NovelToon NovelToon

Pernikahan Di Atas Skandal

SAINGAN

Albarra Raditya Nugraha berdiri di depan maquette raksasa yang menghiasi ruang kerjanya. Tangannya dengan cekatan mengatur setiap detail kecil dari proyeknya, bangunan pencakar langit yang dirancang untuk mengubah siluet kota. Ia adalah arsitek yang disegani, perfeksionis, dan terbiasa mengendalikan segalanya. Dalam dunianya yang penuh garis lurus dan struktur kokoh, tidak ada tempat untuk kekacauan atau emosi yang tidak terduga. Namun, kehidupan sempurna yang ia bangun mulai retak, terancam oleh skandal yang bisa menghancurkan reputasinya.

 Reputasinya bisa hancur dalam sekejap jika skandal ini berhasil diungkap ke media. Tidak hanya itu, reputasi keluarganya pun terancam. Namun di satu sisi, ia juga sangat ingin mengumumkan kepada dunia tentang hubungannya dengan perempuan yang sangat dicintainya itu.

 Perempuan itu bernama Nadea Vanessa, seorang model papan atas yang kini sudah menikah dengan seorang pengusaha terkenal di negerinya.

 "Kalau hubungan lo sama Dea diangkat ke media, lo bisa dibunuh sama Pak Andreas." Ujar Ryan, sahabat sekaligus rekan kerja Barra.

 "Baru dikira gosip kayak gini aja, kepala gue rasanya mau pecah karena dihubungi oleh beberapa media." Keluh Dika, asisten sekaligus sahabat Barra.

 Barra menatap dua lelaki di depannya dengan tatapan kalut. Suasana apartemen Barra yang sebenarnya dingin terasa begitu panas. Tangannya mengepal karena menahan amarah. Ini semua karena foto dirinya dan Nadea yang sedang liburan di Labuan Baju beberapa minggu kemarin tertangkap kamera wartawan.

 Barra tahu dengan latar belakang Nadea yang seorang model terkenal saja pasti akan mengundang banyak media ingin mengetahui kehidupan kekasihnya itu. Apalagi sekarang dengan status Nadea yang seorang istri dari seorang pengusaha ternama di negeri ini. Tentunya berita sekecil apapun akan menjadi viral.

 "Lagian lo ngapain sih mesti balikan sama Nadea? Udah saatnya lo move-on, Bar. Cewek nggak cuma Nadea. Percuma wajah lo ganteng tapi cuma jadi perebut bini orang." Ujar Ryan yang juga prihatin dengan nasib sahabatnya itu

 "Udah mentok dia sama Dea. Mau dikenalin sama siapa aja dia nggak mau." Tambah Dika.

 Barra diam. Dia tidak bisa mengelak. Apa yang diucapkan Ryan dan Dika memang benar adanya. Nadea adalah istri orang. Namun Barra masih terlalu mencintai Nadea. Perempuan itu adalah cinta pertamanya. Sayangnya hubungan mereka tidak direstui semesta.

 Terlalu rumit keadaannya. Keluarga Barra yang terkenal dengan sebagai keluarga terpandang dan terhormat terlalu sulit menerima Nadea yang pekerjaannya sebagai model. Apalagi Nadea yang enggan meninggalkan dunia modeling jika mereka menikah semakin membuat keluarga Barra enggan memberi restu. Begitu pula dengan keluarga Nadea.

 Menurut mereka dengan popularitas dan kecantikan Nadea, gadis itu harus mendapatkan pasangan yang setara atau mungkin lebih dari segi ekonomi. Keluarga Barra memang keluarga terpandang, namun pekerjaan Barra yang seorang arsitek dianggap tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan keluarga lelaki yang kini menjadi suami Nadea, Ardya Pranata Kusuma.

 Pernikahan mendadak Nadea dan Ardya tentunya menbuat Barra terpuruk. Hingga empat bulan yang lalu Nadea kembali menghubunginya dan menawarkan hubungan gelap ini. Apalagi Nadea yang diperlakukan tidak baik oleh suaminya itu, semakin membuat Barra enggan melepas Nadea. Walaupun resikonya ia akan menjadi kekasih gelap Nadea.

 Di sisi lain kota, Btari Almadina menghabiskan paginya di tengah hutan, kamera tergantung di lehernya. Setiap klik lensa adalah caranya menangkap keindahan yang tak bisa dibatasi garis atau aturan. Sebagai fotografer alam, Btari hidup untuk kebebasan, untuk mencari cahaya terbaik yang membingkai daun yang jatuh atau aliran sungai yang berkilauan. Ia selalu jauh dari hiruk-pikuk kota dan intrik yang mengelilinginya, menikmati dunianya yang sederhana tetapi penuh makna.

 Bagi Btari menyepi di hutan dan menjauh dari hiruk pikuk kota akan membuatnya lebih baik. Disuguhi dengan pemandangan alam dan diiringi bunyi burung. Btari sangat mencintai dunianya yang penuh dengan kealamian.

 Disaat kesibukannya itulah, suara ponselnya terdengar dari saku celana kargonya. Meninggalkan kesibukannya memotret objek, Btari pun segera menerima panggilan masuk itu.

 "Assalamu'alaikum, Bu."

 Wajah Btari berubah tegang ketika mendapatkan panggilan masuk tersebut. Ia segera berjalan menuju jalan keluar dengan cepat.

 Tujuannya satu, segera kembali ke panti Asuhan Adh-Dhuha sore ini juga.

 "******"

 "Darimana? Pacaran?" Tanya Ryan ketika Dika muncul dari pintu masuk dengan wajah sumringah.

 Ryan sedang menikmati tontonan sepak bola tim kesayangannya. Tentunya ditemani Barra yang lebih fokus dengan ponsel dibandingkan menonton televisi.

 Malam ini mereka memutuskan untuk menginap di apartemen Barra. Hal yang sudah lama tidak Ryan dan Dika lakukan. Apalagi semenjak Barra dan Nadea kembali berhubungan. Mereka berdua tidak tahu sejauh apa hubungan itu, namun sejak itu, Barra melarang Ryan dan Dika datang ke apartemennya.

 Barra menoleh. Wajah Dika memang terlihat bahagia. Seperti orang sedang kasmaran. Padahal tadi bilangnya pergi ke minimarket namun ternyata keluar hampir dua jam.

 "Belum jadi pacar. Baru mau." Jawab Dika masih dengan senyum lebarnya.

 "Ketemu siapa lo? Curiga gue." Selidik Ryan.

 "Indi. Kalian ingat? Indi gebetan gue jaman SMA." Jawab Dika dengan riang.

 Mendengar nama yang sangat tidak asing itu, Barra dan Ryan saling tatap. Mereka lupa-lupa ingat dengan nama itu.

 "Indi temannya Btari, Bar. Btari yang lo benci mati-matian karena lo selalu kalah dari dia itu."

 Barra menatap Dika dengan kesal. Lelaki itu mengingatkannya dengan sosok perempuan yang sangat Barra benci.

 "Aaah iya. Gue ingat. Tapi kok lama banget. Lo nggak janjian sama dia'kan?" Suara Ryan begitu semangat dengan cerita Dika.

 "Ya awalnya kita cuma say hi aja. Tapi lama-lama jadi cerita banyak deh."

 Ryan mengangguk paham. Sementara Barra hanya mendengarnya tanpa minat. Apalagi jika ini menyangkut Btari. Perempuan keras kepala dan galak itu begitu menyebalkan di mata Barra.

 "Nah terus Indi cerita kalau Btari itu lagi butuh uang. Nggak buat dia sih. Tapi buat panti asuhan tempat ia mengajar. Dia butuh donatur untuk panti itu segera."

 Berbeda dengan Barra, Ryan justru mendengarnya dengan seksama.

 "Gue tiba-tiba jadi ingat sama masalahnya Barra. Kayaknya hadirnya Btari bisa menjadi solusi deh." Kata Dika.

 Ryan bingung. Begitu pula Barra. Lagipula dia tidak mau berhubungan dengan perempuan itu.

 "Sebenarnya gue tertarik sama saran Ryan tadi siang. Mengenai istri pura-pura Barra."

 Barra diam. Matanya menatap Dika seolag tidak percaya dan berusaha menyangkal bahwa pikirannya dan Dika itu berbeda. Namun tampaknya itu hanyalah harapan Barra. Kenyataannya saran tambahan dari Dika itu persis sama dengan apa yang di pikirannya.

 "Menikahlah dengan Btari."

 "NGGAK!" Tawaran itu ditolak Barra langsung.

 Ryan berpikir sejenak. Hingga akhirnya ia berseru mengiyakan.

 "Benar. Gue setuju sama Dika. Itu adalah solusi yang tepat, Bar. Btari adalah perempuan yang tepat untuk jadi istri lo."

 Barra mendelik tajam mendengar ucapan Ryan. "Nggak ada yang lebih tepat selain Dea." Kata lelaki itu tegas.

 Dika menghela nafasnya. Ia akui Barra memang pintar dalam urusan akademik dan sangat teliti serta kompoten dalam urusan pekerjaan. Namun Barra adalah jenis manusia keras kepala dan bodoh jika urusan hati.

 "Ini cuma sementara, Bar. Setidak sampai gosip ini mereda dan keluarga lo baik-baik aja. ",

 "Lagian ini sejenis simbiosis mutualisme, Bar. Btari jadi istri sementara lo dan lo jadi donatur tetap untuk panti itu sementara waktu. Sesuai kesepakatan kalian. Lagian lo tau Btari seperti apa orangnya. Dia adalah orang yang tepat untuk bantuin lo saat ini."

 Barra terdiam. Otaknya mulai berpikir. Sejenak ingatannya berputar pada saingannya semasa SMA.

 "Akan aman kalau itu adalah Btari, Bar. Hubungan lo sama Dea akan aman dan reputasi lo akan perlahan membaik. Apalagi selama ini Btari sangat menjaga privasi hidupnya." Bujuk Dika lagi.

 Hening. Hingga beberapa menit kemudian Barra pun bersuara kembali.

 "Oke gue setuju."

DEAL

"Dika 𝚋𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐 𝙱𝚊𝚛𝚛𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝𝚒𝚗 𝚍𝚘𝚗𝚊𝚝𝚞𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚒, 𝚃𝚊𝚛. 𝙳𝚒𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚓𝚊𝚖𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚍𝚘𝚗𝚊𝚝𝚞𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚗𝚒 𝚗𝚐𝚐𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚐𝚔𝚊𝚛 𝚓𝚊𝚗𝚓𝚒. 𝙳𝚒𝚊 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚕 𝚋𝚊𝚒𝚔 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐𝚗𝚢𝚊."

𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚝𝚊𝚙 𝙸𝚗𝚍𝚢 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚑 𝚖𝚒𝚗𝚊𝚝. 𝙺𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚋𝚊𝚒𝚔 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚊𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚛 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒. 𝙸𝚊 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚜𝚊𝚑𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚓𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚕𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚍𝚘𝚗𝚊𝚝𝚞𝚛 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚍𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚒 𝚙𝚒𝚗𝚐𝚐𝚒𝚛𝚊𝚗 𝚔𝚘𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚊𝚍𝚊 𝚔𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚊𝚙𝚊𝚙𝚞𝚗.

𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕. 𝙳𝚒𝚔𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚊𝚝𝚊 𝙸𝚗𝚍𝚢 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚔𝚘𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚖𝚊𝚜𝚊 𝚂𝙼𝙰 𝚒𝚗𝚒 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗𝚕𝚊𝚑 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚏 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚒𝚋𝚊𝚝 𝚍𝚒 𝚔𝚎𝚐𝚒𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚜𝚘𝚜𝚒𝚊𝚕. 𝙰𝚙𝚊𝚕𝚊𝚐𝚒 𝚐𝚎𝚗𝚐 𝙳𝚒𝚔𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚊𝚗𝚐𝚔𝚞𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝 𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚎𝚋𝚎𝚗𝚊𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚛𝚊𝚐𝚞. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚒𝚊 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚛𝚊𝚜𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊 𝚋𝚞𝚛𝚞𝚔. 𝙱𝚒𝚜𝚊 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝙳𝚒𝚔𝚊 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚋𝚊𝚑. 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚝𝚞𝚕𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞.

"𝙾𝚛𝚊𝚗𝚐𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚙𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚞 𝚜𝚞𝚛𝚟𝚎𝚢 𝚔𝚎𝚜𝚒𝚗𝚒?" 𝚃𝚊𝚗𝚢𝚊 𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒.

"𝙳𝚒𝚊 𝚗𝚐𝚐𝚊𝚔 𝚔𝚎𝚜𝚒𝚗𝚒 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚜𝚞𝚗𝚐. 𝙾𝚛𝚊𝚗𝚐𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚊𝚞 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚖𝚞 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚜𝚞𝚗𝚐."

"𝙺𝚘𝚔 𝚊𝚔𝚞? 𝙺𝚎𝚗𝚊𝚙𝚊 𝚗𝚐𝚐𝚊𝚔 𝚔𝚎𝚜𝚒𝚗𝚒 𝚊𝚓𝚊?"

𝙸𝚗𝚍𝚢 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚎𝚕𝚎𝚗𝚐. "𝙳𝚒𝚊 𝚗𝚐𝚐𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊. 𝙳𝚒𝚊 𝚖𝚊𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚖𝚞 𝚍𝚒𝚜𝚒𝚗𝚒. 𝚃𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐, 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚕 𝚔𝚘𝚔 𝚜𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐𝚗𝚢𝚊."

𝙿𝚒𝚔𝚒𝚛𝚊𝚗 𝙱𝚝𝚊𝚛𝚒 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐-𝚕𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐. 𝙱𝚎𝚛𝚊𝚐𝚊𝚖 𝚙𝚛𝚊𝚜𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚞𝚗𝚌𝚞𝚕 𝚍𝚒 𝚘𝚝𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊. 𝙾𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚊 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚕? Tapi siapa?

"Oh tidak, temannya Dika? Dy, ini bukan si sombong itu kan?" Tiba-tiba Btari menyadari sesuatu. Ia bahkan hampir saja melewatkan hal itu.

Indy terkekeh. Respon Indy seolah mengiyakan apa yang ada di pikiran Btari.

"Nggak ya, Indy. Aku nggak mau terlibat hal apapun sama dia. Kamu tahu sendiri bagaimana sikapnya itu. Sok ganteng gitu. Nggak ya."

Tidak ada yang tidak tahu bagaimana hubungan antara Btari dan Barra semasa SMA. Keduanya terkenal dengan kecerdasannya. Karena hal itu pula keduanya bermusuhan. Saling besaing memperebutkan peringkat pertama. Selain itu, keduanya sering ikut lomba debat. Tidak selalu memang, namun Btari lebih sering keluar sebagai pemenangnya.

Namun ada perbedaan yang menonjol di antara keduanya. Barra itu tipikal anak cerdas, pandai bergaul dan aktif ikut organisasi. Oleh karena itu, penggemarnya banyak. Karena selain pintar, Barra juga punya wajah yang tampan dan orang tuanya juga orang terpandang. Sementara itu, Btari lebih cenderung tertutup. Ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan dan wajahnya pun tergolong biasa saja. Temannya pun tidak banyak.

Btari membenci Barra karena sifat angkuhnya, sementara Barra membenci Btari karena sifat keras dan galaknya.

"Saranku sih lebih baik kamu terima. Lupakan saja soal Barra. Utamakan uangnya aja. Kamu butuh itu. Riana dan yang lainnya butuh donatur tetap."

Hati Btari sesak. Dia benci ketidakberdayaannya. Meminta bantuan kepada Barra adalah pilihan yang sulit. Kalau bukan karena kondisi panti asuhan yang akan tutup itu, Btari tidak akan mau menerima bantuan Barra.

***

"Iya, ini aku lagi di kafe. Kamu tenang saja, semuanya akan aku atasi ya."

"Tapi kamu yakin ini akan berhasil? Ini terlalu beresiko untuk hubungan kita, Sayang." Suara di seberang terdengar begitu cemas.

"Tenang ya. Aku tahu kamu pasti khawatir. Ini hanya sementara. Tenang aja. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Dia pasti bisa menjaga rahasia kita."

"Kalau dia suka kamu gimana?" Barra tersenyum tipis membayangkan wajah cemburu Nadea.

Wajah lembut itu akan terlihat menggemaskan.

"Nggak akan, Sayang. Ketakutan kamu terlalu berlebihan." Ujar Barra dengan tenang. Lelaki itu yakin, jangankan suka, mau bertemu dengan Barra saja pasti perempuan itu lakukan dengan terpaksa.

Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang ditunggunya sejak 10 menit terakhir baru masuk kafe.

"Aku tutup dulu, ya. Yang ditunggu sudah datang."

"Ya udah. Aku kangen kamu."

Barra tertawa pelan mendengar suara lembut itu. "Aku akan selalu mencintai kamu." Ucap Barra dengan lembut.

Setelah itu telepon pun dimatikan. Barra kemudian melambaikan tangan pada sosok perempuan bertubuh mungil dengan jilbab berwarna hitam yang kini terlihat mencari seseorang. Setelah memastikan bahwa Btari melihat ke arahnya, Barra pun menurunkan tangannya.

Btari masih sama. Wajahnya memang terlihat ramah. Namun tiada senyum di wajah itu. Penampilannya saat ini tidak jauh berbeda dengan Btari yang dikenalnya 15 tahun yang lalu. Hanya model jilbabnya yang berbeda sekarang. Jujur penampilan kasual Btari terlihat begitu pas untuknya yang bertubuh mungil.

Namun di balik wajah kalem dan tubuh mungil itu, kalau bukan Dika yang cerita, Barra tidak tahu kalau Btari kini bekerja sebagai fotografer alam lepas. Namun pekerjaannya menggambarkan sosok Btari sekali. Alam dan Btari seperti satu kesatuan. Sunyi dan alami.

"Hai, Bi. Lama tidak bertemu." Sapa Barra berusaha ramah begitu Btari duduk di depannya.

"Langsung aja, Bar. Kamu hanya perlu menjelaskan apa yang akan aku lakukan. Saya tahu kamu bukan orang yang punya banyak waktu luang untuk hanya menyapa saya seperti itu." Ujar Btari dengan wajah serius.

Barra terkekeh. Ini adalah respon Btari yang Barra kira. Gadis itu bukanlah perempuan yang mau meladeni Barra hanya untuk mencari perhatian dirinya.

Lelaki itu lalu mulai bersikap serius. Btari benar, ia tidak punya banyak waktu untuk sekedar berbasa-basi saat ini. Ada setumpuk pekerjaan yang menunggunya.

"Terima kasih sudah mau datang, Bi. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku punya tawaran untukmu. Sesuatu yang... tidak biasa." Barra sengaja diam sejenak. Menunggu respon Btari

Perempuan itu tidak menjawab apapun. Namun wajahnya menyiratkan rasa penasaran.

"Anggap saja ini... kesepakatan bisnis. Aku butuh seseorang untuk berpura-pura menjadi istriku. Sementara." Kata Barra dengan serius.

Lagi-lagi dia menunggu respon perempuan di hadapannya. Hening. Btari masih bertahan dengan wajah datarnya. Kali ini agak mengejutkan Barra. Perempuan itu bahkan biasa saja ketika ia mengatakan perihal istri pura-pura tersebut.

"Kamu tidak mau bertanya tentang apapun, Bi? Wajahmu bahkan terlihat biasa saja ketika aku menceritakan hal itu."

"Saya akan mendengarkan semuanya sampai tuntas. Saya rasa kamu bukanlah orang yang mau meminta bantuan saya yang notabene-nya adalah musuhmu kalau bukan karena hal mendesak." Btari selalu datang dengan kejutan. Nada bicaranya bahkan begitu tenang. Saran Ryan dan Dika memang tak seburuk yang ia kira sebelumnya.

Barra awalnya ragu, namun melihat respon tenang Btari lelaki itu akhirnya memilih jujur.

"Aku tahu ini gila, tapi aku tidak punya pilihan lain. Ada... skandal yang bisa menghancurkan hidupku. Aku menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak seharusnya, dan jika ini bocor, karierku akan hancur."

"Selingkuh dengan istri orang?"

"Nadea bukan selingkuh denganku. Kami bahkan sudah berpacaran sebelum ia menikah. Takdir kami saja yang belum beruntung." Barra tidak terima dengan perkataan Btari mengenai Nadea. Perempuan itu menikah atas perjodohan orang tuanya bukan kehendak Nadea sendiri.

Btari tersenyum sinis mendengar pembelaan Barra. Gadis itu menyilangkan tangannya di dada. Lalu berujar dengan mimik yang lebih santai.

"Jadi ini semua hanya untuk menyembunyikan perselingkuhanmu? Dan kamu pikir saya mau terlibat dalam kekacauan ini? Saya tidak semenyedihkan itu ,Albarra."

Barra tahu ini gila dan Btari tidak akan mau langsung mengiyakan kerja sama gila ini.

"Dengar, aku tahu ini salah. Aku tidak bangga dengan apa yang terjadi, tapi aku butuh waktu untuk membereskan semuanya. Keluargaku, pekerjaanku, semuanya akan runtuh jika kebenaran ini keluar sekarang." Ujar Barra terdengar putus asa.

Btari menghela napasnya dengan kasar. "Harusnya saya sadar kalau kamu dan teman-temanmu itu tidak akan mau melakukan kegiatan sosial itu tanpa imbalan. Kalian nggak berubah. Masih sama gila dan angkuhnya." Ucap Btari dengan marah. Wajah datarnya sangat kentara menahan amarah.

Perempuan itu sudah akan beranjak dari kursinya kalau saja tidak ditahan Barra.

"Ini tidak akan menyulitkanmu, Btari. Aku jamin itu." Tegasnya. "Lagipula kamu membutuhkan donatur tetap dengan segera. Panti asuhan itu akan baik-baik saja. Anak-anak itu tidak akan kehilangan mimpinya hanya karena panti itu tidak ada donatur." Sebenarnya tidak hanya Btari, Barra saja mengakui dirinya gila.

Bisa-bisanya dia memanfaatkan ketidakberdayaan panti asuhan itu untuk kepentingannya.

"Kamu gila, Albarra. Kamu lebih gila dan brengsek dari yang saya kira."

Barra mengusap wajahnya kasar. "Iya aku tahu. Tapi aku sangat butuh kamu untuk masalah ini." Wajahnya mulai lega ketika Btari kembali duduk.

Btari menatap Barra dengan tatapan muak. Lalu gadis itu tersenyum sinis.

"Saya? Ingat, saya itu musuh lamamu, kamu pikir akan dengan senang hati membantu menyelamatkan reputasimu? Kenapa saya, Raka? Kenapa bukan wanita lain yang lebih rela ikut dalam drama ini?"

Lelaki itu menatap Btari dengan serius.

"Karena kamu adalah satu-satunya orang yang tidak akan memanfaatkan situasi ini. Kamu punya integritas, Bi. Aku tahu kita punya sejarah buruk, tapi aku juga tahu kamu akan melakukan hal yang benar... jika alasannya cukup kuat."

"Kamu menjadikan anak-anak panti itu sebagai alasan yang cukup kuat itu?"

Barra mengangguk. Kejam memang. Namun lelaki itu tidak ada pilihan lain. "Panti asuhan tempat kamu mengajar. Aku tahu mereka sedang kesulitan dana. Jika kamu setuju, aku akan menjadi donatur tetap. Semua kebutuhan panti akan terpenuhi. Ini bukan hanya soal aku, ini juga tentang anak-anak itu."

Dada Btari bergemuruh dan sesak. Lelaki ini tidak hanya angkuh. Tapi juga gila.

"Jadi aku harus menutupi skandalmu untuk menyelamatkan panti. Itu alasanmu?"

Barra mengangguk pelan, "Iya. Aku tidak akan memaksamu lagi, Bi. Tapi ini kesepakatan yang bisa membantu kita berdua. Aku tahu ini tidak adil bagimu, tapi aku tidak punya pilihan lain."

Lama. Hening sesaat. Hingga Btari menghela napasnya perlahan. Lalu menatap tajam Barra.

"Baik, saya setuju. Tapi ingat, Bar, ini hanya kesepakatan. Aku melakukan ini bukan untukmu. Aku melakukannya demi anak-anak di panti." Katanya tegas.

"Dan itu yang membuatmu berbeda, Maya. Terima kasih." Barra tersenyum lega. Lalu segera mengulurkan tangannya sebagai tanda deal kerjasama mereka.

Btari menatap Barra dengan dingin, lalu tanpa membalas senyum dan tangan Barra ia berkata dengan serius.

"Jangan berterima kasih dulu. Jika kamu melanggar janjimu untuk panti, Saya tidak akan segan-segan menghancurkan semua yang kamu coba lindungi."

"Deal. Aku akan menepati janjiku." Jawab Barra yakin.

BTARI DAN NADEA

Barra tersenyum lebar begitu mendapati sosok cantik yang kini berjalan dengan anggun menghampirinya. Bahkan Barra langsung menyambut kedatangan Nadea dengan pelukan hangat. Kerinduan akan gadisnya sangat menyiksa dan pelukan itu sebagai pengobat kerinduannya terhadap gadisnya itu.

 Barra menghirup wangi rambut panjang Nadea. Gadisnya selalu cantik dalam keadaan apapun. Semua yang ada pada gadis itu seakan candu untuk Barra. Hal itu semakin menambah kerinduan tatkala mereka yang sekarang sulit untuk bertemu. Ini bahkan sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu sejak liburan berdua yang tertangkap di media tersebut. Beruntungnya foto tersebut tidak memperlihatkan wajah Nadea,sehingga Barra masih bisa menyangkal hubungan mereka di media.

 "Aku kangen banget sama kamu." Ungkap Nadea yang masih berada dalam dekapan Barra.

 Lelaki itu tertawa pelan. Tangannya membelai lembut rambut panjang itu.

 "Aku bahkan lebih kangen dari yang kamu kira." Ucapnya lembut.

 "Iya aku tahu." Lirih Nadea.

 Saat ini mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil. Tempat ini adalah tempat mereka pertama kali pacaran. Tempat ini juga dirasa aman dari paparazi.

 "Makanan dan minumanmu sudah ku pesankan. Mau makan sekarang?" Tanya Barra kemudian merenggangkan pelukannya.

 Nadea mengangguk. "Boleh." Jawab Nadea.

 Keduanya lalu menikmati makanan mereka. Setelah itu, mereka memilih untuk bersantai di rooftop kafe. Menikmati waktu berdua setelah sekian lama tidak berjumpa. Melepas rindu atas jarak yang diciptakan tanpa rencana.

 Kini sembari menatap bintang yang bertebaran di kelamnya langit, Nadea menyandarkan dirinya dalam dekapan Barra. Ia menyukai hal ini. Merasa dirinya adalah milik Barra, begitupula sebaliknya. Memeluk Nadea dan menghirup aroma tubuh Nadea yang menjadi candu untuknya.

 Kalau bukan karena keadaan mereka yang sulit, sekarang mereka pasti bisa bertemu sebebas mungkin. Tidak perlu khawatir dengan omongan orang dan paparazi.

 "Kamu akan selalu mencintaiku, kan?" Tanya Nadea.

 Barra mengeratkan dekapannya. "Iya. Jangan meragukan perasaanku, ya." Sahut Barra tenang.

 "Bagaimana dengan perempuan itu? Kamu akan mengenalkannya padaku, kan?" Tanpa menjawab Barra mengangguk. Seulas senyum muncul di bibir Nadea. "Bagaimana jika nanti kalian justru jatuh cinta, Bar? Tidak ada yang tidak mungkin, Bar." Nada khawatir itu terdengar lirih.

 Barra merasakan keresahan dalam diri Nadea. Namun ia paham akan hal itu. Padahal ia pun yakin bahwa itu hanya ketakutan Nadea saja. Bagaimana bisa ia menggantikan Nadea dengan Btari? Nadea adalah perempuan idamannya, sementara Btari adalah saingannya yang kini hampir menjadi partner kerjanya.

 Lagipula Barra lebih menyukai tipikal perempuan seperti Nadea. Perempuannya yang anggun, cantik, berkelas dan bersikap lemah lembut. Hanya karena ia model orang tuanya enggan merestui mereka. Sementara Btari? Ya, gadis itu memang cantik. Tubuhnya mungil dan wajahnya juga kecil. Ia memiliki bola mata bulat yang hitam pekat dan pipi yang chubby. Hal itu membuat Btari lebih mirip gadis SMA dibandingkan perempuan berusia 27 tahun. Namun mengingat wajah datar dan perkataan Btari yang ketus semakin membuat Barra terlalu ngeri membayangkan untuk jatuh cinta pada Btari.

 "Btari nggak seperti kamu, Sayang. Lagipula kamu nggak usah khawatir. Selama kamu juga bisa jaga kepercayaan aku, maka aku juga akan menjaga kepercayaan kamu."

 Nadea tersenyum lega. Namun anehnya ia tetap merasakan janggal di lubuk hatinya.

 "Terima kasih untuk cinta luar biasamu untukku, Bar."

 "Sama-sama, Sayang. Aku akan selalu mencintai kamu."

***

 Pagi ini Btari sudah berada di sebuah cafe. Tempat ternyaman untuknya dalam melihat hasil fotonya seminggu ini. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat hasilnya. Dirinya puas. Walaupun harus berjuang masuk keluar hutan, baik saat hujan maupun cuaca panas.

 Saat ini ia sedang mengerjakan proyek kerja sama dengan sebuah perusahaan penerbitan majalah satwa. Sudah hampir lima tahun ia memilih untuk menjadi fotografer alam freelance. Bekerja dengan sistem yang lebih fleksibel dan menjalin kerja sama dengan berbagai klien. Yang paling utama adalah waktu Btari yang tidak terikat dengan perusahaan.

 "Kamu sudah lama?" Suara yang beberapa hari ini seringkali Btari dengar membuat gadis itu mengalihkan pandangannya dari kamera DSLR.

 "Lumayan." Jawab Btari singkat. Gadis itu lalu memasukkan kameranya ke tas kamera yang berada di kursi sampingnya.

 Hari ini adalah hari Barra akan memperkenalkan dirinya dengan Nadea. Awalnya Btari enggan untuk bertemu Nadea. Lagipula fotonya banyak di internet. Ia bisa melihat dan mencari informasi mengenai model papan atas itu disitu. Namun Barra memaksanya. Menurut Barra ini dilakukan untuk menghilangkan rasa cemburu Nadea terhadap Btari.

 "Maaf. Tadi aku masih ada pekerjaan sedikit." Kata Barra tulus.

 Percaya atau tidak, Barra yang sekarang terlihat sedikit berbeda dengan ia saat SMA. Ia sudah terlihat lebih manusiawi.

 "Oke." Jawab Btari singkat.

 Hening. Barra terlihat sibuk dengan ponselnya, sementara Btari sibuk dengan pikirannya sendiri. Berbagai prasangka muncul. Bukan berarti ia tidak mempercayai Barra, lelaki itu bahkan sudah memberikan dana sesuai yang Btari inginkan untuk keperluan operasional panti. Namun Btari sebenarnya masih ragu karena sebentar lagi ia akan menikah.

 Walaupun pernikahan ini tidak seperti pernikahan impiannya, namun tetap saja ia akan menikah resmi dan sah di mata negara dan hukum. Pergolakan batin terus saja hadir. Ia merasa bersalah kepada Ibu panti dan mendiang kedua orang tuanya.

 "Kamu udah lama jadi fotografer?" Tanya Barra.

 Btari mengangguk. "Jalan lima tahun."

 "Dulu ku kira kamu akan jadi dosen atau kerja di kedutaan besar. Dulu kamu sangat suka mendebatku."

 "Manusia bisa berubah. Seperti kamu yang sekarang justru memilih menjadi arsitek, saya pun memilih menjadi pemburu foto." Ujar Btari dingin.

 "Kenapa harus fotografer alam? Maksudku, dengan penampilanmu saat ini akan banyak orang yang terkejut dengan pekerjaanmu."

 "Alam itu lebih jujur dari manusia. Lagipula saya banyak menemukan hal yang baru ketika melakukan pekerjaan saya. Sesuatu yang tidak akan kamu mengerti dengan gaya hidup dan pola pikirmu yang glamor itu." Sarkas Btari.

 Barra tersenyum tipis. Setelah pertemuan pertama mereka beberapa waktu yang lalu, Barra mulai memahami bahwa Btari adalah perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan di sekitarnya. Kalimat sarkas, warna pakaiannya yang cenderung netral dan gelap dan pekerjaannya yang jauh dari kata feminim itu membuat Barra yakin kalau menjalin kerja sama dengan Btari adalah keputusan terbaik untuknya, terutama untuk hubungannya dan Nadea.

 "Bukankah itu terlalu beresiko, ya? Maksudku dengan penghasilan yang tidak menentu, kamu bahkan harus menjangkau tempat yang terkadang sulit untuk dijangkau."

 "Resiko itu bagian dari hidup, Bar. Pekerjaan apapun pasti ada resikonya." Jawab Btari.

 Barra baru saja akan bertanya lagi, namun lebih dulu dipotong oleh Btari.

 "Kamu nggak perlu tahu tentang hidup saya. Hubungan kita hanya sebatas rekan kerja."

 "Aaah, iya-iya. Maaf. Niatku hanya untuk mencairkan suasana di antara kita saja. Mengingat kita akan tinggal bersama nantinya."

 Btari diam. Dia sadar akan hal itu. Namun ia tidak mau terlalu akrab dengan Barra.

 "Hai, semuanya!" Suara lembut itu membuat Btari menoleh.

 Di depannya berdiri seorang perempuan cantik dengan penampilan yang sangat anggun. Wajahnya sangat familiar. Senyumnya menampakkan kepercayaan dirinya. Awalnya Btari bingung, namun melihat Barra yang langsung berdiri dan memeluk perempuan itu Btari langsung paham siapa dia.

 Nadea Vanessa. Model papan atas yang terkenal dengan beragam iklannya dan sekarang menjadi istri seorang pengusaha ternama. Beritanya hampir setiap hari hadir. Ya, karena ikut dalam urusan dua orang di depannya ini, Btari jadi sibuk mencari tahu tentang Nadea.

 Siapa sangka, dibalik wajah cantik nan lembut itu ternyata ia justru menjalin hubungan gelap dengan seorang arsitek terkenal.

 "Hai, kamu Btari, kan?" Nadea menyapanya ramah. Tangannya terulur ke hadapan Btari.

 Btari tersenyum tipis. "Hai. Saya Btari." Jawab Btari menyambut tangan Nadea.

 "Kalian nggak pesan makanan?" Tanya Nadea.

 Btari dan Barra saling tatap. Btari sebenarnya sudah memesan minum, namun ia jarang sarapan. Sementara Barra memang menunggu Nadea.

 "Pesankan sekalian untukku ya." Kata Barra lembut.

 Btari melihat keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Cinta terkadang memang buta. Berusaha mengelak bahwa cinta yang terjalin terkadang sangat menyakiti banyak pihak.

 "Jadi sesuai dengan yang aku bicarakan ke kamu kemarin, bahwa Btari akan menjadi istriku untuk sementara. Kita akan menikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ini tidak akan lama. Sampai dengan kondisinya membaik. Setidaknya sampai dengan nama baikku mulai membaik dan proyek besar itu ku dapat."

 "Itu terlalu lama, Bar. Perlu waktu satu tahun." Keluh Nadea. Tangannya mengusap lengan Barra.

 Barra berusaha menenangkan Nadea. "Nggak lama, Sayang. Lagipula ini akan lebih aman untuk kita berdua. Setidaknya pernikahan ini akan meredam gossip di antara kita sementara waktu."

 Nadea menghela napasnya. "Baik. Awas aja kalau kamu macam-macam." Ancam Nadea dengan sikap manjanya.

 Melihat interaksi kedua orang itu, Btari jadi paham mengapa Barra bisa sebodoh ini. Mempertahankan hubungan di saat orang tua tidak memberi restu saja itu terbilang sulit, apalagi kini ia menjalin hubungan dengan istri orang. Bodohnya Barra jadi berlipat ganda di mata Btari. Kalau bukan karena ia membutuhkan Barra untuk kelangsungan panti, mungkin ia akan segera pergi daripada bertahan dengan perasaan muak melihat dua orang di depannya.

 Nadea memang cantik. Sangat cantik malah. Namun dengan wajah Barra yang juga tampan, pekerjaan yang juga menjanjikan dan latar belakang keluarga terpandang, seharusnya Barra bisa dapat perempuan yang lebih baik dan lebih bermoral. Terlebih, tidak ada perempuan bermoral yang mau menjalin hubungan di saat ia sudah mempunyai suami. Apapun alasan mereka menikah.

 "Saya rasa kita harus membicarakan banyak hal. Saya rasa kita bisa bersikap profesional untuk beberapa waktu ke depan." Ujar Btari dengan nada dingin.

 Ia bahkan melihat jelas betapa wajah lembut itu menatapnya tidak suka. Namun Btari tidak ambil pusing. Ia tidak akan ikut campur urusan kedua sejoli ini selama ketenangannya tidak diganggu.

 "Ah iya. Maaf, Btari. Ini adalah surat perjanjian kita. Masing-masing kita punya salinannya. Poin-poinnya apa saja tertera jelas disana. Kalau kamu ada pertanyaan atau revisi silahkan."

 Btari mengambil kertas yang diberikan Barra. Ia membaca poin per poin. Dibacanya dengan seksama. Ia tidak mau jika harus terjebak terlalu dalam di antara drama yang dibuat Barra.

 "Saya setuju dengan semua poinnya. Namun saya ingin mengajukan permintaan, Bar. Semoga kamu dan Nadea bisa menerima."

 "Apa itu?" Tanya Nadea penasaran.

 "Saya ingin tetap bekerja seperti biasa. Melakukan beragam kegiatan seperti biasa. Saya harap kamu bisa mengkondisikan ini dengan mamamu, Bar." Pinta Btari.

 Barra ragu, namun akhirnya mengangguk juga. Biarlah nanti ia pikirankan bagaimana berbicara dengan ibunya.

 "Saya nggak keberatan dengan hubungan kalian. Namun saya minta kalian untuk bertemu di luar tempat tinggal saya dan Barra nanti. Pernikahan ini memang sejenis nikah kontrak. Namun bagi saya, menghormati pernikahan ini adalah kewajiban untuk saya. Saya tidak peduli dengan hubungan kalian. Namun menjaga nama baik saya, orang tua saya dan keluarga calon mertua saya itu adalah kewajiban saya."

 Nadea dan Barra sama tertegun mendengar permintaan Btari. Ini di luar dugaan mereka. Perkataan Btari seolah menampar mereka berdua.

 "Baik. Aku setuju." Kata Barra tegas.

 "Nggak. Aku nggak mau, ya, Bar."

 "Itu permintaan mutlak saya. Saya akan ke toilet sebentar. Silahkan diskusikan." Btari lalu pergi meninggalkan kedua orang itu.

 Sesampainya di kamar mandi, gadis itu menatap dirinya di cermin toilet. Ia tahu ketika ia mengiyakan tawaran Barra, itu artinya hidupnya tidak akan setenang ini lagi. Sekitar sepuluh menit Btari diam disana, sengaja memberikan ruang untuk Barra dan kekasihnya itu. Akhirnya Btari kembali ke tempatnya.

 Namun yang dilihat Btari hanya Barra sendiri. Wajah lelaki itu jauh dari kata baik-baik saja.

 "Pacarmu mana?" Tanya Btari sambil melihat sekeliling.

 "Pulang. Dia marah. Dia keberatan dengan permintaan dari kamu."

 Btari sudah menduga ini. Walaupun Btari kesal dengan Barra, namun melihat kondisinya sekarang Btari cukup simpati.

 "Pertimbangkan lagi, ya. Saya melakukan itu hanya untuk menjaga nama baik keluargamu saja."

 Barra melihat ada ketulusan di wajah Btari. Wajah yang biasanya datar itu seketika terlihat berbeda.

 "Thanks, Bi." Ucap Barra pelan.

 "Okey." Btari mengulaskan senyum kecil di wajahnya.

 "BARRA! Ini siapa lagi?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!