Purnama malam ini bersinar terang, memancarkan keindahan yang menenangkan, sementara suara jangkrik merdu saling bersahutan, menciptakan harmoni di tengah kesunyian malam. Di teras rumah sederhana, Hamzah, seorang pemuda yang lahir dan dibesarkan di desa ini, duduk dengan penuh harapan ke arah rembulan. Meskipun berasal dari keluarga pas-pasan dengan rumah kecil yang hanya memiliki dua kamar tidur dan dapur, Hamzah memiliki akhlak yang mulia dan kecerdasan yang membuatnya selalu mendapatkan beasiswa sejak sekolah dasar.
Namun, malam ini ada kecemasan yang terlihat pada wajahnya yang tampan. Dalam kenyamanan yang bergelombang, lamunan Hamzah terputus oleh suara lembut ibunya memanggil dari dalam rumah. Sang ibu, wanita paruh baya yang sederhana namun penuh kasih sayang, muncul dengan secangkir kopi panas di atas nampan.
“Jangan terus melamun, Nak. Siapkan keperluan untuk keberangkatanmu besok. Tapi sebelum itu, minumlah kopi pahit dan kental ini,” ucapnya sambil menyuguhkan kopi di atas meja.
Hamzah tersenyum, menghilangkan kegelisahan di wajahnya saat melihat sosok teduh ibunya. Ia menarik napas panjang dan mengundang ibunya untuk duduk bersamanya di teras. Setelah menyeruput kopi, Hamzah menjawab pertanyaan ibunya tentang waktu keberangkatannya. "InsyaAllah pagi Bu, barang-barang sudah saya kemas siang tadi."
Angin malam berhembus lembut, membawa kesedihan saat Hamzah melihat air mata menetes dari wajah ibunya. “Ada apa Bu? Kenapa Ibu menangis?” tanyanya dengan lembut, mencoba menenangkan. Dalam keheningan itu, Hamzah berusaha mengusap air mata ibunya dengan lembut. “Ibu yang tenang ya, doakan Hamzah selalu,” ujarnya penuh harap. Malam itu menjadi saksi bisu antara dua jiwa yang saling mencintai dan mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup yang tak pasti.
Setelah suasana tenang sejenak, Ibu Hamzah menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. “Rasanya baru kemarin kamu menyelesaikan S1, dan di sini Ibu sangat bangga sama kamu, nak. Namun, di balik kebanggaan itu, Ibu juga merasa sedih.”
“Sedihnya kenapa, Bu?” potong Hamzah dengan ekspresi serius yang menghiasi wajahnya.
“Dulu, saat kamu kuliah di Jogja, kamu jarang pulang ke rumah. Sekarang, ketika kamu kuliah di negeri orang, pasti akan lebih jarang lagi untuk pulang,” Ibu menjelaskan sambil menahan air mata yang kemudian kembali membasahi pipinya. “Dan Ibu juga sedih karena Ibu tidak bisa memberikan uang saku untuk kuliahmu di sana, Nak,” sambungnya dengan suara yang bergetar, memecah keheningan malam itu.
Hamzah berdiri dan memeluk Ibu tercintanya, berusaha menenangkan.
“Bu... InsyaAllah Hamzah akan baik-baik saja. Ibu tidak perlu khawatir ya. Doakan dan restui Hamzah untuk melanjutkan kuliah ini. Untuk uang saku, InsyaAllah Hamzah sudah cukup. Hamzah masih punya tabungan yang cukup untuk bekal ke sana nanti. Apalagi Ibu sudah memberikan bekal yang banyak sejak kecil—bekal agama yang sangat berguna bagi Hamzah,” ucapnya sambil menahan air mata yang kemudian menetes di pipinya.
Mendengar kata-kata anaknya itu, Ibu Hamzah tersenyum dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih ya, Nak. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu dan merestui setiap langkahmu di mana pun kamu berada,” jawabnya dengan penuh cinta yang menghangatkan hati mereka berdua.
Disisi lain, setelah Hamzah mendengar jawaban dari Ibunya, ia merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman lembut sang Ibu. Ekspresi wajahnya seolah menandakan bahwa ada rahasia yang tak ingin diungkapkannya. Meskipun rasa ingin mengetahuinya membara, Hamzah memilih untuk menahan pertanyaan yang menggelayut di pikirannya. Ketika ia beralih ke jam tangan, ia menyadari waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
“Bu, sudah hampir jam dua belas malam. Mari, Hamzah antar Ibu untuk beristirahat,” ucapnya dengan nada lembut, berusaha mengakhiri percakapan malam itu.
Sang Ibu tersenyum, matanya berbinar meski ada keletihan yang terlihat. “Iya Nak, Ibu juga sudah ngantuk. Kasihan bapakmu bobok sendiri,” jawabnya sambil tertawa kecil, membuat Hamzah tak kuasa menahan gelak tawa mendengar candaan sederhana namun hangat itu. Di momen malam yang tenang itu, mereka berbagi tawa, seolah semua beban dan rahasia terhapus dalam kehangatan keluarga.
***
Hamzah melangkah perlahan menuju kamar, di mana ia menemukan Aan, adik bungsunya yang berusia 15 tahun, terlelap di atas kasur kumal berukuran 2x1.
“Pulas sekali tidurnya,” gumam Hamzah, terpesona oleh ketenangan wajah adiknya.
Dalam sekejap, ia mengambil sebatang rokok dari bungkus yang digenggamnya, ia lalu berjalan ke meja yang terletak di samping kasur, lalu Hamzah mulai menyalakan rokoknya. Malam telah larut, jam menunjukkan angka dua belas, dan Hamzah menyadari bahwa masih ada beberapa buku yang belum ia kemas.
"Aku harus menyelesaikannya!" serunya dalam hati, sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas yang terletak di atas meja.
Suasana malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan hewan malam lainnya yang mengisi kenyamanan. Sinar bulan yang cerah menerobos rongga ventilasi jendela, menerangi kamar dengan lembut. Hamzah berdiri dan mendekati jendela, membukanya lebar-lebar. Begitu jendela terbuka, cahaya bulan menyapa wajahnya yang putih bersih dan rupawan. Dingin semilir angin malam menggoyangkan rambut hitamnya yang lurus. Sorot mata yang teduh mencerminkan kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, seolah-olah malam ini adalah saksi bisu dari perjalanan hidupnya yang penuh harapan dan impian.
Ia menengok ke atas, memandangi bulan yang bersinar terang, hatinya dipenuhi rasa takjub. Dalam keheningan malam itu, wajah cantik Ririn muncul dalam ingatan, mengingatkan pada masa-masa indah yang mereka lalui bersama. Ririn, gadis desa yang lahir dari keluarga berada—ayahnya bekerja di luar negeri dan ibunya adalah pemilik butik terkenal—selalu menjadi bintang di hatinya. Sejak kecil, mereka berteman akrab, namun saat dewasa, perasaan yang terpendam mulai terungkap. "Ririn," bisik Hamzah dalam hati, "apakah kamu juga sedang memandangi bulan malam ini?" Suaranya lembut saat ia mengirim pesan hati kepada Ririn. “Mas berjanji, setelah menyelesaikan studi S2, InsyaAllah mas akan menikahimu,” lanjutnya dengan harapan yang membara.
Di sisi lain, Aan, adik Hamzah, terbangun dari tidurnya. Melihat kakaknya tersenyum sambil menatap langit, ia pun menyapa dengan lembut, "Mas...ada apa? Senyum-senyum sendiri kesambet ya?"
Hamzah tertawa mendengar candaan Aan. "Huss, ngawur kamu! Iya, kesambet mbak Ririn," jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Cieee... yang lagi mikirin mbak Ririn! Oh iya, besok kan mau ditinggal ke luar negeri," goda Aan lagi. Hamzah memandang adiknya.
“Eh mas, kenapa mbak Ririn nggak diajak sekalian?” tanya Aan penasaran.
"Ya enggak bisa, le. Kita belum menikah dan dia juga punya kesibukan di sini," jawab Hamzah sambil menutup jendela dan kemudian duduk di samping Aan.
Malam itu terasa panjang dan penuh harapan. Hamzah tahu bahwa meski mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, cinta mereka mampu menjembatani segala perbedaan.
***
Kasur yang kumal itu terlihat sempit setelah Hamzah duduk, seolah-olah mengungkapkan beratnya pikiran yang menggelayuti ingatan. Ia memandang sekeliling kamar berukuran 3x3 meter yang sudah tampak penuh meski hanya ada satu kasur, almari, dan meja. Dinding-dindingnya menyimpan bisikan kenangan, sementara Hamzah bertanya kepada adiknya, "An, mas mau tanya."
Aan, dengan mata membuka tanda ingin tahu, menjawab, "Tanya apa mas?"
"Jadi begini, kan tadi mas sempat ngobrol sama ibu. Teruslah sekilas mas tangkap ekspresi ibu seperti ada yang disembunyikan. Kamu tahu tidak apa yang sedang ibu sembunyikan?" Hamzah bertanya dengan sungguh-sungguh dan tidak biasa.
“Mmmm…” gumam Aan, berusaha mengingat.
“Kemarin selama mas jarang pulang ke rumah, apakah ada kejadian penting?” Hamzah menegaskan pertanyaannya, berharap ada sesuatu yang terlewatkan. Namun Aan hanya membuat keputusan kepala.
"Seingat dan setahuku tidak ada kejadian apa-apa mas, semua berjalan seperti biasanya," jawabnya.
“Yasudah, alhamdulillah kalau begitu,” Hamzah menghela nafas lega meski rasa penasaran masih menggelayuti pikiran. "Sekarang kamu tidur, mas juga mau tidur. Besok harus berangkat pagi," sambungnya, menutup percakapan malam itu dengan harapan bahwa semua akan baik-baik saja di antara mereka.
***
Hamzah melangkah di sebuah jalan setapak yang sepi, matanya berkedip pada empat ekor sapi yang berkeliaran tanpa pemiliknya. Dua sapi besar berdiri kokoh, sementara dua lainnya berukuran sedang, tampak tenang di tengah suasana yang sunyi. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika suara seorang wanita memanggil namanya dengan keras,
“Hamzaaahhhhhh…”
Suara itu menggema di antara pepohonan, membuat Hamzah menoleh ke belakang. Dari kejauhan, ia melihat sosok seorang wanita berdiri, namun wajahnya samar dan tidak dapat dikenali. Kembali ia menatap sapi-sapi di depannya, tetapi tiba-tiba salah satu sapi besar itu berlari menjauh, meninggalkan tiga temannya. Tanpa berpikir panjang, Hamzah berlari mengejar sapi tersebut, bertekad untuk menjaga keempat ekor sapi sampai pemiliknya tiba.
Di belakangnya, teriakan wanita misterius itu kembali menggema, semakin keras dan mendesak,
“Hamzaaahhhhhh…”
Meski teriakan itu ditemukan dengan penuh kepentingan, Hamzah tetap fokus pada sapi yang melarikan diri. Namun, saat ia berlari, suara lain kembali memanggil namanya dari sisi samping.
“Hamzaaahhhh...”
Teriakan itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh lagi, tetapi tidak melihat siapa-siapa. Dalam kebingungan dan ketegangan yang meningkat, Hamzah kembali mengalihkan pandangan ke depan. Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya menghilang; ia terjatuh ke dalam jurang yang gelap dan dalam.
“Allaaaahhhhh...” teriaknya dalam ketakutan saat semuanya menjadi gelap. Dan seketika itu juga, Hamzah terbangun dari tidurnya, jantungnya masih berdegup kencang oleh mimpi aneh yang baru saja dialaminya.
***
Tubuh Hamzah terlihat lemas, nafasnya masih ngos-ngosan, dan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia teringat akan kejadian aneh dalam mimpinya yang menggetarkan jiwa. “Astaghfirullah, mimpi apa yang aku lihat,” ucapnya pelan, berusaha menenangkan diri. Dengan kedua tangannya, ia mengusap keringat yang mengalir di dahi nya yang lebar. Suara adzan subuh dari masjid yang tidak jauh dari rumahnya memecah kenyamanan malam itu.
“Allahuakbar, Allahuakbar…” Suara itu mengalun lembut, membawa ketenangan di tengah kegelisahan hati.
“Alhamdulillah Ya Allah,” gumam Hamzah bersyukur atas panggilan untuk beribadah yang datang tepat pada waktunya.
Perlahan-lahan, ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil kemeja panjang yang tergantung di dinding. Setelah mengenakan bajunya, Hamzah beranjak menuju Aan yang masih tertidur pulas. “An, bangun. Ayo sholat subuh dulu!” serunya dengan semangat.
“Eeeemmm,” jawab Aan setengah sadar, suaranya masih berat karena mengantuk.
“Heh, ayok sholat dulu!” sahut Hamzah lebih tegas.
“Iya iya,” jawab Aan dengan nada terpaksa, namun matanya masih terpejam.
Dalam suasana pagi yang tenang dan penuh harapan itu, Hamzah merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar mimpi yang menghantuinya—sebuah panggilan untuk menemukan makna dalam setiap detak jantungnya. Aan kemudian membuka matanya, merasakan dinginnya angin subuh yang menembus kedalam kamar melalui celah ventilasi. Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidurnya dan meraih baju yang tergantung di dinding, aroma segar dari kain yang baru dicuci mengingatkannya pada ibu yang selalu merawat setiap detail di rumah.
Hamzah keluar dari kamar kecilnya, dan mulai bersiap untuk melangkah keluar rumah. Seperti biasa, Bapak mereka sudah tidak ada di dalam rumah; beliau telah berangkat ke masjid sebelum waktu subuh, bertugas sebagai muadzin di desa mereka. Dari jendela kamar, Aan dapat melihat sosok ibu yang sudah mulai meninggalkan rumah, bergabung dengan jamaah subuh yang berjalan berdampingan, seolah memberikan kesan hangat dalam dinginnya subuh. Hamzah menunggu sebentar hingga adiknya siap, lalu menyusul ibu mereka. Jalanan masih tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat menuju masjid. Dalam dinginnya suasana subuh itu, pikiran Hamzah melayang pada mimpinya semalam—sebuah mimpi yang penuh teka-teki dan membuatnya gelisah. Ia terbenam dalam pikiran hingga tak menyadari ada suara lembut yang menyapanya dari arah belakang.
“Assalamu'alaikum Nak Hamzah,”
Suara itu datang dari seorang laki-laki paruh baya yang sangat dihormati di desa Sawah Lor—Pak Kyai Rozi. Aan yang menyadari kehadiran Pak Kyai segera menepuk bahu kakaknya.
“Mas, dipanggil Pak Kyai,” ucapnya dengan nada bersemangat.
Spontan Hamzah menjawab panggilan Pak Kyai sambil terbata-bata, “Wa… Wa'alaikumussalam Pak Kyai, Astaghfirullah, saya minta maaf Pak Kyai.” Mereka berdua segera mendekati Pak Kyai dan mencium tangan beliau dengan penuh rasa hormat.
“Ada apa nak Hamzah? Kok subuh-subuh sudah melamun?” tanya Pak Kyai dengan nada penasaran.
“Eh, mmm, tidak ada apa-apa Pak Kyai,” jawab Hamzah berusaha menutupi kegelisahannya.
“Yasudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, nak Hamzah mau berangkat kapan ke luar negeri?” tanya Pak Kyai lagi.
“InsyaAllah jam delapan pagi nanti Pak Kyai,” sahut Hamzah dengan lebih tenang.
“Nanti sebelum berangkat, nak Hamzah mampir ke rumah dulu ya,” sambung Pak Kyai dengan senyuman hangat.
“Baik Pak Kyai, InsyaAllah,” jawab Hamzah sambil mengangguk. Dalam hati, ia merasa bersyukur atas bimbingan dan perhatian dari sosok yang selalu menjadi panutan bagi mereka.
Sesampainya di masjid, Hamzah melangkah dengan penuh semangat menuju tempat wudhu. Suara air yang mengalir menambah ketenangan dalam hati saat ia membersihkan diri, menyiapkan jiwa untuk beribadah. Setelah selesai wudhu, ia melangkah memasuki masjid dengan nuansa tradisional itu, namun tiba-tiba wajahnya memerah, seolah nyala api yang tak tertahan. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba melanda. Di hadapannya, seorang wanita bersinar dengan anggun. Parasnya begitu cantik; matanya bening seperti embun pagi dan kulit wajahnya putih bersih, berpadu sempurna dengan mukena putih yang dikenakannya. Setiap langkah wanita itu seolah membawa Hamzah lebih dekat ke dalam dunia yang penuh warna. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dadanya.
“Mas Hamzah…” suara lembut itu menghentikan langkahnya.
Ririn, wanita yang telah lama mengisi ruang hatinya, diasapi dengan nada manis yang membuat kegelisahan bergetar. Panggilan itu membuat Hamzah tak berdaya; rasa tegang dan bahagia bercampur aduk dalam dirinya. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk, menatap Ririn dengan mata berbinar.
“Iya Dik...” jawab Hamzah, suaranya bergetar penuh harapan.
Dalam sekejap, mereka berdua melangkah bersama memasuki masjid, membiarkan suasana sakral menyelamatkan mereka. Di dalam hati Hamzah, sebuah cerita baru mulai terukir—sebuah kisah tentang cinta dan keindahan yang tak terduga di tempat suci ini.
***
Air mata Hamzah mengalir deras, membasahi pipinya saat ia menengadah ke langit, melafalkan doa yang penuh harapan.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba... Mudahkanlah segala urusan hamba... Ampunilah dosa-dosa kedua orang tua hamba... Ya Allah Ya Rabb, hanya kepada-Mu lah hamba mengadu, berikanlah selalu petunjuk dan hidayah-Mu dalam segala langkahku... Aamiin."
Suara lirihnya seakan menggema di antara pepohonan yang rimbun di desa Sawah Lor. Di sudut masjid, Pak Kyai Rozi menyaksikan dengan penuh kasih. Senyumnya merekah melihat ketulusan Hamzah, murid kesayangannya yang selalu taat dan patuh.
Hamzah adalah tangan kanan dari Pak Kyai, beliau memiliki majelis Al-Qur’an dan kajian kitab klasik di desa Sawah Lor. Di majelis Al-Qur'an yang didirikannya, Pak Kyai berusaha memberikan pendidikan agama yang mendalam kepada warga desa. Disisi lain, Hamzah adalah mahasiswa dengan lulusan terbaik di jurusanya yaitu Filsafat Islam, bukan hanya menjadi tangan kanan Pak Kyai, tetapi ia juga sosok teladan bagi banyak orang. Setiap kali Hamzah mengajar, semangatnya menular kepada para santri. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayat Al-Qur'an dan kitab klasik yang mereka pelajari. Dalam hatinya, Hamzah tahu bahwa setiap doa dan usaha yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan ridha Allah dan menggapai keberkahan dalam kehidupan serta kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Setelah selesai berdoa, Hamzah beranjak dari duduknya dengan langkah yang ringan, meski hatinya masih dipenuhi rasa haru. Ia melangkah keluar dari masjid, niatnya jelas: pulang ke rumah. Namun, saat ia hendak mengenakan sandal, suara lembut seorang wanita memanggilnya dari belakang.
“Mas Hamzah,” Panggil Ririn, suaranya mengalun manis di telinga Hamzah.
Seakan terpesona oleh nada itu, Hamzah menoleh, dan seketika wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang seperti irama yang tak terduga. Aan, adik Hamzah yang berdiri di samping, tak bisa menahan tawa melihat reaksi kakaknya.
“Iya dik,” jawab Hamzah dengan nada malu-malu, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang menggelora.
Ririn mendekat dengan langkah pelan, jarak di antara mereka hanya lima langkah. Dengan tangan bergetar, ia menyodorkan sepucuk surat kepada Hamzah.
“Ini untukmu mas,” ucap Ririn sambil memerintah wajahnya, pipinya merah merona.
“Ini apa dik?” tanya Hamzah penuh rasa ingin tahu, matanya tak lepas dari surat yang kini berada di tangan.
“Ini sepucuk surat untukmu mas, jangan lupa dibaca ya mas,”
jawab Ririn, suaranya semakin lembut seiring dengan warna merah yang menghiasi wajahnya.
“Iya dik, nanti pasti mas baca,” jawab Hamzah dengan suara bergetar, merasakan getaran aneh di dalam dadanya.
Aan masih tertawa terbahak-bahak, bahkan tenggelam mulai sakit karena terlalu lucu melihat situasi itu.
“Adik pulang dulu ya mas, Assalamu'alaikum mas,” kata Ririn sebelum berangkat pergi.
“Wa'alaikumussalam, iya dik hati-hati ya,” balas Hamzah sambil melihat Ririn mengenakan sandalnya dengan wajah yang masih memerah.
Tak tahan dengan Aan yang terus menerus mengejek dirinya, Hamzah pun segera mendekati adiknya dan menjewer kupingnya dengan penuh kasih sayang. “Awas kamu ya,” katanya sambil tersenyum nakal.
“Iya kak maaf kak, aduh, aduh maaf kak,” jawab Aan sambil tertawa kesakitan.
“Yaudah yuk pulang ke rumah,” ajak Hamzah setelah suasana kembali tenang.
Dengan langkah ringan dan hati yang penuh rasa ingin tahu tentang surat misterius itu, mereka berdua meninggalkan masjid dan melangkah pulang ke rumah, merasakan hangatnya kebersamaan di tengah tawa dan canda. Selama perjalanan pulang, Hamzah tak bisa menyembunyikan senyumnya yang lebar. Setiap kali ia mengingat momen-momen indah yang baru saja dilaluinya, jantungnya bergetar penuh bahagia. Aan, adik yang selalu penasaran, memperhatikan kakaknya dengan bertanya padanya.
“Dari semalem senyum-senyum sendiri, memang bener kesambet ini kak Hamzah,” ucapnya sambil tertawa, suaranya ceria dan penuh canda.
Namun, Hamzah hanya mengangkat bahu, mengabaikan lelucon adiknya itu. Setibanya di depan rumah, ia segera melangkah masuk dengan cepat, seolah ada sesuatu yang mendesak di dalam hatinya. Ibu Hamzah, yang sedang berada di dapur, melihat anaknya yang sedang terburu-buru dan langsung bertanya dengan nada khawatir,
“Kamu kenapa, Le? Kok melaju terburu-buru?”
“Oh ini Bu, mmm Hamzah mau buat kopi,” jawabnya sambil tersenyum kegirangan, matanya berbinar penuh semangat.
Aan yang mengikuti dari belakang tak mau ketinggalan, “Biasa Bu, mbak Ririn... Eheemmm,” ucapnya dengan tawa menggoda.
Mendengar jawaban kedua anaknya, Ibu hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Setelah menjawab pertanyaan ibunya, Hamzah melangkah ke dapur untuk menyiapkan segelas kopi panas. Suara Bapak Hamzah terdengar dari ruang depan,
“Le... Bapak dibikinin kopi sekalian!”
“Siap grak Pak,” jawab Hamzah sigap.
Segera setelah kopi selesai dibuat, ia membawa dua gelas ke ruang depan dan menyodorkannya kepada Bapak. “Ini Pak kopinya,” ucap Hamzah seraya memberikan satu gelas kopi panas.
“Terimakasih ya Le,” balas Bapak dengan senyuman hangat.
Senyum itu membuat Hamzah merasa lebih bahagia. Setelah itu, ia bergegas menuju kamar, tidak sabar untuk membaca sepucuk surat dari Ririn yang ia terima setelah sholat subuh tadi. Sesampainya di kamar, Hamzah duduk di atas kasur dan meletakkan segelas kopi di meja. Dengan hati berdebar-debar, ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan surat berwarna merah yang terlipat rapi. Di bagian luar lipatannya terdapat tulisan yang membuat jantungnya berdegup kencang: “Untuk Mas Hamzah, kekasihku.” Surat itu seolah menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan yang selama ini ia impikan.
***
Dengan tangan gemetar, Hamzah membuka surat itu perlahan, seolah-olah setiap detik yang berlalu adalah sebuah keajaiban. Dalam kegelisahan yang mengelilinginya, Hamzah mendapatkan cahaya harapan bersinar dari secarik kertas yang dipegangnya. Tulisan Ririn tampak begitu rapi, setiap hurufnya seakan menari di atas kertas, membangkitkan semangat untuk membaca dengan penuh perhatian.
“Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Mas Hamzah. Teruntuk Kamu, kekasih terhebatku.”
Kata-kata itu mengalir lembut ke telinga, membangkitkan rasa hangat di dalam hati. Hamzah melanjutkan membaca, memahami setiap kalimat yang ditulis dengan penuh cinta.
“Dinginnya malam ini tidak membuatku surut untuk menuliskan sepucuk surat ini padamu. Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini; meskipun ada goresan tinta yang indah, namun indahnya tidak bisa mengalahkan indahnya rasaku ini di hadapanmu…”
Jantung Hamzah berdegup sangat kencang saat ia membaca tentang kebahagiaan Ririn mendengar kabar baik tentang beasiswa yang didapatnya.
“Selamat ya mas, adik bangga sama mas... Sekali lagi selamat atas beasiswanya mas”
Setiap kata terasa seperti alunan musik yang menyentuh relung hatinya. Namun, saat ia melanjutkan membaca, permintaan Ririn untuk bertemu sebelum keberangkatannya, perasaan campur aduk membuat dirinya gagal.
“Langsung saja mas. Dalam surat ini, adik ingin bilang sama Mas Hamzah. Besok sebelum Mas Hamzah berangkat ke luar negeri, temui adik dulu ya mas di tempat biasanya. Adik ingin mengatakan sesuatu sebelum Mas Hamzah pergi. Terimakasih ya mas.”
Hamzah melipat kembali surat tersebut dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tasnya. Namun, muncul pertanyaan di benak: “Kenapa Ririn tidak langsung menelponku? Kenapa hanya lewat sebuah surat?” Ia sendiri tersenyum, “Aih, mungkin dia menginginkan sesuatu yang lebih romantis.” Dengan semangat baru dan rasa cinta yang membara, Hamzah bertekad untuk menemui Ririn sebelum berangkat. “Aku pasti akan menemuimu sebelum aku berangkat,” gumamnya pelan, merasakan betapa berartinya momen itu bagi mereka berdua.
***
Terdengar suara lembut dari ruang depan, memecah keheningan pagi yang masih tersisa.
“Hamzah, sarapan dulu nak!” teriak Bapak, suaranya mengalun penuh kasih.
Hamzah tersentak dari lamunan, menjawab cepat, “Iya pak, Hamzah segera kesitu.”
Dengan langkah ringan, ia melangkah dari tempat duduknya, jantungnya berdebar penuh semangat. Di ruang depan, Bapak, Ibu, dan Aan—adik tercinta—sudah menanti dengan senyum ceria. Di atas meja kayu yang sederhana, terhampar satu bakul nasi hangat, sayur kangkung yang baru matang, dan sambal yang menggugah selera. Begitu melihat hidangan itu, Hamzah tak bisa menahan diri; ia berlari kecil menuju ruang makan. Tanpa perlu diperintah, ia langsung duduk di kursi bambunya yang sudah familiar dengan tubuhnya.
“Barang-barang sudah siap semuanya?” tanya Bapak dengan nada penuh perhatian.
“Alhamdulillah sudah selesai pak,” jawab Hamzah sambil tersenyum.
Dengan cekatan, Hamzah mengambil piring di depannya. Ia menyendok tiga entong nasi dan sayur kangkungnya, ditambah sepotong tempe yang diiringi sambal pedas. Tak lama kemudian, suapan pertama menutup mulutnya.
“Masakan Ibu memang yang terbaik,” pujinya setelah menelan dengan lahap.
Ibu tertawa mendengar pujian itu, “Iya dong, kan Ibu yang memasak. Coba kalau Bapak yang masak, pasti gosong semua tuh tempe!”
Gelak tawa mengisi ruang makan pagi itu, menciptakan suasana hangat di tengah kebahagiaan mereka. Namun tiba-tiba, raut wajah Ibu berubah sendu.
“Ibu kenapa?” tanya Hamzah khawatir melihat ibunya tiba-tiba bersedih. Bapak dan Aan pun ikut menatap Ibu dengan penuh perhatian. Suasana ceria seketika menghilang menjadi hening.
“Tidak apa-apa le,” jawab Ibu pelan, “Ibu hanya teringat kalau nanti kamu akan pergi.”
Mendengar hal itu, Bapak langsung menegaskan, “Justru Ibu harus bangga sama Hamzah; dia bisa dapat beasiswa ke luar negeri itu suatu hal yang dijanjikan.”
Hamzah menambahkan dengan tulus, “Iya bu, benar kata Bapak. Hamzah berjanji akan baik-baik saja dan selalu kirim kabar ke rumah.”
Ibu terdiam sejenak; meskipun hatinya berat melepaskan anak pertama pergi jauh, ia tahu ini adalah langkah besar bagi Hamzah. “Janji ya le,” pinta Ibu lembut meski matanya masih berkaca-kaca.
“Iya bu insyaallah Hamzah akan sering kasih kabar ke rumah,” jawab Hamzah berjanji.
Tiba-tiba Aan yang sedari tadi hanya mendengarkan kini bersuara dengan candaannya yang khas.
“Kasihan nasinya di cuekin,” sambil tersenyum nakal.
Hamzah tak mau kalah meladeni canda tersebut. “Mana ada di cuekin! Lihat si Bapak, piringnya sudah bersih!”
Mereka tertawa terbahak-bahak melihat piring kosong di hadapan Bapak. Tawa itu membawa kembali keceriaan pagi mereka dan membuat sedikit demi sedikit kesedihan Ibu sirna dalam tawa hangat keluarga yang penuh cinta ini.
***
Mentari pagi mulai menyinari rumah Hamzah yang semula tertutup oleh pepohonan.
“Alhamdulillah,” ucap Hamzah dengan penuh rasa syukur setelah menghabiskan sarapannya yang sederhana namun nikmat.
Aroma sayur kangkung dan tempe goreng yang masih tercium di udara membuatnya terasa bersemangat. Namun, saat ia melangkah menuju dapur untuk mencuci piring, ingatan akan janjinya kepada Ririn tiba-tiba menyeruak.
"Astaghfirullah, aku lupa!" gumamnya, terkejut dengan kesadaran yang datang secara tiba-tiba. Dengan cepat, ia menyelesaikan pekerjaannya dan menariknya segera menuju pintu depan.
Di luar, ayahnya yang sedang menikmati secangkir teh panas melihat anaknya yang terburu-buru dan bertanya, “Mau kemana, Le?” Suara lembut namun penuh perhatian itu membuat Hamzah terdiam sejenak.
“Ini pak, mau bertemu dengan Ririn sebentar,” jawabnya sambil melangkah cepat.
“Yasudah kalau begitu, tapi jangan lama-lama. Tadi, setelah sholat subuh, Pak Kyai Rozi bilang sama bapak kalau kamu disuruh ke rumahnya sebelum berangkat nanti.”
“Iya pak,” jawab Hamzah singkat, tanpa bisa menahan rasa cemas yang menggelayuti hatinya.
Begitu melangkah keluar rumah, Hamzah merasakan kesegaran pagi di desa Sawah Lor. Suasana desa yang asri dan ramai membuatnya tersenyum; warga terlihat sibuk dengan aktivitas mereka—menanam padi di sawah, memandikan kerbau di sungai, dan beberapa orang berpakaian rapi bersiap untuk berangkat kerja. Namun, langkah Hamzah terhenti sejenak saat matanya melirik pada empat ekor sapi yang sedang dimandikan. Kenangan akan mimpinya semalam kembali menghantui pikiran.
“Empat ekor sapi,” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, ia melanjutkan langkahnya dengan semangat. Di tengah perjalanan, suara ramah Pak Qadir menyapa pendengaran.
“Nak Hamzah mau kemana?” tanyanya sambil melangkah menuju sawah.
“Ini pak, Hamzah mau ke gazebo pinggir sungai,” jawab Hamzah dengan cepat.
“Mau ketemu Ririn ya?” sahut Pak Qadir sambil tersenyum menggoda.
“Hehehe iya ini pak,” jawab Hamzah sambil tertawa kecil.
Hamzah melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, suara gemericik air sungai semakin mendekatkan dirinya pada tempat pertemuan yang dinantikan. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat hingga membentur bebatuan kecil di sepanjang perjalanan; namun semangatnya tak pudar sedikit pun. Dalam sekejap mata, ia tiba di gazebo bambu yang sudah mulai lapuk—tempat mereka sering bertemu sejak kecil. Di sana, ia melihat sosok Ririn yang mengenakan pakaian anggun berwarna putih bersih, seolah menyatu dengan keindahan pagi itu.
“Ririn…,” teriak Hamzah dari belakang, suaranya penuh harapan dan rasa rindu yang mendalam.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!