Hujan deras mengguyur istana Dinasti Huang malam itu. Gemuruh petir menyambar langit, seakan alam ikut resah atas apa yang tengah terjadi. Di dalam aula megah istana, Raja Zharagi Hyugi berjalan mondar-mandir. Sorot matanya tajam, namun langkahnya penuh kegelisahan.
"Berapa lama lagi?" tanyanya dengan suara serak kepada tabib istana yang baru saja keluar dari kamar Selir Agung Yi-Ang.
Tabib itu membungkuk dalam-dalam. "Ampun, Yang Mulia. Prosesnya berjalan lambat, tetapi Selir Agung adalah wanita yang kuat. Mohon bersabar."
Zharagi mengangguk tipis, meskipun wajahnya tetap tegang. Dia tahu betapa pentingnya malam ini, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan dinasti.
Seorang pelayan mendekat dengan tergopoh-gopoh, membawa minuman hangat. "Yang Mulia, mungkin ini bisa membantu menenangkan."
"Aku tidak butuh minuman," tukas Zharagi, suaranya tajam. Namun, ketika melihat pelayan itu gemetar ketakutan, dia melunakkan nada bicaranya. "Terima kasih. Letakkan di meja."
Pintu aula berderit terbuka, dan seorang wanita anggun dengan wajah dingin melangkah masuk. Itu adalah Ratu Hwa, mengenakan jubah emasnya yang berkilauan, namun sorot matanya penuh kebencian.
"Begitu gelisah, Yang Mulia?" Ratu Hwa melontarkan senyum sinis. "Seorang raja tak seharusnya terlihat lemah hanya karena kelahiran seorang anak."
Zharagi berhenti melangkah dan menatapnya tajam. "Ratu Hwa, aku tidak ingin masalah malam ini. Jika kau tidak ada keperluan, lebih baik kembali ke kamarmu."
Ratu Hwa mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Zharagi. "Oh, tapi ini sangat penting bagiku, Yang Mulia. Bukankah kelahiran Putera Mahkota adalah hal besar? Terutama ketika dia bukan dari rahim seorang ratu."
Zharagi mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi. "Hwa, aku memperingatkanmu. Jangan menambah beban malam ini. Putera yang lahir adalah darah dagingku, penerus dinasti ini. Itu sudah cukup."
Ratu Hwa tertawa kecil, suaranya dingin. "Benarkah? Kau pikir para petinggi klan akan menerima ini begitu saja? Kelahiran anak itu hanya akan membawa kehancuran. Aku akan pastikan semua tahu bahwa ini bukan keadilan, tetapi penghinaan."
Sebelum Zharagi bisa membalas, teriakan dari dalam kamar terdengar. Suara Yi-Ang, memekik kesakitan, diiringi instruksi panik para dayang dan tabib.
"Tabib! Lakukan sesuatu!" Zharagi melangkah maju, hampir menerobos pintu, tetapi seorang penjaga menahannya.
"Yang Mulia, harap tenang. Kami akan melakukan yang terbaik," ujar penjaga itu dengan hormat.
Wajah Zharagi mengeras. Dia menatap pintu itu seolah bisa menembusnya dengan mata tajamnya. "Yi-Ang..." bisiknya pelan.
Hujan di luar semakin deras, namun waktu terasa berhenti. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, tangisan bayi terdengar dari dalam kamar. Tangisan nyaring itu menembus hujan dan badai, membawa kelegaan sekaligus ketegangan yang lebih besar.
Pintu terbuka, dan tabib keluar dengan wajah lelah namun lega. "Yang Mulia, Selir Agung telah melahirkan seorang putra. Putera Mahkota."
Zharagi menghela napas panjang. Dia melangkah masuk tanpa ragu, meninggalkan Ratu Hwa yang berdiri membeku dengan rahang mengatup. Di dalam kamar, Yi-Ang terbaring lemah, wajahnya pucat tetapi senyumnya penuh kemenangan. Bayi kecil itu terbungkus kain halus di sampingnya.
Zharagi mendekat, mengambil bayi itu dalam dekapannya. "Putraku..." bisiknya dengan suara penuh emosi.
Yi-Ang tersenyum tipis. "Dia... milikmu, Yang Mulia. Penerusmu."
Zharagi mengangguk, menatap wajah kecil itu dengan penuh harapan. "Dia adalah masa depan Dinasti Huang."
Namun, di luar kamar, Ratu Hwa mengepalkan tangan. Matanya penuh dendam. "Ini belum berakhir," gumamnya pelan sebelum berbalik dan menghilang ke dalam bayang-bayang istana.
...
Malam semakin menua, hujan masih mengguyur deras, seolah-olah langit menangisi apa yang terjadi malam itu. Di dalam kamar yang penuh aroma dupa, Selir Agung Yi-Ang terbaring lemah. Wajahnya semakin pucat, dan napasnya terdengar berat. Tabib istana sibuk memeriksa denyut nadinya sambil sesekali memberikan instruksi kepada para dayang.
Zharagi masih menggendong bayinya, namun sorot matanya tak lepas dari Yi-Ang. "Apa yang terjadi? Mengapa dia terlihat semakin lemah?"
Tabib itu berdiri dengan ragu-ragu. "Ampun, Yang Mulia... Selir Agung kehilangan banyak darah saat melahirkan. Kami sedang berusaha menghentikan pendarahannya, tetapi keadaannya sangat kritis."
"Perbaiki keadaannya sekarang juga!" suara Zharagi menggema, penuh tekanan dan ketakutan yang terselubung. Dia meletakkan bayinya dengan hati-hati di tempat tidur kecil yang telah disiapkan, lalu mendekati Yi-Ang.
Yi-Ang membuka matanya perlahan. Wajahnya yang pucat masih menyiratkan ketenangan, meskipun jelas dia menahan rasa sakit. "Yang Mulia..." suaranya lemah, hampir tak terdengar.
Zharagi berlutut di sampingnya, menggenggam tangan Yi-Ang yang dingin. "Aku di sini, Yi-Ang. Kau akan baik-baik saja. Tabib istana akan menyelamatkanmu."
Yi-Ang tersenyum tipis, meski matanya mulai berkaca-kaca. "Yang Mulia... Jangan khawatirkan aku. Aku... hanya ingin kau menjaga anak kita... dengan baik."
"Diam! Jangan berbicara seperti itu!" Zharagi menatapnya tajam, tetapi suara gemuruh petir di luar membuatnya seolah-olah menggema lebih keras. "Kau akan hidup, Yi-Ang. Kau akan melihat putra kita tumbuh. Kau akan berdiri di sisiku."
Air mata mengalir di sudut mata Yi-Ang. "Aku percaya padamu... Tapi, jika aku tidak bisa bertahan..."
"Berhenti bicara omong kosong!" Zharagi menggenggam tangannya lebih erat, hampir memohon. "Aku tidak akan kehilanganmu, Yi-Ang. Tidak malam ini, tidak pernah."
Tabib mendekat dengan wajah semakin muram. Dia berbisik pelan kepada Zharagi, meskipun cukup keras untuk membuat Yi-Ang mendengarnya. "Yang Mulia... jika Selir Agung terus kehilangan darah seperti ini, kami memerlukan waktu lebih banyak, tetapi peluangnya kecil."
Mata Zharagi berkobar dengan emosi. "Kalian adalah tabib terbaik di kerajaan ini! Lakukan sesuatu! Aku tidak akan menerima kegagalan!"
Yi-Ang tersenyum tipis lagi. "Yang Mulia... Jangan terlalu keras pada mereka. Ini takdirku. Aku hanya... ingin tahu, apakah dia sehat?"
Zharagi mengangguk cepat, air mata hampir membasahi pipinya. Dia memandang bayi kecil itu. "Putra kita sehat, Yi-Ang. Dia kuat... sepertimu."
Yi-Ang menarik napas panjang, suaranya semakin pelan. "Kalau begitu... aku tak apa-apa. Yang Mulia, jadilah ayah yang baik untuknya."
Zharagi mengguncang kepalanya, hampir tidak percaya. "Tidak. Kau akan tetap di sini bersamaku. Kau tidak akan pergi."
Namun, Yi-Ang hanya tersenyum lagi sebelum matanya perlahan tertutup. Tabib segera memeriksa nadinya, wajahnya berubah pucat. Dia menunduk dalam-dalam. "Ampun, Yang Mulia... Selir Agung telah berpulang."
Kata-kata itu menghantam Zharagi seperti petir. Dia membeku, tidak mampu berkata apa-apa. Pandangannya kabur oleh air mata, dan tangannya gemetar saat menyentuh wajah Yi-Ang yang kini tak lagi bernyawa.
Hening yang menyelimuti kamar itu terasa menyesakkan, hanya suara hujan yang terus mengiringi kepergian Selir Agung. Zharagi merasakan kekosongan yang menggerogoti hatinya.
Dia berdiri perlahan, menatap bayi kecil yang menangis di tempat tidurnya. "Aku bersumpah," bisiknya dengan suara berat. "Aku akan melindungimu. Demi ibumu, aku akan melindungi takhta ini, dan aku akan memastikan kau mendapatkan hakmu."
Namun, di luar kamar, Ratu Hwa berdiri dalam kegelapan koridor, mendengar setiap kata Zharagi. Senyumnya merekah tipis.
Ruangan tempat jasad Selir Agung Yi-Ang dibaringkan dipenuhi dengan aroma dupa dan bunga segar, tetapi suasana duka terasa menyesakkan. Di atas ranjang berhias sutra putih, tubuh Yi-Ang terbaring dengan tenang, wajahnya seolah-olah hanya sedang tertidur. Zharagi Hyugi berdiri di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh jemari dingin sang selir yang dulu memberinya begitu banyak kehangatan.
Hujan di luar terus mengguyur, menyatu dengan kepedihan di hatinya. Semua orang, termasuk para pelayan, telah meninggalkan ruangan atas perintah Zharagi. Dia ingin menghabiskan momen terakhir ini sendirian bersama wanita yang begitu dicintainya.
"Yi-Ang..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Mengapa kau pergi begitu cepat?"
Air mata mengalir perlahan di pipinya. Dia jarang menangis, apalagi di depan orang lain. Namun, di hadapan wanita ini, dia tidak lagi peduli pada harga dirinya sebagai seorang raja.
"Aku berjanji akan melindungi kalian. Aku berjanji..." suaranya pecah, dan dia jatuh berlutut di samping ranjang. "Tapi aku gagal. Aku tidak bisa menyelamatkanmu."
Dia menundukkan kepala, membenamkan wajahnya di tangan Yi-Ang yang tak lagi hangat. Hatinya terasa hancur, bukan hanya karena kehilangan istrinya, tetapi juga karena rasa bersalah yang tak terhingga.
"Putera kita..." katanya lagi, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia adalah satu-satunya hal yang tersisa darimu. Aku bersumpah, Yi-Ang, aku akan menjaganya. Aku akan memastikan dia mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya."
Zharagi mengangkat kepalanya, menatap wajah damai Yi-Ang dengan tatapan penuh cinta dan kesedihan. "Putera kita akan menjadi raja. Aku akan melawan siapa pun yang mencoba menghentikannya, bahkan jika itu berarti aku harus melawan seluruh dunia."
Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menangisi kepergian Selir Agung. Zharagi menghapus air matanya dengan kasar, menguatkan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah, meskipun hatinya terluka.
"Sampai kita bertemu lagi, Yi-Ang," bisiknya. "Aku akan menjalankan semua janjiku untukmu. Tidurlah dengan tenang."
Dia mencium keningnya untuk terakhir kalinya, lalu berdiri dengan langkah yang berat. Ketika dia membuka pintu, para pelayan yang menunggu di luar menundukkan kepala mereka.
"Siapkan prosesi pemakaman yang layak untuk Selir Agung," perintahnya dengan suara tegas, meskipun matanya masih merah. "Pastikan seluruh kerajaan tahu bahwa dia adalah wanita yang paling kucintai."
Para pelayan mengangguk dan segera bergegas. Zharagi menoleh sekali lagi ke arah tubuh Yi-Ang, menguatkan hatinya untuk pergi. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa cinta dan kehilangan ini akan menjadi beban yang dia bawa seumur hidupnya.
Hujan masih belum berhenti, dan istana terasa lebih sunyi dari biasanya. Kematian Selir Agung Yi-Ang membawa duka yang mendalam, tetapi bagi Raja Zharagi Hyugi, malam itu bukan hanya soal kehilangan. Ini adalah awal dari pertarungan besar untuk mempertahankan tahta dan melindungi Putera Mahkota yang baru lahir.
Di aula utama, para penasihat dan petinggi klan sudah berkumpul. Wajah-wajah mereka tampak tegang, sebagian menyiratkan ketidaksetujuan atas kelahiran Putera Mahkota dari rahim seorang selir. Suasana semakin mencekam ketika Ratu Hwa melangkah masuk dengan anggun, mengenakan jubah sutra emasnya.
Zharagi berdiri di atas singgasananya, memandangi mereka dengan tatapan tajam. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan kemarahan yang membara di dadanya.
"Yang Mulia," seorang petinggi klan bernama Lord Cheng membuka suara. "Kami turut berduka atas kepergian Selir Agung Yi-Ang. Namun, ada hal penting yang perlu kita bicarakan."
Zharagi menatapnya dingin. "Bicaralah, Cheng."
Lord Cheng melirik Ratu Hwa sejenak sebelum melanjutkan. "Kelahiran Putera Mahkota dari seorang selir adalah situasi yang... rumit. Para petinggi klan telah berdiskusi, dan kami merasa bahwa posisi sebagai pewaris tahta perlu dipertimbangkan lebih matang."
"Apa maksudmu?" suara Zharagi rendah, tetapi penuh ancaman.
Lord Cheng melangkah maju, menunduk sedikit sebelum berbicara lagi. "Kami hanya ingin memastikan bahwa dinasti ini tetap stabil. Jika Putera Mahkota diakui, itu akan memicu konflik di antara klan. Kami berharap Yang Mulia bisa mengambil keputusan yang bijaksana demi kestabilan kerajaan."
Ratu Hwa tersenyum kecil, tetapi tetap berpura-pura netral. "Yang Mulia, tentu saja keputusan ada di tanganmu. Namun, ingatlah, aku adalah ratu, dan aku tidak akan membiarkan dinasti ini hancur hanya karena kesalahan penilaian."
Zharagi menatapnya tajam. "Kesalahan penilaian? Kelahiran Putera Mahkota adalah berkah bagi kerajaan ini. Dia adalah darah dagingku, penerus yang sah!"
Ratu Hwa mendekat, suaranya penuh sindiran. "Sah menurut siapa, Yang Mulia? Menurut tradisi, pewaris harus lahir dari seorang ratu, bukan dari seorang selir, betapapun agungnya dia."
Suasana di aula memanas. Para petinggi mulai berbisik satu sama lain. Zharagi mengepalkan tangannya lebih erat.
"Tidak ada perdebatan dalam hal ini!" suara Zharagi menggema di seluruh aula. "Putera Mahkota akan diakui, dan dia akan mewarisi tahta ini. Jika ada yang menentang, anggap itu sebagai pemberontakan terhadap dinasti Huang."
Kata-kata Zharagi membuat para petinggi terdiam. Namun, Lord Cheng tetap berdiri teguh. "Yang Mulia, kami tidak berniat memberontak. Kami hanya khawatir akan konsekuensi yang datang jika keputusan ini diambil terburu-buru."
Sebelum Zharagi bisa menjawab, seorang penjaga masuk dengan tergesa-gesa, membungkuk dalam-dalam. "Ampun, Yang Mulia! Ada kabar dari perbatasan. Sejumlah penduduk hilang tanpa jejak, dan desa-desa kecil di sana mulai gelisah."
Zharagi mengerutkan kening. "Apa maksudmu penduduk hilang?"
Penjaga itu menegakkan tubuhnya. "Mereka pergi ke hutan untuk berburu atau mencari kayu, tetapi tidak pernah kembali. Beberapa saksi mengklaim mendengar suara aneh dan melihat bayangan besar di malam hari."
Zharagi menarik napas panjang. Konflik di istana belum selesai, dan sekarang perbatasan kerajaan mulai bergejolak.
"Perintahkan pasukan untuk memperkuat penjagaan di perbatasan. Kirim penyelidik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," perintah Zharagi dengan tegas.
"Baik, Yang Mulia." Penjaga itu segera pergi.
Ratu Hwa kembali angkat bicara. "Lihatlah, Yang Mulia. Masalah datang dari segala arah. Apakah ini saat yang tepat untuk menimbulkan lebih banyak keretakan dengan pengakuan atas Putera Mahkota?"
Zharagi menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke seluruh aula. "Aku tidak butuh saran dari siapa pun yang ingin memecah belah kerajaan ini. Aku akan menjaga tahta ini, keluargaku, dan seluruh rakyat Dinasti Huang. Jika ada yang berani melawan, mereka akan berhadapan langsung denganku."
Suasana mencekam memenuhi aula. Para petinggi dan Ratu Hwa saling bertukar pandang, menyadari bahwa Zharagi tak akan mundur sedikit pun. Namun, di dalam hati masing-masing, rencana-rencana baru mulai terbentuk, membawa konflik yang lebih besar di masa depan.
Langit di perbatasan Dinasti Huang terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah awan membawa pesan buruk. Pasukan istana yang dipimpin oleh Jenderal Han segera tiba di desa yang disebut-sebut sebagai tempat hilangnya para penduduk. Suasana desa lengang. Tidak ada aktivitas penduduk, hanya beberapa rumah dengan pintu terbuka, seakan-akan ditinggalkan secara tiba-tiba.
Jenderal Han menatap sekeliling dengan cermat, tangannya memegang gagang pedangnya. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang prajurit yang datang melapor.
"Jenderal, kami tidak menemukan penduduk sama sekali. Hanya ada jejak kaki yang menuju ke hutan, tetapi jejak itu berhenti begitu saja," jawab prajurit itu dengan suara gemetar.
Han mengerutkan kening. "Kumpulkan seluruh pasukan. Kita akan menyusuri hutan. Tidak ada yang bergerak sendirian."
Sementara itu, di istana, Zharagi duduk di ruang kerjanya dengan wajah penuh ketegangan. Surat laporan dari Jenderal Han baru saja diterima, dan isinya membuatnya semakin gelisah.
Ratu Hwa masuk tanpa diundang, membawa secangkir teh. "Yang Mulia, kau terlihat begitu tegang. Apakah masalah perbatasan benar-benar separah itu, atau kau hanya cemas pada ancaman yang ada di dalam istana ini?"
Zharagi meliriknya sekilas, lalu kembali membaca laporan. "Aku tidak punya waktu untuk permainan kata-katamu, Hwa. Jika kau tidak punya sesuatu yang penting, lebih baik kau pergi."
Ratu Hwa tersenyum kecil, duduk di kursi seberangnya. "Aku hanya peduli, Yang Mulia. Bagaimanapun, kita adalah pasangan."
"Pasangan?" Zharagi mendengus. "Kau dan aku hanya berbagi gelar, tidak lebih."
Hwa terkekeh pelan. "Sungguh menyedihkan, Yang Mulia, kau tidak melihatku sebagai sekutu. Kau tahu, para petinggi klan mendukungku. Dengan sedikit upaya, mereka bisa menjadi kekuatan yang menguntungkan untukmu."
Zharagi meletakkan surat di tangannya dan menatap Hwa tajam. "Aku tidak membutuhkan dukungan mereka, apalagi jika mereka mengancam putraku. Jika mereka ingin memberontak, biarkan mereka mencoba."
Hwa mendekatkan tubuhnya, suaranya berubah lembut. "Aku tidak ingin memberontak, Yang Mulia. Aku hanya ingin memastikan dinasti ini tetap kokoh. Kelahiran Putera Mahkota tidak harus menjadi alasan perpecahan. Kita bisa mengaturnya... dengan cara yang tepat."
"Apa maksudmu?" tanya Zharagi curiga.
Hwa menyandarkan tubuhnya di kursi, tangannya memainkan cangkir teh. "Anak itu terlalu kecil untuk memikul beban takhta. Mungkin lebih baik jika dia dibesarkan jauh dari istana, agar tidak menimbulkan ketegangan dengan para klan."
Zharagi berdiri, tatapannya penuh kemarahan. "Cukup, Hwa! Putraku adalah pewaris takhta ini, dan dia akan tetap di istana. Jangan pernah kau usulkan hal semacam itu lagi."
Ratu Hwa tersenyum tipis, meskipun matanya memancarkan kilatan dingin. "Baiklah, Yang Mulia. Aku hanya mencoba membantu."
Setelah Hwa pergi, Zharagi kembali duduk, tangannya mengepal di meja. Di luar, malam semakin larut, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh ancaman dari dalam dan luar istana.
Di hutan perbatasan, Jenderal Han dan pasukannya bergerak perlahan, mengikuti jejak kaki yang samar. Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, hingga tiba-tiba terdengar suara aneh—dalam, bergetar, dan menggema di antara pepohonan.
"Berhenti!" seru Han, mengangkat tangannya. Semua prajurit menghentikan langkah mereka, mendengarkan dengan saksama.
Suara itu semakin mendekat. Dari kegelapan, sosok besar muncul. Matanya bersinar merah, tubuhnya diliputi bayangan pekat yang bergerak seolah hidup. Para prajurit mundur dengan panik, tetapi Han berdiri teguh, menghunus pedangnya.
"Siapa kau?" seru Han dengan lantang.
Sosok itu tidak menjawab, hanya menggeram dengan suara yang membuat tanah di sekitar mereka bergetar. Tiba-tiba, sosok itu menyerang, dan Han hanya memiliki sepersekian detik untuk mengangkat pedangnya.
Di istana, Zharagi merasakan getaran aneh di dadanya, seolah-olah firasat buruk tengah mendekat. Dia berdiri dan memandang ke luar jendela, hujan yang belum berhenti terasa seperti pertanda bahwa sesuatu yang lebih besar akan datang.
Hari pemakaman Selir Agung Yi-Ang tiba. Langit yang kelabu seolah menggambarkan suasana hati seluruh istana. Para pelayan, bangsawan, dan petinggi kerajaan berdiri berjajar di pelataran utama, mengenakan pakaian duka berwarna putih. Prosesi itu penuh dengan kehormatan, tetapi tidak ada yang bisa menyembunyikan kabut duka yang menyelimuti semuanya.
Zharagi Hyugi berdiri di depan barisan, mengenakan jubah hitam kebesarannya. Wajahnya dingin, tetapi matanya masih menyiratkan kesedihan yang dalam. Dalam pelukannya, Putera Mahkota yang masih bayi digendong dengan hati-hati. Bayi itu tertidur dengan damai, seolah tidak menyadari betapa berat beban yang menanti di pundaknya.
Saat peti mati Yi-Ang mulai diangkat oleh empat orang prajurit pilihan, langkah mereka lambat dan penuh kehormatan. Zharagi mengikutinya dari belakang, setiap langkahnya terasa seperti menusuk hatinya. Bayi dalam pelukannya bergerak sedikit, membuatnya menoleh dengan lembut.
“Kau akan tahu, Puteraku, betapa mulianya ibumu,” bisiknya pelan, hanya untuk dirinya sendiri.
Ketika peti mati itu tiba di tempat peristirahatan terakhir, Zharagi melangkah maju. Semua orang menahan napas saat dia berdiri di hadapan peti tersebut. Tangan Zharagi gemetar saat dia menyentuh peti itu untuk terakhir kalinya.
“Selir Yi-Ang adalah cahaya di hidupku,” katanya, suaranya bergetar tetapi tegas. “Dia adalah wanita yang berdiri di sisiku dalam segala kesulitan, yang memberi kekuatan saat aku lemah, dan yang menghadiahkan aku putra ini, penerus Dinasti Huang. Dia yang sangat aku cintai.”
Dia menarik napas dalam, menahan emosinya yang hampir meluap. “Aku bersumpah di hadapan seluruh kerajaan, aku akan menjaga Putera Mahkota, dan aku akan memastikan dia mendapatkan tempatnya di takhta. Tidak ada yang akan menghalangi, tidak ratu, tidak klan, tidak siapa pun. Ini adalah janji seorang raja dan seorang suami.”
Suasana hening. Hanya suara rintik hujan yang terdengar. Kata-kata Zharagi menjadi pengingat bagi semua orang bahwa kekuasaan dan cinta bisa menjadi dua sisi yang sama beratnya.
Setelah upacara selesai, Zharagi kembali ke ruang pribadinya, menolak ditemani siapa pun. Dia meletakkan Putera Mahkota di tempat tidurnya, lalu duduk di sampingnya.
“Lihatlah wajah kecilmu,” gumamnya pelan, menatap bayi itu. “Kau mirip ibumu. Aku akan menjagamu dengan seluruh hidupku. Kau adalah harapan terakhirku, harapan terakhir dinasti ini.”
Namun, di balik tekadnya, Zharagi tahu tantangan yang akan dihadapinya tidak akan mudah. Dia sudah melihat bagaimana tatapan dingin Ratu Hwa dan petinggi klan selama prosesi tadi. Mereka tidak menyembunyikan ketidaksenangan mereka terhadap Putera Mahkota.
Zharagi memejamkan matanya sejenak, menggenggam jemari kecil bayi itu. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu,” janjinya lagi, kali ini hanya untuk didengar dirinya sendiri.
Di luar, hujan terus mengguyur, membawa firasat bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.
Malam yang sunyi menyelimuti Istana Huang setelah prosesi pemakaman selesai. Di balik tembok megah itu, bayang-bayang intrik mulai bergerak. Ratu Hwa duduk di kamarnya, dikelilingi oleh beberapa petinggi klan yang setia padanya. Wajahnya dingin dan penuh tekad.
“Selir Agung Yi-Ang sudah tiada,” katanya dengan suara rendah namun tegas. “Namun, keberadaan anak itu tetap menjadi ancaman bagi posisiku.”
Seorang pria tua dengan janggut putih, pemimpin salah satu klan terkuat, mengangguk setuju. “Ratu benar. Putera Mahkota dari Yi-Ang akan menarik perhatian para bangsawan muda yang haus kekuasaan. Jika dia tumbuh dewasa, posisinya akan sulit digoyahkan.”
Ratu Hwa mengepalkan tangannya, matanya memancarkan kebencian. “Aku tidak akan membiarkan seorang anak dari selir menguasai takhta. Takhta ini adalah milik putra yang seharusnya aku lahirkan.”
“Tetapi, Yang Mulia,” seorang penasihat lain angkat bicara, “Raja Zharagi telah bersumpah di depan seluruh kerajaan bahwa Putera Mahkota akan menjadi penerusnya. Jika kita melawan secara terang-terangan, kita akan dianggap sebagai pengkhianat.”
Ratu Hwa menyeringai tipis, mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri. “Aku tidak memerlukan pemberontakan terang-terangan. Kita hanya perlu membuat Raja Zharagi kehilangan pijakannya. Dia sedang dalam masa berkabung, hatinya rapuh. Kita bisa menggunakannya untuk menjatuhkannya.”
Mereka mulai merencanakan langkah-langkah licik, sementara di kamar lain, Zharagi duduk dengan gelisah di samping tempat tidur Putera Mahkota.
Bayi kecil itu mulai terbangun, menangis dengan suara lirih. Zharagi segera menggendongnya, menenangkan dengan lembut. “Tenanglah, Puteraku. Ayah ada di sini.”
Saat dia memandangi wajah kecil yang polos itu, sebuah tekad baru muncul di hatinya. Tidak peduli seberapa besar rintangan yang dihadapinya, dia tidak akan membiarkan putranya menjadi korban ambisi orang lain.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Menteri Agung Liu Zheng masuk dengan sikap hati-hati. Dia adalah salah satu orang yang paling dipercaya Zharagi. Wajahnya tegang, membawa kabar yang tidak menyenangkan.
“Yang Mulia,” kata Liu Zheng dengan suara rendah, “saya baru saja mendengar kabar bahwa beberapa petinggi klan mengadakan pertemuan rahasia dengan Ratu Hwa malam ini. Saya khawatir mereka sedang merencanakan sesuatu.”
Zharagi mengangkat alisnya, meskipun dalam hatinya dia tidak terkejut. “Tentu saja mereka akan mencoba sesuatu,” gumamnya. “Namun, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Putera Mahkota.”
“Ratu Hwa memiliki banyak pendukung,” Liu Zheng memperingatkan. “Jika mereka bergerak bersama, situasi ini bisa menjadi jauh lebih rumit.”
Zharagi menatap Liu Zheng dengan mata yang dipenuhi ketegasan. “Aku sudah kehilangan Yi-Ang. Aku tidak akan kehilangan putraku juga. Siapkan pengawal terbaik untuk menjaga Putera Mahkota. Dan kau, Liu Zheng, cari tahu apa rencana mereka. Aku ingin tahu setiap detailnya.”
Liu Zheng membungkuk dalam-dalam. “Tentu, Yang Mulia. Saya akan memastikan Putera Mahkota aman.”
Setelah Liu Zheng pergi, Zharagi kembali memandang putranya yang sudah tertidur di pelukannya. “Kau adalah masa depan kerajaan ini,” katanya dengan nada lembut. “Dan aku akan memastikan tidak ada yang mengambilnya darimu.”
Di luar kamar itu, awan gelap terus menggantung di atas istana, membawa firasat bahwa masa depan Dinasti Huang akan penuh badai.
Malam yang hening menjadi saksi ketegangan yang terus membara di istana. Di aula rahasia yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk istana, Ratu Hwa mengadakan pertemuan dengan beberapa petinggi klan. Mereka duduk melingkar di sekitar meja rendah, lilin-lilin kecil menerangi wajah mereka yang tegang.
“Liu Zheng,” ujar salah satu petinggi klan, pria tua bernama Wei Guang, “dia akan menjadi penghalang terbesar dalam rencana kita. Selama dia ada di sisi Raja Zharagi, kita tidak akan bisa melangkah lebih jauh.”
Ratu Hwa menyipitkan matanya. “Aku tahu. Liu Zheng adalah orang yang setia, tetapi dia bukan tak terkalahkan. Kita akan menemukan cara untuk membuatnya lengah.”
“Dan apa yang akan kita lakukan terhadap Putera Mahkota?” tanya seorang wanita berusia paruh baya yang dikenal sebagai Nyonya Xue, pemimpin klan Xue yang berpengaruh. “Jika kita tidak segera bertindak, anak itu akan semakin dilindungi oleh pengaruh Zharagi.”
Ratu Hwa menggenggam gelas teh di depannya dengan kuat. “Kita tidak perlu terburu-buru. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menciptakan celah dalam pemerintahan Zharagi. Setelah itu, kita akan membuat rakyat mempertanyakan kelayakan anak itu sebagai penerus.”
Wei Guang mengangguk pelan. “Menciptakan celah. Bagaimana caranya?”
Ratu Hwa tersenyum dingin. “Kita akan memulai dari rakyat. Kabar tentang hilangnya orang-orang di perbatasan semakin ramai. Aku ingin kalian menyebarkan rumor bahwa Raja tidak peduli dengan keselamatan rakyatnya, karena dia terlalu sibuk berkabung.”
Nyonya Xue menatap ragu. “Apakah itu cukup?”
“Tentu tidak,” jawab Ratu Hwa. “Tapi itu langkah awal. Jika kita bisa membuat rakyat meragukan Zharagi, para bangsawan yang belum menentukan posisi mereka akan mulai bergerak. Dan saat itu terjadi, kita akan mengambil langkah terakhir.”
Sementara itu, di ruang kerja pribadinya, Zharagi memandang peta besar yang terbentang di meja kayu. Liu Zheng berdiri di sisinya, menunjuk beberapa wilayah perbatasan yang menjadi titik utama gejolak.
“Wilayah ini, dekat dengan Sungai Huan,” kata Liu Zheng, “adalah tempat sebagian besar orang hilang. Prajurit yang kita kirimkan belum kembali, dan warga mulai menyebarkan cerita-cerita aneh.”
Zharagi mengernyit. “Cerita aneh apa?”
“Mereka percaya bahwa roh jahat dari gunung sebelah barat telah bangkit,” jawab Liu Zheng dengan hati-hati. “Namun, saya yakin ini hanyalah kebetulan. Mungkin ada perampok atau pemberontak yang memanfaatkan situasi ini.”
“Roh jahat?” Zharagi mengulangi dengan nada sarkastik. “Itu cerita yang bagus untuk menakut-nakuti rakyat.”
“Benar, Yang Mulia,” jawab Liu Zheng, “tetapi cerita seperti itu dapat digunakan untuk melawan Anda. Jika kita tidak bertindak cepat, rumor ini bisa menjadi senjata bagi para pemberontak.”
Zharagi terdiam sejenak, memikirkan langkah selanjutnya. “Aku akan pergi ke perbatasan sendiri,” katanya akhirnya.
Liu Zheng menoleh kaget. “Yang Mulia, itu terlalu berbahaya!”
“Aku tidak bisa hanya duduk di sini dan membiarkan rakyatku menderita,” tegas Zharagi. “Jika aku ingin menjaga kedudukan putraku, aku harus menunjukkan bahwa aku adalah raja yang layak. Persiapkan pasukan kecil untuk berangkat besok pagi.”
Liu Zheng tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Baik, Yang Mulia. Saya akan memastikan semua persiapan selesai malam ini.”
Di pagi hari, Zharagi meninggalkan istana dengan pasukan kecilnya. Hanya beberapa orang tahu tentang keberangkatannya, termasuk Liu Zheng yang tetap tinggal untuk mengawasi Putera Mahkota.
Namun, Ratu Hwa, yang mendengar kabar keberangkatan itu dari mata-matanya, tersenyum penuh kemenangan. “Ini adalah kesempatan kita. Dengan Zharagi pergi, aku bisa mulai menjalankan langkah berikutnya,” ujarnya kepada Wei Guang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!