Brummmm... Brummm...
Suara derak motor di malam yang gelap itu memecahkan kesunyian. Seorang gadis berpakaian hitam, mengendarai motor gede kesayangannya dengan sangat lincah.
Di balik helm ful facenya, manik cokelat gadis itu menatap lurus ke depan.
Motor itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat mewah, desain modern. Gadis itu mendorong motornya ke garasi dengan sangat pelan, berusaha untuk tidak menciptakan kebisingan.
“Dia pulang,” gadis itu berguman kala melihat sebuah mobil yang sudah terparkir di sana.
Gadis itu membuka pintu, menyembulkan kepalanya lebih dulu, memastikan apakah masih ada yang terbangun. Dan tampak lampu lampu dalam rumah itu sudah mati, hanya ada beberapa yang masih menyala.
“Hufttt,” menghela nafas lega, perlahan langkah kakinya berjinjit, hendak berlalu menuju kamarnya.
Melewati ruang tamu, gadis itu terkejut lantaran lampu tiba tiba menyala terang. Dia membeku, memperhatikan sekitar.
“Ellara Anindita Copper, berhenti di sana!” suara berat dari pria yang tengah duduk melipat tangannya du depan dada di sofa. Dia menatap tajam pada gadis itu.
Nama gadis itu, Ellara. Gadis urakan yang selalu buat pusing orang sekitarnya. Ellara terlahir dari keluarga kaya, sangat kaya. Ayahnya bernama Morgan Copper, merupakan pengusaha kaya yang memiliki beberapa perusahaan besar. Tapi kekayaan yang mereka miliki tidak mampu membuat Ellara menjadi anak yang baik dan duduk manis menikmati kekayaan.
Dia selalu menciptakan masalah, entah secara sengaja ataupun tidak. Sering membolos, berdebat dengan guru, keluyuran dengan motor gedenya yang dia beri nama Brave, bahkan dia juga selalu membuat Papa Morgan berakhir di kantor polisi setiap akhir pekan, karena masalah yang dia buat.
Hal itu terjadi beberapa tahun terakhir, dulu Ellara adalah sosok penurut dan ceria. Tapi semenjak masalah yang di ciptakan Papa Morgan, hingga berakhir menghancurkan segalanya. Ya segalanya, karena bagi Ellara, Mamanya adalah segalanya. Saat wanita itu hancur, Ellara juga ikut hancur dan kehilangan arah.
Ellara saat ini berusia 17 tahun lebih, dia murid kelas 12 SMA HARAPAN BANGSA.
...****************...
“Sudah jam berapa ini? Kenapa baru pulang?” suara Papa Morgan kembali terdengar. Dia berdiri, mendekat ke arah Ellara.
“Jam segini masih keluyuran di luar, mau jadi apa kamu nanti, Ellara?” suaranya begitu menekan, berusaha membuat gadis itu tertekan.
Ellara tersenyum sinis, “Apa aku terlihat peduli?” Timpalnya membuat Papa Morgan memijat pangkal hidungnya.
“oh satu lagi, Anda sendiri sudah ingat rumah, Tuan?” sambungnya menatap tubuh tinggi Papa Morgan dengan penuh intimidasi.
“Jangan tanya Papa, yang perlu di bina itu kamu Ellara! Sekarang duduk!” perintahnya. Dengan rasa malas, Ellara duduk di sofa tunggal, berhadapan dengan pria itu.
“Dengar Ellara, bukankah berkali kali Papa bilang, seorang gadis tidak baik berkeliaran di jam larut seperti ini, sayang. Kamu kapan mengerti maksud Papa?” ujar Papa Morgan menurunkan nada suaranya. Kali ini, dia berharap Ellara akan mengerti meski sudah berkali kali dia berusaha.
“Apa kamu tidak ingin membuat Papa bangga sedikit saja, Ellara? Sudah cukup sayang. Papa sudah banyak menanggung malu selama ini,” sambungnya membuat Ellara kembali tersenyum. Senyum ledekan terhadap pria itu.
“Anda masih punya urat malu? Saya pikir sudah tidak ada” jawab Ellara sekenanya.
“Sekarang pertanyaan saya, apa Anda malu juga terhadap semua yang anda lakukan, Tuan Morgan yang terhormat?”
“Berhenti berceramah seolah Anda ayah yang baik, karena itu percuma. Saya tidak akan pernah menurut sampai kapan pun!” lanjutnya sambil berdiri dari sofa.
Dia hendak berlalu, tapi kembali menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang.
“satu lagi, sebelum berceramah, renungkan sikap Anda dulu! Selami apakah Anda patut untuk di dengar? Itu saja!” dia benar benar tidak membiarkan Papa Morgan kembali bersuara. Setiap kata kata yang keluar dari mulutnya terasa pedas dan begitu menampar pria tersebut.
Ellara kembali melanjutkan langkahnya hendak ke kamar.
“Mas,” saat mau menaiki anak tangga, Ellara kembali berhenti kala mendengar suara seorang wanita yang begitu asing di telinganya.
Dan apa tadi? Mas? Siapa yang berani memanggilnya pria itu mas di sini. Lagi pula, rumah besar itu tidak banyak penghuninya. Hanya tukang kebun tapi dia di rumah belakang. Dan ada dua asisten rumah tangga, Bi Lastri dan Bi Ima, mereka memanggil Papa Morgan ‘Tuan'
Ellara mendongak, dia memicingkan matanya saat melihat wanita seusia mama-nya, yang menuruni anak tangga dengan pelan. Tubuhnya terlihat sangat cantik di balut piyama biru laut.
Deghhh
Jantung Ellara berpacu cepat, dia tak bergeming sama sekali. Tangannya mengepal kuat saat mengetahui pakaian siapa yang wanita itu kenalan.
Ellara menoleh, memperhatikan Papa Morgan yang kini ikut diam membisu dengan raut panik.
Wanita itu tersenyum lembut pada Ellara, tapi segera Ellara membuang muka.
Mendapati sikap Ellara yang sepertinya tidak suka dengan keberadaannya, wanita itu tidak ambil pusing. Dia menghampiri Papa Morgan, bergelayut manja di lengan pria itu.
“Apa masih ada lagi yang mau Anda bicarakan?” ujar Ellara dengan kalimat tertahan. Dia mengurungkan niatnya untuk ke kamar, kembali duduk di sofa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ellara menatap dua orang yang kini duduk pada sofa yang ada di depannya. Atmosfer di ruangan itu terasa sedikit mencengkam, sedari tadi baik Papa Morgan maupun Ellara belum ada yang mulai pembicaraan.
“Apa kita akan tetap diam di sini sampai pagi?” singgung Ellara dengan suara datarnya. Papa Morgan merubah posisi duduknya, menatap Ellara.
“Dia Luna, istri Papa” ujar Papa Morgan pelan. Pria itu memperhatikan raut wajah putrinya, melihat bagaimana reaksi Ellara.
Sementara mama Luna tersenyum tipis, senang sekali pria itu tanpa ragu menyebutnya sebagai istri. Tidak salah, ini adalah hal yang dia tunggu tunggu, waktu di mana sang suami memperkenalkannya sebagai istri.
Jangan tanya gimana perasaan Ellara, dia syok dan tidak percaya atas apa yang dia dengar. Ya, dia tahu papanya memang memiliki selingkuhan selama ini, dia tahu mereka juga sudah menikah, tapi yang membuat Ellara tak habis pikir adalah, bagaimana pria itu dengan berani membawa jalang ke rumah ini, rumah besar Copper .
Ellara meremas tangannya kuat, menahan emosi yang hampir meledak. Mata gadis itu menatap ke arah Mama Luna, pemandangan yang begitu membuat Ellara muak, saat dua orang di depannya tanpa tahu malu saling rangkul.
“Istri?” Ulang Ellara dengan suara tertahan, di anggguki oleh Papa Morgan.
“Lalu, bagaimana dengan Mama saya? Anda menganggap Mama saya apa?” suaranya tampak bergetar, menahan air mata yang hampir saja lolos dari matanya.
“Anda menganggap mama saya apa, jawab!” kali ini, suara Ellara naik satu oktaf. Dia meraih vas bunga yang ada di meja tersebut, meletakkannya dengan kasar hingga menciptakan suara yang nyaring dan berakhir meja pecah.
“dan Anda..” Jari telunjuknya terangkat, menunjuk ke arah Mama Luna yang tampak biasa saja, tidak peduli dengan reaksi Ellara.
“Bagaimana bisa seorang wanita begitu santainya masuk rumah orang lain? Apa anda tidak punya urat malu?” gadis itu terkekeh pelan, kepalanya menggeleng tak percaya.
“Tidak salah, sekali jalang maka akan tetap jalang. Dan sifat jalang adalah murahan dan suka menjual diri” maki Ellara pada Mama Luna.
“Ellara! Jaga mulut kamu!” kali ini Papa Morgan yang membentak gadis itu. Dia tidak Terima istrinya di katai jalang oleh anaknya.
Mendengar pembelaan itu, Ellara tertawa sinis.
“Anda membelanya?”
“kamu keterlaluan Ellara, kamu tidak punya so—“
“berhenti mengajariku soal sopan santun! Yang tidak punya sopan santun itu Anda. Tanpa tahu malunya Anda membawa seorang pelacur di rumah ini, di mana letak sopan santun Anda?” tegas Ellara memotong kalimat Papa Morgan.
“Ellara, aku bukan pelacur. Aku istri Papa kamu, aku ada di sini karena memang itu adalah keharusan!” kali ini, Mama Luna ikut menimpali dengan santai.
“cih, di rumah ini masih ada Mama saya jika anda lupa!”
“Tapi faktanya Mama kamu ada di rumah sakit jiwa kan?” timpal Mama Luna dengan senyum mengejek. Bicara soal Mamanya tentu membuat Ellara naik pitam. Sejak tadi dia berusaha mengontrol emosinya, tapi kali ini sudah tidak bisa lagi.
Mengambil serpihan kaca, Ellara melemparkannya ke arah Mama Luna hingga wanita itu sedikit memekik.
“Apa yang kamu lakukan, Ellara! Hentikan!!” Papa Morgan mencegah gadis itu, dia berdiri menghadang, membawa tubuh sangat istri untuk ada di belakangnya.
“Awas! Aku ingin membunuhnya, wanita sialan!” pekik Ellara berontak. Papa Morgan reflek mendorong tubuh putrinya membuat Ellara terhuyung dan jatuh. Tangan yang dia gunakan u tuk menjadi tumpuan kini terkena serpihan kaca, menciptakan beberapa luka di tangan gadis itu.
“A-anda mendorongku?” ujar Ellara lirih sembari berusaha bangkit. Dia merintih kesakitan, tangannya mengeluarkan darah yang cukup banyak.
“Ella, maaf. Maafkan papa sayang, papa tidak bermaksud untuk—“
“Lepas!!!” bentak Ellara menjauhkan tubuh papa Morgan yang ingin mendekapnya.
Melihat itu, Papa Morgan ikut gemetaran. Dia tidak bermaksud mendorong putrinya. Itu adalah gerakan yang dia sendiri tidak rencanakan.
.
.
Suara keributan di ruang tamu membangunkan Bibi Lastri serta Bi ima. Mereka berdua berlari ke arah depan, melihat apa yang terjadi.
Gegas Bi Lastri berlari ke arah Ellara, memastikan kondisi gadis itu.
“sudah Non, besok pagi baru lanjut. Bibir coba lihat dulu tangannya” ujar Bibi Lastri.
“Lepas Bi, Aku belum selesai. Aku mau membunuh wanita jalang itu! Dia—“
“Iya- iya Bibi tau, tapi jangan sekarang Non. Lihat tangan Nona berdarah. Bibi obatin dulu lukanya ya, masih ada hari besok untuk buat masalah sama mereka” busuk Bibi Lastri di telinga Ellara, membuat gadis itu kini terdiam.
Dia tidak lagi bersuara, tapi tetap menatap dua orang di depannya dengan sorot tajam.
Ellara mengikuti Bibi Lastri yang membawanya ke arah meja makan. Duduk di meja makan, Bibi Lastri berlari ke dalam kamar untuk mengambil kotak obat, sementara Ellara hanya diam dengan tatapan tak terbacanya.
Luka di tangan gadis itu seolah hal biasa untuk Ellara. Dia tidak meringis, tampangnya biasa saja seolah tidak terjadi apa apa, padahal darah dari tangannya terus mengalir.
“Astaga, lukanya ternyata sebanyak ini Non” Bibi Lastri bergidik melihat serpihan kaca yang masih tertempel di tangan Ellara. Ellara tak menanggapinya sama sekali, gadis itu hanya diam dan terus menatap nyaman ke arah depan.
Entah apa yang ada di pikirannya, tapi hal itu membuat Bibi Lastri merasa sedih. Dia lebih baik melihat Ellara yang nakal di banding melihat kerapuhan gadis itu.
“tahan ya Non, ini mungkin akan sangat sakit” ujar Bibi Lastri saat hendak mencabut serpihan kaca itu. Seperti biasa, Ellara tak bergeming.
Dia bahkan seolah tak merasakan apa pun saat satu persatu Bibi Lastri mecabut serpihannya. Wanita tua itu saja menahan nafas saat mencabutnya, tapi tidak dengan Ellara.
Ekspresi datar gadis itu patut di acung jempol. Hanya sesekali pandangan Ellara tertuju pada dua orang yang masih ada di tempat tadi.
“sudah Non” ujar Bibi Lastri setelah mengobati dan memasang perban di tangan Ellara.
“makasih Bibi” gadis itu bersuara pelan sembari memperhatikan tangannya. Bibi Lastri hanya tersenyum lembut, sentara Bi ima sedang memanasi makanan.
“Nona mau makan dulu?” tanya Bi ima menghampiri Ellara. Gadis itu menggeleng, kemudian bangkit dari kursinya. Dia kini hendak menuju kamarnya.
“Non- Non aku belum selesai bicara” Ellara tidak peduli lagi dengan teriakan Bibi Lastri. Dia hanya ingin cepat cepat sampai di kamarnya untuk menenangkan diri.
Tepat di depan kamar, Ellara bergerak untuk membuka heandle pintu.
“Eh, perasaan tadi tidak di kunci,” bukan gadis itu heran. Dia mencari kunci kamar di saku jaketnya, mulai membuka pintu.
Ceklek~~
Ellara mematung di depan pintu. Dia mengepal tangannya kuat saat melihat sebuah objek yang begitu membuat amarahnya kembali naik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ellara masuk ke dalam kamar, dia tidak langsung tidur melainkan ke kamar mandi lebih dulu. Dia mengisi sebuah wadah dengan air, lalu kembali ke kamar membawa serta air tersebut.
Dia tersenyum sinis, perlahan air dalam wadah itu dia tumpahkan tepat di wajah seorang gadis yang tidur Damai di dalam kamarnya.
Byurrrrr...
“Akhhhhh, mama hujannnn..” teriak gadis itu gelagapan. Dia terbangun dengan wajah yang basah, duduk di kasur sambil mengusap wajahnya.
“Selamat malam Princes, bagaimana tidurnya? Nyaman banget ya di kamar orang?” sapa Ellara terdengar sinis dan tidak Terima. Siapa yang Terima jika ada orang yang masuk ke dalam kamar tanpa seizin pemiliknya. Dan lagi, dia mengunci pintu kamar tersebut sementara pemilik kamar masih ada di luar.
Ellara berjongkok dengan tangannya menopang dagu, memperhatikan gadis itu dengan tatapannya yang tajam penuh intimidasi.
“ka-kak Ellara,” suara gadis itu gemetaran. Dia cukup kaget dan tidak menyangka apa yang Ellara lakukan barusan. Sejujurnya gadis itu tidak pernah di perlakukan seperti ini sebelumnya, di siram air oleh orang lain apalagi waktu tidur nyenyak.
Gadis itu menundukkan pandangannya karena tidak sanggup membalas tatapan penuh kebencian dari Ellara.
“Lancang!” suara itu pelan tapi penuh tekanan.
“Atas izin siapa kamu masuk ke kamarku dan menguncinya dari dalam, Hmm?”
“katakan siapa yang mengizinkanmu masuk di kamarku?” suaranya kembali meninggi. Dia mencengkram rahang gadis itu, kemudian menarik kasar rambut tipisnya hingga gadis itu mendongakkan kepalanya.
“le-lepaskan. Ini sangat sakit..” desis gadis itu merintih menahan sakit. Sekuat tenaga dia hendak melepaskan diri tapi hal itu semakin membuat Ellara lebih mencengkram.
“Dan baju yang kamu pakai itu, berani kamu memakai pakaianku!” sambungnya menarik kembali rambut gadis itu.
“sekarang lepaskan pakaiannya!” titah Ellara melepaskan rambut gadis itu. Dia bangkit, duduk di tepi ranjang.
Gadis itu tidak bergerak sama sekali membuat Ellara geram. Dia sudah menahan diri untuk menunggu, tapi dasarnya gadis itu memancing emosinya.
“Lepaskan pakaian saya!” bentak Ellara lantang.
Mendengar suara keributan dari dalam kamar, Papa Morgan, Bibi Lastri serta Mama Luna masuk.
“Ellara apa yang kamu lakukan padanya?” Papa Morgan berlari menghampiri gadis itu, matanya menatap tajam ke arah Ellara.
“menurut Anda?” Ellara bertanya balik dengan senyum paksa.
“Kenapa dia basah kuyup? Apa yang kamu lakukan pada Melody?” tanya Papa Morgan dengan gigi bergemelatuk menahan amarah.
“Ouhhh, jadi namanya Melody? Nama yang sangat indah,” Ellara mondar mandir tak jelas.
“namanya sangat indah, tapi tidak sesuai dengan kelakuannya!”
“Tidak salah, didikan dari seorang ibu itu perlu. Jika seorang ibu dengan lancang memakai pakaian orang lain, maka itulah yang akan di tiru anaknya, bukankah begitu?” sindir Ellara menatap ke arah Mama Luna. Memperhatikan pakaian yang melekat di tubuh wanita itu.
“Tapi ingat, kalian bisa berlaku seperti itu di sembarang tempat karena memang sampah akan selalu seperti itu. Yang menjadi kesalahan di sini adalah, kalian berdua tidak tahu malu memakai pakaian saya dan Mama saya, gila!!! Lepaskan pakaian itu sekarang!!!”
Berjalan mendekat ke arah Melody, “lepas sendiri atau saya yang lepaskan!!! Ingat, saya tidak suka ada orang lain yang memakai pakaian saya, apalagi di pakai oleh orang asing, camkan itu!” tegas Ellara begitu tajam.
Melody tak menjawab, sejak tadi dia hanya menunduk.
“Ellara, dia bukan orang asing. Dia adik kamu,” mendengar itu, Ellara hanya tertawa sinis
“Adik? Saya tidak punya adik!”
“Ellara tolo—“
“Dengar, saya tidak akan pernah mengakui dia sebagai adik! Dia tidak layak, aku tidak suka punya adik dari wanita jalang! Tidak suka!”
Plakkkk
Satu tamparan mengenai pipi mulus Ellara. Tamparan yang sangat keras dari papa Morgan membuat telinga Ellara berdenging.
Ellara menoleh, menatap Papanya nyaman, sementara Papa Morgan kini memperhatikan tangannya yang bergetar. Sungguh dia tidak bermaksud untuk menampar putrinya, itu dia lakukan tanpa sadar.
“Ella..”
“lepas!” saat Papa Morgan ingin merangkulnya, Ellara mundur.
“Anda menampar saya karena dia jalang ini?” dia tidak percaya itu. Baru kali ini pria di depannya menamparnya.
“Ella maafkan Papa..”
“Sekarang keluar!! Dan kalian berdua, lepaskan pakaian saya dan Mama!”
“Tapi Ellara—“
“kenapa? Tidak punya baju? Tenang, saya akan meminjamkan baju pada Bibi Lastri!” ujar Ellara tak menghiraukan Papa Morgan yang terus memanggilnya.
...----------------...
“Ellara tunggu” Papa Morgan tetap mengikutinya. Ellara menoleh dengan wajah kesal.
“Apa lagi?” bentuknya tak suka.
“sayang, malam ini saja. Mereka tidak membawa pakaian ganti” ujar Papa Morgan berusaha merayu Ellara. Muak, muak Ellara melihat itu.
“saya tidak peduli. Mau tidak ada pakaian, yang jelas mereka harus meninggalkan pakaian yang ada di tubuh mereka sekarang juga!” jawab Ellara kekeuh pada pendiriannya.
“Tapi..”
“Tidak ada tapi tapi, saya tidak pernah suka pakaian saya dan Mama di pakai orang sembarangan. Dan ingat, cukup Anda yang di bagi, tidak dengan pakaian mama! Karena saya tidak akan pernah membiarkan itu,” Papa Morgan hanya memijat pangkal hidungnya.
Dia memperhatikan Ellara yang kini menuju kamar Bibi Lastri. Sedangkan pria itu kini kembali ke kamar.
Menatap Melody dan istrinya, Papa Morgan hanya menghela nafas berat.
Luna adalah istri sirih yang dia nikahkan 15 tahun lalu. Istri bayang bayang yang selalu dia sembunyikan karena takut ketahuan oleh Delina Coper, nyonya besar Copper.
Sama halnya pepatah, sepandai pandainya kau menyembunyikan sesuatu, pasti akan ketauan pada akhirnya.
Pernikahan yang dia sembunyikan rapat rapat pada akhirnya terbongkar dan itu berakibat fatal pada kondisi Mama Delina saat itu. Wanita yang mendapati telah di khianati bahkan di tipu bertahun tahun lamanya membuat mental wanita itu down dan berakhir di rawat di rumah sakit jiwa.
“Mas, terus kita pakai apa sekarang?” Mama Luna berjalan mendekat ke arah sangat suami, bergelayut manja di lengannya.
Pria itu meraup kepalanya frustasi. Bingung hendak bagaimana, karena tidak mungkin dia keluar di jam segini untuk membeli pakaian.
Tak lama, Ellara kembali masuk ke dalam kamarnya.
“masih pada di sini?” tanyanya mengusir mereka secara halus.
“sayang, untuk saat ini izinkan mereka mengenakan pakaian ini dulu ya” papa Morgan mendekat. Dengan tidak tahu malunya dia merayu Ellara, membuat gadis itu ingin sekali meludahi nya.
“Tidak apa, saya bawa pakaian ganti untuk mereka” ujar Ellara melempar dua set pakaian pelayanan pada Melody dan Mama Luna.
Dia tersenyum tipis melihat reaksi Mama Luna yang tampak tidak Terima dan tidak mah memakai pakaian tersebut.
“oh iya, mulai hari ini mereka akan tinggal di sini bersama kita, Ella” sambung Papa Morgan berhasil membuat Ellara tersentak.
“tinggal disini?” ulangnya sekali lagi dan di angguki oleh Papa Morgan.
Ellara menatap kecewa pada pria itu.
“Anda memang suka mengambil keputusan sendiri. Terserah mereka mau tinggal disini atau tidak, saya tidak peduli. Tapi sekarang lepas dan ganti pakaian itu sekarang!” ujar Ellara kemudian berlalu menuju ranjangnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!