Di tengah-tengah desa yang sunyi, terdapat sebuah rumah yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon-pohon hijau. Rumah itu terlihat sederhana, namun memiliki keasrian yang tidak dapat disangkal. Atapnya yang berwarna merah, terlihat kontras dengan warna hijau yang dominan di sekitarnya.
Di halaman rumah, terdapat beberapa pohon buah yang rindang, seperti pohon mangga, pohon rambutan. Bunga-bunga yang berwarna-warni, seperti bunga mawar, bunga melati, dan bunga kamelia, juga terlihat bermekaran di sekitar rumah.
Suara burung-burung yang berkicau, dan suara air yang mengalir dari sumur yang terletak di belakang rumah, menambah kesan damai dan tenang di tempat ini. Udara yang segar dan bersih, juga membuat suasana di rumah ini terasa sangat nyaman.
Di dalam rumah, terdapat beberapa ruangan yang sederhana, namun memiliki kehangatan yang tidak dapat disangkal. Ruang tamu yang luas, dengan meja dan kursi yang sederhana, terlihat sangat nyaman untuk bersantai. Kamar tidur yang kecil, dengan tempat tidur yang sederhana, terlihat sangat nyaman untuk beristirahat.
Rumah ini benar-benar merupakan tempat yang ideal untuk menikmati keasrian pedesaan, dan untuk melupakan kesibukan dan kepenatan hidup di kota.
Saat malam tiba, Resa bersiap-siap pergi ke rumah Hadijah karena di tempat neneknya banyak pembeli yang berdatangan. Sebenarnya tidak masalah dan harus disyukuri, tapi yang Resa tidak sukai ialah mayoritas pembelinya para pemuda di kampung itu. Padahal dirinya sedang berlibur dan melepas rindu, sayangnya, dia kurang nyaman.
"Nek, aku mau menginap di rumah Wa Ijah saja, ya," izin Resa pada sang nenek yang masih sibuk melayani pembeli.
Raut penuh keriput sang nenek nampak sedih, tapi tetap tersenyum pada pembeli yang akan membayar. Diliriknya sang cucu yang sudah siap dengan tas di pundak. "Kenapa, Nak? Gak di sini aja? Belum sehari di sini kamu udah mau ke rumah wa mu."
"Maaf, Nek, kalau malam gini kan sering banyak pembeli yang berdatangan. Apa lagi kebanyakannya laki-laki. Aku kurang nyaman ...," jelas Resa dengan tampang wajah memelas nya.
" Ya sudah,pergilah.jangan tidur malam-malam"
Gadis itu menyunggingkan senyumnya,lalu mengangguk dengan cepat.kemudian pergi dari kediaman sang nenek.
Saat keluar dari rumah, Resa bertemu dengan pria yang berada di warung malam kemarin. Sosok tersebut mengangguk tersenyum menggoda padanya. Namun Resa hanya menundukkan kepala sambil berjalan tergesa-gesa, karena tak nyaman saat diperhatikan seseorang seperti itu.
"Wa, buka pintu nya, aku takut," Resa menggedor pintu sambil mengedarkan pandangannya.
"Kenapa Res, gak akan ada apa-apa. Ini belum terlalu malam, masih banyak orang berlalu-lalang," Khadijah menjelaskan setelah membukakan pintu untuknya.
Resa hanya tersenyum cengengesan. "Heheheh..... Takut wa," kilahnya.
"Ayo masuk," perintah Khadijah
Resa pun melenggang pergi mendekati Wa Ijah yang sedang berbaring di ruang tengah sambil menonton TV.
"Wa, aku nginep disini boleh ya?" ijin Resa sambil menghampiri wa-nya.
"Gak perlu ijin lah Res. Kamu ini kaya sama siapa aja, sini.?"
"Gak perlu ijin lah, Res. Kamu ini kayak sama siapa aja, sini?" Lalu dia memejamkan matanya dan tertidur lelap.
Allahuakbar, allahuakbar.... Adzan subuh berkumandang, memecahkan kesunyian malam.
"Res, bangun, udah subuh," bisik Ijah pada telinga Resa dengan lembut.
Resa menggeliat dari tidurnya, masih terasa kantuk. "Hemmm... Bentar lagi, wa, disini dingin banget," sambil menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya.
Setelah melaksanakan sholat subuh,Dijah pergi ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Setelah beres, ia menghampiri Resa di ruang tengah.
"Res, udah sholatnya?" tanya Ijah.
"Udah, wa," jawab Resa yang masih menelungkupkan badannya di atas sajadah karena merasa kedinginan.
"Di pegunungan mah udaranya sejuk banget, yah? Padahal dulu pernah tinggal di sini deh, tapi kayanya gak sedingin ini," pikir Resa saat merasakan semilir angin menerpa tubuhnya.
*******
Di tempat lain, Tina sedang duduk di pos ronda dengan wajah murung, sambil mengayun-ayunkan kaki. Di sampingnya, sang adik hanya menatap diam dengan pandangan kosong.
Tanpa disadari, ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka dari kejauhan.
"Ceng, liat deh. Kira-kira tuh anak kenapa, yah? Aku perhatiin, sering banget diam di pos ronda!" tanya Hasan yang penasaran pada kedua anak yang berada di pos ronda tersebut.
Aceng pun menghampiri temannya dan melihat orang yang dimaksudnya, lalu berkata, "Mana? Oh, mereka temannya si Bila itu. Memangnya kenapa? Gak ada kerjaan aja kamu san, merhatiin anak orang."
Imbuh Aceng merasa heran setelah menengok orang yang dimaksud.
"Yah, gak papa, Ceng, nanya aja. Soalnya aku sering liat mereka di situ, tapi bukan itu masalahnya, Ceng," kata Hasan.
"Terus, apa?" tanya Aceng.
"Itu loh. Aku perhatiin raut mukanya ko kaya yang sedih gitu, yah. Akh, iya, bukannya mereka anak-anak yang sering ibumu ceritain, yah? Yang ibunya udah meninggal itu, Ceng?" tanya Hasan.
"Hemmm..." jawab Aceng mengangguk.
"Ck, kamu mah, Ceng, di tanya itu ko jawabnya cuman ngangguk-ngangguk aja. Gak asik, bener," imbuh Hasan sambil melayangkan tangan menimpuk bahu temannya pelan.
"Lah, terus. Harus gimana? Masa harus samperin mereka buat menghibur gitu?" tanya Aceng.
"Hahahaha... Boleh, boleh. Ide kamu bagus juga. Sana samperin, ajak sini, siapa tahu butuh teman bercerita," usul Hasan pada temannya.
"Gila, ente aja sana, kalau mau," tolak Aceng merasa enggan.
"Halah, ribet, bener, Ceng. Suruh aja si Bila yang hibur mereka sana, lagian mana mau mereka cerita ke ana, kenal juga enggak," imbuh Hasan, kemudian memanggil Sabila yang kebetulan melintas di hadapannya.
"Bil, Bila, sini!" pinta Hasan melambaikan tangan pada adik temannya.
"Ada apa, Kang?" tanya Bila mendekat.
"Itu teman kamu kan?" lalu Sabila melirik ke arah yang ditunjuk Hasan, yang berdiri di balkon rumahnya. Kemudian mengangguk tanda mengiyakan.
"Ajak main sana, pagi-pagi udah mendung aja tuh muka, butuh hiburan itu," kata Hasan.
"Hah..." jawab Sabila yang belum paham maksud dari teman kakanya itu.
"Mendung gimana, Kang? Itu matahari udah bersinar cerah kali," kata Sabila.
"Hahaha... Dasar bocah, kagak ngerti peribahasa ternyata," imbuh Hasan yang masih tertawa.
Setelah memikirkan pernyataan Hasan, Sabila baru mengerti maksud dari perkataannya. Dirinya segera bergegas menghampiri keberadaan Tina.
"Door..." suara Bila menggema di telinga Tina yang lagi bengong, sampai-sampai dirinya terperanjat dari tempat duduknya.
"Door... Eh, door, door..." latah Tina saat dirinya dikagetkan oleh temannya.
"Hehehe... Kaget ya? Kaget dong! Masa enggak?" ucap Bila sambil menunjukkan jari ke arah Tina dan Dian bergantian. Namun, Tina hanya mendelik kesal tak banyak merespon keusilan temannya.
"Diem dah, lagi gak mood aku," keluh Tina berbalik menatap adiknya.
"Ya elah, pagi-pagi udah gegana. Kenapa? Kangen sama Teh Resa?" tanya Bila menyelidik.
Namun, keduanya masih diam membisu. Bila mengetuk-ngetuk jari tangan ke jidatnya seraya berpikir, lalu mengajukan pertanyaan yang lain.
"Mm, di marahin ibu tirimu, yah? Atau berantem sama saudara ketemu gede mu?" Tina dan Dian pun mengangguk dengan tatapan sedihnya.
"Ah, yah... Yang sabar, yah, dari pada duduk bersedih gini, mendingan ikut aku kerumah, yuk, kita cerita bareng atau... kalau kamu gak mau, kita main aja seperti biasa. Mau?" ajak Bila mencoba menghibur keduanya.
Setelah lama saling tatap, akhirnya mereka menyetujui ajakan Sabila dan pergi menuju rumahnya.
"Res, mau ikut gak? Teteh disuruh bantuin panen padi ini. Sebenarnya malas sekali, tapi disuruh menyusul ke sawah," tanya Rima.
"Hehehe... Yah, udah pergi aja sana," jawab Resa.
"Ya, makanya kamu ikut yuk," pinta Rima.
"Males lah, teh, takut item aku kalau kelamaan berjemur di sawah," keluh Resa cengengesan.
Tanpa dia ketahui, di halaman ada seseorang yang sedang memperhatikan gerak-geriknya. Rima pun menyadari keberadaan pria tersebut.
"Res, gimana? Sama cerita Nenek kemarin, kamu belum jawab loh," tanya Rima.
"Jawab apa, teh?" tanya Resa.
"Itu tuh pria yang membawa pistol untuk berburu ke gunung. Dari tadi ngeliatin kamu terus. Katanya, dia suka sama Kamu." tunjuk Rima dan menjelaskan dengan senyum usilnya.
Resa pun melirik ke arah yang ditunjuk Rima, kebetulan kaca rumah Neneknya tembus pandang, jadi siapa saja yang berada di luar bisa melihat keberadaan orang di dalam maupun keluar rumah.
Dia merinding sambil mengedikan bahunya, saat mengingat perbincangan dengan neneknya kemarin, bahwa dirinya telah dilamar seseorang, namun Resa tak begitu menanggapi pernyataan dari sang nenek, dan setelah mengetahui orangnya, tambah tak suka lah dia.
"Ogah, aku. Kaya gak ada pemuda aja, harus nikah sama duda. Yang mau kan banyak, lagian aku masih kecil, belum ada rencana nikah muda," tolak Resa sambil berlalu ke arah dapur.
Ternyata Nenek menyimak perbincangan mereka, lalu menasehati cucunya.
"Is... Anak gadis gak boleh bicara frontal gitu, gak baik, pamali, bisa jadi do'a. Apa lagi kalau orangnya dengar dan tidak terima sama ucapanmu itu," kata Nenek.
Gadis remaja itu hanya acuh tak menghiraukan ucapan neneknya, meskipun dalam hati dirinya merasakan takut karena perkataannya barusan. "Ach, mending main aja, dari pada pergi ke sawah takut gatal-gatal. Kemaren kan udah janjian mau jalan-jalan," pikir Resa berlalu pergi dari rumah neneknya.
"A Jack, lagi ngapain? Jadikan kita jalan. Hayo, jangan bohong loh, aku udah mandi ini siap OTW," tanya Resa setelah menghampiri sepupunya itu.
"Ach... Ingat ajah loe, gue kan iseng ngajakin lo jalan. Biar gak jadi nangis semalam," elak Jack.
"Yah, gak asik, masa harus ikut Teh Rima ke sawah sih?" keluh Resa menatap sendu pada sepupunya.
"Ya elah, ayo. Jangan cemberut gitu. Jelek tau, kaya bebek. Tapi... cuman pergi ke tempat teman aja gimana. Mau gak?" ajak Jack sambil menghidupkan motornya.
"Iya, a, gak apa. Yang penting! Aku bisa menghindar dari si duda itu," ucap Resa sambil naik ke atas motor.
"DUDA?" tanya Jack.
"Maksud kamu apa, siapa yang kamu hindari?" tanya Jack lagi.
"Mmmmm.... Itu anu a," ucap Resa kebingungan.
"Tanya aja sama Wa Ijah nanti. Males bahas itu," Resa enggan menjawab pertanyaan kakaknya, karena merasa kesal dengan orang yang sedang ia bahas.
Ternyata berada di toko yang mereka lewati. "Jack" sapa seorang pria di seberang jalan.
"Eh, iya," saut Jack seraya memelankan motor.
"Nantilah kesana... ada perlu sebentar," teriak Jack seraya menjalankan motor kembali.
Pria itu hanya menganggukkan kepalanya sambil menatap motor yang melaju. Lain halnya dengan pria yang sedang duduk di sebelahnya, dia hanya memandang Resa penuh damba.
"Res, kamu masih ingat sama dia? Yang barusan itu kakanya teman sekolah SD mu dulu!" tanya Jack.
"Eummmm, dia? Yang dulu sering bantu ngajar mengaji di madrasah, ya?" tebak Resa.
"Iya, itu kamu masih ingat," jawab Jack.
Resa hanya menganggukkan kepala, sepertinya malas meladeni pertanyaan Jack. "Kamu kenapa, Res? Ko lesu gitu. Kayanya tadi semangat bener ngajakin jalan, kenapa sekarang BT?" tanya Jack lagi.
"Itu a, dia yang ingin aku hindari tadi berada di toko yang barusan kita lewati. Males deh aku liatnya," keluh Resa menekuk wajahnya.
"Walah,dia toh yang mau sama kamu," kata Jack sambil tersenyum usil.
"Kenapa gak mau sama dia, Res? Nanti, kamu jadi prang kaya baru kalau mau sama dia," tanya Jack.
"Ogah.." jawab Resa cepat.
"DUREN loh, duda keren. Beuh... tajir banget, Res," kata Jack.
"Ck... Udah deh, a. Jangan bahas dia mulu. Sebal aku," pinta Resa sambil memalingkan muka.
Sedangkan Jack hanya menggelengkan kepala, seraya menatap Resa dari kaca spion. Motor pun berhenti setelah sampai di tempat tujuan.
Setelah menghentikan motornya, Jack meminta sang adik untuk menunggunya. "Kamu tunggu disini bentar ya. Jangan kemana-mana," titah Jack.
"Iya, iya, cepetan sana. Jangan lama-lama," kata Resa.
Jack pun bergegas menemui temannya. "Woy... Mana bayaran gue?" pinta Jack pada teman yang sedang nangkring di halaman rumahnya.
"Eh, Jack, iya, sini..." ucap temannya sambil melambaikan tangan agar mendekat.
"Bawa siapa, bro, pacar?" tanya temannya balik.
Jack hanya menjawab dengan tawa kecil agar sepupunya tak kena usilan temannya juga.
"Ini.." sodor pria tersebut memberikan uang pada Jack.
"Gak mau ngenalin cewek yang kamu bawa itu, Jack?" tanyanya sambil menunjuk ke arah Resa yang berdiri di samping motor.
"Halah, jangan coba-coba ya. Ketahuan si Santi, bahaya loh," ucap Jack seloroh.
Berpamitan pada temannya itu, Jack kembali ke Resa. "Ayo, dek, naik. Kamu mau pergi ke perkebunan teh di Gunung Ci Maras itu, gak?"
"Nggak, a, pulang aja deh. Aku lagi gak mood main," jawab Resa.
"Beneran ini?" tanya Jack memastikan lagi.
"Bener, a. Ayo, jalan. Tapi, pulangnya jangan lewat toko yang tadi. Males aku kalau harus ketemu si duda itu," pinta Resa.
"Gak ada jalan pintas, Res. Kita hanya bisa melewati jalan yang tadi," jawab Jack.
Resa pun hanya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Ya, udah deh, cepat jalan. Besok-besok, gak mau lagi aku pergi keluar," keluh Resa.
"Lah, kenapa? Bukannya pengen jalan-jalan? Ngapain liburan di sini, kalau hanya diam di rumah?" heran Jack sambil menjalankan motor.
Resa hanya menggelengkan kepala, malas. Jack menghentikan motor di halaman rumah. "Udah sampe. Sana, masuk. Aku mau ke tempat teman dulu," jelas Jack.
Resa turun dari motor dan berlalu masuk ke dalam rumah, gadis cantik itu duduk termenung. Pikiran nya terus berputar mengingat masa sulit yang dia lewati.
Dia senang bisa merasakan tinggal dekat bersama bapaknya, seperti yang dia inginkan. Tapi, tak bisa dipungkiri, gadis cantik itu haus akan kasih sayang yang tak ia dapatkan dari sang ibu. Sejak di usianya yang masih dini, ibunya meninggal karena penyakit paru-paru.
Apalagi saat tinggal bersama bibinya yang ringan tangan. Sekecil apapun kesalahan yang Resa lakukan, tidak ada ampun bagi dia. Resa hanya bisa pasrah dengan takdirnya.
Alih-alih mendapatkan kasih sayang dari bibi yang ia harapkan bisa menggantikan sosok ibu baginya, dia malah mendapatkan kekerasan di setiap hari yang ia lewati. Ditambah ucapan neneknya yang terngiang-ngiang waktu pagi tadi.
Dia menghembuskan napasnya berulang kali, berharap apa yang dia takutkan tidak akan terjadi di kemudian hari.
Lain hal dengan Tina yang sudah kembali ke mode periangnya, sedangkan Dian yang pendiam hanya jadi penyimak saja.
"Kang, mau tanya nih..." ujar Sabila saat kakak dan temannya menghampiri mereka.
"Boleh, tanya apa?" jawab Hasan sambil menjatuhkan bokongnya di atas kursi sebelah Sabila.
"Mmmm, singkatan dari perkedel apa, yah?" tanya Bila saat teringat pada menu sarapan nya tadi pagi.
"Persatuan kentang dan telur," jawab Hasan.
"Hahaha, iya juga, yah," imbuh Bila mentertawakan pertanyaan konyolnya, kemudian bertanya lagi.
"Kalau banjir?"
Hasan terdiam, lalu melirik pada Aceng yang di tanggapi dengan mengedik kan bahunya tak tahu.
"Mungkin... banyak njirrr," jawab Hasan.
"Ya Allah..." ucap Aceng yang mengusap tengkuknya, sedangkan Tina dan Dian sudah cekikikan di balik bekapan tangannya.
"Oh, kalau copet?" tanya Bila lagi.
"Comot dompet," jawab Aceng.
Hasan melirik pada Aceng dan berkata, "Masih musim, ya?"
Namun, di sela oleh pertanyaan Tina.
"Kalau Cuan?"
"Cari uang!" jawab Hasan.
"Wah, bisa aja jawabnya... Terus, kalau singkatan dari OTW apa?" tanya Bila lagi.
"Ok, tungguan we," jawab Hasan.
"Hahaha..." Akhirnya, tawa Tina pecah karena pertanyaan sepele dari Bila membuatnya terhibur dan melupakan kesedihannya.
Ke esok harinya, Tina sedang berkeliling menjual jajanan yang ia ambil dari tetangga sebelah. Berbeda dengan Irma yang sedang memikirkan keputusan nya untuk merantau lagi, juga Resa yang sedang meratapi nasibnya. Akan kah mereka menemukan kebahagiaan yang selama ini dinantikan nya?
"Cimol cimol..... Cimol hangat!" teriak Tina sambil berjalan mengitari perkampungan mencari Perkumpulan anak-anak biasa bermain.
"Hu'uh... Tina menghembuskan nafasnya karena merasa lelah. Semangat, tin! Jangan mengeluh, biar cepat habis jualan nya," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Setelah 2 jam berlalu, akhirnya dagangan yang ia jinjing habis terjual. Sambil bersenandung ria, ia berjalan melompat kecil.
"Akhirnya habis juga, bisa dapat uang jajan lebih ini. Lumayanlah, daripada cuman nunggu uang jajan yang mamah kasih." ucap Tina.
Saat sore tiba, ia bergegas mandi, menyambar handuk yang tergantung di luar. Setelah beres mandi, ia mengenakan pakaian dan mengenakan kerudungnya.
"Bisa-bisa telat ngaji ini, mana udah jam 4 lagi. Si Dian juga, bukan nungguin kakaknya, malah ninggalin. Mana Teh Resa belum pulang juga, gak ada yang ngasih tau kalau ada sesi tanya Jawa sama ustadzah," ucap Tina.
Saat tiba di madrasah, Tina dikagetkan dengan tepukan dari Wati dan Wanti. Mereka adalah adik kakak, anak yang ibu tirinya bawa dari pernikahan sebelumnya.
"Heh... Tina, kebiasaan ya kamu. Jam segini baru datang, ini kan jadwal piket kamu! Seharusnya datang lebih awal dong. Kita ini yang ngerjain semuanya. Minggu depan, kamu sendiri yang piket," ujar Wati sambil melenggang masuk ke dalam madrasah.
"Huh... dasar nyebelin," jawab Tina sambil menyusul masuk ke dalam.
Setelah pengajian usai, Tina dan Dian di cegat oleh Wati. "Heh... Kakakmu itu, tak tahu diri banget. So-soan liburan, yang lain juga enggak. Liat aja, pas dia pulang. Pasti dia kaget, karena 2 hari lagi ada pengajian gabungan di Pesantren Al-Kamal. Hanya dia sendiri yang belum belajar murottal. Kasian deh," ejek Wati sambil berlalu pergi.
"Apaan sih, sewot aja jadi orang, iri yah? Gak bisa liburan," ledak Tina pada kakak tiri nya dengan nada kesal.
sedangkan adiknya yang berada di samping Tina hanya diam dan tidak mengomentari perkataan Wati. Ia tahu bahwa Wati sering kali menyebalkan dan tidak perlu dihiraukan.
***
Di kediaman Nenek Rukayah, Rima dan Resa sedang mendiskusikan kepergiannya esok pagi. Rima sudah bertekad untuk bekerja lagi.
"Res, besok kakak antar kamu pulang ke rumah bapak. Setelahnya, baru kakak berangkat ke Bandung. Kamu baik-baik ya di sana. Jaga adik-adik kita," kata Rima sambil mengelus kepala Resa yang sedang bersandar di sampingnya.
"Iya, teh, insya Allah," jawab Resa.
"Kamu yakin mau kerja lagi, Rim?" tanya Nenek nya menghampiri kedua kakak beradik itu.
"Iya, Nek, biar cepat punya rumah sendiri," jawab Rima sambil melirik paman yang sempat menyinggungnya.
"Ya udah, kita berangkat, Nek. Assalamu'alaikum...." ucapnya mereka serempak.
"Iya, nak, wa'alaikumsalam... Hati-hati di jalan. Semoga selamat sampai tujuan," ujarnya.
Pukul 11.00 mereka pun tiba di Kota Intan. Hingga esok paginya, Rima dan suami berpamitan pada bapaknya untuk berangkat lagi ke Kota Bandung.
Setelah menjelang sore hari,ke lima gadis remaja itu berangkat ke MDT bersama.
"Teh, sekarang jadwal pengajian gabungan, di Pesantren Al-Kamal. Udah siap belum?" tanya Tina.
"Iya, semalam teteh d kasih tahu. Udah belajar juga, sama Bu Susi," jawab Resa pada adiknya.
"Iya, syukur deh kalau gitu," ucap Tina.
Sesampainya di Pesantren Al-Kamal, mereka masuk masjid. Sesuai arahan pendamping mereka, setelah pengajian usai, para santri dan santriwati berpamitan untuk pulang. Kebetulan pesantren tak begitu jauh dari kediaman para santri tersebut. Jadi mereka berpisah, pulang masing-masing.
Saat menuju gerbang keluar, Resa dan Tina celingukan, mencari teman-temannya yang lain, tetapi mereka sudah tidak ada. Hanya ada beberapa santri yang sedang berbincang, tak jauh dari tempat Resa dan Tina berdiri.
"Ayo, Tin, cepat! Kita sudah tertinggal yang lain," kata Resa sambil menyeret Tina pelan.
Sepasang mata memperhatikan kepergian Resa dan Tina barusan. Entah siapa gerangan, Resa hanya mempercepat jalannya, ia tak perduli dengan tatapan salah satu santri tersebut.
Pada siang hari, di sela kegiatan rutinnya, Resa menganyam bulu mata palsu. HP-nya berdering tanda pesan masuk.
(Assalamualaikum... Ini sama Resa, yah?)
(Waalaikumsalam... Siapa, yah?)
(Saya Afif, teman Jack.)
(Oh... Ko bisa tahu nomor HP saya?)
(Emmm... Ini dikasih sama Jack, maaf karena sudah lancang meminta nomor HP kamu tanpa bertanya dahulu.)
(Oh... Iya, a, Afif, gak apa-apa.)
(Bagaimana kabarnya? Kata Jack kamu sudah pulang ke kota, yah?)
(Alhamdulillah, kabar baik. Iya, a, Afif, Resa udah pulang.)
Balasnya lagi.
(Sofi titip salam sama kamu. Kamu masih ingat sama teman masa kecil mu, kan?)
(Waalaikumsalam... Iya, a, saya ingat.)
Balas Resa sambil bertanya-tanya, ngapain ni orang, tiba-tiba menghubunginya, kenal dekat juga nggak pikirnya.
Setelah menunggu beberapa saat, pesan itu tak ada lagi balasan. Resa menyimpan HP-nya dan melanjutkan kegiatannya. Sebentar lagi waktu ashar tiba, pekerjaannya harus segera diselesaikan.
Tepat pukul 05.00,ke lima gadis remaja itu sedang berkumpul di halaman rumahnya. Mereka sedang membantu nenek Nur, memasukan jagung hasil panennya dari kebun.
Tiba-tiba, ada seorang pemuda yang datang, menghampiri, dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum..." ucapnya.
"Waalaikumsalam," jawab Tina dengan mata berbinar. Sedangkan Resa, hanya acuh tak menanggapi kedatangan pria tersebut.
"Ehem..." Pemuda itu berdehem sambil melirik pada Resa.
"Nama kamu siapa?" tanyanya, namun yang ditanya masih diam membisu.
"Dia?" tunjuk Wati pada Resa, lalu memberi tahu "namanya Resa."
Pria itu pun hanya mengangguk. Pandangannya tak terlepas dari Resa.
"Neng, kalo ditanya itu dijawab loh," ucapnya, kemudian, dia memperkenalkan dirinya tanpa diminta.
"Kenalin, nama saya Hasan, saya santri dari Ponpes Al-Kamal. Kebetulan, saya teman dekatnya Aceng," ucap Hasan.
gadis remaja itu hanya mendelik, tak menghiraukan ucapan pemuda yang berdiri tak jauh dari tempat duduknya. Sedangkan Tina, terlihat menundukkan wajahnya. Padahal biasanya, dia yang selalu rame, kalau udah ketemu Hasan dan yang lainnya hanya mesem-mesem mendengarkan ucapan pria tersebut.
"Aduh, ceng, jutek ternyata," tanya Hasan sambil tertawa kecil pada Aceng yang entah dari kapan temannya itu sudah berdiri di belakang Hasan.
"Neng cantik juga sholehah. Calon makmumnya akang, boleh minta nomor HP-nya?" tanya Hasan sambil mengeluarkan HP dalam sakunya.
Deg... Tina mendongak menatap pada pria di depannya, hatinya bagai di tusuk duri. Saat orang yang di kagumi nya, malah menyukai kakaknya sendiri.
Namun, alih-alih memberikan nomor HP, Resa malah lari kocar-kacir ke dalam rumah. Dia merasa risih dengan sikap pria yang dengan berani mendatangi dirinya langsung, ke rumahnya pula.
Sedangkan di luar, yang semangat menyambut kedatangan nya itu, justru malah Wati,dia, memberikan nomor sendiri. Sedangkan Tina, hanya mengangguk dan tersenyum pada Hasan.
"Ini nomor nya, kang," kata Wati sambil menyebutkan nomor HP miliknya.
"Ya udah, gak papa, nanti. Kalau udah diizinin, tolong kirim nomor HP Resa, yah," ucap Hasan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian berpamitan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!