NovelToon NovelToon

Serat Wening Ening Kasmaran

ꦱꦠꦸ

Yat sarvaṁ vipariṇāmī bhavati kadācit.

Di sebuah desa kecil di Jawa, hiduplah seorang perempuan bernama Mela. Ia dikenal sebagai penjaja jamu keliling yang ramah dan penuh senyum. Setiap pagi, Mela akan menyusuri jalanan desa dengan bakul rotan di punggungnya, berisi botol-botol jamu dari bahan alami seperti kunyit, jahe, temulawak, dan beras kencur.

Mela berjalan dengan langkah ringan, melewati rumah-rumah warga yang terbuat dari anyaman bambu dan tanah liat. Suaranya yang lembut dan cara tawarnya yang halus membuat orang-orang merasa nyaman. "Jamu segar, untuk badan sehat, siapa yang mau?" serunya dengan ceria, menawarkan khasiat jamu yang sudah dikenal turun temurun.

Meski hidup dalam kesederhanaan, Mela merasa puas dengan pekerjaannya. Baginya, setiap senyum dan kata terima kasih dari para pembeli adalah kebahagiaan tersendiri. Ia tahu, di balik setiap tetes jamu yang ia jual, ada harapan untuk memberikan sedikit kebaikan dan kesehatan bagi orang lain, serta sebuah kisah panjang tentang keteguhan hati dan semangat bertahan hidup.

Kalau dipikir-pikir, hidup Mela memang sangat jauh berbeda dari dulu. Dulu, ia adalah seorang gadis dari keluarga yang terhormat, keturunan langsung dari Kesultanan Demak, yang dihormati oleh banyak orang. Keluarganya hidup dalam kemewahan, tinggal di rumah besar yang dikelilingi kebun yang subur, dan memiliki segala yang mereka butuhkan. Namun, takdir berkata lain. Kini, keadaan Mela dan ibunya telah berubah drastis. Ayahnya sudah tiada, dan ibunya, yang dulu kuat dan bijaksana, kini jatuh sakit. Hidup mereka yang dulu penuh kehormatan, kini harus bertahan dalam kemiskinan. Mela yang dulu bisa menikmati hidup dengan kemudahan, kini harus berjalan kaki keliling desa, menjual jamu untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Di desa tempat Mela tinggal, tak jarang terdengar bisik-bisik dari para ibu-ibu yang berbicara di pinggir jalan. Mereka tak bisa menahan rasa heran dan kasihan, namun kadang juga tak terhindar dari gosip yang beredar.

"Emang ya, urip iku ora ana sing bisa ngerti. Sapa sing nyangka yèn urip iki bisa ngganti kahanan kanthi cepet? Kadhang kala, sing biyèn sugih ora mesthi tetep sugih, sing biyèn ora duwe malah bisa dadi ana."

"Ya bener banget, Bu. Keluargane Mela kuwi biyen iku saksi kejayaan, pancen nganti kabeh wong padha ngajeni. Keluargane dadi panutan, uripe mewah, omahe gedhé, kabeh cukup. Nanging saiki, kok bisa dadi kaya ngene? Ibune sakit, Mela dhewe kudu nglakoake jamu keliling. Ya Gusti, kahanane wis banget malih."

"Ngono, ora ngerti piye carane kahanan bisa munggah lan mudhun. Nanging, yen dipikir-pikir, saka jaman biyen, Mela kuwi pancen keturunan sing mulya. Nanging kok saiki kudu ngalami lara kaya ngene? Ya mesthi ora gampang, anak wadon sing biyen bisa ngendhalèni urip, saiki malah kudu nglakoake jamu kanggo nguripi awake dhewe."

"Astaghfirullah, Bu. Iku wis dadi ujiané Gusti. Mung ngenteni wektu, nguripké wektu, saben dina kaya ngliwati badai. Ibu Mela sing biyen sarwo cukup, saiki malah kecemplung sakit, malah nggawé urip dadi luwih susah."

"Ngono kuwi, Bu. Kabeh iki wis ana jalane dhewe-dhewe. Nanging ora bisa dipungkiri, urip iku kaya ombak. Ana sing dhuwur, ana sing endhek. Kadang sing dhuwur dadi murung, sing endhek bisa ngalami angin seger. Mela wis ngerti piye uripe kudu tetep maju, sanadyan ora ana liyane sing bisa ngrewangi."

"Memang, ora kabeh sing kita kira bakal tetep kaya ngono. Nanging siji sing mesthi, ingkang paling penting yaiku sabar. Kabeh iki bakal dadi ujian, lan sing sabar mesthi bakal entuk berkah. Mungkin saiki Mela lagi ngalami kesulitan, nanging bisa wae ana berkah sing bakal teka saking sabarané."

"Udah-udah, Mela denger tu," kata salah satu ibu dengan suara agak keras, seolah mencoba menghentikan percakapan yang semakin panas. "Nggak usah terlalu dipikirin apa kata orang. Biarlah mereka bicara, urusanmu tetap urusanmu. Kudu sabar, Mela. Apa yang terjadi sekarang ya takdir, tapi ingat, ora kabeh tetep kaya ngene, Gusti Allah pasti duwe rencana sing luwih apik kanggo sampeyan."

Mela, yang sudah lama mendengar bisikan-bisikan itu, hanya bisa menundukkan kepala. Ia tahu orang-orang kampung bicara begitu bukan untuk menyakitinya, tapi kadang rasa kasihan itu memang terlalu besar untuk disembunyikan.

Mela sebenarnya tidak pernah marah ketika orang-orang kampung menceritakan dirinya, meskipun kata-kata itu sering kali terasa menusuk hatinya. Ia tidak pernah membantah apa yang mereka katakan, karena ia tahu bahwa mulut manusia tak akan pernah berhenti berbicara. Bagi Mela, cemoohan dan gosip itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia terima. Ia lebih memilih untuk diam, menyimpan segala perasaan dan kesedihan di dalam hati.

Setiap kali mendengar bisikan-bisikan itu, ia hanya tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya dengan sabar. Di dalam hatinya, Mela memahami bahwa tak semua orang bisa merasakan apa yang ia alami. Orang-orang kampung itu mungkin hanya berbicara karena kasihan, atau karena mereka tak tahu apa yang sebenarnya ada di balik senyumannya. Namun Mela tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepada mereka. Baginya, yang terpenting adalah tetap kuat dan tidak membiarkan apa yang orang lain katakan mempengaruhi dirinya.

"Biarlah mereka berbicara," pikir Mela dalam hati. "Aku tahu jalan hidupku, dan aku tahu apa yang aku lakukan."

***

"Assalamualaikum, Ibu, aku pulang," Mela menyapa dengan lembut sambil meletakkan bakul jamu di tempat yang biasa, di sudut ruang yang sederhana.

"Waalaikumsalam, Nak," jawab ibu Mela dengan suara lembut namun penuh kehangatan, meski tubuhnya tampak semakin rapuh. Ibu Mela yang telah lama sakit itu duduk di kursi kayu tua, menunggu kedatangan putrinya dengan sabar.

Mela menghampiri ibunya, matanya penuh perhatian. "Ibu sudah makan?" tanyanya, sambil memeriksa tempat nasi yang selalu ia letakkan di dekat meja, tempat ibunya biasanya makan.

"Ibu... kok ibu belum makan?" lanjut Mela, suaranya penuh kekhawatiran saat melihat bahwa makanan yang disiapkannya pagi tadi masih terletak di sana, tak tersentuh.

Ibu Mela tersenyum lemah, wajahnya nampak lesu, namun tetap berusaha menyembunyikan kelelahan. "Ah, Mela, ibu... ibu nggak nafsu makan," jawabnya pelan. "Nggak papa, Nak. Ibu sudah kenyang, kamu saja yang makan."

"Oh iya, Mela, piye kabarmu, kok? Jualan jamu mu, laku apa ora?"

"Alhamdulillah, buk, kabèh jamu sing tak bawa saka desa kabeh wus entek. Saweg rejeki lan pangapura saka Gusti Allah."

"Yaudah, Mela, kamu pasti capek kan? Kamu istirahat saja dulu ya, biar tubuhmu bisa segar lagi."

Mela hanya mengangguk pelan, merasa hangat dengan perhatian ibunya. Ia pun duduk di samping ibu, melepaskan lelah setelah seharian berkeliling desa. Dengan senyum yang lembut, ia berkata,

"Terima kasih, Buk. Aku istirahat sebentar, nanti aku buatkan makanan untuk ibu."

Ibu Mela hanya mengangguk dan mengusap kepala Mela dengan penuh kasih, sambil berkata,

"Jangan terlalu capek, Nak. Ibu senang melihatmu sehat, tapi jangan lupa jaga diri sendiri."

Mela tersenyum, mengangguk lagi, dan merebahkan tubuhnya sejenak. Di dalam hatinya, ia bersyukur meski hidup penuh perjuangan, namun kehangatan keluarga tetap menjadi kekuatan yang tak ternilai.

ꦝꦸꦃ

Amarga sing kuwat bakal tetep lestari.

Sore itu, langit mulai meredup dengan semburat jingga yang memancar di ufuk barat. Mela masih sibuk merawat ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Satu persatu tugas harus dilakukannya, mulai dari memandikan, membajui, hingga memberi makan. Wajah ibunya yang pucat menambah beban di hatinya, namun ia tak pernah mengeluh. Itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Setiap gerakannya dipenuhi ketelitian, seolah tak ingin meninggalkan ibunya dalam keadaan yang kurang nyaman.

Sambil memandikan, ia mencoba mengingatkan diri untuk tetap kuat. Sudah bertahun-tahun ia melakukan semua ini sejak ayahnya meninggal, dan Mela tahu bahwa ibunya tak bisa lagi berbuat banyak. Setelah selesai memandikan, Mela kembali membajui dengan lembut dan memberi makan dengan penuh kasih. Setiap kali ibunya makan, Mela selalu memastikan bahwa ibunya merasa nyaman dan tenang.

Malam pun menjelang. Suara azan magrib terdengar dari kejauhan, dan Mela tahu waktu semakin sempit. Ia harus segera pergi ke ladang untuk mengambil jahe dan kunyit yang mereka tanam. Jamu yang dibuatnya adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga mereka. Dengan hati-hati, Mela mengambil kantong dan berjalan keluar dari rumah.

Ladang mereka terletak cukup jauh, dikelilingi oleh pepohonan dan semak-semak. Mela menyusuri jalan setapak yang biasa ia lalui setiap sore, langkahnya terburu-buru, namun tetap hati-hati agar tidak tergelincir. Sesampainya di ladang, ia mulai memetik jahe dan kunyit dengan cekatan, sambil memikirkan berapa banyak yang harus dipetik untuk memenuhi pesanan jamu besok.

Pekerjaan itu tidak mudah. Menekuk tubuh untuk mencabut jahe yang sudah mengakar, kemudian merobohkan tanaman kunyit yang sudah siap panen, membuat tubuhnya merasa lelah. Namun, ia tahu ia tak punya pilihan. Waktu terus berjalan dan ibunya membutuhkan perawatan, sementara mereka sangat bergantung pada penjualan jamu untuk bertahan hidup.

Setelah cukup banyak mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, Mela menatap ladang mereka sejenak.

"Manawi saged kasagedaken, mesthi badhe angsal asiling."

Mela kembali duduk di gubuk sederhana yang ia buat dengan tangan sendiri. Gubuk itu terletak di tepi ladang mereka, sebuah tempat yang penuh kenangan dan perjuangan. Dindingnya dari anyaman bambu yang sudah mulai rapuh, atapnya dari daun nipah yang melindungi dari hujan dan panas.

"Bocah ayu putra-putri kraton Demak, punapa ingkang panjenengan lakoni ing ngriki? Wektu sampun wanci malem."

Mela, yang sebelumnya terdiam, mendengar suara itu kembali. Suara lembut namun tegas yang memanggilnya, membuatnya terkejut. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari asal suara yang misterius. Setelah beberapa saat, matanya tertuju pada sebuah bayangan di antara pepohonan yang mulai gelap. Tanpa ragu, Mela melangkah mendekat, penasaran dengan suara yang memanggilnya.

"Pangapunten, punapa ingkang nenek lampahi ing ngriki?"

"Panjenengan punika, wanci malem kados mekaten, punapa ingkang panjenengan lampahi ing ngriki, ayu?" tanya nenek itu seolah mengalih pertanyaan Mela.

"Aku kemari cuma mau mengambil kunyit dan jahe ini," ujar Mela sambil menunjukkan hasil panennya kepada nenek itu. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada gugup dalam ucapannya. Ia merasa tak biasa berbicara dengan seseorang yang tiba-tiba muncul di ladang pada malam seperti ini.

Mela mencoba tersenyum sopan untuk menghilangkan rasa canggung. Tangannya masih memegang erat ikatan kunyit dan jahe yang baru saja dipetiknya dari ladang. "Ini buat bahan jamu untuk dijual besok pagi," tambahnya pelan, berharap nenek itu memahami alasannya berada di tempat itu meskipun malam sudah larut.

Nenek itu menatapnya dengan mata tajam namun penuh rasa ingin tahu. Seolah-olah sedang mencari sesuatu dalam ucapan dan gerak-gerik Mela. Hening sejenak melingkupi mereka, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di sekitar ladang.

"Manawi nenek piyambak, punapa ingkang nenek lampahi?"

Nenek itu menghela napas panjang, suaranya terdengar lemah namun penuh kejujuran. "Gini, Nak," ucapnya, sambil menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di sudut ladang. "Aku tidak punya tempat tinggal. Sudah lama aku hidup sebatang kara. Gubuk itu, meskipun reyot dan hampir roboh, setidaknya bisa menjadi tempatku berteduh dan beristirahat dari dinginnya malam."

Mela memandang ke arah yang ditunjukkan nenek itu.

Mela memandang nenek itu dengan tatapan bingung bercampur heran. "Nek," ucapnya pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap sopan, "itu gubuk yang saya buat sendiri. Saya gunakan untuk istirahat kalau capek bekerja di ladang ini." Kata-katanya terhenti sejenak, matanya kembali memandang gubuk kecil itu yang tampak jelas di bawah rembulan.

Nenek itu tersentak sedikit, lalu menundukkan kepala. "Oh, iya kah?" jawabnya dengan nada penuh penyesalan. "Maafkan nenek, Nak. Nenek benar-benar tidak tahu kalau itu gubuk milikmu. Nenek hanya menumpang tidur, tak ada niat mengganggu." Suaranya terdengar tulus, tapi ada rasa malu yang terlintas di wajah keriputnya.

Mela menghela napas panjang, mencoba memahami situasi ini. Memang, gubuk itu sengaja ia buat tanpa kunci di pintunya, agar mudah ia masuki kapan saja. Ia tidak pernah terpikir ada orang lain yang akan menggunakannya, apalagi seorang nenek tua yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Sepertinya nenek tinggal di sini malam-malam saja, ya?" tanya Mela hati-hati, mencoba mencari tahu lebih banyak. "Kalau siang, saya tidak pernah melihat nenek di sekitar ladang ini."

Nenek itu mengangguk pelan, wajahnya penuh kerendahan hati. "Iya, Nak. Nenek hanya datang saat malam. Siang hari nenek pergi mencari makan atau mengumpulkan kayu bakar di tempat lain. Nenek tidak ingin mengganggu siapa pun di sini."

Ada jeda hening di antara mereka. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari ladang. Mela merasa iba, tapi juga sedikit bingung. Gubuk itu adalah hasil kerja kerasnya, tempatnya melepas lelah setelah hari yang panjang di ladang. Namun, ia juga tak tega melarang nenek itu yang tampak begitu membutuhkan tempat berteduh.

"Baiklah, Nek," ujar Mela akhirnya, dengan nada lembut tapi tegas. "Kalau nenek memang butuh tempat untuk tidur, tidak apa-apa nenek tinggal di situ. Tapi lain kali, beritahu saya dulu, ya? Supaya saya tidak bingung."

Nenek itu tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak. Kau benar-benar baik hati. Semoga kebaikanmu ini dibalas Tuhan," ucapnya dengan tulus.

Mela melihat ke arah langit yang semakin gelap. Ia teringat ibunya yang pasti sudah menunggu di rumah, dan rasa khawatir segera merayapi pikirannya. "Aduh, aku kelamaan di sini," gumamnya pelan sambil melirik hasil panen yang ia genggam. Ia menoleh kembali kepada nenek itu. "Nek, aku harus segera pulang. Ibuku sudah menunggu di rumah."

Nenek itu menatapnya dengan mata lembut, menyiratkan rasa terima kasih atas kebaikan hati Mela sebelumnya. "Oh iya, Nak. Hati-hati di jalan. Dan terima kasih karena sudah mengizinkan nenek menumpang di gubukmu," ujar nenek itu dengan tulus.

Mela tersenyum tipis. "Iya, Nek. Nenek istirahat saja, ya. Aku pamit dulu," katanya sambil melangkah mundur perlahan, bersiap untuk pergi.

Namun, sebelum Mela benar-benar berbalik, nenek itu tiba-tiba berkata dengan nada yang penuh makna, "Keturunan kerajaan Demak yang tidak sombong..."

Mela tersentak mendengar kata-kata itu. Ia berhenti sejenak, menoleh sedikit, namun tidak berkata apa-apa. Hanya matanya yang menatap sekilas ke arah nenek itu, penuh dengan rasa heran dan bingung. Darimana nenek itu tahu tentang asal-usulnya? pikir Mela dalam hati. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Dengan langkah cepat, Mela meninggalkan ladang itu, membawa hasil panennya sambil mencoba melupakan kata-kata nenek tadi. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin dalam kata-kata itu terngiang di pikirannya.

Sementara itu, nenek tua itu masih duduk di bawah pohon besar, menatap punggung Mela yang perlahan menghilang di kegelapan malam. Wajahnya menyiratkan senyum tipis, seolah ia mengetahui sesuatu yang Mela sendiri belum sepenuhnya pahami. "Semoga kau selalu kuat, anakku. Takdir besar menunggumu," bisik nenek itu pelan, lalu kembali bersandar di batang pohon, menikmati ketenangan malam.

ꦠꦶꦒ

Kawadanan tan pantes kakenan.

Pagi itu, Mela berangkat lebih cepat dari biasanya. Langit yang mulai cerah memberi semangat baru pada langkahnya. Ia memasak lebih banyak jamu hari itu, meracik dengan penuh hati-hati, mencampurkan rempah-rempah yang telah dikenal oleh keluarganya sejak lama. Mela tahu bahwa, meskipun keadaan keluarganya sedang sulit, usaha yang dilakukannya harus tetap dijaga dengan penuh dedikasi. Ia menata bakul jamu di atas kepalanya, membiarkan aroma harum rempah-rempah mengiringi langkahnya yang ringan.

Sambil berjalan, Mela tak lupa untuk berteriak, "Jamu, jamu! Jamu sehat, jamu manis!" Suara teriakannya terdengar jelas di sepanjang jalanan, menyapa siapa saja yang melewati. Sebagian bangsawan dan petinggi setempat sudah terbiasa membeli jualannya. Mela tidak mengeluh, meski ia sering mendengar bisik-bisik di belakangnya. Mereka sering menganggapnya rendah karena kedudukan keluarganya yang jauh dari kemewahan.

Hari itu, langkah Mela membawanya hingga ke rumah Bangsawan Kaka, seorang bangsawan yang dulu sangat dihormati oleh ayahnya. Mela memutuskan untuk singgah sebentar. Begitu sampai di depan rumah, ia mengangkat bakul jamu dari kepalanya dan mengatur jarak. Begitu ia hendak memasuki halaman, suara keras dari dalam rumah terdengar.

"Mela, Mela, semenjak ayahmu tiada, kalian emang semiskin ini ya? Tidak ada yang bisa membantu?" kata Bangsawan Kaka sambil melirik dengan tatapan sinis.

Mela menundukkan kepala, meski ia tahu kata-kata itu tajam dan mengiris hati. "Iya, mau gimana lagi, demi berkelangsungan hidup kami," jawabnya singkat, namun ada rasa sedih yang sulit ia sembunyikan. Ia tidak bisa menyangkal bahwa hidup mereka memang jauh dari sejahtera setelah ayahnya pergi. Dulu, ayahnya adalah sosok yang sangat dihormati, tetapi sejak tiada, segalanya berubah.

Bangsawan Kaka hanya tersenyum lebar, seolah menemukan kesempatan untuk menertawakan nasib buruk Mela. "Hahaha, kalian bisa bertahan hidup hanya dengan berjualan jamu seperti ini?" ujarnya sambil tertawa pelan.

Mela menghindari tatapan Bangsawan Kaka, mencoba untuk tidak terlalu terpancing oleh hinaan tersebut. Ia tahu bahwa kata-kata semacam itu bukan hal baru, namun tetap saja, rasa sakit itu tetap ada.

***

Sore harinya, ketika langit mulai gelap dan matahari perlahan tenggelam, Mela melangkah pulang dengan langkah yang lebih lelah. Meski demikian, ia masih membawa bakul jamu yang setengah terisi. Ia berhasil menjual sebagian besar dagangannya, namun perasaan berat tetap menyelimuti hatinya.

Di rumah, ibunya menunggu dengan penuh harap, meskipun wajahnya juga menunjukkan keletihan yang sama. Ibunya yang sudah tua, kini semakin lemah, dan Mela tahu bahwa hidup mereka tidak akan mudah tanpa dukungan siapa pun. Dalam hati, ia berharap suatu hari nanti, mereka bisa keluar dari kesulitan ini.

Namun, perasaan itu bertambah berat setiap kali ia teringat kata-kata dari Bangsawan Kaka. Meskipun ayahnya sudah tiada, rasa hormat dan kebaikan yang pernah diberikan pada bangsawan itu seolah terlupakan begitu saja. Mela hanya bisa berdoa dan berusaha lebih keras, karena tidak ada yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri dan ibunya.

Langkah Mela memasuki rumah, membawa harapan kecil dalam hatinya, meskipun hari itu terasa begitu berat.

"Mela, kamu kenapa? Ada bangsawan yang mengejekmu lagi ya?" tanya ibu Mela dengan cemas, melihat wajah putrinya yang tampak murung dan kelelahan saat pulang.

Mela terdiam sejenak, menatap lantai seakan menahan perasaan yang menggelora di dalam dada. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah, "Iya, Bu. Seolah mereka tidak pernah merasakan hidup di bawah, di tempat yang sulit. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya berjuang, bagaimana rasanya hidup tanpa dukungan siapa pun. Tapi ya sudahlah, Bu. Namanya juga manusia, ada yang sombong, ada yang tak peka."

Ibunya melihat putrinya dengan hati yang berat, namun ia mencoba untuk tetap tegar dan memberi pengertian. "Anakku, jangan terlalu dipikirkan. Mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Kamu sudah berusaha dengan keras, itu yang terpenting."

Mela mengangguk pelan, meski rasa sakit itu masih menghujam hatinya. "Kalau gitu aku siap-siap mau beres-beres, ya, Bu," katanya dengan suara yang lebih tegar.

Ia kemudian pergi ke kamar mandi, menyiramkan air dingin untuk meredakan tubuhnya yang lelah. Setelah selesai mandi, Mela berdiri sejenak di depan cermin, memandang wajahnya yang basah. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan mudah, tetapi ia tak bisa berhenti berusaha. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi, berjalan ke dapur dengan langkah cepat.

Mela mengambil beberapa daun pisang dari laci yang ada di dekat kompor. Daun-daun itu sudah sering digunakan oleh keluarganya untuk membungkus jamu yang mereka jual. Hari ini, ia berniat membawa jamu itu ke nenek tua yang tinggal di gubuk dekat ladang mereka. Nenek itu selalu membantu, meski Mela tahu bahwa hidup nenek itu juga tidak mudah.

Setelah daun pisang cukup, Mela kembali ke kamar, menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Ia membungkus jamu dengan hati-hati, memastikan bahwa semuanya terbungkus rapat.

Mela, yang sudah selesai menyiapkan jamu untuk dijual, sengaja menyisihkan beberapa bungkus jamu yang lebih sedikit untuk nenek tua yang tinggal di gubuk kecil di hutan. Di samping itu, ia juga menyiapkan bekal nasi dan lauk yang mereka makan, agar nenek itu tidak merasa kelaparan. Mela tahu betul, meskipun nenek itu tidak pernah mengeluh, hidupnya sangatlah sederhana. Maka dari itu, ia ingin memberikan sedikit perhatian kepada nenek, yang selamam ia kenal.

Mela berjalan menuju kamar ibunya, di mana ibunya sedang berbaring. "Bu, Mela pergi dulu ya," ujar Mela sambil menghadap ibu dengan senyum kecil.

Ibunya yang sedang berbaring di tempat tidur, mendongak sejenak, merasa sedikit khawatir. "Kamu mau kemana, Mela? Mau ngambil bahan-bahan jamu lagi?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun ada kekhawatiran di matanya. Ibu Mela sudah cukup tahu bahwa perjalanan ke hutan tidak selalu aman, dan seringkali Mela harus menghadapi kesulitan sendirian.

Mela tersenyum, mencoba menenangkan hati ibunya yang selalu khawatir padanya. "Enggak kok, Bu. Aku mau ngantarkan ini," jawab Mela sambil memperlihatkan bekal nasi dan lauk yang ia bawa. Ia ingin memastikan nenek itu tidak merasa sendirian atau terlupakan, apalagi dalam keadaan yang serba sulit seperti sekarang.

Ibunya mengangguk, meskipun ekspresi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. "Hati-hati ya, Mela. Jangan terlalu lama, nanti ibumu khawatir." Kata-kata ibu selalu penuh kasih sayang, meskipun tak jarang mereka harus menghadapi hidup yang penuh tantangan.

Mela mengangguk dan memeluk ibunya sejenak. "Tenang saja, Bu. Aku cuma sebentar kok."

***

Mela melangkah lebih dalam ke dalam ladang, menaiki jalan setapak yang berliku, hingga akhirnya sampai di gubuk nenek tua yang sederhana. Ketika ia mendekat, ia terkejut melihat nenek itu baru saja pulang. Rambut nenek yang putih panjang terlihat tertiup angin, dan wajahnya tampak sedikit lelah, meski masih menyunggingkan senyum hangat ketika melihat Mela.

"Ada apa kamu sampai ke mari, Mela?" tanya nenek itu dengan suara lembut, namun ada sedikit rasa penasaran dalam matanya.

Mela tersenyum, kemudian dengan perlahan ia meletakkan bakul jamu dan bekal nasi yang dibawanya. "Ini, saya membawa bekal makanan dan jamu jualan saya buat nenek. Barang kali nenek belum makan, dan biar badan nenek terasa enak, enggak pegal-pegal. Nenek minum jamu saya saja," jawab Mela sambil menyerahkan bekal yang telah disiapkan dengan penuh kasih.

Nenek tua itu menatap dengan mata yang penuh rasa haru. "Mela, Mela, kamu ini ya... sudah cantik, baik lagi. Kamu memang benar-benar keturunan kerajaan Demak, keturunan yang mulia. Tapi sayang, sebagian keturunan kerajaan Demak itu begitu sombong sekali," ujar nenek itu dengan nada lembut, seolah mengenang masa lalu.

Mela terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menundukkan kepala sejenak, berpikir tentang kata-kata nenek itu. Meski ia sangat menghargai penghormatan yang diberikan, Mela tahu betul apa yang dimaksud nenek. "Udahlah, Nek, enggak perlu membahas mereka. Setidaknya, kerajaan mereka makmur. Nenek susah membuatku bahagia," jawab Mela, berusaha menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk tidak membiarkan kata-kata tentang keturunan kerajaan Demak mengganggu pikirannya lebih jauh.

Nenek tua itu tersenyum, namun ada kesedihan yang tampak di matanya. "Kamu memang anak yang baik, Mela. Seperti ayahmu dulu... selalu rendah hati dan penuh kasih. Tidak peduli siapa pun kita, yang terpenting adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan hati yang tulus."

Mela mengangguk, meskipun hatinya masih berat. "Saya hanya ingin hidup yang tenang, Nek, tanpa harus merasakan kesombongan orang lain. Saya ingin bisa membantu orang sebanyak mungkin, seperti yang diajarkan ayah saya."

Nenek itu mengusap kepala Mela dengan lembut, penuh kasih sayang. "Kamu akan mendapat kebahagiaan dari kebaikan hatimu, Mela. Jangan pernah lelah berbuat baik, meskipun dunia kadang tidak mengerti. Kebaikanmu akan selalu mengalir, seperti sungai yang tak pernah kering."

Mela tersenyum mendengar ujaran nenek tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!