Ia tidak mau repot lagi, cukup waktunya yang berharga ini terbuang sia-sia.
Asisten Al hanya bisa mengangguk mengerti, meski di dalam hati ia memiliki beragam pertanyaan. Hingga semua pertanyaan itu terjawab saat ia mendengar penjelasan dokter.
"Menurut dokter Ace, nyonya telah kehilangan ingatan selama enam tahun terakhir. Hal itu mungkin terjadi karena ada kenangan buruk yang ingin nyonya lupakan selama periode itu."
Asisten Al menjelaskan pernyataan dokter secukupnya. Tidak ditambah, hanya dipersingkat. Karena penjelasan dokter Ace begitu panjang hingga otaknya yang biasanya bekerja cepat itu pun jadi konslet seketika.
"Hilang ingatan, ya?" gumam Gray pelan. Tangannya yang memegang pulpen itu mengetuk meja beberapa kali.
"Baiklah, kau kembalilah ke sini!"
"Lalu, nyonya bagaimana?"
"Apa dia urusanmu?" Asisten Al seketika merasakan hawa dingin yang membuat tubuhnya merinding. Suara dalam, pelan dan menekan milik Gray benar-benar tidak ada tandingannya. Bahkan tanpa melihat orangnya pun, aura intimidasi masih terasa begitu kuat.
"Ba-baiklah. Saya akan kembali ke perusahaan dalam tiga puluh menit."
"Lima belas menit atau gajimu bulan ini tinggal setengah."
"Baik! Lima belas menit!" Asisten Al menutup panggilannya dan berjalan dengan cepat, tidak berlari karena masih memikirkan image-nya sebagai seorang pria dewasa yang tampan.
.
.
.
"Apa? 25 tahun? Aku setua itu?" pekik Elodie kaget. Bagaimana tidak? Ia baru saja mendengar cerita dari sahabat baiknya. 25 tahun? Yang benar saja? Jelas-jelas ia masih 19 tahun.
Clara mengedip beberapa kali, ia tercengang sebelum tertawa senang. "Oh, lihatlah! Elli-ku sudah kembali dengan jalur lupa ingatan."
"Jalur lupa ingatan apa? Bagaimana mungkin aku sudah berumur 25 tahun?"
"Kalau tidak percaya lihat ini! Ini sudah tahun 2024, kamu lahir tahun berapa, masih bisa hitung kan?" Clara menyodorkan ponselnya, menunjukkan tanggal yang membuat Elodie termangu.
Melihat sang sahabat yang cukup lama terdiam, Clara menutup mulutnya tidak percaya. "Ya Tuhan. Jangan bilang berhitung pun kamu lupa caranya?"
PUK.
Sebuah bantal mendarat sempurna tepat di wajah Clara. "Aku hilang ingatan, bukan jadi bodoh," balas Elodie dengan kesal. Ia merebut ponsel sang sahabat, lalu membuka fitur kamera untuk melihat jelas pantulan wajahnya tadi.
"Tidak! Ini wajahku? Aku sungguh menua? Kemana perginya kulit bayiku? Kenapa jadi kasar begini?" pekik Elodie panik sembari menyentuh wajahnya yang memiliki banyak garis halus sekarang.
Clara tertawa lagi, tapi rasanya ia ingin menangis juga. Elli-nya yang menghilang hampir 6 tahun telah kembali, lantas apa ia harus bersyukur atas kecelakaan yang dialami sahabatnya itu?
"Tunggu! Apa benar aku sudah menikah?" tanya Elodie penasaran setelah mengingat sesuatu.
Clara mengangguk pelan, sebenarnya ingin berbohong belum. Tapi mengingat Elodie yang begitu mencintai keluarganya, ia merasa tidak berhak untuk memisahkan mereka.
"Tidak! Aku sungguh sudah menikah? Dengan pria tua itu?"
"Pria tua apanya? Grayson baru berusia 30 tahunan."
"Tidak! Bagi penglihatanku sebagai gadis 19 tahun, dia sudah bisa aku panggil paman."
"Hahaha. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa wajahnya saat mendengar kamu berkata seperti itu."
"Tunggu! Bagaimana kamu tahu, kamu sudah menikah? Jangan bilang kamu pura-pura hilang ingatan?"
"Pura-pura apanya? Kamu tidak lihat wajahku sudah sepucat apa saking terkejutnya?" balas Elodie kesal sembari terus memperhatikan wajahnya di depan kamera.
"Baiklah, baiklah. Oh? Aku melupakan sesuatu, aku jamin kamu bisa pingsan kalau tidak bersiap."
"Apa?" tanya Elodie dengan was-was.
"Kamu ... sudah memiliki seorang putra bersama pria tua yang kamu bilang."
"APA?"
.
.
.
"Habislah, habislah! Jelas-jelas kemarin aku masih seorang mahasiswi sastra yang berambisi menjadi penulis terkenal. Bagaimana bisa menikah muda?" Elodie ingin menangis kencang rasanya. Semua ini masih terasa sangat tidak mungkin jika dipikirkan.
"Kemarin? Itu sudah enam tahun berlalu! Kamu yang baru semester tiga saat itu memutuskan menikah muda dengan seorang pria kaya raya. Semua orang masih mengejekmu saat itu." Clara membalas dengan wajah jenaka, memandang wajah sang sahabat yang masih tampak tidak terima.
"Eh tunggu, apa ada kemungkinan pria tua itu memaksaku? Dipikirkan bagaimana pun, semuanya terasa tidak masuk akal." Elodie terus mengelak, namun jawaban Clara membuatnya termangu.
Gadis itu menggeleng pelan yang berarti Elodie secara sukarela menikah saat itu. "Kamu bahkan meninggalkan Axel demi dia."
"Bagaimana mungkin?" pekik Elodie kaget. Axel adalah kekasih pertamanya, pria itu sangat baik, juga memperlakukannya dengan penuh kasih. Ia jadi curiga, jangan-jangan saat itu ia mengalami kebutaan hingga bisa menikah dengan seorang pria tua.
Sementara Clara tiba-tiba terdiam, gadis itu jadi ragu. "Apa aku katakan alasan dia menikah, ya?" batinnya resah, namun ia berusaha meyakinkan diri. Sebelum berkata pun ia berdehem keras terlebih dahulu untuk menetralisir rasa gugup.
"Elli, sebenarnya ...."
"Nona Clara Claire, sepertinya Anda punya banyak waktu, ya?" Perkataan Clara terputus saat sebuah suara berat menginterupsi.
Gadis itu menghela napas kasar, merasa kesal karena keberanian yang ia pupuk jadi pupus seketika. Ia menoleh, mendapati Gray berdiri di sana dengan wajah angkuhnya. Melihat itu, Clara memberi pandangan sengit.
"Waktuku apa urusannya denganmu? Eh ... justru tuan CEO Grayson Grassel yang terhormat, ada apa ini? Bukankah waktu Anda adalah uang. Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda di sini," balas Clara sarkas, gadis itu berdecih pelan membuat Gray mengeraskan rahang.
"Aku datang untuk menjenguk istriku, apakah ada yang salah?"
"Oh? Sejak kapan Tuan Gray yang terhormat menganggap sahabat baikku ini sebagai seorang istri?"
Gray memejamkan mata, sejak dulu ia memang tidak pernah menyukai Clara. Gadis itu selalu berhasil membuatnya emosi.
"Bawa dia keluar!" titah Grayson pada asisten Al yang segera menerima tugas.
"Heh, kamu mau apa?" pekik Clara saat Al menarik tangannya.
"Menjalankan tugas."
"Apa-apaan? Aku bisa jalan sendiri! Lepaskan!" Gadis itu meronta, menghempas tangan Al dengan kuat.
"Aku pergi! Kalau dia berani menyusahkanmu lagi, ingat hubungi aku!"
"Eh, Ara, kamu." Elodie hendak menuruni tempat tidur. Namun tangannya sudah dicekal seseorang.
"Tunggu apa lagi, antarkan nona Clara keluar!" titah Grayson tapi dengan tatapan yang terus tertuju pada sang istri. Asisten Al menunduk hormat, lalu mengulurkan tangan ke arah pintu.
"Silakan!"
Clara mendengus kesal, berbalik pergi sembari menghentakkan sepatu heelsnya dengan keras.
"Ara ...."
Elodie mengangkat kepalanya untuk melihat pria yang masih memegang erat tangannya itu. Namun baru bertatapan sebentar, ia kembali menunduk.
"A-aku."
"Kata dokter, kau sudah boleh pulang!"
"Lalu?"
"Ya, pulang. Apa lagi? Sudah 10 hari sejak kau sadar. Jangan bilang kau mau tinggal di rumah sakit selamanya."
"Maksud aku. Aku pulang bersama kamu?"
Gray kembali mengeraskan rahang saat mendengar pertanyaan yang begitu bodoh menurutnya. "Kau pikir ada tempat lain yang akan menerimamu?"
Mendengar itu Elodie merasa tidak terima. Kepala yang sebelumnya menunduk kini terangkat dengan tegak. "Apa maksudmu tidak ada yang akan menerimaku? Ada Clara, Glenca, juga yang paling penting aku masih memiliki seorang kakak laki-laki."
Tanpa sadar pegangan tangan pria itu semakin mengerat hingga Elodie menepisnya. "Lepas! Kamu mau mematahkan tanganku, ya?"
Gray menutup matanya, menarik napas dalam lalu kembali memandang istri yang sebelumnya sangat penurut itu. "Dengar baik-baik! Demi menikah denganku, kau sudah putus hubungan dengan kakak laki-laki yang kau katakan itu."
"Apa? Tidak mungkin! Kak Elbert sangat menyayangiku," pekiknya dengan keras, namun wanita itu langsung terdiam ketika Gray tiba-tiba menunduk.
Elodie terus memundurkan tubuhnya saat Gray semakin mendekat. Terus seperti itu hingga ia kembali terbaring dan Gray masih tidak menghentikan gerakannya. Refleks saja ia menutup mata, membuat sang suami yang sadar akan itu tersenyum mengejek.
"Sekarang paham kan betapa kau mencintaiku? Kasih sayang kakakmu itu bahkan tidak ada apa-apanya," bisik Gray tepat di telinga Elodie kemudian mengecupnya pelan. Wanita itu sontak membuka mata, mendorong tubuh Gray dengan kuat.
"Brengsek!"
Gray tersenyum samar, menatap wajah kesal sang istri yang entah kenapa memberikannya pandangan berbeda. "Bersiaplah! Aku hanya punya waktu menunggu selama lima menit. Kalau lebih maka kau cari cara pulang sendiri!"
Elodie mengerutkan alis, menatap sebal pada pria tua yang sialnya ternyata suaminya ini.
.
.
.
"Mommy." Elodie tersentak saat turun dari mobil sudah dipanggil seperti itu. Ia memandang seorang anak kecil di depannya dengan tatapan sulit diartikan.
"Kamu panggil aku apa?" tanya Elodie hati-hati, membuat anak itu kembali mengulang panggilannya itu. "Mommy."
"KYAAAAAAA!" Elodie berteriak kencang sembari mengangkat kedua tangannya. Semua orang di sana sampai harus menutup telinga, tak terkecuali Gray. Pria itu menatap kesal sang istri setelah teriakan itu berhenti.
"Di-dia anakku?" tanya Elodie sembari menoleh pada Gray yang wajahnya semakin datar. Pria itu bergeming sebentar sebelum memijat kepalanya yang terasa berat. Ia menggeleng samar dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa pun.
Elodie mengusap dadanya lega. "Ternyata bukan, ya?" gumamnya yang masih bisa didengar beberapa orang di sana.
Dalam sekejap kedua mata Cedric berkaca-kaca. "Mommy tidak menginginkanku lagi?" tanya anak itu kembali membuat Elodie tersentak.
Ia kembali menatap anak itu dengan bingung. Lalu berjongkok untuk menyamai tingginya, kedua tangannya menyentuh bahu Cedric dengan lembut. Menciptakan senyuman manis sang anak lelaki yang mengira Elodie, mommy-nya yang penuh kasih telah kembali.
Namun kata-kata selanjutnya yang diucapkan wanita itu benar-benar seperti menjatuhkannya dengan kejam dari langit. "Hei, Nak. Aku bukan mommy kamu."
"KYAAAAAAA!!!" Kali ini Cedric yang berteriak. Teriakan yang lebih kencang dan berulang-ulang hingga Gray yang sudah berada di dalam rumah itu memejamkan mata sembari menarik napas berat.
"Aku benci kamu!" teriak Cedric sebelum berlari masuk ke dalam rumah. Elodie kembali berdiri, menggaruk tengkuknya dengan bingung.
Wanita itu lalu mengalihkan perhatian pada asisten Al yang masih berdiri di sampingnya. Namun pria itu langsung tertawa canggung.
"Nyonya, saya masih ada pekerjaan yang harus didiskusikan dengan tuan Gray," ujarnya langsung menunduk sedikit sebelum masuk ke rumah.
Bibi Erin yang tersisa memberi senyuman aneh saat Elodie memperhatikannya. "Nyonya, saya Erin. Pengurus rumah tangga di rumah ini."
Elodie mengangguk mengerti, kemudian mendekatkan diri tiba-tiba hingga bibi Erin sedikit terkejut. "Aku bukan mommy anak tadi, benar kan?"
Mendengar itu bibi Erin menggeleng beberapa kali. "Tidak, Nyonya! Tuan muda Cedric adalah putra Anda. Putra yang Sangat Anda sayangi. Bahkan Anda masuk rumah sakit karena menolongnya."
"Hah?" Elodie menganga tidak percaya. Pantas saja anak kecil tadi itu menangis, ia juga akan menangis jika tidak diakui orangtua seperti itu.
...
Gray menyandarkan tubuh lelahnya pada kursi kerja. Akhirnya ia bisa menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda hari ini. Namun di saat baru memejamkan mata, pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar.
Ia menatap dingin seseorang yang berdiri di sana. Namun wanita itu sama sekali tidak menunduk seperti biasanya, justru menghampirinya dengan percaya diri dan menggebu-gebu. Seakan tengah menahan emosi yang akan meledak.
Gray membiarkannya, lelaki itu duduk dengan tenang sembari menunggu wanita di depannya membuka mulut.
"Grayson Grassel! Ayo kita bercerai!"
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!