...✧༺♥༻✧...
Riri Kirana, gadis polos dan ceria dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Ia selalu ramah dan baik hati kepada siapa pun yang ia temui. Namun, di balik senyum cerianya, tersimpan luka yang begitu dalam.
Kehidupan telah memperlakukannya dengan begitu kejam. Ia seringkali menjadi sasaran kejahatan orang lain. Ia dihina, disakiti, dan dikhianati. Bahkan orang tuanya sendiri, yang seharusnya menjadi tempatnya bergantung, tak pernah peduli terhadap keadaannya.
Ia selalu disalahkan oleh saudara-saudaranya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Riri Kirana harus menanggung beban yang begitu berat. Ia menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya pergi meninggalkan mereka dan menikah lagi dengan wanita lain, meninggalkan ibunya sendirian dengan empat anaknya.
Ia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, namun ia tetap mengejar cita-citanya yang besar, ingin menjadi penulis sukses. Cita-cita itu menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegar dan bertahan di tengah badai kehidupan yang menerpanya.
Ia selalu menulis, menuangkan segala perasaan dan pengalamannya ke dalam setiap kata yang ia tulis. Ia berharap suatu hari nanti, tulisannya akan menjadi terkenal dan membanggakan keluarganya.
...✧༺♥༻✧...
jauh sebelum riri dewasa, cerita ini akan dimulai dari masa kecil, masa sekolahnya. Dimana penderitaan Riri dimulai dari ia sekolah. sejak kecil, ia menyadari kekurangan, namun kekurangan itu di jadikan sasaran empuk teman temannya yang selalu membulinya.
Sejak kecil, Riri Kirana telah menjadi sasaran pembulian di sekolah. Teman-teman sekelasnya sering mengejeknya, mengatakan ia jelek dan bodoh. Mereka seringkali mencaci maki, menghinanya, dan bahkan sampai melakukan kekerasan fisik, seperti mendorong atau menendang.
Riri yang polos dan baik hati awalnya mencoba untuk mengabaikan perlakuan buruk teman-temannya, namun lama-kelamaan ia merasa sangat terluka dan tertekan. Ia merasa sendirian dan tidak ada yang membelanya. Perasaan itu semakin diperparah oleh sikap guru-gurunya yang pilih kasih.
Beberapa guru terlihat sangat menyukai siswa yang pintar dan populer, sementara siswa yang kurang mampu dan berprestasi rendah, seperti Riri, diabaikan dan bahkan diperlakukan dengan buruk.
Riri yang dulunya bercita-cita menjadi seorang guru, kini merasa sangat kecewa dan muak dengan profesi tersebut. Ia melihat bagaimana guru-guru di sekolahnya memperlakukan siswa dengan tidak adil, membuatnya kehilangan kepercayaan dan harapan terhadap profesi tersebut.
Ia bahkan sampai membenci semua guru, menganggap mereka semua sama, yaitu pilih kasih dan tidak adil. Kekecewaan itu menambah beban berat dalam hidupnya, membuatnya semakin terpuruk dan kehilangan arah. Mimpi untuk menjadi seorang guru yang adil dan bijaksana kini sirna, diganti oleh rasa sakit hati dan kekecewaan yang mendalam.
bagaimana Riri mencurahkan isi hatinya kepada orang tuanya...
Setiap pulang sekolah, Riri Kirana selalu menangis. Air matanya membasahi pipinya, mencerminkan rasa sakit dan kepedihan yang ia rasakan. Ia menceritakan kepada orang tuanya tentang perlakuan buruk teman-teman dan guru-gurunya di sekolah. Ia merasa sangat tertekan dan ingin pindah sekolah.
Ia berharap orang tuanya dapat memahami dan membantunya. Saat itu, orang tuanya masih perhatian padanya. Meskipun terkadang Riri agak cengeng dan mudah menangis, mereka tetap berusaha untuk menghiburnya dan memberikan dukungan.
Riri yang polos dan lugu selalu mengadu kepada orang tuanya setiap kali ia merasa sedih atau terluka. Ia menggantungkan harapannya pada orang tuanya untuk menyelesaikan masalahnya.
Riri, "Ibu... Ayah... aku ingin pindah..." Suaranya bergetar karena isak tangis. Ia memeluk ibunya erat-erat, mencari kenyamanan dan perlindungan. Air matanya membasahi baju ibunya.
Ia begitu berharap orang tuanya bisa segera mengambil tindakan untuk memindahkannya ke sekolah lain. Ia tidak sanggup lagi menghadapi perlakuan buruk teman-teman dan guru-gurunya.
bagaimana Riri mencari penghiburan dari neneknya...Riri Kirana selalu dekat dengan neneknya. Neneknya adalah tempatnya bercerita dan mencari penghiburan. Ia selalu mengadu kepada neneknya setiap kali ia merasa sedih atau terluka.
Neneknya selalu mendengarkan dengan sabar dan memberikan nasihat yang bijak. Riri merasa lebih nyaman bercerita kepada neneknya daripada kepada orang tuanya, karena neneknya selalu memahaminya tanpa menghakimi.
Riri, "Nek... bilang Ibu dan Ayah, aku ingin pindah... Aku ingin pindah sekolah... Aku nggak mau sekolah lagi... Mereka jahat..." Riri memeluk neneknya erat-erat, menumpahkan segala kesedihan dan kekecewaannya.
Air matanya membasahi pundak neneknya. Ia merasa sangat tertekan dan lelah menghadapi perlakuan buruk teman-teman dan guru-gurunya. Ia ingin sekali neneknya membantunya menyelesaikan masalahnya. Ia berharap neneknya bisa meyakinkan orang tuanya untuk memindahkannya ke sekolah lain.
Nenek Riri mengusap lembut rambut cucunya. Ia melihat betapa sedih dan tertekannya Riri. Hatinya tersentuh melihat cucunya yang polos dan baik hati harus menderita karena perlakuan buruk orang lain. Ia berjanji akan membantu Riri.
Nenek, "Cucuku... ini nanti Nenek yang akan urus. Nanti kita pindah, ya? Nanti pindah ke sekolah baru." Suaranya lembut dan menenangkan, memberikan Riri secercah harapan.
Riri yang mendengar janji neneknya langsung tersenyum. Mata indahnya yang tadinya berkaca-kaca kini berbinar-binar. Ia merasa lega dan sangat bahagia. Ia percaya bahwa neneknya akan menepati janjinya.
Riri, "Serius, Nek? Pindah...?" Suaranya masih sedikit bergetar, namun kini sudah terdengar lebih ceria. Senyumnya merekah, menunjukkan rasa bahagianya yang tak terkira. Ia memeluk neneknya erat-erat, menunjukkan rasa syukurnya.
...✧༺♥༻✧...
Keesokan harinya, Riri Kirana memulai hari pertamanya di sekolah baru dengan penuh semangat. Ia merasa sangat senang dan bersemangat untuk bertemu teman-teman baru. Dan ternyata, kebahagiaannya menjadi kenyataan.
Ia bertemu dengan Ara, gadis ramah yang tinggal di belakang rumahnya. Ara mengajak Riri bermain di belakang rumah mereka setelah pulang sekolah. Mereka berjanji akan memetik buah ceri bersama. Mereka langsung akrab dan menjadi teman baik. Mereka sudah kelas 2 SD, dan sudah mulai mengerti bagaimana menjalin persahabatan.
Riri, "Eh, kita tetangga, ya? Aku Riri."
Ara, "Oh iya, aku Ara. Pulang sekolah main, ya? Di belakang rumahku banyak ceri!"
Kebahagiaan Riri dan Ara begitu singkat. Baru satu hari menikmati sekolah barunya, Riri harus kembali ke sekolah lamanya. Ternyata, kepala sekolah di sekolah lamanya tidak memberikan surat izin pindah sekolah. Riri sangat terpukul.
Ia merasa harapannya telah sirna. Ia harus kembali ke lingkungan yang telah membuatnya begitu terluka. Ia harus kembali menghadapi teman-teman dan guru-guru yang telah menyakitinya. Rasa sedih dan kecewa kembali menyelimuti hatinya.
Keesokan harinya, Riri kembali ke sekolah lamanya dengan perasaan berat. Ia melangkahkan kaki dengan ragu-ragu, hatinya dipenuhi dengan rasa takut dan kecemasan. Saat memasuki kelas, ia melihat teman-teman sekelasnya.
Anehnya, mereka terlihat berbeda. Mereka tidak lagi mengejek atau menghinanya seperti biasanya. Bahkan, beberapa dari mereka tampak peduli dan bertanya tentang alasan Riri pindah sekolah.
Riri, "Eh, kok kalian... beda? Kenapa peduli?" Riri bertanya dengan heran dan sedikit curiga. Ia masih belum percaya dengan perubahan sikap teman-temannya.
Sena, salah satu teman sekelasnya yang dulu sering mengejek Riri, mengatakan dengan nada lembut: "Kok kamu pindah sekolah, sih?"
Guru Ida, yang dulu juga bersikap pilih kasih terhadap Riri, "Cuman masalah kecil, nggak usah pindah sekolah."
Meskipun beberapa teman sekelasnya menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik, dan beberapa bahkan bersikap ramah, Riri Kirana tetap ingin pindah sekolah. Ia masih merasa terluka dan tidak nyaman berada di lingkungan yang penuh dengan kenangan buruk.
Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana ia selalu dihina, dijauhi, dan dikucilkan oleh teman-temannya. Ia juga masih trauma dengan sikap pilih kasih guru-gurunya. Namun, karena berbagai kendala, ia terpaksa bertahan di sekolah lamanya. Ia tidak bisa pindah sekolah karena berbagai alasan, mungkin masalah administrasi, atau mungkin juga karena keterbatasan ekonomi keluarganya.
Ia harus menerima kenyataan pahit ini. Ia harus kembali menghadapi lingkungan yang telah membuatnya begitu terluka. Ia harus kembali berusaha untuk bertahan hidup di tengah tekanan dan perlakuan buruk teman-temannya. Ia harus tetap kuat dan tegar, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan rasa sedih dan kecewa.
Ia harus terus berjuang untuk mencapai cita-citanya, yaitu menjadi seorang penulis yang sukses. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan berhasil mengatasi semua kesulitan yang dialaminya.
...✧༺♥༻✧...
...Bersambung......
...✧༺♥༻✧...
Ekspresi marah dan kecewa yang terpendam Mari kita dalami kekecewaan Riri yang terpendam. Riri Kirana mendesah dalam hati. Ia merasa sangat kecewa dan marah. Ia tidak mengerti mengapa kepala sekolah bersikeras agar ia kembali ke sekolah itu, padahal kepala sekolah tahu bahwa Riri sering di-bully. Rasa ketidakadilan itu kembali menghantuinya.
Ia merasa bahwa semua guru sama saja, yaitu pilih kasih dan tidak adil. Pengalaman buruknya di sekolah lama semakin memperkuat keyakinannya bahwa semua guru sama saja. Ia bertanya-tanya, "untuk apa menjadi guru jika tidak bisa membela yang benar dan adil?"
Ia merasa sangat kecewa dan muak dengan sistem pendidikan yang menurutnya tidak adil. Ia menyimpan semua kekecewaan dan kemarahannya dalam hati. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan pahit ini.
Ia harus tetap bertahan di sekolah itu, meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa sakit dan kekecewaan. Ia berharap suatu hari nanti, ia akan menemukan keadilan dan kepuasan dalam hidupnya.
Bertahun-tahun Riri Kirana menahan ketidakadilan yang dialaminya di sekolah. Lama-kelamaan, ia mulai terbiasa dengan keadaan tersebut. Ia menjadi lebih pasif dan menerima kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
Setiap kali orang tuanya mengajukan permohonan pindah sekolah, pihak sekolah selalu menolaknya. Rasa kecewa dan amarah yang terpendam selama bertahun-tahun itu kini telah berubah menjadi kepasrahan. Ia sering berkata lirih, "Iya... mungkin mereka ingin melihatku terus menderita di sini." Ia merasa bahwa semua usaha untuk mengubah keadaan menjadi sia-sia.
Ia membenci guru dan memutuskan untuk tidak pernah menjadi guru. Cita-cita masa kecilnya itu kini telah sirna. Namun, di balik kepasrahannya, tersimpan tekad yang kuat. Ia menyadari bahwa ia harus mencari jalan keluar. Ia harus mencari cita-cita baru yang dapat membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Ia tidak ingin terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan dan penderitaan. Ia harus bangkit dan mengubah hidupnya.
Riri "Hemm... sepertinya aku harus mencari cita-cita baru." Ia bergumam pelan, tetapi dengan tekad yang bulat.
...✧༺♥༻✧...
Hari-hari berlalu. Riri Kirana berada di kelas, sedang mengikuti pembelajaran bersama teman-temannya. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok. Namun, seperti biasa, tidak ada yang mau bekerja sama dengan Riri. Mereka mengabaikannya, berbicara dan bercanda tanpa melibatkan Riri.
Riri merasa kesal dan kecewa, tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Ia memutuskan untuk mengerjakan tugasnya sendiri. Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri daripada harus berurusan dengan teman-temannya yang tidak mau bekerja sama.
Dengan tenang dan percaya diri, ia mengerjakan tugasnya sendiri. Ia yakin bahwa ia bisa mendapatkan nilai yang lebih bagus jika ia mengerjakan tugasnya sendiri tanpa bantuan siapa pun.
Riri "Yah, lagi pula siapa yang mau berkelompok dengan mereka? Aku bisa sendiri, kok. Biarin aja aku sendiri, biar dapat nilai lebih bagus." Ia bergumam pelan, dengan sedikit senyum mengejek.
Ia tidak lagi merasa sedih atau tertekan. Ia telah belajar untuk menerima kenyataan dan menjadi lebih mandiri.
Pada hari itu, Guru Ida memberikan tugas kepada setiap siswa untuk membuat cerita pendek atau cerpen karangan sendiri. Setiap anak atau kelompok harus membuat cerita pendek berdasarkan imajinasi mereka.
Di saat itulah bakat terpendam Riri Kirana terlihat. Riri memang memiliki bakat di bidang seni dan menulis cerita. Ia selalu senang menulis, menuangkan segala perasaan dan pengalamannya ke dalam setiap kata yang ia tulis. Ia memutuskan untuk membuat cerpen tentang dirinya, tentang pengalaman pahitnya di sekolah, tentang keinginannya untuk pindah sekolah yang selalu ditolak, dan tentang semua ketidakadilan yang ia alami.
Ia yakin bahwa cerpennya akan menjadi sangat bagus. Ia memiliki banyak ide dan inspirasi untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Ia tersenyum penuh semangat.
Riri, "Hehe... aku punya ide. Ini pasti bagus!" Ia bergumam lirih, dengan mata berbinar-binar. Ia sudah membayangkan bagaimana cerpennya akan dibaca oleh banyak orang.
Pada hari itu, Guru Ida memberikan tugas kepada setiap siswa untuk membuat cerita pendek atau cerpen karangan sendiri. Setiap anak atau kelompok harus membuat cerita pendek berdasarkan imajinasi mereka. namun semua teman riri agak sedikit kebingungan.
bagaimana Riri menunjukkan keahliannya...
Meskipun Riri Kirana tidak pandai dalam mata pelajaran umum lainnya, ia sangat ahli dan jago dalam bidang seni, khususnya dalam membuat cerpen, puisi, dan karangan cerita. Bakatnya di bidang ini sangat menonjol. Ia memiliki imajinasi yang kaya dan kemampuan menulis yang luar biasa. Ia mampu menuangkan segala perasaan dan pengalamannya ke dalam setiap kata yang ia tulis. Ia mampu menciptakan cerita-cerita yang menarik dan memukau. Ia sangat percaya diri dengan kemampuannya.
Guru Ida: "Tugas sudah selesai. Apakah ada yang mau dikumpulkan?"
Riri: "Ini, Bu, tugas saya." Riri memberikan selembar kertas kepada Guru Ida dengan penuh percaya diri. Ia tahu bahwa cerpennya akan sangat bagus. Ia yakin bahwa cerpennya akan mendapatkan nilai yang tinggi. Ia menunggu dengan penuh harap reaksi Guru Ida setelah membaca cerpennya.
Ekspresi penasaran dan sedikit gugup setelah Guru Ida membaca cerpen Riri...Guru Ida membaca cerpen karangan Riri. Ekspresinya berubah-ubah selama membaca. Kadang terlihat serius, kadang terlihat terkejut, dan kadang terlihat tersentuh. Setelah selesai membaca, Guru Ida terlihat gelisah.
Ia berdiri dan berlari ke ruang guru, membawa buku yang berisi cerpen Riri. Riri yang melihatnya merasa heran dan bingung. Ia duduk di tempatnya, menunggu dengan perasaan penasaran dan sedikit gugup. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Ada apa dengan cerita karanganku? Apakah ada yang aneh?"
Tiba-tiba, Riri disuruh berdiri di depan papan tulis. Guru Ida mendekatinya dengan langkah cepat. Riri semakin penasaran dan gugup. Ia tidak mengerti apa yang akan terjadi. Namun, Guru Ida tersenyum. Ia menjelaskan bahwa karangan Riri sangat bagus.
Ekspresi bangga dan haru bagaimana Riri menjelaskan cerpennya dan reaksi teman-temannya...
Guru Ida meminta Riri untuk menjelaskan cerpennya. Riri maju ke depan kelas, perasaannya campur aduk antara bangga, gugup, dan sedikit haru. Ia mulai menjelaskan cerpennya, tentang pengalaman pahitnya di sekolah, tentang ketidakadilan yang ia alami, dan tentang keinginannya untuk pindah sekolah.
Saat menceritakan pengalamannya, Riri tidak kuasa menahan air matanya. Ia menangis terisak-isak. Guru Ida menghampirinya dan menenangkannya.
Guru Ida: "Kenapa ini? Karanganmu bagus sekali, loh. Ibu sampai bertanya kepada kepala sekolah dan mengatakan bahwa ini kisahmu. Teman-temanmu harus tahu bahwa kau berbakat." Guru Ida tersenyum lembut, menunjukkan rasa bangganya terhadap Riri.
...✧༺♥༻✧...
...Bersambung......
...✧༺♥༻✧...
Setelah menjelaskan cerpennya dan menceritakan pengalamannya, Riri Kirana berkata dengan suara bergetar, "Untuk pertama kalinya, ada guru yang peduli padaku, Bu. Ibu adalah yang pertama." Air matanya kembali menetes, menunjukkan betapa besar rasa harunya.
Selama bertahun-tahun, ia merasa sendirian dan tidak ada yang peduli padanya. Ia selalu merasa diabaikan dan diabaikan oleh guru-gurunya. Namun, Guru Ida menunjukkan kepedulian dan perhatian yang tulus kepadanya. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Guru Ida.
Ia merasa bahwa Guru Ida adalah satu-satunya guru yang benar-benar peduli padanya. Ia merasa sangat beruntung telah bertemu dengan Guru Ida. Ia merasa bahwa Guru Ida telah mengubah hidupnya.
Satu tahun berlalu. Riri Kirana kini duduk di kelas 6 SD. Ia sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian sekolah akhir tahun dan kenaikan kelas. Ia harus belajar keras agar bisa lulus sekolah. Ia tekun menghafal materi pelajaran dan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Namun, naas baginya. Teman-teman yang dulu pernah membully-nya kembali berulah. Mereka mengunci Riri sendirian di dalam kelas. Mereka menggunakan sedotan sumplit dan kayu tusuk sate. untuk mengurung Riri. Riri terkejut dan berusaha berteriak meminta tolong, namun tidak ada seorang pun yang mendengarnya.
Ia merasa panik dan takut. Ia terkurung sendirian di dalam kelas yang gelap dan sunyi. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa sangat terancam dan tertekan.
Ekspresi ketakut, sedih, dan frustrasi bagaimana Riri menghadapi situasi tersebut dan mencurahkan isi hatinya...
Riri dengan menangis, "To...tolong...buka pintunya...aku...aku takut...ini...gelap...eh...ada orang. tolong..bukain..." Riri berusaha membuka pintu, tangisnya pecah.
"Buka pintu...aku mohon..." Ia berlutut, menangis tersedu-sedu. Dalam kegelapan, ia melihat sosok hitam di pojok tembok, ketakutannya semakin menjadi.
Ia terus menangis hingga akhirnya penjaga sekolah datang dan membuka pintu kelas. Riri berlari pulang ke rumah, tangisnya masih belum berhenti. Ia tidak bisa menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya.
Ibu, "Lagi-lagi nangis? Cengeng banget!"
Nenek, "Cucuku, kenapa?" Nenek menghampiri Riri, mencoba menenangkannya.
Riri, "Aku..." Ia masih terisak, belum mampu menceritakan semuanya. Ia hanya bisa bercerita kepada neneknya, orang yang selalu memahaminya.
Riri akhirnya bercerita kepada neneknya tentang kejadian di sekolah. Ia menceritakan bagaimana teman-temannya menguncinya di dalam kelas, ketakutannya saat sendirian di dalam ruangan gelap, dan sosok hitam yang dilihatnya di pojok ruangan.
Neneknya mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Ia memeluk Riri dan menenangkannya. Neneknya tidak menyalahkan Riri atau menganggapnya cengeng. Ia mengerti perasaan cucunya. Ia tahu bahwa Riri telah mengalami banyak hal yang menyakitkan. Ia menghibur Riri dan memberikan dukungan.
Neneknya berjanji akan membantunya menyelesaikan masalah ini. Riri merasa lega setelah menceritakan semuanya kepada neneknya. Ia merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Ia merasa lebih tenang dan lebih kuat. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia masih memiliki neneknya yang selalu mendukung dan menyayanginya.
Neneknya kemudian menasihati Riri untuk tetap kuat dan tidak menyerah pada keadaan. Ia mengingatkan Riri untuk selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Tuhan.
Riri, Terisak. "Nek... tadi di sekolah... teman-teman... mereka... mereka mengunciku di kelas... sendirian... gelap banget... aku takut... aku lihat... kayak ada sosok hitam di pojok...Apa itu Mister gepeng. gosip hantu di sekolah"
Nenek, Memeluk Riri. "Sssttt... sudah, sudah... ceritakan pelan-pelan, Nak. Nenek di sini. mungkin itu setan kawijan"
Setan kawijan adalah jenis setan yang menakut nakuti anak kecil di daerah jawa. cerita turun temurun dari nenek nya.
Riri Menangis. "Aku teriak-teriak minta tolong, Nek... tapi nggak ada yang dengar... aku takut banget... sendirian... di dalam gelap..."
Nenek Mengusap punggung Riri. "Sudah, ya... Nenek di sini. Kamu sudah aman sekarang. Tidak apa-apa lagi, ya?"
Riri Sedikit tenang. "Tapi Nek... aku takut... kalau mereka melakukan itu lagi..."
Nenek Menatap Riri dengan penuh kasih sayang. " Nenek akan bantu kamu, sayang. Kita akan bicarakan ini dengan orang tuamu, ya? Jangan takut, Nenek akan selalu ada untukmu. Kamu anak yang kuat, Riri. Kamu pasti bisa melewati ini semua."
Riri Menangis lagi, tapi kali ini tangisnya lebih pelan. "Terima kasih, Nek..."
Nenek Memeluk Riri erat. "Tidak apa-apa, Nak. Sekarang, cukup menangisnya. Besok, kita akan bicarakan ini semua dengan orang tuamu. Sekarang, tidurlah."
...✧༺♥༻✧...
Keesokan harinya, Nenek membantu Riri menceritakan semuanya kepada orang tuanya. Awalnya, orang tua Riri terkejut dan marah. Mereka tidak menyangka teman-teman Riri tega melakukan hal seperti itu.
Ibu Riri sempat menyalahkan Riri karena dianggap terlalu cengeng dan mudah menangis, namun Nenek dengan bijak menenangkan Ibu Riri dan menjelaskan bahwa Riri telah mengalami trauma yang cukup berat. Ayah Riri, setelah mendengar penjelasan lengkap dari Riri dan neneknya, langsung menghubungi pihak sekolah untuk melaporkan kejadian tersebut.
Pihak sekolah pun segera mengambil tindakan. Mereka memanggil dan menegur siswa-siswa yang terlibat, memberikan sanksi yang setimpal, dan meningkatkan keamanan di sekolah. Riri merasa lega karena orang tuanya dan pihak sekolah mendukungnya.
Ia merasa lebih aman dan terlindungi. Meskipun kejadian itu masih meninggalkan trauma, Riri berusaha untuk tetap tegar dan fokus pada ujian sekolahnya. Ia mendapat dukungan penuh dari keluarganya dan guru-gurunya.
Neneknya selalu ada di sisinya, memberikan semangat dan dukungan moral. Riri pun berhasil menyelesaikan ujian sekolah dengan baik dan lulus dengan nilai memuaskan. Ia membuktikan bahwa ia anak yang kuat dan mampu mengatasi segala rintangan.
Meskipun sebagian besar guru dan pihak sekolah mendukung Riri, tetap saja ada beberapa guru yang bersikap menyebalkan dan tidak mendukung Riri. Mereka menganggap Riri suka mengadu dan berlebihan.
Mereka bahkan menyebut Riri sebagai anak yang cengeng dan manja. Sikap mereka membuat Riri merasa kesal dan kecewa. Ia merasa bahwa tidak semua orang dewasa memahami perasaannya dan mau membantunya. Ia merasa bahwa masih ada ketidakadilan di sekolahnya.
Namun, Riri berusaha untuk tidak terlalu memikirkan sikap negatif beberapa guru tersebut. Ia fokus pada dukungan yang ia terima dari keluarga, neneknya, dan sebagian besar guru yang baik hati. Ia menyadari bahwa tidak semua orang akan baik kepadanya, dan ia harus belajar untuk menerima kenyataan tersebut. Ia belajar untuk lebih tegar dan kuat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Ekspresi sedih dan sedikit putus asa perasaan Riri yang mendalam. Riri merasa sangat sedih dan kesepian. Ia merasa bahwa tidak ada orang yang benar-benar memahami dan mencintainya apa adanya. Ia merasa selalu dihakimi dan dikucilkan.
Ia merasa bahwa ia selalu salah di mata orang lain. Ia merasa bahwa ia tidak pantas untuk dicintai dan dihargai. Ia merasa bahwa ia sendirian di dunia ini. Perasaan ini membuatnya semakin terpuruk dan putus asa. Ia merasa bahwa ia tidak akan pernah menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
...✧༺♥༻✧...
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!