NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Luka

-

Ritsu Alexandra, seorang perempuan berusia 24 tahun dengan tubuh mungil. Mata hazel nya yang indah, bulu mata lentik nya, dan bibir merah muda alami membuat nya terlihat lembut dan rapuh. Namun di balik paras nya yang manis, hidup Ritsu jauh dari kata bahagia.

Leandro atau biasa di panggil Lean adalah pria berusia 27 tahun dengan tubuh atletis dan sorot mata tajam yang menusuk. Bulu mata nya yang lentik sama sekali tidak mencerminkan kepribadian nya.

Lean adalah seorang mafia kelas kakap, terkenal dengan sifat kejam dan tak kenal ampun. Membunuh musuh-musuhnya bukan lah hal sulit bagi nya.

Ritsu dan Lean adalah sepasang suami-istri. Namun pernikahan itu jauh dari cinta. Lean menikahi Ritsu hanya untuk membalas dendam masa lalu yang menghancurkan keluarga nya.

Semua bermula dari perselingkuhan yang terjadi bertahun-tahun silam. Pedro, ayah Lean yang berselingkuh dengan Ruka, ibu Ritsu, yang saat itu sudah berstatus janda.

Ruka adalah cinta pertama Pedro, begitu pun sebalik nya. Namun hubungan terlarang itu membawa petaka. Meira, ibu Lean yang tak kuasa menanggung rasa sakit, memilih mengakhiri hidup nya di depan mata Lean kecil yang saat itu baru berusia 10 tahun. Sejak saat itu, dendam terpatri dalam diri Lean dan membawa nya pada jalan yang gelap.

Kini, lima bulan sudah Ritsu menjadi istri Lean. Hidup nya tak ubah nya seperti tawanan. Ritsu di kurung di dalam mansion megah milik Lean tanpa pernah sekali pun menghirup udara kebebasan. Bahkan ketika sakit, dokter di panggil langsung ke mansion. Semua kebutuhan nya tercukupi, tapi bagi Ritsu, itu tak berarti apa-apa. Dia hanya ingin satu hal: kebebasan.

Bagi Lean, Ritsu adalah objek pelampiasan amarah dan hasrat. Kesalahan kecil pun berujung pada siksaan. Namun Ritsu tak pernah menyerah, meski hidup nya terasa bagai mimpi buruk yang tak berujung.

...🔹🔹🔹💠💠💠💠💠💠🔹🔹🔹🔹...

Ritsu terbaring di atas kasur berukuran besar, menatap kosong langit-langit kamar yang tampak suram. Seluruh tubuh nya terasa lelah, hati nya lebih lelah lagi. Dari dalam kamar mandi, suara air terdengar jelas. Lean baru saja selesai mandi. Tak lama kemudian, ia keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang nya.

“Aku ingin cerai.” Suara Ritsu datar, nyaris tanpa intonasi. Namun kalimat itu cukup membuat langkah Lean terhenti.

Tatapan Lean berubah dingin. “Tidak akan pernah terjadi,” jawabnya singkat, penuh ketegasan.

Ritsu menghela napas panjang. Mata nya menerawang. “Aku sudah lelah,” bisik nya lirih. Suara nya terdengar seperti retakan kecil dari kaca yang hampir pecah.

Lean mendekat, menyipitkan mata tajam nya. “Sampai akhir hayat ku, aku tak akan melepaskan mu. Kamu harus merasakan apa yang ibu ku rasakan,” ucap nya dingin, nyaris tanpa emosi.

“Itu salah ibu ku, bukan salah ku!” Kali ini, suara Ritsu sedikit meninggi.

Lean tersenyum sinis. “Tapi kamu adalah darah dari perempuan murahan itu.”

Plakk..

Suara tamparan bergema di kamar yang sunyi. Ritsu menatap Lean dengan mata berkaca-kaca, tangan nya memegangi pipi yang memerah. Meski tubuh nya lemah, ia tetap berani membuka suara.

“Kamu boleh menghina aku, memukul aku, menyiksa ku sesuka mu. Tapi jangan pernah menghina ibu ku !” suara nya bergetar namun penuh ketegasan. Air mata mulai jatuh, membasahi wajah nya yang pucat.

“Seburuk apa pun ibu, dia lah yang melahirkan ku, merawat ku saat aku kehilangan sosok ayah ku. Aku hanya punya dia... hanya dia. Jadi jangan pernah kamu menghina ibu ku!” Kini isakan nya pecah.

Lean mematung sejenak. Tatapan nya yang tajam berubah gelap. “Berani sekali kamu menampar ku,” desis nya penuh amarah.

Ritsu mendongak, tatapan nya tidak gentar meski air mata masih berlinang. Lean berbalik, berjalan menuju lemari tempat ikat pinggang hitam nya tergantung. Jari-jari kasar nya meraih benda itu, lalu ia mendekati Ritsu dengan langkah berat.

“Kamu perlu di hukum,” suara nya datar, tetapi jelas membawa ancaman.

Suutt..Tali pinggang itu menghantam punggung Ritsu. Tubuh nya tersentak.

“Aaakh!” Rasa perih menjalari kulit nya. Ritsu menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit. Satu, dua, tiga kali, sabetan itu terus mendarat di tubuh mungil nya.

Di sela isak tangis dan nyeri yang menyiksa, Ritsu hanya bisa memejamkan mata. Ini bukan pertama kali nya, dan ia tahu ini tidak akan menjadi yang terakhir. Perlahan, tubuh nya mulai terbiasa dengan rasa sakit itu. Namun hati nya? Tidak. Hati nya lah yang paling terluka.

-

Ritsu duduk di balkon kamar nya yang luas. Tatapan nya kosong, menembus pemandangan di luar sana. Di bawah, para maid dan penjaga kebun sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Semuanya tampak normal bagi mereka, tetapi bagi Ritsu ,itu adalah pemandangan kebebasan yang tak bisa ia miliki.

Keinginan nya untuk keluar dari mansion ini begitu besar, namun seolah hanya menjadi mimpi yang tak pernah menjadi nyata.

“Non, ini makan nya di makan dulu, ya,” suara lembut Bi Lina memecah lamunan nya. Bibi setengah baya itu datang membawa nampan berisi sepiring nasi dan lauk sederhana.

“Tidak, Bik. Saya nggak selera makan,” ucap Ritsu lirih tanpa menoleh.

“Non, makan sedikit aja, buat ganjal perut. Jangan begini terus, ya?” pinta Bi Lina dengan nada penuh perhatian.

Ritsu menoleh, menatap Bik Lina dengan sorot mata yang lelah. “Iya, Bik. Nanti aja,” jawab nya pelan.

Bibi Lina menghela napas berat, lalu duduk di samping Ritsu . Ia menatap gadis itu dengan penuh kasih sayang. Bik Lina adalah satu-satunya orang yang mempedulikan Ritsu di mansion ini. Baginya, Ritsu sudah seperti anaknya sendiri.

“Bibik tahu perasaan Non. Tapi Non harus sabar, ya? Jangan pernah putus asa.” Suara Bik Lina terdengar lembut, namun sarat dengan kepedulian.

“Tapi, Bik...” Suara Ritsu bergetar.

“Ritsu nggak tahan ngadepin sifat Lean. Dia terlalu temperamental. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit hukuman.”

“Non, kuatkan hati, ya? Tuhan pasti buka jalan.” Bik Lina menepuk lembut bahu Ritsu , mencoba memberi kekuatan.

Ritsu hanya mengangguk lemah. “Iya, Bik. Terima kasih...”

“Ya sudah, Bibi keluar dulu, ya. Masih banyak pekerjaan.”

“Iya, Bik,” sahut Ritsu singkat. Bibi Lina pun keluar dari kamar, meninggalkan Ritsu seorang diri.

Ritsu kembali masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh mungil nya di atas kasur king size yang terasa dingin dan sunyi. Mata nya menatap langit-langit, namun pikiran nya berkecamuk.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, suara itu membuat Ritsu refleks bangkit dan menoleh. Sosok lelaki yang paling di benci nya muncul di ambang pintu. Lean.

Ritsu melihat bercak darah samar di bagian kerah dan lengan baju lelaki itu. Seperti biasa, kehadiran nya membawa hawa dingin yang membuat bulu kuduk Ritsu meremang.

“Habis bunuh siapa lagi kamu?” tanya Ritsu sinis, suara nya penuh kebencian.

“Bukan urusan mu,” jawab Lean dingin tanpa memandang Ritsu sedikit pun. Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi.

Ritsu mendengus, menggumam pelan, “Manusia keras kepala...”

Tiba-tiba suara Lean terdengar dari balik pintu kamar mandi, nadanya tajam. “Gue denger itu. Apa lo mau gue hukum lagi, hah?”

Ritsu mendelik ke arah kamar mandi. “Ish, manusia paling nyebelin di muka bumi ini!” gumam nya kesal, kali ini lebih pelan.

Air dari kamar mandi mulai terdengar deras. Ritsu kembali merebahkan tubuh nya, menatap kosong ke arah jendela. Pikiran nya di penuhi pertanyaan yang sama: Kapan mimpi buruk ini akan berakhir?

...****************...

Seperti biasa Ritsu terbaring di atas kasur king size nya, tubuh nya kaku, sementara pikiran nya terus berputar. Air mata mengalir membasahi kedua pipi nya yang pucat.

“Mama, Papa... Kenapa hidup Ritsu jadi seperti ini? Ritsu nggak kuat...” bisik nya lirih di tengah isak tangis yang tertahan.

-

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Lean muncul dengan wajah datar seperti biasa nya. Tatapan nya dingin, seperti pisau yang menusuk ke dalam hati Ritsu.

“Tidak ada yang perlu kau tangisi,” ucap Lean singkat, tanpa sedikit pun rasa simpati.

Ritsu menatap nya, mata nya yang sembab memperlihatkan betapa lelah dirinya.

“Aku lelah, Lean. Aku ingin keluar... hanya sekali saja. Aku ingin lihat dunia di luar sana. Apa itu terlalu sulit bagi mu?” suara nya bergetar, nyaris putus asa.

Lean hanya diam. Tatapan nya kosong seakan ucapan Ritsu tak pernah ada artinya.

“Lean... sekali saja, aku mohon,” pinta Ritsu penuh harap.

“Tidak.” Jawaban nya tegas, tanpa keraguan.

“Please!” Ritsu mencoba lagi, suara nya lebih memelas.

Lean menatap nya tajam, lalu menjawab dengan nada dingin. “Aku bilang tidak, Ritsu.”

Ritsu hanya bisa terdiam, menundukkan kepala nya dengan pasrah.

“Aku butuh kamu... untuk menyalurkan hasrat ku,” lanjut Lean tanpa ekspresi.

Keesokan paginya

“Engh...” Ritsu terbangun dari tidur nya. Kepala nya terasa berat, dan tubuh nya masih terasa lelah. Saat mata nya terbuka, ia mendapati Lean berbaring di samping nya dengan mata yang masih terpejam. Wajah lelaki itu tampak tenang dalam tidur nya, berbeda jauh dari sikap dingin dan kasar yang selalu di tunjukkannya.

Ritsu menatap wajah Lean dalam diam. Jarinya bergerak, menyentuh wajah lelaki itu dengan lembut. “Kenapa kamu begitu kejam padaku, Lean?” bisik nya lirih.

Tangan nya beralih ke leher Lean, tepat di bagian jakun nya yang menonjol

“Hihi... lucu,” gumam Ritsu, jemari nya dengan polos memegang jakun itu.

“Kenapa perempuan nggak punya seperti ini, ya?” tanya nya pelan sambil menatap nya penuh rasa ingin tahu.

Tiba-tiba suara berat Lean terdengar. “Karena hanya laki-laki yang punya jakun, bodoh!” ucap nya dengan mata yang masih terpejam.

Ritsu terdiam kaku. Jantung nya berdegup kencang, dan dengan cepat ia menarik tangan nya menjauh.

“Puas memegangi wajah ku, hah?” tanya Lean sambil membuka sebelah mata nya. Salah satu alisn ya terangkat, seakan mengejek.

“Maaf...” cicit Ritsu, suara nya nyaris tak terdengar. Dengan cepat, ia membalikkan badan, memunggungi Lean. Rasa takut menyelimuti diri nya setiap kali berhadapan dengan mata elang lelaki itu.

Lean tidak menanggapi. Tanpa bicara lagi, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan masuk ke kamar mandi.

Tak lama kemudian, Lean keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Ia mengenakan kaus hitam, lalu berbalik menatap Ritsu yang masih memunggungi nya.

“Jangan lupa makan. Kata Bik Lina, kau belum makan sama sekali,” ucap Lean dingin sambil menyisir rambut nya dengan jari.

Ritsu menoleh sedikit, menatap Lean dengan tatapan bingung. “Tumben sekali kamu peduli pada ku,” gumam nya pelan.

Lean menatap nya sekilas, lalu menjawab tanpa emosi, “Aku hanya tidak ingin kau sakit. Kau cuma akan merepotkan saja.”

Ritsu mendengus pelan. “Ya, ya...” sahut nya malas.

“Aku ada urusan sebentar. Jangan lupa makan,” ucap Lean sebelum beranjak pergi. Dengan langkah tegas, ia meninggalkan kamar, menutup pintu di belakang nya.

Ritsu menatap pintu kamar yang tertutup rapat. “Tumben sekali dia perhatian... dan pamit kalau mau pergi,” gumam nya pelan. “Biasa nya dia pergi begitu saja.”

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi sambil bergumam, “Alah, bodo amat. Mending mandi aja.”

Perlahan, ia masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan ruangan itu yang kembali sunyi. Bagi Ritsu, momen kecil seperti ini saat Lean tidak ada di hadapannya adalah satu-satunya saat ia bisa merasa sedikit tenang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!