NovelToon NovelToon

Hati Seorang Ibu (Single Mom)

Ep. 1 - Keluarga mertua

Ep. 1 - Keluarga mertua

🌺Single Mom🌺

Ruangan besar itu terasa dingin, meski sinar matahari menerobos masuk melalui jendela tinggi.

Naya, gadis kecil berusia empat tahun dengan rambut lurus hitam, berlari-lari sambil tertawa riang di ruang tengah rumah keluarga besar Arga.

Tangannya membawa boneka favoritnya sambil berputar-putar seperti balerina kecil yang sedang menari.

Namun, saat itu juga, Hilda, nenek dari pihak ayah Naya, melintas membawa nampan berisi vas bunga.

"Brak!"

Tubuh kecil Naya menabrak kaki Hilda. Vas bunga yang ada di tangannya pun hampir jatuh, tapi untungnya Hilda berhasil menyeimbangkan diri.

Hilda pun berhenti sejenak, wajahnya berubah menjadi tegang lalu memekik, "Astaga! Anak ini!," serunya tajam. Seketika Naya pun terdiam. Tawa riangnya berubah menjadi tatapan bingung dan rasa takut.

Sementara, Kirana yang berada di sudut ruangan, segera menghampiri mereka. "Ada apa, Bu?," tanyanya cemas.

Hilda lalu menatap Naya dengan tatapan marah. "Anakmu ini tidak bisa diajari sopan santun! Berlarian seperti itu di rumah orang! Apa kamu tidak pernah mengajarinya cara bersikap?," ujarnya.

Kirana pun memegang bahu Naya yang mulai gemetar. "Naya, Sayang, bilang maaf ke Nenek. Kamu tidak sengaja, kan?," ucap Kirana, lembut.

Namun Naya hanya menggigit bibirnya dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku nggak sengaja... hiks hiks hiks," ucapnya pelan sambil terisak.

Hilda mendengus keras, lalu matanya menatap tajam ke arah Kirana. "Halah! Ibu dan anak sama saja! Tidak tahu aturan! Kamu ini memang sudah tidak pantas tinggal di rumah ini sejak awal!."

Mendengar perkataan itu, Kirana merasakan panas yang menjalar ke wajahnya dan menyulut emosi tapi ia menahan diri.

Ia tahu, berdebat hanya akan memperburuk keadaan. Lalu ia berlutut di depan Naya sambil menyeka air mata putrinya. "Naya, Sayang, dengar Ibu. Nenek tidak marah kok kalau kamu bilang maaf yang sungguh-sungguh."

"Hu hu hu hu hu hu hu... 😭😭😭."

Tapi Naya hanya semakin keras menangis, dengan kepala yang semakin tertunduk. "Aku takut, Bu..."

"Ck!." Hilda berdecak sambil menggelengkan kepalanya dengan tatapan penuh kejengkelan. "Anakmu ini benar-benar tidak bisa diatur, Kirana. Jangan harap dia bisa tumbuh jadi orang kalau kamu terus seperti ini!," gerutunya.

Kirana pun menarik napas panjang, lalu menatap ibu mertuanya itu. "Maaf, Bu. Naya tidak sengaja. Saya akan lebih hati-hati menjaganya."

Tanpa menunggu jawaban, Kirana langsung menggendong Naya yang masih terisak dan membawanya menjauh.

Di hati kecilnya, ia tahu bahwa ini bukan hanya masalah kecil. Kehidupan di rumah besar itu semakin terasa seperti medan perang yang harus ia menangkan demi Naya dan suaminya, Arga.

**

Setelah insiden tadi, Hilda ikut bergabung dengan kedua putrinya di taman belakang. Meja kecil dengan minuman teh dan makanan sudah siap untuk menjadi tempat berkumpul mereka setiap sore.

Putri kedua Hilda bernama Mira, ia sudah menikah dengan seorang pengusaha kaya. Ia duduk sambil menyilangkan tangan di dada lalu melirik ke arah Kirana yang tengah menenangkan Naya dari kejauhan. "Lama-lama dia semakin ngelunjak, Bu," ucapnya tajam.

Hilda pun mendengus sambil duduk di kursi. "Itulah yang Ibu bilang dari dulu. Arga terlalu keras kepala, tidak mau mendengarkan keluarga. Lihat apa jadinya sekarang. Dia menikah dengan beban yang seperti itu."

Sementara itu, adik bungsu Arga yang bernama Lima dan masih kuliah, hanya mengangguk-angguk sambil menyesap tehnya. "Sejak awal juga sudah kelihatan, Mbak. Kak Arga kan bisa dapat yang lebih baik. Kenapa harus dia?," ujarnya.

"Dia cuma modal wajah cantik, Bu. Kalau dia tidak bisa bikin kak Arga jatuh cinta, mana mungkin bisa masuk ke keluarga ini. Dan sekarang, dia membawa anaknya juga, semakin merepotkan saja!," tambah Mira.

Hilda pun mendesah sambil memijit pelipisnya. "Ibu sudah bilang dari dulu, tapi siapa yang mendengarkan Ibu? Hanya ayah kalian yang selalu membelanya. Apa pun yang dia lakukan, selalu benar di mata Ayah kalian itu."

"Ayah itu terlalu baik hati, Bu. Tapi sekarang, kita tidak perlu lagi pura-pura baik. Dia harus tahu tempatnya," timpal Mira seraya mendengus.

Lila yang sejak tadi lebih banyak diam pun akhirnya berkata, "Tapi Bu, kalau kita terlalu keras, nanti orang-orang ngomongin keluarga kita. Lagipula, dia kan sudah punya anak..."

"Anaknya? Anak itu cucu Ibu juga, Lila! Tapi jangan lupa, Ibu tidak pernah meminta dia lahir di sini. Semua ini karena Arga yang tidak berpikir panjang!," potong Hilda.

Sementara itu, Kirana yang tidak sengaja mendengar percakapan mereka dari balik pintu hatinya terasa seperti dihujam duri.

Tubuhnya bergetar, tapi ia memilih diam dan menahan diri demi Naya. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya ia mendengar cemoohan seperti itu, dan ia yakin jika itu bukan yang terakhir.

**

Senja mulai turun, sinar matahari menguning menghiasi halaman rumah besar keluarga Arga.

Di teras depan, Kirana duduk dengan Naya di pangkuannya sambil membacakan buku cerita untuk menenangkan putrinya yang sempat menangis siang tadi.

Tiba-tiba, suara mobil terdengar di jalan masuk dan gerbang pun terbuka. Naya lalu menoleh dan wajahnya yang tadi sendu pun langsung berseri. "Ayah pulang!," serunya sambil melompat dari pangkuan Kirana.

Dari mobil yang baru saja berhenti, Arga turun dengan tersenyum lebar. Di tangannya ada dua paperbag, satu besar berwarna merah muda dan satu lagi kecil berwarna cokelat.

Ia membentangkan kedua tangannya dan bersiap menyambut putri kecilnya yang sedang berlari ke arahnya. "Naya, sini peluk Ayah!."

Naya berlari dengan tawa riang dan langsung memeluk Arga dengan erat. "Ayah bawa hadiah?," tanyanya dengan mata berbinar-binar.

Arga pun tertawa kecil sambil mengangkat Naya. "Tentu saja. Ayah selalu punya sesuatu untuk putri Ayah yang paling cantik."

Arga mengeluarkan boneka beruang kecil dari salah satu tas, lalu menyerahkannya pada Naya.

Sementara itu, Kirana kini berdiri dari tempat duduknya seraya tersenyum kecil. Lalu Arga berjalan mendekat sambil menggendong Naya. "Dan ini," katanya, menyerahkan paperbag kecil ke Kirana. "Untuk istri tercintaku."

Kirana pun menerimanya dengan hati yang hangat. "Terima kasih, Mas. Apa ini?," tanyanya sambil melirik tasnya.

"Buka saja nanti. Aku yakin kamu suka," jawab Arga sambil tersenyum lebar.

Tak lama kemudian, mobil lain datang memasuki halaman. Dari dalamnya, Herman, ayah Arga, keluar dengan jas yang rapi.

Pria paruh baya itu langsung tersenyum saat melihat cucu kesayangannya. "Mana cucu kakek? Naya, sini peluk Kakek!," ucap Herman.

Naya, dengan boneka barunya di tangan, langsung melompat dari gendongan Arga dan berlari ke arah Herman. "Kakek! Kakek lihat, Ayah kasih boneka baru!," katanya sambil memamerkan hadiahnya.

Herman pun tertawa, lalu menggendong Naya dengan penuh kasih sayang. "Wah, boneka yang cantik! Kamu suka, Sayang?."

"Suka sekali, Kek!," jawab Naya riang sambil memeluk bonekanya.

Pemandangan itu membuat hati Kirana menghangat. Arga dan Herman sama-sama memberikan cinta yang tulus untuknya dan Naya. Tapi di sisi lain, Hilda dan Mira yang melihat mereka dari jauh merasa geram.

"Lihat saja itu, Bu. Wanita itu benar-benar tahu caranya mencuri perhatian. Bahkan ayah pun masih membelanya."

Hilda mengepalkan tangannya dan merasa marah. "Dasar penjilat! Wanita itu sudah merebut hati semua laki-laki di rumah ini! Kalau saja Arga tidak terlalu keras kepala dulu, kita tidak akan terjebak dengan situasi seperti ini!."

"Mungkin ayah dan Kak Arga suka kak Kirana karena dia beda dari kita, Mbak...," timpal Lila yang berdiri di samping mereka, sambil meminum tehnya.

"Lila!," sergah Mira sambil melotot tajam ke adiknya. "Jangan mulai membela dia! Kamu itu harus sadar siapa kita dan siapa dia," lanjutnya.

"Dia boleh merasa menang sekarang. Tapi ingat, Mira, dia tidak akan selamanya bisa bergantung pada keberuntungan. Kita akan lihat nanti, siapa yang benar-benar pantas tinggal di rumah ini," ujar Hilda seraya menyeringai dingin.

Bersambung...

Ep. 2 - Pisah rumah

Ep. 2 - Pisah rumah

🌺SINGLE MOM🌺

Malam telah larut, udara dingin menelusup melalui jendela yang sedikit terbuka. Di dalam kamar, Kirana duduk bersandar di kepala ranjang dengan baju tidur sederhana.

Di sampingnya, Naya yang sudah terlelap memeluk boneka beruang barunya dengan wajah yang tampak damai.

Kirana lalu melirik pintu kamar mandi yang terbuka dan mendengar suara langkah Arga yang baru menyelesaikan keperluannya.

Arga muncul dengan piyama birunya, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terlihat tampan. Ia tersenyum kecil saat melihat Kirana menunggunya.

“Belum tidur?,” tanya Arga sambil duduk di sampingnya.

Kirana pun menggeleng pelan. “Naya sudah tidur nyenyak. Aku cuma mau bicara sama Mas dulu sebelum tidur," balas Kirana.

Arga menatap Kirana dengan lembut, lalu mengusap tangan istrinya. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Sayang?."

Kirana menunduk sejenak, lalu memberanikan diri dan berkata, “Mas, kenapa kita gak pisah rumah saja?.”

Arga sedikit terkejut mendengar perkataan Kirana itu. “Kenapa? Kamu gak nyaman tinggal di sini?," tanya Arga.

Kirana tersenyum tipis dan mencoba meredam perasaannya yang bercampur aduk. “Aku nyaman-nyaman saja, Mas. Tapi aku khawatir ibu dan adik-adik Mas tidak nyaman kalau kita terus tinggal serumah. Aku gak mau mereka merasa terganggu karena aku dan Naya.”

Arga menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Kirana lebih erat. “Sayang... Aku ngerti kok. Aku tahu kamu sudah banyak mengalah selama ini. Dan aku juga tau bagaimana perasaanmu.”

Kirana menatap suaminya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku gak mau terus jadi sumber masalah di rumah ini, Mas. Aku cuma ingin kita hidup tenang, tanpa harus merasa seperti orang asing di rumah sendiri.”

Arga mengangguk pelan lalu menatap Kirana dengan penuh rasa sayang. “Aku kira, sikap Ibu akan berubah seiring waktu. Aku terus berharap dan menunggu saat itu tiba. Tapi ternyata, mereka tetap seperti itu," ujar Arga dan berhenti sejenak, lalu menatap wajah Kirana yang tampak lelah.

“Baiklah. Aku akan segera cari rumah untuk kita dan Naya. Aku ingin kamu dan Naya bahagia, tanpa harus merasa terbebani," lanjut Arga.

Kirana pun tersenyum lebar karena merasa lega mendengar jawaban suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku cuma ingin kita hidup lebih damai.”

Arga lalu mendekatkan wajahnya dan mencium kening Kirana dengan lembut. “Sekarang, kamu gak usah cemas lagi. Istirahatlah.”

Arga kemudian menunduk, lalu mengelus kepala Naya yang masih terlelap di tengah mereka. Senyum kecil pun muncul di wajahnya lalu berkata, “Anak kita benar-benar seperti malaikat kecil, ya?.”

Kirana pun mengangguk dan merasa sangat bersyukur. “Iya, dia hadiah terbesar dari Tuhan untuk kita.”

**

Keesokan harinya...

Pagi itu, meja makan keluarga Arga dipenuhi aneka hidangan sarapan yang menggugah selera.

Semua anggota keluarga sudah berkumpul, termasuk Herman, Hilda, Mira, suaminya dan Lila.

Kirana sedang menyuapi Naya, sementara Arga duduk di sampingnya dan tampak tenang namun jelas ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Setelah beberapa menit berlalu, Arga pun akhirnya berbicara, "Aku ingin menyampaikan sesuatu. Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk membawa Kirana dan Naya tinggal di rumah kami sendiri."

Kalimat itu membuat semua orang di meja makan langsung terdiam. Herman meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu menatap Arga dengan mata penuh tanya. “Lho! Kenapa harus tinggal terpisah? Apa kamu baik-baik saja, Kirana?," tanyanya, khawatir.

Kirana ingin menjawab, namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Arga sudah angkat bicara. “Kirana baik-baik saja, Ayah. Kami baik-baik saja. Hanya saja, aku merasa bahwa kami sudah terlalu lama tinggal bersama di rumah ini. Kami juga ingin merasakan suasana sebagai keluarga kecil kami sendiri.”

Herman tertegun, lalu menghela napas. "Ayah harap kalian mengurungkan niat itu. Jangan menjauhkan Ayah dari cucu Kakek yang cantik ini," ucapnya sambil tersenyum pada Naya yang sibuk dengan sepotong roti di tangannya.

Namun, reaksi berbeda datang dari Hilda. Ia menegakkan punggungnya dengan mata yang menyipit.

Meski tidak merespon, di dalam hatinya ada rasa puas karena Kirana akhirnya akan pergi dari rumah ini. Tapi tidak dengan Arga. Itu masalah lain baginya.

“Memangnya apa yang dikatakan istri kamu itu, Arga?,” tanya Hilda, tajam. “Apa dia sudah memengaruhi kamu untuk meninggalkan orang tuamu ini?.”

Suasana di meja makan pun langsung berubah tegang. Arga menatap ibunya dengan tenang, meski nada bicaranya mulai mengeras.

“Bukan seperti itu, Bu. Ini keputusanku. Tidak ada yang memengaruhi atau apapun itu," tegas Arga.

Namun, Hilda tiba-tiba berdiri dari kursinya, dengan raut wajah yang terlihat dramatis. “Dia sudah merenggut putraku. Sekarang dia juga mau menjauhkannya dari kami!," serunya lalu berbalik pergi meninggalkan meja makan dengan seiring makanan yang belum disentuh.

Semua pun terdiam. Kirana nampak menundukkan karena hatinya merasa bersalah.

Ia merasa dirinya menjadi penyebab keretakan hubungan Arga dengan keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Mungkin aku terlalu egois,” katanya lirih.

Arga menggenggam tangan Kirana dan menatapnya untuk memberinya keyakinan. “Kamu tidak salah, Sayang. Ini keputusan kita, dan aku yakin ini yang terbaik untuk kita dan Naya. Aku akan mencari rumah untuk kita, disetujui atau tidak.”

Sementara, Herman hanya bisa pasrah menatap putra sulungnya itu dengan raut kecewa.

“Kalau itu memang keputusanmu, Arga, Ayah tidak akan menghalangi. Tapi Ayah harap kamu tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga ini," pesan Herman.

“Tentu, Ayah. Aku tidak akan memutuskan hubungan. Aku hanya ingin melindungi keluarga kecilku agar lebih mandiri."

Herman pun tersenyum tipis, lalu beranjak dari meja makan seraya menghampiri Naya dan mengelus kepala cucu kesayangannya itu. “Kakek akan selalu ada untuk kamu, ya, Sayang. Kamu tahu itu, kan?."

Naya pun mengangguk polos dan hanya terus menikmati sarapannya tanpa menyadari ketegangan yang terjadi di sekitarnya.

Bersambung...

Ep. 3 - Api di Jurang Sepi

Ep. 3 - Api di Jurang Sepi

🌺SINGLE MOM🌺

Siang ini, Arga mengendarai mobilnya dengan perasaan lega dan semangat.

Setelah mampir sebentar di kantor untuk menyelesaikan beberapa urusan, ia melanjutkan rencananya hari itu untuk meninjau calon rumah baru yang akan menjadi tempat tinggal bagi keluarga kecilnya.

"Semoga Kirana suka rumah ini," gumamnya sambil melirik peta lokasi di layar GPS.

Ia sudah membayangkan Naya bermain di halaman kecil, Kirana memasak di dapur yang hangat, dan mereka menikmati kehidupan yang lebih damai.

Namun, di tengah perjalanan, suasana berubah mencekam. Jalan yang ia lalui cukup sepi, dengan hanya beberapa mobil yang melintas.

Dari kejauhan, ia melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Beberapa pria berpakaian hitam berdiri di sekitar mobil itu, dan salah satu dari mereka tampak memaksa pengemudi keluar.

"Keluar!! Dan serahkan semua barang berhargamu!!."

Arga memperlambat laju mobilnya karena penasaran. “Apa itu... perampokan?” pikirnya dengan napas yang mulai tercekat.

Seketika, salah satu pria bersenjata menoleh ke arah mobil Arga. Tatapan tajam pria itu pun bertemu dengan mata Arga. Pria itu lalu mengangkat tangannya dan menodongkan pistol ke arah mobil Arga.

“Tidak! Apa yang dia lakukan?!," pekik Arga dan segera membanting setir, mencoba memutar balik mobilnya. Namun...

DOR!!!

Suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar. Arga menyaksikan kaca mobil di depannya pecah, lalu pria di dalam mobil yang dirampok itu ambruk di tempat duduknya hingga tubuhnya diam tak bergerak.

“Ya Tuhan... Aku harus pergi dari sini!,” kata Arga panik sambil menginjak gas sekuat tenaga.

Mobilnya pun melaju dengan kecepatan tinggi, namun para perampok tidak tinggal diam.

“Kejar dia! Jangan biarkan dia lolos!,” teriak salah satu perampok sambil mengarahkan pistol ke mobil Arga.

Mobil perampok itu mengejar Arga di jalan yang berliku. Jantung Arga berdegup kencang, pikirannya bercampur aduk antara ketakutan dan tekad untuk menyelamatkan diri.

“Aku harus selamat... Demi Kirana... Demi Naya...” gumamnya sambil menggenggam erat setir mobil.

Namun, kecepatan tinggi di jalan sempit menjadi bumerang. Ketika Arga mencoba menghindari sebuah batu besar di tengah jalan, ia pun kehilangan kendali atas mobilnya.

“Tidak... tidaaaaaaaak...!," teriak Arga saat mobilnya meluncur ke tepi jalan yang berujung jurang.

Brak! Wuuusshhhh!!

Mobil itu pun terjun bebas, menghantam pepohonan dan bebatuan sebelum akhirnya berhenti di dasar jurang. Suara dentuman keras menggema di udara, diikuti dengan keheningan yang mencekam.

Sementara itu di atas sana para perampok berhenti di tepi jurang. Salah satu dari mereka melirik ke bawah dan memastikan mobil Arga tidak bergerak.

“Dia sudah selesai,” kata salah satu dari mereka.

“Jangan buang waktu. Kita pergi sekarang,” jawab yang lain lalu mereka pun melarikan diri.

Sementara itu, di dasar jurang, Arga terkulai di dalam mobil yang ringsek. Darah mengalir dari keningnya dengan mata yang setengah terbuka.

Dalam pikirannya yang semakin kabur, ia melihat bayangan Naya dan Kirana seolah menghampirinya, “Kirana... Naya...” bisiknya lemah hingga akhirnya kesadarannya pun hilang.

**

Di dasar jurang yang sunyi, mobil Arga teronggok di antara rerimbunan pepohonan dan batuan kasar.

Tubuh Arga terkulai di kursi kemudi, kepalanya bersandar ke sisi jendela, dengan darah yang mengalir dari luka di dahinya.

Suasana begitu hening, yang terdengar hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan dan gemerisik kecil dari aliran bensin yang bocor.

Bensin pun mulai merembes perlahan dari tangki mobil yang hancur hingga membentuk genangan kecil di tanah.

Sementara itu, sisa-sisa kabel listrik dari mobil yang ringsek mulai memercikkan api kecil, seperti ular yang menari mencari mangsanya.

Hingga akhirnya, percikan api itupun menyambar bensin yang mengalir. Dalam hitungan detik, nyala api kecil itu berubah menjadi kobaran yang menjalar ke bodi mobil.

Sret... Sret... BOOM!

Ledakan kecil terdengar saat api menyambar kap mobil. Dalam sekejap, api melahap mesin, lalu menyebar ke seluruh badan kendaraan.

Arga yang masih tidak sadar mulai terbatuk-batuk karena asap pekat yang memenuhi udara di sekitarnya. Perlahan, matanya terbuka sedikit, namun pandangannya buram.

“Ap... apa ini...,” gumamnya lemah sambil melihat keadaan sekitar.

Tangan kirinya berusaha meraih sabuk pengaman yang masih menahan tubuhnya di kursi, tapi kekuatannya begitu lemah.

"Uhuk...! Uhuk...! Uhuk...!!!."

Batukan nya semakin keras saat asap hitam mengepul lebih tebal hingga membuat pernapasannya semakin berat.

Saat seperti itu, dari kejauhan suara langkah kaki terdengar di antara semak-semak.

Seorang pria tua dengan tubuh tegap dan wajah penuh garis pengalaman berjalan perlahan dengan membawa tongkat kayu sebagai penopang.

Namanya Pak Widi, seorang pengembala kambing yang kebetulan melintas setelah mencari ternaknya yang hilang.

Pak Widi berhenti ketika mencium bau terbakar. Matanya yang tajam melihat ke arah dasar jurang. “Apa itu... ada mobil?,” gumamnya yang terkejut melihat kobaran api dari bawah.

Ia segera meletakkan tongkatnya, lalu mengeluarkan ponsel tua dari saku bajunya dan mencoba menghubungi bantuan.

“Halo? Polisi? Di jalan sepi menuju Bukit Cendana, ada mobil kecelakaan... dan terbakar! Cepat kirim bantuan!,” katanya tergesa-gesa.

Namun, ia tidak hanya berdiam diri. Dengan keberanian luar biasa, Pak Widi mencari jalur curam untuk turun ke dasar jurang dengan langkah yang hati-hati.

Sementara itu di dalam mobil...

Api semakin mendekati bagian dalam mobil dan membakar kursi belakang. Arga mulai tersadar sehingga ia sadar jika semakin berada dalam bahaya.

“Tidak... aku harus keluar...” katanya dengan suara serak.

Lalu ia berusaha melepaskan sabuk pengamannya, kali ini dengan tenaga yang tersisa yang hanya tinggal sedikit sekali dan sangat lemah.

Setelah beberapa kali mencoba, sabuk itu pun akhirnya terlepas. Dengan sisa kekuatan, Arga merangkak keluar dari pintu yang sudah bengkok.

Namun, baru saja ia berhasil mengeluarkan setengah tubuhnya, api menyambar lebih dekat dan memercikkan panas yang membakar lengannya.

“Aaahhh!,” jerit Arga, menahan rasa sakit.

“Hei! Kamu masih hidup? Bertahanlah!," teriak Pak Widi yang terdengar dari atas sana.

Setelah beberapa saat akhirnya Pak Widi berhasil mencapai dasar jurang. Matanya terbelalak melihat Arga yang berjuang keluar dari mobil yang hampir sepenuhnya dilahap api.

Tanpa berpikir panjang, ia pun berlari mendekat. “Ayo, Nak! Aku bantu!,” seru Pak Widi sambil menarik tangan Arga.

Dengan susah payah, keduanya berusaha menjauh dari mobil yang sebentar lagi akan meledak. Sesaat setelah Arga berhasil keluar dari dalam mobil...

BOOM!!!!! BOOM!!!!! BOOM!!!!!

Ledakan besar mengguncang jurang hingga membuat tanah di sekitar bergetar. Dan akhirnya kobaran api yang besar itu melahap dan membakar semua yang ada disana.

~ u hu hu hu hu hu... Kasihan sekali Arga 😭😭😭 Bagaimana anak dan istrimu... ~

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!