Pandangan Freya terus tertuju pada jendela samping di dekat jok tempatnya duduk. Bus DAMRI tersebut terus melaju meninggalkan halte tempat gadis itu menaiki alat transportasi umum tersebut. Di pangkuan Freya traveling bag yang berisi pakaian dan beberapa barang pribadi miliknya. Lalu di bahunya tersampir tas selempang kecil berisi dompet dan ponsel.
Sepuluh menit yang lalu gadis itu kabur dari kediaman Pamannya yang sudah dua tahun menjadi tempat tinggalnya. Dia berlari menuju halte bus dan dengan asal menaiki bus yang berhenti di halte. Lamunan gadis itu buyar ketika bus yang ditumpanginya sampai di perhentian terakhir. Mau tidak mau Freya ikut turun bersama penumpang yang lain. Dia hanya terbengong saja saat tahu bus yang ditumpanginya ternyata menuju stasiun Tegalluar.
Sejenak gadis itu terdiam di tempatnya. Dia berpikir kemana dirinya harus pergi. Jika bertahan di Bandung, bisa jadi keberadaanya akan cepat ditemukan. Karena dirinya sudah berada di stasiun kereta api cepat, tidak ada salahnya kalau dia mengadu peruntungan hidup di Jakarta. Gadis itu juga sudah membawa ijazah S1-nya. Dengan itu dia bisa mencari pekerjaan di kota Metropolitan tersebut.
Freya mengambil dompet dari dalam tasnya. Dibukanya dompet miliknya. Uang yang tersisa di dalam dompet hanya tujuh ratus ribu rupiah. Itu pun didapat dari hasil menjual satu-satunya kalung miliknya. Kemudian gadis itu melihat harga tiket Whoosh. Untuk tiket kelas ekonomi dibandrol seharga seratus lima puluh ribu rupiah.
"Beli tiket 150, sisa uang 550 ribu. Terus buat hidup di Jakarta selanjutnya gimana?" gumam Freya.
Setelah berpikir hampir lima belas menit lamanya, gadis itu memutuskan untuk tetap pergi ke Jakarta. Nanti dia akan meminta bantuan teman kuliahnya yang tinggal di sana. Dengan langkah mantap gadis itu memasuki stasiun Tegalluar.
Di salah satu cafe yang ada di dalam stasiun, nampak Devan tengah menikmati sarapan dengan tenang. Secangkir kopi hitam dan sandwich menjadi menu sarapan untuknya. Setelah dua tahun berada di Bandung, Devan dipanggil ke Jakarta untuk mengisi kursi wakil CEO yang sudah ditinggalkan oleh Vano. Kakaknya itu sudah berangkat ke Macau tiga hari yang lalu.
Sebenarnya dia masih punya sisa pekerjaan yang harus diselesaikan, namun karena posisi Wakil CEO tidak bisa dibiarkan kosong terlalu lama, Devan memilih pergi ke Jakarta lebih awal. Sisa pekerjaan akan ditanyai oleh Ega, asistennya. Pria itu juga memilih menggunakan kereta cepat Whoosh untuk sampai ke Jakarta. Dia malas kalau harus berkendara menggunakan mobil. Biar saja nanti Ega yang membawa mobilnya ke Jakarta.
Devan melihat jam di pergelangan tangannya, Dua puluh lima menit lagi kereta akan berangkat. Pria itu bangun dari duduknya lalu meninggalkan cafe. Dia berhenti sebentar di dekat kursi tunggu, ditaruhnya berkas yang tadi dibawanya saat pria itu mencari tiket miliknya. Begitu mendapatkan tiket, dia segera pergi menuju pintu masuk. Nampak antrian penumpang sudah cukup panjang.
Tak lama setelah Devan pergi, muncul Freya. Gadis itu mendekati kursi di mana Devan menaruh berkasnya. Diambilnya berkas yang tertinggal di kursi kursi. Dibukanya berkas tersebut, tertera nama Kharisma Group di bagian depan lembaran kertas. Freya membalik lembaran berikutnya, tertera nama Devan selaku pihak pertama sebagai perwakilan dari Kharisma Group. Gadis itu yakin sekali kalau pemilik berkas ini adalah Devan karena pihak keduanya adalah seorang wanita. Tadi dia sempat melihat sosok Devan dari belakang.
Bergegas Freya mendekati antrian penumpang. Tiba-tiba saja dia memiliki ide, memiliki cara untuk pergi ke Jakarta secara gratis. Pasti Devan mau membelikan tiket kereta untuknya. Matanya mencari-cari keberadaan Devan. Sementara itu, Devan yang sadar berkasnya tertinggal segera keluar dari antrian. Sambil berlari dia mendekati kursi tempatnya menaruh berkas. Sesampainya di sana pria itu bingung karena tidak menemukan berkas tersebut. Terdengar rutukannya karena sampai melupakan berkas penting yang dibawanya.
Tiba-tiba saja ada yang menepuk bahunya. Devan segera berbalik. Di hadapannya sudah berdiri seorang gadis mungil. Disebut mungil mungkin karena tingginya hanya seratus lima puluh senti saja. Tubuhnya juga tidak gemuk, sesuai dengan tinggi badannya. Dan yang lebih penting di tangan gadis itu terdapat berkas yang dicari Devan.
"Bapak cari ini?" tanya Freya sambil menunjukkan berkas di tangannya.
"Iya. Kemarikan berkasnya!"
Saat Devan akan mengambil berkas tersebut, Freya dengan cepat menyembunyikan berkas tersebut di balik punggungnya. Dia tidak akan membuatkan Devan mengambilnya dengan cuma-cuma.
"Berikan berkas itu, apa kamu mencurinya?"
"Enak saja. Aku menemukannya tertinggal di kursi. Salah Bapak sendiri meninggalkannya di sana. Bapak sudah pikun ya?"
Mata Devan melotot mendengar ucapan gadis di depannya. Namun pria itu tidak punya waktu berdebat, waktunya untuk menaiki kereta sudah tiba. Devan melihat jam di pergelangan tangannya, tersisa waktu dua puluh menit lagi.
"Berikan berkas itu, cepat!"
"Tapi ini tidak gratis."
"Apa maumu?"
"Belikan aku tiket kereta ke Jakarta. Tiket yang sama seperti yang Bapak beli. Pasti Bapak beli tiket first class kan?"
"Dengar, aku tidak ada waktu untuk ini."
Devan mengambil dompetnya. Dia lalu mengeluarkan sepuluh lembar berwarna merah lalu memberikannya pada Freya, namun gadis itu tidak mengambilnya.
"Saya minta tiket, bukan uang."
"Kamu bisa beli tiket dengan uang ini."
"Tapi aku tidak tahu cara membeli tiketnya."
"Kamu hanya tinggal pergi ke loket, beli tiketnya sambil menunjukkan kartu identitas, oke?"
"Bapak saja yang belikan."
Tak mau ambil pusing dengan permintaan Freya, Devan menarik tangan gadis itu yang menyembunyikan berkas lalu menarik paksa berkas tersebut. Kemudian dia menaruh lembaran uang di tangan Freya begitu saja hingga uang tersebut berhamburan ke lantai. Setelahnya pria itu kembali ke antrian. Kesal diperlakukan seperti itu oleh Devan, dengan cepat Freya memunguti uang yang berserakan di lantai lalu berteriak kencang.
"MAS DEVAAAAANNN!!!"
Teriakan kencang Freya tentu saja langsung menarik perhatian semua orang yang ada di sana, tak terkecuali Devan. Devan terpaksa menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap gadis menyebalkan itu dengan wajah garang.
"Teganya Mas meninggalkanku begitu saja setelah apa yang Mas perbuat. Mas pikir hanya dengan uang ini, bisa membayar kesalahanmu?" Freya menunjukkan lembaran uang di tangannya. Wajah gadis itu dibuat memelas seolah baru saja diperlakukan dengan sangat buruk oleh Devan.
Devan memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Tingkah gadis aneh ini berhasil membuat semua mata melihatnya seperti seorang lelaki brengsek yang baru saja mencampakkan seorang gadis. Dengan langkah lebar, Devan menghampiri Freya.
"Apa yang kamu lakukan?" geram Devan dengan suara tertahan.
"Kabulkan keinginan ku, maka aku akan menghentikan ini," jawab Freya dengan senyum smirk-nya.
"Jangan macam-macam denganku, atau...."
"AKU HAMIL ANAKMU, MAS!!! DIA DARAH DAGINGMU!!"
Belum sempat Devan menyelesaikan kalimatnya, Freya langsung memotong ucapannya dengan teriakan kencangnya dan kembali sukses membuat Devan merasa malu. Apa yang terjadi pada mereka langsung menjadi tontonan banyak orang. Tidak dipedulikannya pelototan Devan, Freya sudah bertekad mendapatkan keinginannya termasuk memberi pelajaran pada Devan yang sudah bersikap menyebalkan di matanya.
"Kamu janji akan menikahiku, Mas. Tapi apa ini? Kamu mengingkari janjimu dengan mudahnya. Aku sudah memberikan semuanya untukmu. Tapi kamu mengingkarinya. TEGA KAMU, MAS!"
Demi menambah kesan dramatis, Freya pun menangis tersedu. Tidak rugi dirinya sempat mengambil ekskul teater saat di sekolah dulu. Dan kini dia bisa memperlihatkan bakat aktingnya. Menangis bukanlah hal yang sulit untuknya. Lagi pula kehidupannya memang sudah sangat menyedihkan. Buliran bening mengalir membasahi wajah cantiknya.
Devan melihat jam di pergelangan tangannya. Dia sudah tidak punya waktu untuk melayani akting gila gadis di depannya ini.
"Oh My God! Dasar cewek gila! Ikut aku sekarang!"
Dengan kasar Devan menarik tangan Freya, memaksa gadis itu mengikuti langkah panjangnya. Wajah Freya nampak sumringah, akhirnya dia bisa membuat Devan mengikuti kemauannya. Devan membawa Freya menuju loket penjualan tiket. Dia membelikan tiket first class seperti keinginan gadis itu. Hanya tinggal tersisa satu kursi lagi di kelas tersebut. Devan Langung membayar tiket tersebut lalu kembali ke antrian. Freya mengekor di belakangnya. Hatinya bersorak, pertama kali naik kereta cepat dan langsung merasakan first class.
Setelah pemeriksaan tiket, keduanya berjalan menuju eskalator yang akan membawa mereka menuju peron. Kereta cepat yang akan membawa mereka ke Jakarta sudah menunggu. Devan berjalan menuju gerbong first class. Dia menunjukkan tiket di tangannya, lalu masuk ke dalam gerbong. Freya juga menunjukkan tiket di tangannya. Gadis itu melihat nomor kursi yang tertera di tiketnya. Tidak disangka ternyata kursinya berada di samping kursi Devan.
"Mau apa kamu di sini?" tanya Devan.
"Aku duduk di sini. Lihat ini nomor kursiku."
Freya memperlihatkan tiket di tangannya. Devan hanya berdecak saja. Dia merutuki Ega yang tidak membeli tiket kursi tinggal untuknya. Kenapa harus tiket double seat dan gadis gila ini akan menemani perjalanannya selama empat puluh lima menit ke depan.
"Terima kasih buat tiketnya. Oh ya, namaku Freya," Freya mengulurkan tangannya.
"Ngga nanya," jawab Devan singkat tanpa membalas uluran tangan Freya.
"Pengumuman aja, Pak."
Freya menarik lagi tangannya yang sama sekali tidak dijawab oleh Devan, bahkan dilihatnya pun tidak. Di mata Freya, Devan memang lelaki menyebalkan. Karenanya dia tidak merasa menyesal sudah mengerjai pria itu.
"Apa Bapak sudah sering naik kereta cepat? Ini pengalaman pertama untukku."
"Wah ternyata seperti ini rasanya duduk di first class."
"Apa kita diberi makanan atau minuman?"
"Hey.. apa Bapak tuli? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"
Sebisa mungkin Devan menulikan telinganya mendengar cerocosan gadis di sebelahnya. Waktu keberangkatan sudah tiba, kereta sudah bergerak. Freya terkejut ketika kereta mulai melaju dengan kencang. Tanpa sadar dia memegang lengan Devan dengan erat.
Pegangan Freya di tangannya terlepas ketika Devan melepaskan jari gadis itu satu per satu. Freya melihat Devan sambil memberengut. Sebenarnya pria di sampingnya ini berwajah tampan, sayang sikapnya begitu dingin dan jutek.
"Apa Bapak kerja di Kharisma Group? Apa itu perusahaan besar?"
"Apa Bapak bisa memberikan lowongan pekerjaan untukku?"
"Aku baru saja lulus enam bulan yang lalu. Aku punya banyak pengalaman organisasi. Aku juga memiliki kemampuan mengetik dan mengingat yang baik. Aku akan menjadi karyawan yang baik kalau Bapak mau mencarikan pekerjaan untukku. Aku tidak akan melupakan jasa Bapak kalau Bapak..."
Cerocosan Freya tidak tertangkap lagi oleh Devan. Pria itu sudah menyumpal telinganya dengan earphone bluetooth yang terhubung ke ponselnya. Lagu Take Cover milik Mr. Big langsung memenuhi gendang telinganya. Devan memejamkan matanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Belum ada lima menit dia terpejam, matanya kembali terbuka ketika merasakan earphone di telinga sebelah kanannya diambil paksa oleh seseorang. Dengan santainya Freya mengambil earphone tersebut lalu memasangkan ke telinga sebelah kanannya.
***
Hai² aku datang dengan karya baru yang genrenya beda dari Indra Ke-6. Yang lagi tegang di sana, bisa healing di sini😂 Yang udah baca sebelumnya, ngga apa² baca ulang ya, sekalian like dan komennya juga. Jangan lupa bintang 5 nya juga. Makasih😘🙏🏻
Penampakan Freya
Penampakan Devan
Belum ada lima menit dia terpejam, matanya kembali terbuka ketika merasakan earphone di telinga sebelah kanannya diambil paksa oleh seseorang. Dengan santainya Freya mengambil earphone tersebut lalu memasangkan ke telinga sebelah kanannya. Devan melepas earphone di sebelah kirinya lalu menaikan volume dari ponselnya sampai ke batas maksimal. Sontak Freya langsung melepas earphone dari telinganya. Tanpa mengatakan apapun Devan memberikan earphone di sebelah kirinya pada Freya.
"Buat saya, Pak?"
"Iya."
"Makasih, tapi ngga usah."
"Saya ngga mau pakai lagi earphone yang ketempelan kotoran telinga kamu."
Devan menaruh earphone yang tersisa di tangan Freya lalu pria itu melanjutkan tidurnya. Matanya kembali terbuka ketika gadis di sebelahnya menepuk pundaknya. Dengan wajah garang dia melihat pada Freya.
"Apalagi?" ketusnya.
"Kalau mau ngasih jangan nanggung. Tempat earphone nya mana? Sama kabel charger nya. Kalau baterainya habis, percuma juga ngga bisa saya pakai, hehehe.."
Devan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga parunya yang seketika terasa kosong karena ulah gadis di sebelahnya. Pria itu membuka tasnya, mengambil wadah earphone beserta charger lalu memberikannya pada Freya. Baru saja mulut Freya terbuka hendak mengucapkan terima kasih, Devan langsung menghentikannya.
"Diam!"
Freya kembali menelan kata-katanya. Kepala gadis itu mengangguk tanda mengerti. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena Freya lagi-lagi mengganggunya.
"Ini nama bluetooth-nya apa? Aku juga mau dengar musik dari hape, hehehe.."
"JBL Reflect Flow."
Walau sebal, tapi Devan akhirnya menjawab juga pertanyaan gadis itu. Lebih baik dia mendengarkan musik daripada terus berbicara. Freya mengambil ponselnya, mengaktifkan bluetooth di hape androidnya seraya memasang earphone itu ke telinganya. Dia langsung mencari koneksi JBL Reflect Flow lalu menyambungkannya. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti alunan musik yang didengarnya. Dan Devan pun bisa bernafas lega, duduk tenang tanpa diganggu gadis itu lagi.
***
Empat puluh lima menit waktu yang ditempuh oleh kereta Whoosh berakhir sudah. Kini kereta cepat tersebut sudah memasuki stasiun Halim. Freya melepas earphone, memasukkan asal ke dalam tasnya lalu bersiap untuk turun. Sambil membawa traveling bag miliknya, dia keluar dari kereta. Devan yang berada di belakangnya dengan cepat melewatinya. Tanpa melihat ke arahnya, pria itu berjalan cepat menuju pintu keluar.
Sebisa mungkin Freya mengejar langkah Devan. Namun kaki pendeknya tidak bisa menyusul kecepatan kaki Devan yang memiliki langkah lebih panjang darinya. Ketika gadis itu sampai di pintu keluar, Devan sudah masuk ke dalam mobil mewah yang menjemputnya. Kini gadis itu hanya terpaku di bagian luar stasiun. Memandangi lalu lalang kendaraan di depannya.
KRIUK
Terdengar suara alam dari dalam perutnya. Freya pun memandang berkeliling, mencari tempat untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan. Gadis itu kemudian menuju security yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Pak, kalau tempat makan di mana ya?"
"Ada di skybridge. Dari sini lurus aja, belok kiri lalu naik ke atas."
"Makasih, Pak."
Freya segera berjalan mengikuti petunjuk security tersebut. Sesampainya di skybridge, dia melihat banyak stand yang menyaksikan aneka makanan. Freya berjalan melewati deretan stand, memilih makanan yang cocok untuknya dan tentunya dengan harga yang terjangkau oleh dompetnya. Gadis itu berhenti di depan stand yang menyajikan menu nasi goreng. Dia memesan nasi goreng dengan harga paling murah dan air mineral sebagai minumnya.
Sambil menikmati nasi gorengnya, gadis itu segera menghubungi temannya. Tapi sayang, temannya itu ternyata sedang tidak berada di Jakarta. Dia baru saja pulang kampung bersama kedua orang tuanya. Otak Freya berputar cepat, di mana dirinya akan tidur hari ini.
Makanan Freya sudah habis dilahapnya sejak satu jam lalu, namun gadis itu masih betah berada di tempat duduknya. Dia menimbang-nimbang, apakah akan tetap berada di Jakarta atau kembali ke Bandung. Kepalanya menggeleng cepat. Dia tidak mungkin kembali ke Bandung. Freya kemudian mencari-cari kost-an dengan harga terjangkau. Tapi di kota besar seperti ini, tentu saja sangat sulit. Uang yang dimilikinya hanya bisa membuatnya bertahan hidup beberapa hari saja di kota metropolitan ini.
Freya menghembuskan nafas panjangnya. Tak enak juga berlama-lama di tempat makan ini. Apalagi sang pemilik tenant sudah meliriknya beberapa kali. Gadis itu mengambil traveling bagnya lalu berjalan menuju stasiun LRT. Hari ini dia akan menyusuri Jakarta menggunakan LRT. Kalau masih belum dapat solusi, maka Freya memutuskan akan kembali ke Bandung saja.
***
Sejak tiba di stasiun Halim, Freya memutuskan untuk berkeliling menggunakan LRT. Hampir di setiap stasiun gadis itu turun. Menyusuri daerah sekitar lalu melanjutkan perjalanan menggunakan LRT. Sudah sepuluh stasiun yang dikunjunginya. Dan sekarang dia berada di daerah Kuningan. Hari juga sudah mulai gelap. Terdengar adzan isya dari masjid yang berada tak jauh darinya.
Freya mengayunkan kakinya menuju masjid. Usai melakukan shalat isya berjamaah, gadis itu masih betah berada di dalam masjid. Sempat terpikir olehnya tidur di masjid saja. Namun dia buru-buru menepis pikiran itu. Gadis itu pernah mendengar cerita, ada musafir yang tertidur di masjid dan ketika bangun dirinya sudah berpindah, bukan di dalam masjid melainkan di dalam bedug. Freya tidak mau itu terjadi pada dirinya. Bagaimana kalau tiba-tiba dia dipindahkan ke atas genting.
Dengan cepat Freya mengambil traveling bagnya lalu keluar dari masjid. Dia berjalan pelan menyusuri trotoar. Lagi-lagi perutnya berdendang minta diisi. Kepala Freya menoleh ke kanan dan kiri, mencari tempat makan ramah kantong. Lalu di sebuah jalan yang mengarah ke gang, dia melihat warung Padang yang tidak terlalu besar. Gadis itu segera melangkahkan kakinya ke sana.
"Bu.. di dekat sini ada kost-an ngga?" tanya Freya pada pemilik warung sambil memakan makanannya.
"Ada, Mbak. Terus aja jalan sekitar lima ratus meter, nanti nemu kost-an. Tanya aja sama orang lewat."
"Harga per bulannya berapa, Bu?"
"Satu juta kalau tidak salah."
"Waduh, mahal amir. Langsung habis duit gue," batin Freya.
Dengan cepat Freya menghabiskan makanannya. Setelah membayar makanan, dia memutuskan kembali ke jalan besar. Gadis itu membatalkan niatnya untuk menyewa kamar kost. Dengan langkah gontai dia kembali menyusuri jalan hingga akhirnya sampai di jalan besar. Dia duduk sebentar di bangku semen yang ada di trotoar seraya memijit betisnya yang terasa pegal karena banyak berjalan hari ini.
Mata Freya menatap kosong ke arah jalan yang masih dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang. Kehidupannya dua bulan terakhir ini sudah seperti roller coaster saja. Awalnya dia bahagia ketika kekasihnya mengajaknya menikah. Namun belum sempat pria itu melamarnya, dia akhirnya tahu kalau kekasihnya diam-diam menjalin hubungan dengan sepupunya, anak Paman tempatnya tinggal selama dua tahun terakhir.
Tak sampai situ, Sang Paman memohon padanya agar mau membantunya melunasi hutangnya yang sudah menumpuk. Dia diminta menikahi seorang pria tua berusia 74 tahun demi melunasi hutang Pamannya. Mimpi apa dia semalam harus menikah dengan pria yang pantas menjadi kakeknya. Akhirnya dia nekad kabur dari rumah, meninggalkan persoalan hutang piutang sang Paman. Masa bodoh dengan konsekuensi yang akan diterima Pamannya karena tidak bisa menepati janji menikahkan dirinya dengan lelaki tua bangka itu.
Kepala Freya menoleh ketika mendengar suara sirine ambulans. Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide di kepalanya. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju rumah sakit yang hanya berjarak seratus meter saja. Dipandanginya bangunan rumah sakit di depannya.
Ya.. malam ini dia bisa menginap di sini. Siapa yang akan tahu kalau dia hanya menumpang tidur di sini. Pasti orang-orang dan petugas medis akan menyangka kalau dirinya adalah keluarga pasien. Dengan langkah mantap, Freya berjalan memasuki lobi rumah sakit. Dua security yang berjaga di depan pintu masuk tidak menaruh curiga padanya.
"Akhirnya gue dapat tempat menginap malam ini" batin Freya senang.
***
Ada bae akalnya si Freya😂
Freya melangkah menyusuri lobi rumah sakit. Dia kemudian berhenti di depan sebuah papan besar yang menunjukkan skema atau denah rumah sakit. Gedung rumah sakit ini memiliki 12 lantai. Ruang perawatan dimulai dari lantai empat sampai dua belas. Gadis itu kemudian berjalan menuju lift. Dia hendak mendatangi lantai di mana ruang rawat inap berada. Mencari tempat yang pas untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Lift yang ditumpangi Freya berhenti di lantai empat. Suasana di lantai empat sudah cukup hening karena waktu memang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Rupanya di lantai ini adalah ruang rawat inap untuk anak-anak. Freya kembali ke lift menuju lantai berikutnya. Tidak mungkin dia tidur di lantai empat.
Sesampainya di lantai lima, Freya kembali melihat-lihat. Kursi di ruang tunggu sudah ditempati beberapa orang yang menunggui pasien. Ada yang mengobrol, ada yang menonton televisi, ada juga yang asik bermain ponsel. Freya juga merasa kalau dirinya tidak mungkin tidur di sini. Suasana agak berisik, dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak.
Alih-alih ke lantai atas, kali ini Freya memilih ke lantai bawah. Dia mencoba melihat mushola yang ada di basement. Rasanya lebih nyaman tidur di mushola. Tidak masalah kalau tidur beralas karpet sajadah. Sesampainya di mushola, lagi-lagi Freya menelan kekecewaan. Di sini didominasi kaum Adam saja. Freya terdiam sebentar sebelum melangkahkan kakinya kembali ke lift.
Kali ini Freya memilih kembali ke lobi. Tadi dia melihat ada beberapa sofa di lobi rumah sakit. Lebih baik tidur di sana. Sofa adalah pilihan yang tepat untuk tidur. Lagi pula dia tidak bertubuh tinggi, jadi tubuhnya bisa tertampung di sofa. Rupanya ada untungnya juga memiliki tubuh pendek. Suasana di lobi sudah gelap, pintu masuk pun sudah tertutup walau tidak dikunci.
Freya mendekati salah satu sofa yang ada di aquarium besar di dekatnya. Gadis itu mendaratkan bokongnya di sofa empuk tersebut. Gadis itu memantapkan hati tidur di sofa malam ini. Dia mengeluarkan pasmina dari dalam traveling bag nya. Dia menaruh traveling bagnya di ujung sofa, lalu merebahkan tubuhnya. Tangannya merentangkan pasmina kemudian menutupi tubuhnya dengan kain tipis itu. Lumayan bisa sedikit mengurangi hawa dingin yang nanti menerpa.
Beberapa kali Freya menguap, tanda kalau tubuhnya sudah lelah dan mengantuk. Freya menggerakkan tubuhnya, mencari posisi yang nyaman. Tak lama kemudian gadis itu sudah mulai terlepas. Lelah berjalan hampir seharian membuat kantuk menyapa dengan cepat.
***
Freya menolehkan kepalnya ke kanan, menunggu angkot yang akan dinaikinya. Tiba-tiba saja tiga orang pria bertubuh kekar menghampirinya. Di belakang tiga pria itu nampak Mang Banu, Pamannya. Mata Freya membulat, tak percaya kalau sang Paman bisa menemukannya.
"Freya.. ayo pulang sama Mamang. Kamu jangan kabur lagi. Pak Santo sudah menunggumu di pelaminan."
"Ngga.. aku ngga mau. Tolong jangan nikahkan Frey dengan dia, Mang. Frey janji akan kerja keras dan semua gaji Frey nantinya buat Mamang dan Bibi. Tapi tolong jangan nikahkan Frey dengan dia," mohon Freya dengan mata berkaca-kaca.
Apa yang dikatakan Freya hanya dianggap angin lalu oleh Banu. Dia memerintahkan tiga pria bertubuh kekar itu untuk membawa Freya pergi. Mereka menyeret gadis mungil itu lalu memasukkan ke dalam mobil. Di dalam mobil, Freya terus berusaha berontak, namun usahanya sia-sia belaka. Kendaraan roda empat itu melaju kencang membelah jalan raya.
Sesampainya di kediaman Banu,nampak tenda biru sudah terpasang. Tamu undangan juga sudah berdatangan. Ririn, istri Banu keluar dari rumah dengan langkah tergopoh. Wanita itu segera mengajak Freya masuk. Dia akan mendandani Freya untuk akad nikah yang akan dimulai sebentar lagi.
Airmata Freya jatuh bercucuran melihat tampilan dirinya di cermin. Kebaya berwarna putih tulang sudah melekat di tubuhnya. Rambutnya disanggul sederhana dan wajahnya sudah di-make up walau tidak terlalu tebal. Ririn menghapus airmata yang terus membasahi wajah keponakannya.
"Udah atuh jangan nangis terus. Kamu harusnya bersyukur juragan Santo mau menikahimu. Hidupmu bakalan enak, ngga usah kerja, mau apa saja tinggal minta."
"Aku ngga mau nikah sama dia, Bi. Ngga mau."
"Sudah.. sudah.. tuh calon suami kamu sudah datang."
Dari luar kamar terdengar suara Banu menyambut kedatangan Santo bersama keluarganya. Selain Santo, penghulu yang akan menikahkannya juga sudah datang. Semuanya segera duduk di meja akad. Banu selaku Paman Freya segera memulai ijab kabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Freya Aurelia binti Cipta Lesmana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Suara Santo yang bergetar karena faktor usia terdengar mengucapkan kalimat kabul dengan lancar. Kedua saksi langsung mensahkan pernikahan yang baru saja dilangsungkan.
"Alhamdulillah, sah. Selamat Frey, sekarang kamu sudah resmi menjadi istri juragan Santo."
"Ngga.. ngga mungkin. Aku ngga mau jadi istrinya. TIDAAAAKKK!!!"
"Dek.. dek.. bangun."
Freya terjaga dari tidurnya ketika merasakan tepukan di lengannya. Wajah security berkumis tebal langsung menyapa indra penglihatannya begitu gadis itu membuka mata. Dengan cepat Freya menegakkan tubuhnya. Dia mengusap peluh yang membasahi dahinya.
"Kenapa dek? Tadi saya dengar teriak-teriak."
"Habis mimpi buruk, Pak. Saya baru aja dinikahi jin peyot."
"Hahaha.. ada-ada aja. Makanya kalau mau tidur baca doa dulu."
"Iya, Pak. Makasih udah bangunin saya. Sekarang jam berapa ya?"
"Jam setengah lima subuh."
Security tersebut segera meninggalkan Freya yang masih duduk terpaku di sofa. Gadis itu bisa bernafas lega kejadian mengerikan tadi hanyalah mimpi. Dia segera mengambil traveling bagnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Lebih baik mandi sekarang, di saat belum banyak yang menggunakan kamar mandi.
Setengah jam kemudian Freya sudah selesai mandi. Tubuhnya sudah segar dan wangi. Dia bergegas menuju mushola di basement untuk menunaikan ibadah shalat shubuh. Selesai shalat Freya berpindah ke ruang tunggu yang ada di dekat mushola. Beberapa keluarga pasien sudah berada di sana. Mengobrol sambil meminum kopi atau menonton televisi.
Ketika langit mulai cerah, Freya keluar dari rumah sakit. Dia hendak mencari penjual makanan. Setahunya harga makanan yang dijual di dalam rumah sakit, harganya lumayan mahal. Freya harus berhemat kalau tidak mau uangnya cepat habis.
Setelah berjalan sekitar dua ratus meter, Freya menemukan penjual nasi uduk. Gadis itu segera memesan satu porsi nasi uduk dengan gorengan. Tak lupa membeli teh manis hangat untuk teman makan. Freya memilih memakan sarapannya di meja yang disediakan pedagang. Dengan cukup lahap Freya menghabiskan makanannya. Rasa nasi uduk Jakarta memang berbeda rasanya dari nasi uduk yang dijual pedagang di Bandung. Menurut Freya rasa nasi uduk Jakarta lebih nikmat.
"Berapa, Bu?"
"Nasinya tadi tambah telor balado ngga?"
"Ngga, Bu. Cuma tambah gorengan aja dua. Terus teh manisnya satu."
"Semuanya jadi dua belas ribu."
Freya mengambil dompetnya lalu mengeluarkan selembar dua puluh ribuan. Setelah mendapatkan kembalian, gadis itu berjalan kembali ke rumah sakit. Selama belum tahu akan pergi kemana, Freya memutuskan tinggal di sana untuk sementara.
Petugas cleaning service nampak sedang mengepel lantai di lobi. Tak ingin mengganggu, Freya memilih menuju ruang tunggu pendaftaran. Dia meletakkan traveling bagnya di sebelah kanan, lalu mengeluarkan ponselnya. Ketika mengambil ponsel, dia melihat earphone bluetooth yang diberikan Devan padanya.
Dilihatnya earphone wireless berwarna hitam tersebut. Setahu Freya harga merk earphone tersebut sangat mahal. Iseng ingin tahu betapa harga earphone tersebut, Freya mengetikkan tipe earphone tersebut di kolom pencarian mbah Gugel. Matanya membelalak saat tahu harga perangkat elektronik tersebut.
"What? Harganya dua juta lebih? Astaga dia ngasih barang mahal ini gitu aja ke gue. Emang kalau horang kayah mah beda. Eh lumayan juga nih, kalau kehabisan uang, bisa dijual. Eh jangan dong, ini kan kenang-kenangan dari tuh cowok jutek," Freya bermonolog sendiri.
Freya masih asik dengan ponselnya. Sekarang dia tengah mencari informasi tentang pekerjaan. Kalau harus menetap di Jakarta, tentunya dia harus memiliki pekerjaan. Biaya hidup di kota metropolitan ini cukup tinggi. Harus kerja keras kalau mau sukses di Jakarta. Kalau tidak, mungkin Freya hanya menjadi penghuni kolong jembatan saja.
Di tengah keasikannya berselancar dengan ponselnya, datang dua orang wanita. Mereka mengambil tempat yang tak jauh dari Freya. Usia wanita itu sudah cukup matang. Mereka menjadi penghuni tetap rumah sakit karena harus menunggui anak mereka yang terkena penyakit kanker.
"Katanya hari ini jadi ya acara buat anak-anak pengidap kanker," ujar salah satu Ibu.
"Iya. Setelah diundur dua kali, akhirnya jadi juga."
"Alhamdulillah, akhirnya ada bantuan buat kita-kita."
"Rumah singgahnya juga sudah jadi. Mungkin tiga hari opening. Kita bisa tinggal di sana selama pengobatan anak."
"Iya, Alhamdulillah. Pemilik Kharisma Group memang terkenal dermawan."
"Yang datang nanti siapa aja?"
"Kalau ngga salah, Bu Anne dan dan adiknya, Bu Astri yang datang."
"Ngga sabar pengen ketemu orang baik seperti mereka."
Telinga Freya dengan jelas menangkap pembicaraan kedua ibu tersebut. Mendengar kata Kharisma Group, dia jadi ingat berkas yang kemarin ditemukan olehnya. Devan juga bekerja di sana. Freya segera mengetik Kharisma Group di kolom pencarian. Dia terkejut saat tahu kalau Devan adalah anak bungsu pemilik perusahaan raksasa tersebut. Dia hanya memiliki satu orang Kakak yang sekarang sedang berada di Macau untuk mengurus salah satu perusahaan mereka.
"Pantes aja, doi orang tajir ternyata. Pak Devan, sepertinya kita akan bertemu lagi. Mohon maaf, Bapak akan menjadi jaminan hidupku selama berada di Jakarta. Ah.. rejeki emang ngga kemana," lagi-lagi Freya bermonolog.
***
Buat readers yang bingung gift nya kebagi, silakan kirim ke Indra Ke-6 aja dulu, karena novel ini belum kontrak. Perjalanan kontrak masih jauh, harus 20 episode baru bisa ajuin kontrak. Makasih🙏🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!