NovelToon NovelToon

Cintaku Luar Biasa

Prolog ~ CLB

“Tidak usah dendam, memang sudah jalan hidupmu begitu. Terima saja. Jangan juga salahkan Nak Ardi, dia memilih gadis yang tepat dan itu bukan kamu.”

Rumi mengusap air matanya, teriakan di luar kamar seakan memakan telinga. Halimah -- bibinya -- terus mengoceh menasehati. Padahal ia tidak melakukan kesalahan.

Niat pulang kampung hendak mengunjungi Paman dan Bibi yang sudah menampungnya sejak kepergian orang tua, sekaligus menghadiri lamaran sepupunya -- Mela -- malah berakhir dengan sakit hati.

Rumi dan Mela sama-sama bekerja, meski tidak satu perusahaan. Keduanya harus kost karena tempat tinggal mereka berada di pedesaan. Selama tinggal bersama dalam kamar kost, tidak pernah Rumi mengenal siapa kekasih Mela. Namun, tahu kalau sepupunya itu memiliki kekasih dan gaya pacaran mereka agak mengkhawatirkan. Kadang Mela tidak pulang, atau pergi seharian saat libur. Nasihat Rumi pun percuma, karena Mela akan membalas dengan ocehan panjang kali lebar yang intinya tidak ikut campur.

“Mela sudah bahagia dengan Ardi yang bukan jodoh kamu.”

Rumi membuka lemari pakaian dan memindahkan ke dalam koper di atas ranjang. Keputusannya sudah bulat, sementara ia akan tinggal di kost dan tidak akan pulang sampai hatinya bisa menerima semua.

Mela yang mendadak pulang seminggu kemarin tanpa pamit dan Rumi diminta segera pulang saat weekend, berujung pada kenyataan yang mengiris hati. Mela akhirnya menikah tadi malam karena sudah hamil. Masalahnya adalah pria yang menikahi Mela itu Ardi, kekasihnya.

“Perasaan aku nggak jelek-jelek amat, hanya kurang cantik saja. Kalau harga skincare merakyat mungkin aku bisa lebih cantik,” gumam Rumi saat menatap wajahnya di cermin.

Sudah menghapus jejak air mata dan berusaha menunjukan wajah biasa. Tidak ingin terlihat dirinya sedih atau terpuruk karena patah hati.

“Rumi, kamu dengar tidak?” teriak bibi. Padahal dinding dan pintu kamar bukan terbuat dari baja apalagi kayu berkualitas yang harganya selangit, bisa dipastikan bicara lirih pun akan terdengar.

“Dengar Bi,” sahut Rumi lalu membuka pintu kamar.

“Mau kemana kamu?” tanya Bibi lagi melihat koper dan tas besar ada di belakang tubuh Rumi.

“Balik ke Surabaya.” Menjawab dengan lirih.

“Kamu nggak akan nyusul Mela dan Ardi ke Jakarta ‘kan?” Rumi menggeleng pelan.

Ardi dan Rumi sebenarnya satu kantor. Jabatan sebagai manager marketing dan Rumi asistennya. Minggu lalu Ardi sudah dipindah tugas ke kantor pusat di Jakarta, dengan janji manis kalau hubungan mereka akan segera diresmikan dalam pernikahan secepatnya. Nyatanya janji manis itu ditepati dengan wanita yang lain bukan dengan Rumi.

“Aku pamit balik ke kosan.”

Kepergian Rumi dibiarkan saja oleh Bibi dan Paman yang membisu melepas kepergiannya. Entah karena rasa bersalah karena putrinya sudah merebut kekasih sang keponakan. Entahlah, hanya pria itu yang tahu.

***

“Mutasi?”

“Iya, Pak,” jawab Rumi dengan yakin.

Saat ini ia sedang menemui HRD, mengajukan mutasi. Dengan hasil kerjanya selama ini, tidak akan sulit mendapatkan persetujuan permohonan. Yang membuatnya menjadi perhatian, Rumi mengajukan mutasi ke kantor cabang di Jawa Barat. Yang mana ia tahu sedang membutuhkan banyak tim, terutama untuk proyek pembangunan di pelosok desa.

“Rumi, kalau pengajuan kamu ke pusat atau cabang yang lebih besar nggak aneh ya, tapi ini … Bandung. Kamu yakin? Yang kamu tuju lokasinya bukan di pusat kota, masih tiga jam dari pusat kota.”

“Saya yakin, Pak. Tolong disetujui secepatnya.”

Anggap saja ia putus asa, yang jelas hanya ingin ke tempat baru dan tidak akan mengingatkan tentang penghianatan Ardi dan Mela. Meski harap-harap cemas, ia tetap menjalankan tugasnya secara profesional.

Isu di kantor santer kalau ia patah hati karena diputuskan oleh Ardi yang sudah hengkang ke Jakarta, tentu saja dengan karir yang lebih cemerlang.

Saat fokus menatap layar monitor, dahinya mengernyit membaca email yang masuk dari Ardi. Mungkin saja Ardi menghubungi, tapi tidak berhasil karena kontak pria itu langsung diblokir setelah menyaksikan menikahi Mela dan duduk berdampingan saat melaksanakan ijab qabul.

Tangan Rumi menggerakan mouse untuk mengklik email tersebut, khawatir kalau isinya ada hubungan dengan pekerjaan. Nyatanya ….

[Rumi, aku tahu kamu kecewa. Maafkan aku, janji kita harus berakhir begini. Aku bukan berkhianat, tapi mencari wanita yang lebih layak mendampingiku. Jabatan General manager tinggal selangkah lagi, tidak menutup kemungkinan aku akan menjadi kepala cabang atau direktur di kantor pusat. Cita dan asaku sangat tinggi dan kamu tidak bisa mengimbangi. Kamu terlalu biasa untuk aku yang akan luar biasa. Jangan membenci Mela, dia yang pantas untukku. Lebih cantik dan modern. Semoga kamu akan mendapatkan pria yang lebih pantas untukmu dengan cintamu yang biasa saja]

Rumi berdecak, entah harus tertawa atau menangis membaca pesan yang isinya hinaan dan kesombongan dari seorang Ardi. Dua tahun mengenal pria itu dan setahun menjalin hubungan, kini pertanyaan dibenaknya kenapa bisa jatuh cinta. Sepertinya Rumi sedang buta karena cinta memang buta.

“Pantas untuk kamu adalah wanita yang bisa kamu hamili sebelum menikah,” gumam Rumi. “Mereka memang berjodoh, penghianat dengan pengkhianat dan cintaku yang luar biasa ini tidak pantas untukmu.”

Tidak sampai satu minggu, surat tugas mutasi sudah diterima oleh Rumi. Meninggalkan Surabaya dengan perasaan sedih dan kecewa, berharap hatinya bisa terobati dan tertata lagi di tempatnya yang baru.

Tiba di lokasi tujuan, kantor pengawasan dan pengerjaan proyek perumahan Iniland property. Perumahan bersubsidi untuk masyarakat menengah ke bawah. Rumi menarik nafasnya menatap kantor di hadapannya. Kantor dengan dua lantai, bahkan tidak ada lift apalagi ruangan khusus seperti fasilitas yang pernah dia terima.

Tidak ada security yang menyambut dan membuka pintu lobby, banyaknya pekerja di sana adalah pengawas dan pelaksana proyek. Rumi menghampiri meja informasi di mana seorang pria terlihat sibuk sambil merokok dan menatap layar komputer.

“Selamat siang, saya Rumi--”

Tidak ingin menjadi perhatian, Rumi merubah penampilan. Mengenakan kacamata menguncir rambutnya. Setelan yang digunakan hanya celana panjang dengan blouse dan dilapisi blazer lengkap dengan sepatu pantofel. Bahkan wajahnya hanya dipoles bedak tipis dan lip balm. Sangat jauh berbeda dengan penampilannya saat masih di Surabaya. 

\=\=\=\=

Hai ketemu lagi sama akuuuu, baca terus sampai tamat ya, jangan tabung bab 🥰🥰😘😘

CLB - Berkah Atau Musibah

Pria berumur tiga puluh tahun bernama Kaisar Sadhana membaca surat di tangannya lalu mendessah pelan. Pria lain di hadapannya adalah pimpinan perusahaan dan juga kerabatnya, Om Johan.

“Buktikan kalau kamu mampu,” ujar Johan. “Seriuslah bantu aku. Mihika sudah fokus jadi ibu rumah tangga. Arka sudah fokus dengan cabang dan Om-mu ini sudah … tua.”

“Baru sadar kalau sudah tua,” ejek Kaisar dan Johan langsung menggerutu.

“Mana tahu di sana dapat jodoh, pulang ke Jakarta bawa gandengan.” Johan terkekeh. “Nggak usah protes, ingat umur kamu. Jangan merasa muda aja tau-tau jadi bujang lapuk.”

“Ya nggak lah, lagian umurku baru 30.”

“Aku pun dulu kayak kamu Kai, merasa masih muda. Fokus kerja, mikirin Mihika tau-tau hampir expired.”

“Ini nggak bisa dirubah?” tanya Kai mengangkat surat yang masih dipegangnya.

“Nggak bisa. Selesaikan urusan di sana, anggap aja ujian sebelum naik kelas.”

Kaisar mendengus mendengar ucapan Johan. Pria itu ditugaskan ke luar kota menangani masalah keterlambatan pembangunan salah satu proyek dan terhentinya proyek lainnya.

Bukan pemilih, tapi Kaisar yang sejak lahir sudah dimanja orangtuanya karena putra satu-satunya dan tidak bisa membayangkan harus hidup jauh di pelosok desa.

“Tapi ini … jauh, Om. Kampung dan aku harus turun tangan mengecek proyek. Sudah bisa dibayangkan, susah sinyal dan sepi. Kalau mau nongkrong sore, gimana?”

“Nongkrong di wc,” sahut Johan menyela Kaisar. “Jangan sombong kamu, memang kamu lahir di mana. Di kampung, Kai, di kampung. Meski tidak pernah hidup susah, tapi kita anak kampung.”

Kaisar berdecak, dia tidak bisa membayangkan harus merasakan ribetnya turun tangan mengecek proyek. Padahal jabatannya lumayan dan siap menempati posisi baru.

“Dari kantor cabang banyak ditarik untuk gabung di kantor pusat, aku dari pusat malah suruh ke pelosok. Konsep perusahaan ini gimana sih? Nggak jelas banget,” keluh pria itu masih konsisten menolak permintaan Johan.

“Boro-boro dapat jodoh Om, yang ada aku pulang kurus dan sakit.  Tekanan batin selama di sana. Aku mau temui Ibu Mihika, pasti dia kasihan sama aku dan menolak perintah ini.” Kaisar mengangkat surat tugas yang diberikan Johan lalu beranjak meninggalkan ruangan. Masih terdengar teriakan Johan, tapi diabaikan.

Melewati meja sekretaris Johan, Kaisar berdecak saat mendapat sapaan dan anggukan. Sekretaris Johan seorang pria, sangat tidak menarik dilihat.

Sampai di ruangannya, Kaisar mengirim pesan untuk Mihika. Mihika adalah pemilik iniland property warisan dari ayahnya, sedangkan Johan menggantikan Mihika memimpin perusahaan. Suami Mihika -- Arka -- memimpin kantor cabang yang juga berada di Jakarta (baca : Cinta Dibayar Tunai).

...Ibu Ratu Mihika...

^^^Selamat siang ibu Mihika^^^

Pasti ada maunya

Tiba-tiba hubungi aku

^^^Hehe,^^^

^^^Om Jo nih, masa aku mau dimutasi^^^

Baguslah, mana tau dapat jodoh

\=\=\=\=

“Anjritt, ini kenapa pada ngomongin jodoh sih. Emang gue keliatan macam perjaka nggak laku,” keluh Kaisar lalu meletakan ponselnya begitu saja.

Masalah perempuan memang sensitif baginya. Dengan penampilan Kaisar seakan tidak ada cela dan sering menjadi pusat perhatian para perempuan. Rasa-rasanya aneh kalau dia masih belum ada tambatan hati.

Dengan postur tubuh tinggi, kulit putih dan wajah tampan seakan membuat penampilan Kaisar begitu sempurna.

Masih normal penyuka wanita, hanya saja sampai saat ini belum ada yang bisa mengetuk kembali hatinya. Sejak putus dengan sang kekasih beberapa tahun yang lalu dengan alasan ingin fokus dengan pekerjaannya sebagai model internasional. Sampai saat ini Kaisar belum terlihat dekat dengan perempuan manapun.

***

Selesai dengan urusan pekerjaan, Kaisar meninggalkan ruangannya. Tidak ada tugas yang darurat dan date line, ia pun tidak ingin berlama-lama di kantor dengan istilah lembur. Motto yang sering diucapkan saat bekerja adalah ‘Jika bisa dilakukan besok, kenapa harus hari ini’. Sangat konyol, tapi itulah Kaisar.

Mungkin alasan Johan mengirim Kaisar langsung ke lokasi proyek agar pria itu tahu betul bagaimana perusahaan bisa sukses. Bukan hanya perannya  di belakang meja dalam ruangan ber ac dengan pakaian rapi dan gaya necis. Ada karyawan yang harus berpeluh di luar sana dan menjadi tombak dan tameng demi kesuksesan perusahaan.

Saat ini Kaisar berada di lift, menatap layar yang menunjukan angka di mana lantai berada. Berharap segera tiba di lobby, tidak nyaman dengan perempuan-perempuan yang ada dalam lift yang mencuri pandang ke arahnya bahkan ada yang mengerlingkan mata dengan genit.

“Huftt.” Akhirnya pintu lift terbuka dan pengguna langsung menghambur keluar.

“Permisi, Pak Kaisar.”

“Duluan ya, pak ganteng.”

Kaisar hanya berdehem menjawab macam-macam sapaan tersebut lalu fokus berjalan, gaya khas Kaisar adalah tangan kanan yang berada di saku. Dasi yang dikenakan sudah dilepas dan dijejal ke dalam saku celana sebelah kiri. Lengan kemeja sudah digulung sampai siku.

Hari ini Kaisar mengenakan kemeja navy dan celana cream lengkap loafers hitam. Langkahnya pasti dan tatapan yang terkesan angkuh.

“Pulang, mas Kaisar?” tanya Koko, cleaning service area lobby dan sekitarnya. Masih sibuk membawa troli berisi perlengkapan kebersihan.

“Iyalah, masa gue nginep di sini.”

“Mana tahu mau temenin saya. Kalau dekat mas Kaisar, banyak cewek-cewek ngelirik saya jadi ngerasa ikutan ganteng.”

Kaisar hanya menggeleng dan melanjutkan langkahnya menuju parkiran di depan lobby khusus pejabat perusahaan. Meski terburu-buru untuk pulang, bukan rumah tujuannya. Kaisar menuju cafe di mana ada janji temu dengan kedua sahabatnya.

Sore itu suasana cafe cukup ramai, apalagi tempat itu viral di media sosial. Setelah parkir dan mengantongi ponselnya, Kaisar gegas menemui dua sahabatnya yang sudah menunggu.

Kedatangannya menjadi perhatian pengunjung café yang sengaja menatap atau hanya mencuri pandang. Menuju meja agak sudut, di mana Reno dan Arya berada.

“Selamat datang, Kaisar. Ayo sini, jangan galau mau cari jodoh di kampung,” ucap Reno, salah satu sahabatnya dan Kaisar pun mengumpat dalam hati. Ucapan Reno cukup kencang, membuat pengunjung di sekitarnya melirik. Sedangkan Arya hanya terkekeh, melihat raut wajah Kaisar yang kesal.

“Si set4n, mulutnya,” seru Kaisar setelah mendaratkan tubuhnya di kursi.

“Tapi bener Kai, sekalian aja ke sana cari jodoh. Cewek di kampung cakep alami, bukan karena efek skincare,” cetus Arya.

“Mana tahu ada yang bisa di ajak TTM,” usul Reno yang sejak dulu memang dikenal sebagai player.

“Sorry gue bukan buaya,” ungkap Kaisar lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya.

“Move on Kai, Rida udah kemana tahu. Lo masih begini aja,” ejek Arya dan Kaisar mendengus semakin kesal.

“Ck, apaan sih. Dipikir perempuan cuma Rida, gue belum ketemu yang cocok aja.”

“Gimana mau ada yang cocok, tiap lihat cewek yang menarik lo udah mikir desain undangan pernikahan aja.” Arya mengejek lalu terkekeh kembali bersama Reno.

“Bukan desain undangan, tapi langsung mikirin gaya buat unboxing.”

“Otak lo, sel4ngkangan terus.” Kaisar mengambil tisu dan meremassnya lalu melempar kepada Reno yang masih terkikik geli.

“Tenang aja bro, kita doain lo dapat berkah di sana,” ujar Arya setelah menggeser kursinya mendekat pada Kaisar lalu menepuk bahu pria itu.

Berkah atau musibah, batin Kaisar. Berharap esok pagi, Johan berubah pikiran dan membatalkan kepergiannya. 

CLB - Saya Juga Lapar

Kaisar tiba di apartemen, melepas kemeja sambil berjalan menuju kamarnya. Melemparkan kemeja tadi ke keranjang tempat pakaian kotor sambil berlalu menuju toilet. Berada di bawah guyuran shower ia teringat obrolan bersama kedua sahabatnya. Bukan masalah tersinggung ketika membahas Rida -- mantan kekasihnya. Namun, Kaisar bertanya-tanya, apa iya dia tidak bisa move on.

Sudah lima tahun berlalu, setelah Rida ada beberapa wanita mendekat dan bahkan cukup dekat. Namun, tidak berhasil naik status menjadi kekasih apalagi bertunangan. Tidak seperti Reno yang sudah berganti-ganti pacar macam bulan berganti. Arya sudah bertunangan dan akan menikah tahun depan.

Mengenakan bathrobe dan mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Kaisar mencari ponselnya yang berdering, ternyata ada di atas sofa masih di dalam kamar.

“Iya, Mam,” ujarnya saat menjawab panggilan. “Di kamar, iya, aku sudah pulang.”

Kaisar meletakan handuknya sembarangan dan berbaring dengan kedua kaki masih menggantung. Tangan kanannya masih menempelkan ponsel di telinga. Kalau bukan perempuan yang sudah melahirkan dirinya ke dunia yang bicara, sudah pasti mulutnya akan menjawab dengan kasar.

“Iya nanti kalau aku pulang. Tak perlulah dicarikan, nanti aku ajak temui Mama kalau memang sudah ada yang cocok.”

Sempat mendengus saat sang mama memintanya pulang dan akan mengenalkan dengan putri tetangganya yang baru saja lulus sarjana. Lagi-lagi masalah jodoh, apa iya dia sudah memasuki usia harus segera menikah.

“Minggu depan aku dinas keluar kota, Om Johan yang suruh. Mana tahu di sana ada perawan cantik yang bisa aku bawa ke depan mama. Sabar saja, aku masih doyan perempuan kok.”

Kaisar mengusap kasar wajahnya beberapa kali, mendengar lagi nasihat di ujung sana.

“Iya, mah, iya. Aku dengar, sudah ya makananku sudah datang,” seru Kaisar hanya alasan agar pembicaraan mereka selesai.

“Perempuan lagi, jodoh lagi yang dibahas. Arghh,” teriak Kaisar.

***

Rumi membalik satu per satu lembaran di tangannya. Mengecek dan membandingkan dengan sebundel program kerja salah satu proyek. Dahinya mengernyit dan sesekali menuliskan catatan atau komentar.

Sudah hampir dua minggu Rumi berada di kantor cabang, tepatnya kantor pengawasan dan pelaksana proyek. Kebanyakan yang bertugas di sana, laki-laki. Perempuan bisa dihitung dengan jari dan dirinya adalah yang paling muda. Sisanya bahkan sudah berkeluarga.

“Rumi,” panggil seseorang di tengah pintu.

Tanpa menoleh, gadis itu tahu yang memanggil adalah atasannya. “Iya, pak Medi.”

“Setengah jam lagi kita jemput orang pusat di terminal,” seru pria itu dan Rumi akhirnya menoleh lalu memperbaiki posisi kacamatanya yang sudah melorot ke ujung hidung.

“Sama saya pak?” tanya Rumi.

“Nggak, sama nenek kamu aja,” sahut Pak Medi sambil fokus dengan ponselnya. “Pake nanya,” ujar pria itu lagi.

“Bu Eni sudah menyiapkan tempat tinggal sementara selama di sini, nanti kamu antar dan temani. Suruh langsung istirahat saja, besok baru laporan ini itu. Biasa juga orang pusat kemari kayak liburan, ujung-ujungnya kita yang repot nambah tugas buat laporan yang dibawa ke pusat.”

“Saya ikut perintah bapak saja,” jawab Rumi sambil menekuni kembali berkas di hadapannya.

“Kalau saya perintah nyebur ke kolam, kamu mau?” tanya Medi sambil berlalu dan Rumi hanya menggeleng pelan dan bergumam tidak jelas.

Layar ponsel menunjukan pukul satu siang, perut Rumi sudah meronta minta diisi. Mungkin cacing di dalam sana sudah tawuran karena belum ada makanan yang masuk. Mulutnya berdecak pelan dan didengar oleh Medi.

“Kenapa kamu?”

“Masih lama, Pak?” Rumi balik bertanya.

“Mana saya tahu, tadi kasih info katanya lima menit lagi sampai. Mau telpon nggak enak, kita belum tahu karakternya kayak gimana. Sabar dululah, pasti kamu sudah lapar ‘kan?”

Rumi mengangguk cepat.

“Ya sama, saja juga lapar. Jadwalnya makan siang bareng dia ini,” seru Medi lagi.

Saat ini Rumi dan Medi berada di terminal, tepatnya di ruang tunggu jasa travel. Rumi pun berdiri dan pamit ke belakang. Kelamaan interaksi dengan atasannya, bisa emosi jiwa. Menuntaskan urusannya di toilet umum dan keluar setelah mencuci tangan.

Saat berbelok setelah melewati pintu toilet, Rumi menabrak seseorang karena menunduk fokus dengan ponselnya.  Terdengar decakan kesal dari orang itu.

“Maaf … mas eh, pak,” ucap Rumi menatap pria di hadapannya. Bahkan agak menengadah karena posturnya yang tinggi dan tubuh Rumi hanya sebatas dada pria itu. Entah bagaimana tatapan mata pria itu karena mengenakan kaca mata hitam. Dari penampilannya jelas bukan penduduk asli di sana. Sangat rapi dengan setelan kemeja dan celana panjang juga sangat wangi.

“Jalan pake mata,” ujar pria itu.

“Maaf Pak, nggak lihat.”

“Kalau pake mata, pasti lihat,” ujarnya lagi.

“Tapi saya jalan pake kaki, nggak bisa pake mata,” sahut Rumi lirih.

Pria itu kembali berdecak dan menunjukan layar ponselnya pada Rumi. “Kamu tahu tempat ini? Kalau saya kesana, harus naik apa?” cecarnya sambil menatap sekeliling mencari kendaraan umum yang bisa digunakan.

Rumi membaca deretan kalimat di layar ponsel dan menatap wajah pria itu, kembali menatap ponsel dan wajah pria dihadapannya.

“Eh, tahu nggak?”

“Tahu Pak, tahu. Bapak dari kantor pusat Iniland property ya?” Pria itu menjawab dengan anggukan kepala.

“Pak Medi,” panggil Rumi.

Pria paruh baya itu menoleh mendengar panggilan namanya.

“Apaan sih?”

“Ini orang yang kita tunggu,” ujar Rumi menunjuk pria dihadapannya.

“Loh, jadi kalian yang jemput saya?”

“Mas ini … Kaisar Sadhana?” tanya Medi dan pria itu mengangguk pelan. “Ya ampun, geningan udah sampe. Kita tunggu sudah hampir satu jam di sini.”

“Saya sudah wa, bapak belum balas juga. Ada setengah jam lalu, saya bilang sudah sampai.”

Medi pun gegas mengeluarkan ponsel dan menepuk dahinya.

“Maaf mas, jaringan di sini kurang bagus. Pesan Mas baru masuk. Kenalkan saya Medi, kepala operasional di kantor ini.” Medi mengulurkan tangan, Kaisar menjabat dengan tidak minat lalu membuka kacamatanya.

“Ini Rumi asisten saya, yang akan melayani kebutuhan dan pekerjaan Mas Kaisar selama di sini.”

Rumi mengangguk pelan dan mengulurkan tangan dijabat oleh Kaisar, masih tanpa minat.

“Saya Rumi,” ujar gadis itu.

“Udah tahu, tadi bapak ini udah bilang,” sahut Kaisar lalu bersedekap.

“Ya sudah, kita langsung saja,” ajak Medi mengulurkan tangannya seraya mengarahkan Kaisar. “Rumi, bawaannya kamu yang handle.”

Dalam hati Rumi sempat mengumpat, semoga saja pria itu tidak membuatnya kesusahan. Belum apa-apa dia sudah susah payah menyeret koper besar milik Kaisar.

Medi dan Kaisar sudah berada dalam mobil. Duduk di kabin depan dengan Medi sebagai pengemudi. Rumi sempat menggerutu meski pelan karena berat mengangkat koper dan menaikan ke bagasi.

“Kamu lama banget, kasihan Mas Kaisar pasti sudah lapar. Perjalanan jauh loh ini,” seru Medi saat Rumi membuka pintu kabin tengah tepat di belakang Kaisar.

“Saya juga lapar pak, memang kalian doang yang punya lambung,” ucap Rumi tentu saja hanya dalam hati. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!