Brummmmm... brummmmmmm..
Malam itu, langitnya gelap pekat tanpa bintang. Jalan raya yang sepi hanya diterangi lampu-lampu jalan. Tiba-tiba, suara mesin motor menggelegar, memecahkan kesunyian. Gadis berambut panjang, berpakaian hitam, mengendarai motor dengan percaya diri. Di balik helm full facenya, mata gadis itu berkilauan dalam kegelapan, seolah menantang kecepatan. Malam sunyi memang menjadi hal favoritnya karena bisa bebas melaju dengan kecepatan di atas rata rata.
Motor tersebut melaju seperti panah, membelah kegelapan malam. Suara knalpotnya berderak-derak, mengeluarkan nada tinggi yang menusuk telinga. Angin malam mengibaskan rambutnya, membuatnya semakin cantik dan berani.
Gadis itu mengendarai motor dengan gesit dan lincah, seolah-olah menjadi satu dengan mesin. Kecepatannya menakjubkan, membuatnya terbang seperti roket. Lampu-lampu jalan berlalu begitu cepat, seperti kilatan cahaya.
Hingga tidak butuh waktu lama, Gadis itu berhenti di jalan gelap, tak jauh dari rumahnya. Dengan hati-hati, dia mendorong motornya masuk ke perkarangan rumah mewahnya, dan lanjut sampai garasi, menghindari suara mesin yang bisa mengundang perhatian. Langkahnya ringan, seperti kucing malam yang menyelinap.
Sebelum masuk, gadis itu memperhatikan mobil yang juga sudah terparkir di sana.
“Dia pulang,” gumannya pelan.
Lalu, dia mengendap-endap menuju rumah, menghindari langkah yang berisik. Bayangan tubuhnya terlihat samar di dinding, seolah-olah dia seekor hantu malam yang melintas.
Rumahnya yang sunyi menyambutnya dengan keheningan. Lampu lampu juga sudah pada mati, tersisa lampu yang hanya bercahaya temaram.
Dia menghela napas lega, langkah kakinya berjalan cepat hendak ke kamar, tapi seketika lampu di ruang keluarga menyala terang, dan hal itu berhasil membuat gadis cantik itu diam mematung.
...****************...
“Ellara Anindita Copper, berhenti di sana!” Suara berat dan sangat tajam dari seorang pria paruh baya yang tengah duduk melipat tangan di depan dada.
Nama gadis itu Ellara, gadis urakan yang selalu buat pusing orang orang sekitar. Dia terlahir dari keluarga kaya, sangat kaya. Ayahnya, Morgan Copper adalah pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan besar.
Tapi kekayaan yang mereka miliki tidak mampu membuat Ellara menjadi anak yang baik dan duduk manis menikmati kekayaan. Dia suka keliaran, bahkan sering balap liar dengan motor kesayangannya yang dia beri nama Brave.
Hal itu terjadi beberapa tahun terkahir, dulu dia anaknya penurut dan ceria. Tapi semenjak pria di depannya berbuat ulah, Ellara menjadi pribadi yang nakal dan selalu melawan.
Gadis itu berusia 17 tahun, empat bulan lagi berusia 18. Dia murid kelas 12 di SMA Harapan Bangsa. Tak jauh beda, di sekolah dia juga selalu berbuat ulah dan membuat guru guru pusing setiap saat.
“Masih berkeliaran di jam segini kamu, mau jadi apa kamu nanti, ELLARA?” suara papa Morgan menggema di ruang keluarga. Dia tidak tahu lagi cara menghadapi putrinya itu. Di bilang baik baik tidak bisa, dan itu selalu membuatnya menjadi tak tahan.
“Apa peduli mu?” lihatlah, dia bahkan menjawab nada tinggi ayahnya hanya dengan kalimat singkat seperti itu.
“Oh satu hal lagi, anda masih ingat rumah Tuan Morgan?” Suara rendah itu terdengar mengintimidasi. Tidak salah, dia mengimbangi pria di depannya itu.
“Jangan tanya papa, yang harus di sidang malam ini itu kamu, Ellara."
"Dengar, seorang gadis tidak baik keluyuran di luar jam segini Ellara, sebenarnya kamu manusia apa batu hah? Kenapa susah sekali di bilangin?" Ujar papa Morgan menatap tajam ke arahnya.
"Pokoknya papa tidak mau tahu, mulai besok, papa tidak ingin lagi melihat dan mendengar tentang hal buruk yang kamu lakukan. Malu Ellara, malu papa setiap hari. Kenapa tidak sehari saja kamu buat papa bangga, kenapa??” panjang lebar pria itu berbicara, hanya senyum sinis yang Ellara tampilkan sebagai bentuk tanggapnya terhadap kalimat itu.
“Cih, serius Anda masih punya urat malu Tuan?" Dengan netral tajam, Ellara memandang pria paruh baya di depannya.
"Sebenarnya sama, saya juga malu pada Anda yang tidak pernah sadar kesalahan Anda sendiri dan lebih memilih menggurui orang lebih dulu."
" Kenapa tidak sehari saja Anda berkaca? Anda menyelam pada hati dan pikiran Anda, tanya kenapa anaknya jadi seperti sekarang ini. Saya rasa jika Anda bisa merenungkan sikap Anda, dengan sendirinya jawaban akan ada.” Jawab Ellara dengan nada formal seperti setiap harinya dia berbicara pada pria itu.
Papa Morgan memijat pangkal hidungnya, berbicara dengan Ellara memang tidak akan pernah selesai. Tidak bisa dia pungkiri kalau darahnya mengalir kental di tubuh Ellara. Watak gadis itu yang keras kepala benar benar turunan darinya.
“Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam__”
“mas..”
Kalimat Ellara terpotong kala mendengar panggilan itu. Suara tersebut begitu asing di telinganya. Ellara beralih pandang, dia melihat ke arah tangga dimana langkah kaki terdengar jelas memecahkan keheningan malam.
Ellara memicingkan matanya, pandangannya sangat fokus, manik cokelat itu memantau kaki mulus yang satu persatu menuruni anak tangga.
Hingga sampai di anak tangga paling ujung, kaki itu terhenti. Ellara memperhatikan objek di depannya dari ujung kaki hingga kepala.
Seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik dan seksi. Itu bukan mamanya, karena Ellara tidak pernah tinggal dengan sang mama lagi semenjak tujuh tahun terakhir.
Piyama biru laut yang melekat di dalam tubuh wanita itu membuat Ellara tertegun. Di tambah lekukan tubuh di balik piyama tipis itu benar benar mampu membuatnya naik darah.
Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, dia melangkah mendekat pada dua anak dan bapak itu yang kini masih berdiri mematung.
Ellara beralih fokus, dia mendongak menatap papa Morgan yang kini hanya diam membisu.
“Apa Anda tidak mau menjelaskan sesuatu?” tanya Ellara dengan kalimat tertahan. Bukan lagi suara tinggi, kali ini suaranya sangat kecil hampir tak terdengar.
“Mas....”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hallo semuanya..
Author kembali lagi dengan cerita baru.
saya berharap, karya ini menjadi teman setia kalian dalam menjelajahi dunia imajinasi.
Selamat membaca..
Salam hangat,
Author.
Atmosfer di ruang keluarga terasa mencengkam. Tiga orang beda generasi itu duduk di sofa. Ellara duduk di sofa tunggal, di hadapannya duduk sang papa dan wanita itu. Mereka juga sama saja, tidak ada yang berani buka suara.
Apalagi saat ini, pandangan mata Ellara masih menghunus tajam seperti belati yang siap menerkam.
“Waktu terus berjalan, apa Anda tidak lagi mau bicara? Ini sangat membuang waktu ku, sungguh!” Ellara memecahkan keheningan. Bicaranya masih dengan nada dingin.
“Dia Luna, istri papa Ella” Jelas papa Morgan memperkenalkan wanita di sampingnya sebagai istri. Jantung Ellara berpacu cepat, ada rasa marah yang memuncak,tapi dia berusaha untuk tidak bertingkah malam ini. Menekan rasa emosi itu dalam dalam, dan kembali menghela nafas berat.
“Istri? Istri Anda bilang? hahahhah"
Prokk
Prokk
Prokk
Suara tepuk tangan Ellara yang keras dan tawa yang terdengar dingin ,mengejek dan penuh kebencian menggema di ruangan itu, memotong keheningan dengan nada sinis yang menusuk hati.
Dia kembali memperhatikan wanita yang saat ini hanya diam saja tanpa mau terlibat dengan drama malam ini. Mungkin dia mengantuk, atau hanya tidak mau ikut campur atau mungkin juga karena terlalu malas dengan Ellara.
“iya Istri..”
Pranggggggg
Meja kaca di ruang keluarga itu pecah lantaran Ellara memukulnya sekuat tenaga. Emosi yang sejak tadi dia tahan ternyata tidak berhasil sampai pembicaraan mereka selesai.
“Anda menganggap mama apa, brengsek!!!!!!!” teriak Ellara tak terbendung.
“Dan Anda..” dengan tangan yang gemetar, jari Ellara menunjuk pada Luna yang masih melihatnya dengan tatapan tak terbaca.
“Wanita sialan, wanita jalang... Pelakor, murahan!!” tidak hanya teriak, dia mengambil serpihan kaca meja, di lemparkan pada wanita itu.
“Ellara berhenti!! Ellara kamu menyakitinya, hentikan!!” papa Morgan melindungi tubuh Luna, membawanya ke belakang tubuh tegapnya agar wanita itu terhindar dari amukan maut Ellara.
“Jangan menghalangiku Sialan, aku ingin membunuhnya, dia pelakor, dia yang membuat mamaku sakit, dia, dia orangnya! Sini kamu wanita sialan!!” tidak berhenti, Ellara seperti orang kesurupan yang menginginkan mangsa. Apalagi saat melihat papa Morgan yang gercep melindungi tubuh wanita itu semakin membuat Ellara berteriak histeris serta menerobos pertahanan papanya.
“ELLARA!!”
Brughhhhh
Gadis cantik itu terhuyung ke belakang akibat dorongan kasar dari papa Morgan. Serpihan kaca yang belum di bersihkan kini beralih menempel pada tangan yang dia gunakan sebagai tumpuan.
Tidak peduli dengan rasa sakit yang mendera di tangannya, Ellara kembali bangkit, menghampiri dua orang itu.
“Anda mendorongku?”
“Ella maaf, maafkan papa.. papa tidak bermaksud sayang, papa minta maaf” ujar papa Morgan dengan nada suara yang mulai gelagapan. Dia gemetaran, hendak merangkul Ellara dalam pelukannya tapi gadis cantik itu berdecih dan menolaknya kasar.
“Cih, lepas!!!” Bentaknya.
.
.
Keributan di ruang keluarga membangunkan para asisten rumah tangga. Bibi Lastri, Asisten rumah tangga yang cukup berumur berlari ke depan.
Dia menghampiri Ellara, Menghentikan aksi gadis itu dengan caranya.
“Non, sudah non. Besok pagi baru lanjut, Bibi obatin lebih dulu tangannya biar besok Nona kuat melawan mereka..” bisik Bibi Lastri sangat pelan di telinga Ellara. Tidak ada yang mendengar selain gadis itu tentunya, dan ya, hal itu berhasil meredakan emosi Ellara yang sempat tak terbendung.
Dia menarik nafas berat, sebelum berlalu, dia menatap dua orang di depannya dengan tatapan dingin.
Bibi Lastri membawa Ellara ke meja makan. Duduk di sana, wanita tua itu berlari ke dalam kamar untuk mengambil kotak P3K. Satu lagi asisten rumah tangga sibuk memanasi makanan, siapa tahu majikannya nanti laper.
Lima detik berlalu, Bibi Lastri kembali dengan kotak obat di tangannya. Dia menarik kursi di samping Ellara, mengambil tangan gadis itu, dan tampaklah luka yang cukup banyak di tangannya. Masih ada beberapa serpihan kaca yang masih tertancap, darah segar mewarnai tangan mulus nan putih gadis itu.
“Astaga, kenapa lukanya bisa sampai sebanyak ini?” Bibi Lastri ngeri sendiri melihatnya.
“Nona tutup matanya, tahan sakitnya ya, Bibi akan mencabut ini” guman wanita tua itu begitu lembut memperlakukan majikannya.
Ellara tidak menjawab, tidak juga menutup matanya. Bahkan saat Bibi Lastri mengeluarkan serpihan kaca itu dari tangannya, raut wajah Ellara tidak berubah sama sekali. Dia seolah tidak merasakan apa apa, merintih saja tidak. Hal itu berhasil membuat Bibi Lastri bingung sebenarnya, tapi kembali lagi, anak majikannya di kenal kuat sejak dulu.
Setelah serpihan kaca itu berhasil di keluarkan dari tangan Ellara, wanita tua itu mulai membersihkan tangannya, kemudian sedikit demi sedikit mengoleskan obat.
“Sudah..” ujarnya saat sudah selesai membersihkan luka di tangan Ellara. Gadis itu tidak menanggapi, dia hanya duduk diam dan kembali melihat ke arah ruang keluarga.
Papanya masih disana, dia terlihat sedang memegang kepalanya frustasi. Wanita tadi, dia masih setia duduk di samping papa Morgan dengan tangan yang terus mengelus pundak pria paruh baya itu.
Lagi dan lagi pemandangan itu kembali membuka luka Ellara. Dia mengalihkan tatapannya lurus ke depan, tidak ingin terus terusan menguji hatinya.
“Apa Nona mau makan dulu?” tanya Bibi Lastri dengan lembut. Ellara menggeleng pelan, dia berdiri dari kursi. Tanpa banyak bicara, dia berjalan menuju kamarnya.
“Non, masih ada yang mau Bibi bicarakan” teriak Bibi Lastri. Ellara tidak menoleh, Kini langkahnya satu persatu menaiki tangga dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
Ellara membuka pintu kamarnya dengan pelan. Mood gadis itu sangat berantakan malam ini, dan dia butuh istirahatkan pikirannya agar drama besok dia jalankan dengan tenaga penuh.
Tapi semesta tidak pernah mendukung segala rencananya. Ellara yang masuk ke dalam kamar dan berniat menenangkan diri kini malah di buat naik darah sekali lagi.
Tangannya mengepal kuat, objek yang saat ini dia lihat sangat membuat Ellara ingin sekali menghilangkannya dari pandangan mata. Entah dosa apa yang dia lakukan hari sebelumnya, hingga malam ini Ellara seolah di hukum terus terusan.
Sosok yang tertidur damai di lantai kamarnya, dengan kasur kecil itu membuat Ellara muak.
Memang dia tidak menempati ranjang besar milik Ellara, tapi bukankah dia sangat lancang masuk ke dalam kamar Ellara?. Lagi pula, kamar di rumah besar ini sangat banyak, dari sekian banyak kamar, kenapa harus kamar Ellara yang harus menampung gelandangan itu?.
Ellara masuk ke dalam kamar mandi lebih dulu, mengisi air dalam wadah, dan kembali ke kamar. Dia mendekati gadis tersebut, memperhatikan wajah damai itu dengan senyum smirknya dan___
Byurrrrrrrrrrrr
“akhhhhhhhhhh mama, hujan......”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Siapa dia?” Ellara mematung di depan pintu. Dia masih diam memperhatikan sosok gadis yang terlelap damai tidur di lantai kamarnya dengan alas kasur kecil.
Tangan Ellara mengepal kuat, sorot tajam itu menghunus ke arah depan. Gegas dia berjalan masuk, tidak langsung merebahkan diri di ranjang, Ellara lebih dulu ke kamar mandi. Dia mengisi air ke dalam wadah, kemudian kembali masuk ke kamarnya.
Dia mendekati tubuh wanita tersebut, memperhatikan wajah damai itu dengan senyum smirk-nya dan___
Byurrrrrrrrrrr
Air dalam wadah itu kini tumpah semua mengenai kepala gadis cantik itu.
“Akhhhhhhhhhh mama, hujan.....” teriak gadis itu gelagapan. Dia terbangun dengan wajah yang basah, duduk di kasur sambil mengusap wajahnya.
“Selamat malam princess” sapa Ellara dengan suara datar. Dia duduk berhadapan dengan gadis itu, menopang dagu dengan tangan di atas lutut. Dia menatap lekat wajah gadis di depannya yang kini menunduk ketakutan.
“Ka, kak Ellara..” sapa gadis itu dengan suara pelan. Tubuhnya gemetaran, entah karna kedinginan atau karena takut, Ellara juga kurang tahu pasti. Tangan Ellara tergerak, dia mengangkat dagu gadis di depannya agar tidak terus terusan menunduk. Jujur, Ellara sangat tidak suka jika harus melihat orang yang dia ajak bicara menunduk seperti itu.
Perlahan pandangan gadis itu terangkat, manik matanya bertemu pandang dengan sorot cokelat Ellara yang sangat tajam.
“Lancang!” suara Ellara sangat pelan tapi terdengar angkuh.
“Berani kamu masuk ke kamar ku, siapa yang mengizinkanmu masuk kamarku, Sialan!!!!”
“Siapa? Saya tanya siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamarku, hah?” bentak Ellara keras. Dia mencengkram dagu gadis itu sangat erat, hingga mata gadis itu mulai berkaca kaca.
“To, tolong lepaskan, i-ini sakit shhhh” gadis itu berdesis tertahan. Dia berusaha keras melepaskan cengkeraman Ellara tapi nihil, cengkeraman itu terlalu kuat untuknya.
“Dan apa ini, berani sekali kamu memakai pakaianku tanpa seizin pemiliknya, sekarang lepaskan! Lepaskan semua pakaian yang ada di tubuhmu itu sekarang!” sebelum melepaskan tangannya, Ellara lebih dulu menarik rambut panjang gadis itu ke belakang, membuat gadis tersebut mendongak dengan air mata yang perlahan mulai luruh.
Baik Bi Lastri, Papa Morgan dan Luna berlari menuju kamar Ellara setelah mendengar keributan dari kamar tersebut.
Kebetulan pintu tidak terkunci, mereka bertiga langsung masuk begitu saja dan tercengang melihat apa yang terjadi.
“Ellara apa yang kamu lakukan?” teriak papa Morgan dengan nada yang menggelegar. Dia menghampiri Ellara dan gadis itu, menarik tangan Ellara agar menjauh dari sana.
“Kenapa Melody menangis? Dan apa ini, kenapa dja basah kuyup? Apa yang kamu lakukan padanya Ellara?” sekali lagi pria itu berbicara dengan nada geram. Wajahnya yang memerah dengan bola mata yang melotot tajam menggambarkan seberapa emosinya pria itu.
“ouhhh, jadi namanya Melody? Nama yang sangat indah. Namun keindahan namanya berbanding terbalik dengan sikap kurang ajarnya itu!!! Menurut anda, apakah saya tidak akan marah jika seseorang masuk ke kamar saya? Orang asing masuk ke kamar saya, bukankah itu terlalu lancang Tuan? Satu lagi, dia memakai pakaian saya, ini tidak bisa di terima, lepaskan pakaian saya wanita murahan!!! LEPASKAN SEKARANG!!!” Teriak Ellara penuh murka. Bukan pelit, tapi dia tidak pernah suka barangnya di pakai sama orang lain, apalagi orang itu adalah orang yang paling dia benci.
“ELLARA!!” suara Papa Morgan memecah kesunyian ruangan. Di susul dengan nada lembut, “Dengarkan papa, dia bukan orang asing. Dia adik kamu, anak papa”
Ellara menatap dengan mata tajam, Suaranya berpekik lantang “Hahahahha, adik Anda bilang? Lucu. Ellara tidak punya adik, sekali lagi saya katakan, ELLARA TIDAK PUNYA ADIK!!” wajahnya memerah, napasnya terengah engah.
Papa Morgan berusaha menenangkannya “Ellara, tolong----“
Tapi Ellara melanjutkan, suaranya penuh kemarahan “Dia orang asing, dia hanyalah anak wanita jalang yang merangkak ke tempat tidur orang kaya, menghancurkan pernikahan orang, anak wanita murahan, anak pelacur, anak__
Plakkk!!!
“jaga omongan kamu!” satu tamparan yang sangat keras tertempel di pipi Ellara. Tamparan itu berhasil membuat kepala Ellara berputar, telinganya berdenging, dan menyisakan kemerahan bekas jari yang membengkak.
Tangan papa Morgan gemetaran, dia tidak bermaksud menampar putrinya, hal itu reflek karena Ellara terlalu banyak bicara dan membuatnya emosi. Jika di pikir pikir, ini adalah kali pertama pria itu menampar Ellara.Dia langsung meraih tubuh Ellara masuk dalam pelukannya.
“lepas!!” teriak Ellara.
“Anda menampar saya karena dua jalang ini? Anda bajingan, brengsek!” sekuat mungkin dia berontak. Ellara tidak menangis, dia kembali melihat Melody yang kini sesegukan dengan tubuh yang gemetar takut.
“lepaskan pakaian saya, dan Anda tante..” jarinya menunjuk ke arah Luna yang sejak tadi berdiri diam di samping Melody, wanita paruh baya itu mengusap pelan rambut putrinya untuk sekedar menenangkan.
“Anda tidak punya urat malu? Itu baju mama saya kenapa Anda pakai, sialan!! Kalian berdua harus melepaskan pakaian itu sekarang!”
“Tapi Ellara_”
“Kenapa? Anda mau protes? Emang Anda siapa berani protes? Itu bukan baju Anda melainkan baju saya dan mama. Saya tidak akan pernah terima barang barang di rumah ini di sentuh oleh dua jalang itu, apalagi pakaian saya dan mama, camkan itu baik baik! Dengar dan resapi, jangan hanya plonga plongo kayak orang gila!”
“SEKARANG GANTINYA!” dia seperti orang yang berkuasa malam ini. Tidak menghiraukan tatapan sendu dari melody, Ellara berlalu dari sana, kembali ke ruang keluarga yang ada di lantai atas.
...----------------...
“Ella tunggu, dengarin papa Sayang. Mereka berdua tidak ada pakaian ganti, makanya untuk malam ini izinkan mereka pakai pakaian itu ya..” dengan nada lembut, papa Morgan berujar sembari menyusul Ellara yang sudah keluar dari pintu kamarnya.
Gadis cantik itu menghentikan langkahnya. Dia menoleh perlahan, tatapan matanya sangat tajam bak belati yang siap menghunus pria tersebut. Ellara kembali mendekatinya, menciptakan jarak beberapa centi. Dia mendongak, memperhatikan wajah pria paruh baya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Tidak ada pakaian? Hahhah, benarkah mereka tidak ada pakaian? Terus datang kesini tadi tidak bawa apa apa? Mereka bukan anak jalanan yang Anda pungut kan? Aku rasa bukan. Dan satu lagi, Anda belum bangkrut sampai tidak bisa membeli mereka pakaian di jalan tadi kan? Jangan banyak menciptakan alasan, karena aku bukan orang bodoh yang gampang di bujuk!” datar Ellara.
“Suruh mereka menggantikan pakaian itu, dan juga saya tegaskan, jangan pernah Anda membawa jalang itu ke kamar mama! Banyak kamar di rumah ini, kenapa harus masuk ke kamarku dan kamar utama, kenapa? Anda tidak bisa tegas sedikit, hah? Pantas Anda berlaku seperti itu? Ingat, Anda masih punya istri sah, jadi jangan macam macam!” tegas Ellara kemudian berlalu. Dia bahkan menulikan pendengarannya saat berkali kali papa Morgan memanggilnya dari belakang.
Pria paruh baya itu kembali ke dalam kamar. Dia memperhatikan Melody dan istrinya Luna. Luna, istri sirih yang dia nikahkan lima belas tahun lalu. Istri bayang bayang yang selalu dia sembunyikan karena takut ketahuan oleh Delina, nyonya besar Copper, ibu dari Ellara.
Sama halnya pepatah, sepintar pintarnya bangkai di tutupi, baunya tetap akan tercium juga, begitulah yang terjadi dalam rumah tangga mereka.
Pernikahan yang dia sembunyikan bertahun tahun tetap terbongkar juga pada akhirnya, walaupun mama Delina tahunya tujuh tahun terakhir.
Tidak main main, nyatanya hal itu ternyata sangat berbuah fatal untuk kesehatan mental dan fisik mama Delina kala itu. Siapa yang terima dengan pengkhianatan? Tertipu bertahun tahun itu sangat menyakitkan. Bukan hanya selingkuh, pria itu menjadikan selingkuhannya sebagai istri. Dan yang lebih parah, mereka menjalin hubungan setelah dua tahun kelahiran Ellara.
“Mas, terus kita pakai apa sekarang kalau baju ini harus di lepas?” suara lembut Luna terdengar. Dia berjalan pelan, langsung bergelayut manja di lengan suaminya.
Pria itu memijat pangkal hidungnya. Dia juga bingung hendak bagaimana, untuk keluar membeli pakaian rasanya tidak mungkin, ini sudah jam dua pagi.
Sepuluh menit berlalu, mereka hanya diam diri di kamar. Rambut basah Melody perlahan mengering, gadis itu memeluk guling.
Tak lama setelahnya, Ellara kembali ke kamar.
“Woahh masih pada disini? Dan apa ini, kalian belum juga ganti?” dia melirik pergelangan tangannya seolah melihat jam, padahal tidak ada jam yang dia pakai di tangannya.
“Ella, mereka benaran tidak bawa pakaian tadi. Rencananya ntar jam enam papa akan mengantar mereka untuk ambil pakaian dulu, dan mulai besok mereka benaran tinggal disini.” Jelas papa Morgan meminta pengertian pada putrinya.
“ Tinggal disini? Benarkah? Hooohhh, rupanya Anda telah mengambil keputusan sepihak. Tidak salah, memang Anda tidak pernah menganggap kami ada di rumah ini! Baiklah, saya tidak bisa berbuat banyak bukan? Kalaupun saya tidak setuju, emang saya bisa apa? saya juga bukan siapa siapa disini!” perkataan itu harusnya menohok di hati papa Morgan. Tapi melihat ekspresinya yang biasa saja, membuat Ellara tersenyum kecut.
“ boleh saja mereka tinggal disini, tapi jangan menempati kamar utama, Melody juga jangan pernah sekali lagi datang ke kamar ku, dan jangan menyentuh barang barang disini, apalagi barang barang yang ada sangkut pautnya sama mama!”
“oh iya, kalian tunggu disini sebentar!” mungkin bisa di bilang dia yang paling sibuk malam ini. Tidak ada lagi rasa ngantuk yang sempat menyerangnya tadi. Dia turun ke lantai bawah, menemui bibi Lastri.
Setelah selesai, dia kembali ke lantai atas dengan pakaian di tangannya.
“Nih pakaian gantinya!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!