Pernahkah kalian membayangkan, kejadian tak masuk akal dari sebuah film menimpamu? Sebuah non-sense untuk dijelaskan secara sains. Sama halnya yang terjadi pada Laras. Setidaknya itu yang satu-satunya opsi paling masuk akal dari kejadian yang menimpanya.
Bagaimana bisa, tiba-tiba dia bangun di tubuh sosok yang terbaring di rumah sakit. Dengan selang dan infus yang berlomba menempel di tubuhnya. Laras hendak beranjak bangun, namun nyeri menyerang kepala dan beberapa titik. Gadis itu meringis, kembali menghempaskan badan ke ranjang. Apa yang terjadi dengannya?
"Rupanya kamu kuat juga."
Keterkejutannya yang belum usai, bertambah dengan kemunculan sosok yang entah sejak kapan masuk ke ruangan.
Laras mengernyitkan dahi. Menatap asing pada pria beraut datar itu.
"Siapa kamu?"
Pria itu justru mendecih. Terkekeh sinis setelahnya.
"Oh, rupanya kepalamu bermasalah?" menyeringai. "Baguslah. Aku tidak perlu repot-repot mengurusmu."
Pria itu berjalan dan duduk di kursi. Bersidekap angkuh. Tatapannya masih sama. Datar dan menyebalkan.
Laras berniat beranjak. Tapi lagi-lagi nyeri membuatnya mengurungkan niat. Gadis itu memejamkan mata. Nyeri yang menghantam rasanya. Dia kenapa sih? Perasaan, sebelumnya dia gak kenapa-napa. Seingatnya, pagi tadi dia joging di taman dekat rumahnya. Terus duduk di bangku. Menonton anak-anak yang bermain sepak bola. Setelah itu ...
Ah, dia ingat! Bola itu meluncur ke arahnya, dan tanpa ampun membentur kepalanya. Setelah itu tiba-tiba saja gelap. Dan dia gak ingat apa-apa. Apa jangan-jangan itu penyebabnya? Tapi, masak iya, bola doang bisa bikin dia masuk rumah sakit. Tapi, nyerinya gak cuma di kepala doang tuh. Kepalanya di perban. Terus, di tangannya juga ada.
Dan pria asing ini?!
"Kenapa menatapku?" pria itu sadar dirinya ditatap tajam olehnya.
Laras mendecih tipis. Dasar pria ketus angkuh.
"Pinjam hp-mu," ujarnya tak kalah ketus. Menengadahkan tangan.
"Buat?"
"Ck. Pinjem doang, bentar."
Pria itu menyeringai. "Kamu ingat?"
"Ingat apa sih? Dari tadi ngomong gak jelas. Tinggal pinjemin hp nya bentar apa susahnya. Gak bakal gue bawa lari. Lagian lo lihat sendiri, gue lagi sakit."
Pria itu tampak terkejut dengan ucapan Laras yang terkesan berani. Beberapa saat dia menatap gadis itu selidik.
"Kenapa lagi? Masih curiga sama gue? Takutan banget hp nya gue curi," kesal Laras. Lagian dia cuma pinjam bentar. Ada hal yang ingin dia pastikan. Tapi pria aneh itu justru mencurigainya. Menyebalkan! Karna kesal, Laras memalingkan wajahnya ke arah lain. Males ngeliat orang aneh itu.
"Nih."
Laras kembali menoleh. Ponsel di sodorkan ke arahnya.
"Laporkan saja. Aku tidak peduli."
Laras merebut ponsel itu cepat. Lantas jemarinya menggeser layar yang sudah menyala. Mencari aplikasi yang ditujunya.
"Ngomong gak jelas. Orang gue cuma mau mastiin sesuatu," gumamnya, sembari menekan kamera. Mengarahkan ke wajahnya sendiri. Memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan. Kerutan di dahinya makin nampak. Tangannya ikut meraba, memencet hidungnya, memanyun dan meringiskan bibir. Sosok di kamera itu mengikuti gerakannya. Laras menarik napas panjang. Lantas menoleh ke pria yang ternyata masih berdiri di sebelahnya itu.
"Lo penipu, kan?" ucapnya, menyorot tajam. "Lo sengaja bawa gue ke rumah sakit, pura-pura ngatain gue amnesia, padahal niat lo mau meras keluarga gue?" tuduhnya.
Alih-alih mengelak, pria itu justru terkekeh. Mengambil ponselnya dari tangan Laras.
"Tidur. Aku panggilkan dokter," ujarnya tak menanggapi tuduhan Laras.
"Hey! Gue belum selesai!"
Pria itu hanya menggendikkan bahu. Berlalu.
"Woy! Pinjem ponselnya!"
Blam!
Laras merutuk. Sialan! Bahkan dia belum sempat menghubungi orang tuanya.
Arrh!
.
.
Tatapannya kosong. Laras masih syok dengan apa yang di dengarnya dari dokter. Dokter bilang, dia memang amnesia, gara-gara benturan keras akibat terjatuh dari tangga. Tapi, Bagaimana bisa? Dia cuma kena lemparan bola. Sekali lagi, penyebabnya adalah bola, bukan tangga!
"Untuk dua hari ke depan, ibu Bunga harus menjalani rawat inap. Sampai kondisinya benar-benar kondusif."
Bunga?
Ah, nama siapa lagi itu. Namanya bukan Bunga. Tapi dokter berkali-kali menyebutnya dengan nama itu. Dan baru dia sadari, nama bangsalnya juga tertulis Bunga Ferlisya. Bukan Larasati Velisya.
Laras tidak mendengarkan lagi percakapan dokter dan pria aneh itu. Isi kepalanya lebih ribut. Dia pusing, bagaimana kejadian ini bisa terjadi padanya. Sungguh, di luar nalar. Gak habis pikir.
Kekehan mengejek mengambil alih atensinya. Laras mengembuskan napas kasar. Melirik kesal pada pria itu.
"Jujur. Lo nyogok dokter buat bohongin gue, kan? Supaya gue percaya sama tipuan lo?" Laras menolak percaya. Dia masih berharap kalau ini cuma tipu muslihat pria itu untuk memerasnya.
Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Smirk menyebalkan masih tersungging di bibirnya.
"For what? Sama sekali tidak ada untungnya menipu dirimu."
"Halah! Ngaku aja deh."
Pria itu menyodorkan ponselnya.
"Hubungi saja orang tuamu, kalau itu bisa membuatmu percaya."
Laras meraih kasar ponselnya. Namun, sejurus kemudian jemarinya terhenti. Dia gak inget nomor orang tuanya. Sama sekali. Yah, zaman sekarang, siapa sih yang masih sempat menghafalkan nomor? Yang bahkan nomor sendiri saja masih sering lupa. Hembusan kasar pertanda dirinya kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
"Hem," menyodorkan ponsel, membuang pandangan.
"Kenapa? Tidak jadi? Bukannya kamu ingin membuktikan tuduhanmu?"
Laras mendecak. "Gue gak inget," ketusnya, masih memalingkan wajah.
Terdengar kekehan bernada ejekan. Siapa lagi sumbernya kalau bukan pria itu.
"Gue mau istirahat. Lo pergi aja sana. Awas aja berani macam-macam," tolehnya, jemarinya menunjuk wajah pria itu, mengancam.
Pria itu hanya tertawa, menyunggingkan smirknya.
Laras memiringkan tubuhnya. Memejamkan mata, paksa. Ayolah, dia masih berharap ini mimpi di alam bawah sadarnya. Bukannya seingat dirinya, terakhir kali dia pingsan? Semoga saja ini cuma mimpi.
"Sayang, Bunga gimana keadaannya?"
Mendengar ada suara orang lain, Laras menoleh. Pandangannya yang langsung bersitatap dengan wanita yang dia takar sekitar umur empat puluhan.
"Ah? Sayang ...."
Bunga mengerjapkan matanya saat wanita itu langsung menghampiri dan memeluknya.
"Gimana keadaanmu, sayang? Mama khawatir sekali mendengar kabar kamu jatuh dari tangga. Mama langsung minta papa buat pesen tiket pulang. Tapi sayangnya pekerjaan papamu gak bisa ditinggalin. Maafin mama ya? Pasti sakit sekali."
Laras masih diam. Diam karna bingung. Wanita itu mengecek luka di tubuhnya. Sorot khawatir terlihat jelas. Begitu perhatian memastikan keadaannya.
Laras menoleh ke arah pria aneh itu, yang tetap memasang wajah datarnya. Padahal sorotnya memberi kode, meminta jawaban, tentang - siapa wanita ini?
Pintu di dorong lagi dari luar. Kali ini seorang pria paruh baya, yang juga langsung memusatkan perhatian ke arahnya.
"Lihat, Pa. Luka Bunga parah begini. Bisa-bisanya papa malah mentingin pekerjaan. Untung aja Aksa gercep bawa ke rumah sakit. Aish, mama khawatir banget."
Aksa? Apa mungkin nama pria ini adalah Aksa?
"Iya, Ma. Papa minta maaf. Bunga, maafin papa, ya? Papa terkesan mementingkan pekerjaan."
Laras diam saja. Dia masih bingung mencerna situasi.
"Apa kata dokter, Sa?" Pria yang dipanggil papa itu menoleh pada si pria aneh. Alias Aksa. "Tidak ada luka serius, kan?"
"Ini pada kenapa sih? Kalian juga siapa?" tanyanya, memotong Aksa yang hendak menjawab. Sedari tadi dia diam saja, kepalanya rasanya mau meledak.
Seketika, tatapan terkejut tertuju padanya. Kecuali Aksa, tentu saja.
"Sa-sayang .... kamu ...." wanita itu menatapnya nanar.
"Sory, tante. Saya tidak tahu kenapa tante memberi saya perhatian. Saya tidak kenal tante. Juga dia, saya gak kenal."
"Sayang ...."
Wanita itu bahkan kini meneteskan air mata.
Aneh. Kenapa mereka bereaksi seperti itu? Padahal jelas-jelas dia gak kenal mereka. Dan, Laras juga gak ngerasa lupa ingatan, tuh. Buktinya, dia masih ingat siapa dirinya, dimana rumahnya. Juga nama orang tuanya. Jelas sejelas-jelasnya. Termasuk sejarah dirinya dari kecil. Sekolah dimana, teman-temannya siapa. Dia ingat jelas kenangan itu. Tapi orang-orang ini ... sikapnya aneh. Memperlakukannya seolah dia dekat dengan mereka.
"Bunga amnesia, Ma. Terbentur lantai, akibat jatuh." Aksa menjelaskan. Tetap dengan wajah datarnya.
"Ya Tuhan ...."
Wanita itu kembali memeluknya. Bahkan menangis. Si pria yang dipanggil papa itu tertegun. Mengembuskan napas panjang.
Entahlah. Kepalanya makin pusing.
.
.
Dua hari kemudian, dirinya sudah diperbolehkan pulang. Tidak ada pilihan lain, sementara ini Laras pasrah. Ikut saja orang-orang ini membawanya pulang. Lagipula, si Aksa-Aksa itu sudah berjanji padanya, kalau bakal nganterin dia pulang ke rumah, setelah sembuh nanti. Dan gak tahu kenapa, dia percaya kalau Aksa akan menepati janjinya untuk mengantarnya.
Setidaknya, kecurigaannya kalau pria itu penipu sudah gugur. Keluarga Aksa sekaya itu. Rumah orang tuanya besar dan mewah. Tidak mungkin pria itu berniat menipunya. Uangnya pasti sudah banyak.
Orang tua Aksa sebenarnya meminta dirinya untuk tinggal di rumah mereka. Tapi Aksa menolak. Dengan alasan, kalau lebih nyaman di rumah mereka sendiri. Mereka hanya menginap semalam di rumah orang tua Aksa. Dan pagi-pagi, Aksa membawanya pulang ke rumahnya. Rumah yang tak kalah mewah dari rumah orang tuanya. Sejauh ini, Aksa tidak memberinya perlakuan buruk. Minus saja di tingkah dan wajah datarnya yang menyebalkan itu. Sisanya, lumayan lah. Bahkan, sejak di rumah orang tuanya, Aksa yang mendorong kursi rodanya, memasuki rumah.
Hanya saja, ada yang membuatnya tertegun ...
Sebuah figura poto dimana disana ada dirinya dan Aksa. Berfoto berdua. Foto wedding.
Jadi, Aksa dan dirinya .... beneran suami istri? Foto itu nyata. Tapi, bagaimana bisa?!
"Serasi, bukan?"
Suara Aksa membuyarkan keterkejutannya. Pria itu melangkah dan berhenti di sampingnya. Tatapannya juga sama tertuju ke pigura tersebut. Bersidekap dengan smirk di bibirnya. Yang menurut Laras memang sangat menyebalkan. Apalagi, pria itu menoleh ke arahnya, dengan lengkungan yang mengejek. Bahkan, Aksa kini mencondongkan tubuh ke arahnya. Laras sampai terkesip, dan reflek memundurkan wajahnya.
Melihat reaksi Laras, Aksa terkekeh. Tersenyum puas. Puas membuat gadis itu mati kutu. Dengan santainya, pria itu menarik wajahnya kembali. Menegakkan tubuhnya seperti posisi semula. Memasang wajah tanpa dosa. Seolah tindakannya tadi tak berarti apa-apa.
"Kita memang menikah. Tapi, jangan harap pernikahan yang layak," ucapnya dengan netra tertuju ke pigura.
Laras kembali mendongak. Apa maksudnya? Di foto itu jelas-jelas dirinya -- ah, ralat, seseorang yang mirip dirinya -- merangkul lengan si pria dengan senyum bahagia. Tak layak darimananya? Pernikahan itu terlihat seperti kebanyakan pernikahan yang diharap-harapkan.
"Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan."
Aksa berbalik. Memegang kursi roda yang dipakainya.
"Tunggu!" Cegahnya saat Aksa hendak mendorong kursi rodanya. Dan pria itu mengurungkan gerakannya.
"Kenapa gak lo jelasin aja. Gue capek mikir, kebanyakan teka teki."
Tapi memang kepalanya pusing. Gak ada secuil pun jawaban yang dia inginkan. Situasi ini membuat kepalanya serasa mau meledak.
"Yang jelas tidak ada yang mengharapkan pernikahan ini. Sudahlah, lagipula kamu tidak ingat diriku, kan? Anggap saja begitu."
Aksa hendak mendorong kursi rodanya, tapi lagi-lagi Laras menyela.
"Gue bisa sendiri. Tunjukin aja dimana kamarnya, ntar gue kesana."
Aksa mengangguk. Melepas pegangannya dari kursi roda.
"Itu kamarmu," menunjuk pintu berwarna krem. "Dan selama ini kita pisah kamar. Hanya, saat mama dan papa kesini, kita baru berpura-pura mesra."
"Kenapa?"
"Karna cuma mereka yang menghendaki pernikahan. Bukan kita."
Laras mengangguk faham. Baguslah. Begitu malah lebih baik. Setidaknya dia gak perlu khawatir Aksa akan macam-macam padanya.
Setelah menjelaskan, Aksa berlalu. Tinggalah dirinya, yang kini kembali memandangi poto di pigura. Mengela napas panjang. Dia menyerah. Menyerah atas penafikan kalau mereka berbohong tentang hubungannya dengan Aksa.
Mungkin, dugaannya benar. Saat ini nyawanya tengah tertukar dengan si pemilik tubuh ini.
"Kasian banget elo, ya, nikah sama cowok nyebelin macam dia," Laras memberi simpati. Meski berat hati, dia harus mengakui, kalau yang dianggapnya gak masuk akal ini nyata dia alami.
"Kira-kira, lo sekarang nyasar dimana ya? Apa jangan-jangan kita tukeran tubuh kayak di film-film itu? Tapi, wajah kita aja mirip. Mama pasti ngiranya lo itu gue. Yah, sama kayak nasib gue disini sih. Cuma bedanya, elo ketemu sama mama yang sayang banget sama gue. Gak kayak gue, kejebak nikah tanpa cinta. Sialnya, cowoknya nyebelinnya gak kira-kira," keluhnya, setengah menggerutu.
Laras memutar kursi rodanya. Menuju kamar yang ditunjukkan Aksa padanya tadi. Dia butuh istirahat. Dia harus segera sehat, supaya bisa memastikan sendiri di rumahnya, nanti.
.
.
Selama beberapa hari pengamatan Laras, Aksa tidak seburuk itu. Maksudnya, pria itu hanya datar dan irit bicara. Mungkin pernikahan mereka tidak sekejam yang dia bayangkan. Maksudnya, dia sempat berfikiran kalau Aksa ini melakukan kdrt. Penyebab si pemilik tubuh ini terbaring di rumah sakit 'kan gara-gara terjatuh dari tangga. Gak salah dong, kalau dia mencurigai, Aksa lah penyebabnya. Tapi syukur deh, kalau itu cuma dugaannya. Nyatanya, sejauh ini, dia gak mengalaminya.
Kondisi tubuhnya perlahan membaik. Dia bahkan sudah bisa jalan tanpa kursi roda lagi. Sebenarnya, kakinya gak separah itu sih. Kursi roda hanya untuk memudahkan gerakannya tanpa merepotkan Aksa. Ya kali ... daripada dipapah pria itu, mendingan dia pake kursi roda aja. Aman.
Selain dirinya dan Aksa, di rumah ini juga ada bi Imah, asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah. Tapi bi Imah tidak menginap. Beliau pulang ke rumahnya setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Seenggaknya, Laras ada teman ngobrol, selama Aksa ke kantor. Oh, ya, Laras baru tahu kalau Aksa yang mengurus perusahaan papanya yang disini. Dia anak tunggal. Sementara papanya lebih memilih mengurus perusahaan cabang. Kalau melihat sudut pandang sementara, bisa dibilang Bunga adalah wanita beruntung. Punya suami tampan dan kaya dan juga mertua yang sayang padanya. Yah, harus dia akui, Aksa memang tampan. Meski dingin, dan sering menyebalkan.
"Anterin gue pulang," ucap Laras tiba-tiba, di tengah kegiatan sarapan.
Aksa yang tengah menyantap makanan, mendongak. Hanya sekilas, kembali melanjutkan kunyahannya.
"Tidak sekarang. Aku ada urusan penting," sanggahnya.
Laras mendecih. "Alesan. Lo kan udah janji buat nganterin gue. Gimana sih? Janji doang, tapi gak ditepati."
"Kamu tidak dengar, aku ada urusan?"
Laras merotasikan bola matanya.
"Ya udah, gue bisa pergi sendiri. Lagian, gue inget jalan ke rumah."
"Keras kepala. Aku bilang, jangan sekarang."
"Terus kapan? Ngelarang mulu, tapi gak ngasih kepastian. Aneh."
Laras menggerakkan bibirnya, manyun. Bahkan, sejak tadi makanannya masih utuh. Dia malas menyantapnya. Rasa penasaran, membuatnya tidak berselera makan. Rasanya ingin cepat-cepat memastikan sendiri. Sekaligus mengecek tentang dugaannya atas keberadaan Bunga di rumahnya. Siapa tahu beneran mereka tukeran jiwa.
"Kalau emang gak mau anter, ya jangan salahin, kalau gue beneran kesana sendiri. Lagian gue berani."
Aksa menyorotnya dingin. "Tunggu aku. Nanti siang aku jemput."
"Bener? Gak janji doang?" Sindir Laras.
"Terserah apa katamu. Tapi jangan harap aku jadi mengantarmu, kalau sampai kamu belum bersiap."
"Lah, kalau lo gak jadi juga, gak masalah. 'Kan gue bisa pergi sendiri," Laras mengangkat alisnya, cuek.
"Lo lupa perjanjian kita?"
"Perjanjian? Apaan?" Kernyitnya. Tapi, demi melihat seringai Aksa, tiba-tiba bulu kuduknya bergidik. Merinding. Kok dia ngerasa, kalau perjanjian yang di maksud bakal merugikan dirinya.
"Oke ... oke. Gue tungguin. Jam berapa?" ujarnya, cari aman.
"Jam satu. Harus sudah siap."
Laras manggut-manggut. Kirain lebih pagi dari itu.
"Dan jangan ngasih tahu mama."
Laras menggerutu pelan. "Iya ... iya. Banyak amat sih larangannya."
"Satu lagi ...." Aksa menggantung kalimatnya. Menatap lekat gadis di depannya itu.
Laras menopang dagunya. "Apa?" Seakan mengejek Aksa, yang palingan mau ngasih larangan lagi. Atau, malah ancaman (?)
"Jangan kaget, kalau nanti gak sesuai dengan ekspektasimu."
"Oh." Gitu doang. Laras mengangkat bahunya. Cuek. Dia mah gak berekspektasi jauh. Orang dia cuma mau mastiin kalau si pemilik tubuh ini jiwanya juga tengah terperangkap di tubuhnya.
Ruang makan kembali sepi. Aksa menyelesaikan makannya. Laras juga. Selera makannya kembali. Dia sudah mendapat kepastian.
Selesai makan, Aksa beranjak pergi. Jangan harap ada selingan romantis. Aksa langsung keluar, sementara Laras menyantap sarapannya. Deru mobil terdengar menjauh. Dan Laras hanya melihat sekilas dari meja makan.
.
.
Sesuai janjinya, pukul setengah satu, Aksa pulang. Laras yang mendengar deru mobil Aksa memasuki halaman, berjengkit kaget. Buru-buru mengganti bajunya sambil merutuk. Dasar gak on-time. Janji jam satu, eh setengah satu sudah datang. Gak konsisten namanya.
Bener-bener definisi apa adanya. Laras bahkan menguncir rambutnya asal. Tanpa memoles bedak ataupun lipstik. Langsung berlari keluar, sebelum membuat Aksa berubah pikiran.
Dia hampir saja menabrak Aksa di depan pintu. Untung aja rem kakinya berfungsi dengan baik. Berhenti tepat beberapa senti, sebelum mulus menghantam dada keras itu. Aksa nampak terkejut, dengan kemunculan Laras yang tiba-tiba. Ditambah dengan ekspresi tanpa dosa gadis itu.
"Udah siap, nih," ringisnya lebar.
Aksa mengamati penampilan Laras. Kaos oversize, dan rambut dikuncir asal. Wajah polos tanpa sapuan make up. Aksa tertegun beberapa saat.
"Malah diem. Ayo!"
Laras semangat melangkah lebih dulu. Tidak mau ambil pusing dengan sikap aneh Aksa, yang saat ini bahkan masih memperhatikannya. Beberapa detik kemudian, sudut bibir pria itu tertarik, menyeringai tipis. Memasukkan sebelah tangannya ke kantong celana, dan melayangkan tungkai panjangnya. Menyusul gadis di depannya.
.
.
Aksa melirik gadis di sebelahnya. Yang sedari tadi bersenandung berisik. Benar-benar berbeda.
"Kenapa? Keberisikan ya? Salah sendiri, mau nyetel lagu aja gak dibolehin," cibir Laras, mendapati tatapan Aksa padanya.
Pria itu menyeringai. Memfokuskan pandangannya ke depan.
"Kamu yakin, rumah itu benar rumahmu?" Aksa menoleh sekilas.
"Yakin dong. Kenapa enggak? Dua puluh tahun gue tinggal disana."
Aksa manggut-manggut.
"Ntar lo jangan kaget ya, kalau ada yang mirip sama gue disana."
Aksa menoleh. Mengernyitkan dahi.
"Aah, jadi gimana ya jelasinnya." Laras menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Gini," dia mencondongkan badan ke samping.
"Gue bukan Bunga, istri lo. Nama gue Laras. Itu poin pertama."
"Eh, jangan ketawa, anying," kesal Laras, melihat Aksa menarik sudut bibirnya.
"Lalu?" Aksa menaikkan sebelah alisnya. Menahan tawa. Omong kosong apa yang akan di katakan oleh gadis di sebelahnya ini.
"Haish, dasar nyebelin," gerutu Laras.
"Gue ini Laras. Waktu itu gue joging di taman. Ada anak-anak main sepak bola. Dan bolanya nyasar. Ngenain kepala gue. Akhirnya gue pingsan deh. Tapi herannya, ngapain gue tiba-tiba di rumah sakit? Parahnya lagi, ada elo, orang aneh yang nyebelin. Gue juga gak tahu, masak kena bola aja bikin kepala sama tangan gue luka. Abis itu, gue sadar kalau gue masuk ke raga orang lain gara-gara mama lo dateng. Tapi herannya, kenapa wajahnya mirip sama wajah asli gue coba? Pasti gue tukeran jiwa deh sama dia. Pasti jiwa kita bingung, karna wajah kita mirip. Makanya kesasar," Laras menyerocos dengan teorinya. Sementara Aksa, menggeleng heran. Hari gini, masih aja percaya dengan hal di luar konsep sains. Mana ada tukeran jiwa? Memangnya ini film? Ada-ada saja.
Laras masih mengocehkan tentang teori praduganya, sampai kemudian mereka sampai ke rumah yang dituju.
"Aah, gak sabar ketemu sama mama," sorak Laras tak sabar.
"Langsung aja, pak Adi mah pasti ngiranya gue yang asli," ujarnya percaya diri.
Aksa menekan klakson, memberi kode pada satpam. Seorang pria berseragam satpam sigap menghampiri.
"Cari siapa, Mas?"
Laras sibuk memperhatikan penampilannya.
Aksa menunjuk ke arah Laras. Maksudnya, harusnya satpam kenal dengan tuan rumah. Tanpa basa basi membukakan pintu. Tapi, yang terjadi.
"Apa maksudnya? Mas cari siapa?" Ulang satpam itu.
"Pak Adi, ini Laras. Masak pak Adi lupa?" Laras tersenyum lebar. Tapi raut satpam itu malah sebaliknya.
"Maaf, kalau tidak ada kepentingan, silakan pergi!"
Senyum Laras meluntur. "Loh, pak Adi gimana sih? Ini Laras, loh. Masak lupa."
"Anda siapa? Saya tidak kenal. Kalau mau melakukan penipuan, jangan disini."
Laras menatap Aksa, bingung. Aksa tidak menanggapi. Rautnya datar.
Laras membuka pintu mobilnya. Menghampiri pak Adi.
"Pak, ini aku lo? Laras. Putrinya mama Lina. Masak pak Adi lupa?"
"Jangan macam-macam, mbak. Saya bisa laporkan anda ke polisi."
"Lah, apaan sih, gak jelas."
Laras menggeleng, kesal. Lebih baik dia masuk. Memastikan sendiri.
"Mbak, tunggu!"
Laras langsung ambil langkah seribu.
"Mama! Pak Adi gilaa!" Teriak Laras. Nyelonong masuk ke pintu yang terbuka. Si satpam di luar mengejarnya. Tapi dia pintar, langsung menutup pintu, menahannya dari dalam. Sehingga si satpam geger di luar.
Laras menyeringai puas. Dasar satpam aneh. Bisa-bisanya lupa sama anak majikan. Awas aja. Dia aduin mamanya nanti.
"Ada apa ini?" Suara wanita menginterupsi gerutuannya.
Laras berbalik, senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Ma-maa ...." suaranya tercekat.
Berbeda dengan keberangkatan tadi. Suasana mobil hening. Laras menyandar lemas, seraya membuang tatapannya keluar. Gimana gak syok, ekspektasinya bukan cuma hancur. Tapi memang gak nyata. Rumah yang dianggap rumahnya ternyata bukan rumahnya. Wanita itu bukan mamanya. Mereka tidak mengenalnya. Jangankan bertemu dengan jiwa Bunga dan tubuhnya, dia malah disodorkan fakta kalau rumah itu dari dulu pemiliknya sama. Tadi memang dia sempat mengelak, mungkin saja mamanya pindah. Tapi faktanya, rumah itu dari dulu milik keluarga lain. Ah, bagaimana bisa? Laras meraup wajahnya, menghembuskan napas kasar.
Melihatnya, Aksa menyeringai tipis.
"Bagaimana, masih mau mencari mamamu?" ucapnya, dengan nada mengejek.
Laras menggumam tak jelas.
"Atau kita ke rumah sakit?"
Laras menarik wajahnya. "Ngapain? Gue udah sembuh."
Aksa manggut-manggut. Mengetuk jemarinya ke stir.
"Secara fisik mungkin iya. Tapi isi kepalamu tidak."
Laras mendecak. Lagi-lagi pria itu masih menuduhnya amnesia.
"Dibilangin gue ini bukan Bunga, kita cuma tukeran jiwa, kok ngeyel," gumamnya, menggerutu. Dia masih kesal gara-gara fakta tadi. Eh, Aksa malah membuat rasa kesalnya makin bertambah.
"Kamu itu masih terbawa mimpi."
"Mimpi apa? Orang gue gak tidur," sangkal Laras. Dia masih membuang pandangannya. Malas melihat pria di sampingnya. Bikin kesel aja.
"Kamu tahu, berapa hari kamu di rumah sakit?"
"Gak ada sehari. Pagi gue pingsan, sorenya gue bangun. Itu aja, tiba-tiba ada elo."
"Tiga hari."
Laras reflek menoleh. Menyorot Aksa kaget.
"Kamu koma selama tiga hari," jelas Aksa.
Laras mengerjap. "Ti-tiga hari? Ma-mana mungkin ... orang gue ..." dia menggantung ucapannya, bingung.
"Perlu lihat surat medis?" Tawar Aksa.
Laras diam. Berusaha mencerna.
"Ada mimpi dalam koma. Mungkin saja selama tiga hari kamu memimpikan kehidupan lain. Ya seperti yang sekarang kamu fikirkan. Namamu Laras, bukan Bunga. Tinggal di rumah tadi bersama mamamu. Tapi nyatanya? Rumah tadi milik keluarga lain sejak dulu. Dan tidak ada wanita yang kamu sebut mama."
Laras tak menyangkal. Aksa bisa jadi benar. Tapi dia masih menolak percaya. Memorinya terlalu nyata. Detail. Dan lengkap.
"Masih belum percaya?" Aksa mendapati kebimbangan gadis itu.
"Atau, kamu ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi? Siapa tahu masih perlu bukti?"
Tawaran menarik. Laras mengangguk. Baiklah. Dia masih ada beberapa tempat untuk membuktikan kalau ini bukan mimpi. Tapi dia nyata Laras, bukan Bunga.
.
.
"Nadine? Disini tidak ada yang namanya Nadine."
"Hah? Apa sih? Orang aneh. Sejak kapan disini sekolahan? Salah tempat kali."
Bahkan ke kampus ....
"Nama anda tidak pernah terdaftar di kampus kami."
Laras memijat pelipisnya. Matanya terpejam. Pusing.
Dari sekian tempat yang dia datangi, rumah temannya, lokasi sekolahnya dulu, sampai dengan kampus dimana dia merasa masih menjadi mahasiswi disana pun, tidak memberinya jawaban memuaskan. Tidak ada nama Laras. Tidak ada Nadine, sahabatnya. Bahkan dia sempat diusir gara-gara bersikeras mendatangi sebuah rumah yang dia yakini tempat tinggal ayahnya. Aksa yang sedari tadi menjadi saksi, hanya mengamati gerak gerik gadis itu.
"Jadi ... Gue beneran mimpi?" dengkusnya kasar. Tak terima kenyataan.
"Menurutmu?" Aksa membalikkan pertanyaan. "Dari sekian bukti yang kamu cari, tidak ada yang sesuai, bukan?"
Laras mendesah pelan. Aksa benar. Dirinya seperti fiksi, identitasnya tidak di akui. Atau, jangan-jangan dia berasal dari dunia paralel? Aish! Pikiran apalagi itu. Laras mengacak kasar rambutnya sendiri. Dia frustasi.
"Tapi, gimana mungkin? Gue bahkan gak tahu tentang Bunga sama sekali," dirinya masih menyangkal.
"Karna kamu amnesia. Dokter sudah menjelaskan."
Laras mendecak kasar. Menatap pria di sampingnya dengan sorot tajam.
"Lo gak macem-macem kan sama gue?"
Aksa menaikkan sebelah alisnya.
"Gue masih perawan, kan?" ceplosnya, gamblang.
Aksa melirik sekilas. Terkekeh kecil.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Buat apa aku menyentuhmu?"
Laras bersidekap. "Ya siapa tahu. Lo diam-diam grepe-grepe gue. Namanya cowok, gak bisa dipercaya."
"Itu menurutmu."
"Dih, emang iya kali. Emang sejak kapan cowok bisa nahan nafsunya? Apalagi serumah berdua sama cewek. Diem-diem pegang-pegang kan gak tahu."
Sreet. Laras terhenyak. Hampir saja kepalanya membentur. Tiba-tiba saja Aksa menepikan mobilnya tanpa aba-aba.
"Gila lo! Kalau gue jantungan gimana? Huft ...." protesnya. Menepuk dadanya sendiri, menetralkan jantungnya yang hampir mencelos.
"L-lo .... Lo mau apa?" susah payah Laras menelan salivanya, gugup. Tanpa dia sadari keberadaan Aksa yang sangat dekat ke arahnya. Bahkan kalau saja dia bergerak sedikit saja, mungkin bibir mereka sudah bertabrakan tadi.
"Menurutmu?" Aksa memindai titik wajah yang menjadi pusat perhatiannya.
"Ja-jangan macam-macam!" ancam Laras, terbata.
Pria itu menyeringai. Mengunci pergerakan Laras dengan tangan kekarnya. Memangkas jarak hampir tak tersisa. Bahkan hembusan hangat deru napas keduanya saling menerpa wajah masing-masing.
"Daripada melakukannya diam-diam, bukankah lebih baik terang-terangan begini? Supaya kita bisa saling menikmati."
Merinding. Bulu kuduk Laras mendadak berdiri. Suara huski Aksa terdengar mengerikan. Tangan kekar sang pria bahkan terasa membelai pipinya. Reflek Laras memejamkan matanya, meremat pinggiran kursi yang didudukinya. Hingga ...
"Aaaww!!" Gadis itu menjerit spontan. Mengelus pipinya yang ditarik. Aksa kembali ke posisinya semula. Datar tanpa rasa bersalah.
"Kamu lihat, justru kamu yang menginginkan aku," ejek Aksara, menyeringai.
Laras mendecih. Mengusap lembut pipinya yang sempat molor. Sial, sakit sekali. Rasanya seperti bengkak.
"Dih. Mana ada. Jelas-jelas lo yang nafsuan," sahutnya tak terima.
Aksa terkekeh. "Buktinya kamu memejamkan mata. Kenapa? Berharap aku cium beneran?" ejeknya.
Laras mendecak. Memang sialan, sih. Ngapain dia pasrah kayak tadi. Harusnya dia dorong pria menyebalkan itu. Aish! Ini seperti bukan dirinya. Mendadak tubuhnya lemas, tadi. Bahkan, dia akui, jantungnya tiba-tiba berpacu kencang.
"Melihat reaksimu tadi, aku malah curiga. Jangan-jangan kamu yang suka mencari kesempatan," Aksa melirik.
"Ck! Nuduh. Enggaklah, mana mungkin."
"Mungkin saja. Kamu kan, lupa."
Laras membuang pandangan. Dia makin kesal. Bodohnya dia tertipu muslihat Aksa. Salahkan saja tubuh tak dikenalnya ini yang pasrah banget. Jangan-jangan Aksa benar, tubuh ini diam-diam suka cari kesempatan.
Dih, amit-amit. Jangan sampek!
Aksa kembali melajukan mobilnya. Tidak ada yang memulai percakapan ataupun perdebatan. Laras canggung, sedangkan Aksa menyeringai tipis, karna berhasil mengerjai gadis tersebut.
.
.
Laras merebahkan tubuhnya ke ranjang. Telentang. Menatap langit-langit kamarnya.
"Aiishh!!" mengacak rambutnya frustasi.
Alih-alih meratapi kegagalannya mencari informasi, malah dia terbayang-bayang kejadian di mobil tadi. Perlahan, tangannya meraba dada.
"Kenapa, jantung gue berdetak kencang banget tadi," gumamnya, bengong.
Iris legam Aksa yang biasanya tajam, tadi terlihat teduh. Pahatan hidung mancungnya semakin kokoh dilihat dari dekat. Bibir tipis yang sering menyungging smirk itu bahkan terlihat manis. Bulu halus dan juga kumis tipis menambah aura maskulin. Juga aroma khas Aksa tiba-tiba terasa akrab bagi indera penciumannya. Itu yang membuat tubuhnya tiba-tiba lemas dan pasrah. Bahkan berharap bibir manis itu menyentuhnya.
"Aaarrrh! Kayaknya lo mulai gila, Laras!" memukuli ranjang acak. "Cuma gitu doang, deg-degan. Iih!" rutuknya tak terima.
Laras meloncat duduk. Menatap lekat foto wanita yang tengah tersenyum di dinding.
"Heh, kamu!" tunjuknya. "Bisa gak sih, tubuhnya jangan reaksi kayak gitu. Gue bukan elo. Kalau lo cinta sama dia, jangan ajak-ajak gue. Nyebelin tahu, enggak!" kesalnya, mencak-mencak.
"Aissh!!" kembali menghempas kasar tubuhnya. Berguling-guling di ranjang.
Tanpa dia tahu, Aksa sedari tadi berdiam diri di depan pintunya. Niatnya hendak memanggil gadis itu, tapi dia urungkan mendengar ocehan gadis itu di dalam. Gurat tipis menghiasi bibirnya. Pria itu mengurungkan niatnya, dan berlalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!