[Hi Guys Selamat Datang Di Karya Pertama Saya.
Selamat membaca dan semoga suka. Mohon bantuannya untuk support cerita ini]
Memasuki musim penghujan selalu saja disambut dengan langit gelap, kilatan petir, hingga tetesan air yang mulai turun tanpa ampun membasahi tanah. Menyirami bunga - bunga liar yang tidak dirawat juga membersihkan polusi udara yang belakangan ini sulit terkendali di kota besar seperti Jakarta. Aku memandang langit sesaat dari lorong sekolah sebelum melanjutkan langkah.
Di sekolah tempat favorit kapan saja aku butuh ketenangan adalah ruang musik. Aku berjalan memasuki ruang musik dan mulai mendekati piano besar yang terletak di sudut ruangan. Hari ini eskul musik terlalu sepi. Aku duduk di kursi yang tersedia dan mulai menekan tuts piano melantukan denting - denting nada indah yang menghipnotisku masuk ke dalam dunia lain. Fur Elise karya Beethoven mulai terlantun dari tuts piano yang aku tekan. Jemariku dengan lincah menari di atas piano. Hanya di tempat sepi aku bisa melepas perasaanku sebebas - bebasnya tanpa tekanan.
Sungguh aku mencintai musik. Aku lebih ingin menjadi pianis dari pada pewaris. Aku benar - benar tenggelam dalam musik yang aku lantunkan, hingga pintu terbuka dan menampakan sesosok lelaki tampan dengan seragam acak - acakan. Dia bertepuk tangan dengan heboh lalu tersenyum amat manis. Senyum yang membuat banyak orang tergila - gila padanya.
“Udah belum?”
“Sudah” Jawabku langsung menghentikan permainan piano ini dan berdiri dari kursi menghampirinya. “Uh, bau keringet” Protesku langsung ketika lengannya dengan santai merangkul pundakku.
“Namanya juga habis futsal” Jawas Ares - sahabatku dengan santainya. Ares dan aku sudah bersahabat sejak duduk di bangku pertama sekolah dasar. Lucunya Ares adalah tetangga sebelah rumah. Dia adalah tempat dimana aku berlari setiap butuh bantuan. Kami berbeda. Ares adalah seorang ekstrovert yang punya teman dimana - mana. Visual Ares pun benar - benar tampan dengan tubuh kurus jangkung. Lain dengan aku. Aku memiliki tubuh berisi dan tidak terlalu tinggi serta memakai kacamata tebal yang membingkai wajah gembulku. Banyak orang yang mengatakan kalau kami adalah versi sebaliknya dari seri princess beauty and the beast.
“Sana jauh - jauh nanti kita dikira pacaran” Aku mendorongnya pelan agar segera menjauh dariku.
Ares berdecak sebal. “Emangnya kenapa?”
“Kenapa apa?” Dahiku berkerut.
“Emang kenapa kalau dikira pacaran?”
“Nggak mau! Aku nggak mau pacaran sama sahabat aku sendiri” Aku menggeleng cepat - cepat.
“Emang gue jelek?”
“Nggak. Kamu ganteng, Ares. Aku cuma nggak mau pacaran sama kamu, karena kamu adalah sahabat paling baik yang aku punya selama ini. Jadi, jangan berubah”
Ares menepuk - nepuk puncak kepalaku yang hanya setinggi dada bidangnya. “Oke, sahabat” Katanya sambil mengambil langkah lebih dulu.
***
Aku punya alasan kenapa aku nggak suka bermain piano di rumah, karena papa menganggap kalau bermain piano tidak akan memberikan manfaat apapun untukku. Sejak dulu aku hanya harus meneruskan perusahaan yang susah payah dia besarkan. Perusahaan yang dia banggakan karena berhasil merubah hidup kami. Selain itu ini juga tentang mama yang sudah meninggal.
“Kenapa Rara harus keluar dari eskul piano?”
”Itu nggak bermanfaat buat kamu, Rara! Kamu nggak akan pernah jadi pianis. Kamu adalah pewaris papa”
“Tapi, ini hobiku, Pa. Masa nggak boleh”
“Kalau masih membantah… piano kamu akan papa hancurkan” Papaku mengepalkan tinjunya dan memukul tuts - tuts piano kesayanganku membuat nada mengerikan.
Mataku membulat. Aku meringis. Selama ini aku puas hanya dengan memandangnya dan bermain di luar rumah. Dimana saja asal papa tidak lihat. Tapi, hari ini aku terciduk bermain piano dan itu kembali membuat papa marah. Bermain piano memang hal yang baik, tapi lain dengan papa yang menganggap kalau bermain piano akan membelah fokusku. Itu akan memberiku pilihan untuk melawan papa dan menolak usaha yang selama ini dia bangun dengan susah payah.
“Jangan, Pa” Aku segera mencegah papa.
“Keluar dari eskul piano dan ambil karya ilmiah atau klub membaca? Apapun yang membuat kamu pintar. Pilih itu”
Begitu papa masuk ke kamarnya. Aku langsung berlari keluar rumah. Tempat tujuanku tidak jauh - jauh selain rumah sahabatku. Ares. Aku langsung lari ke kamar Ares begitu pembantunya membuka pintu.
“Res” Mataku yang berkaca - kaca langsung membulat begitu melihat Ares berdiri di depan lemari bajunya bertelangjang dada dan rambut basah dengan handuk yang membungkus pinggangnya. Aku bisa melihat otot - otot perut yang mulai terbentuk hasil dari kerja kerasnya melakukan sit up dan push up setiap hari. Aku yakin kalau aku memfoto Ares saat ini. Siswi - siswi sekolah akan dengan sukarela membeli foto topless Ares Elano.
Ares memandangku bingung dan seketika menyadari keadaannya saat ini. Ares melotot dan mencoba menutupi bagian tubuhnya yang terekspos jelas.
Aku segera memekik dan mmejamkan mata. “Sumpah aku nggak liat, Res”
“Nggak bisa ketuk pintu dulu apa. Kalau gue lagi copot handuk gimana. Mau lo ketemu sama Ares Junior?”
“Siapa tuh Ares Junior?” Kataku setelah Ares kembali dari kamar mandi. Seketika aku jadi lupa tujuanku melarikan diri ke rumahnya.
Ares menunjuk - nunjuk bagian bawahnya. “This is Ares Junior”
“Mesum”
“Mesum gimana si Anjani Rara Divia? Memangnya gue ngapain lo? Lo yang mesum karena masuk ke kamar gue pas gue nggak pakai baju”
Aku terdiam dan merasakan pipiku memanas membayangkan kejadian tadi. Aku segera membalik badan. “Nggak jadi”
“Nggak jadi apa? Tadi lo kenapa nangis, Rara?”
“Aku nggak boleh main piano lagi sama papa”
”Kan dari dulu memang nggak boleh”
“Aku harus gimana biar boleh?”
”Jadi, istri gue. Gue izinin lo main piano asal nggak sampai tengah malam” kata Ares lalu terbahak.
“Aku serius, Res”
“Gue juga, Rara. Kalau lo jadi istri gue… gue izinin lo main piano sepuasnya”
Aku terkekeh. “Kalau ya kalau. Kalau itu tidak pasti”
“Loh memang lo mau yang pasti?”
“Hah? Nggak juga. Kan aku bilang kalau kita cuma sahabat”
“Kalau nggak mau pacaran gimana kalau langsung nikah kita?”
Refleks aku menoyor kepala Ares. Klub penggemarnya bisa langsung mengeroyok aku kalau tau kejadian ini terjadi. “Jangan bercanda sama perasaan orang”
“Gue serius. Kalau gue nikah… gue mau nikah sama orang yang sudah gue kenal lama. Yang gue tau baik dan kurangnya, yang kalau di dekat dia gue merasa kalau dia itu rumah.”
Aku tertawa mendengar perkataan Ares. Ini tidak biasanya terjadi. “Siapa yang mau nikah sama orang asing, Res? Nggak ada”
Ares tertawa. “Ya, makanya. Kita jadiin solusi buat masalah kita” Ares terdiam lalu tersenyum lagi.Senyum tengil itu.Senyum yang mematikan untuk penggemarnya, tapi menyebalkan untuku.
“Maksud kamu?”
“Suatu saat lo tau kok”
“Apapun itu. Aku nggak akan membiarkan persahabatan kita rusak” Aku mengembangkan senyum dan melangkah meninggalkan kamar Ares. Tempat kesukaanku untuk berkeluh kesah.
Aku mendorong kesal dada Ares hingga lelaki itu terpaksa mundur selangkah. “Apa - apaan?” Tanyaku kesal. Waktu berjalan sangat cepat. Aku sudah lulus kuliah dan sedang magang di perusaah keluarga Ares sementara Ares magang di kantorku sebelum kami siap mengelola usaha orang tua kami masing - masing.
“Kenapa, Ra?” Tanya Ares bingung.
“Kenapa kamu mau dijodohin sama aku!” Aku memukul dadanya. Seumur hidup aku tidak pernah berpikir untuk menikah dengan sahabatku sendiri. Apalagi orang itu adalah Ares. Ares Elano yang selama belasan tahun berada di sisiku sekalipun menjadi orang terakhir di muka bumi aku tidak berniat mengencaninya apalagi menikah. Alasannya sederhana. Sesederhana aku membutuhkan Ares untuk menjadi seseorang yang tidak akan pernah pergi. Pacaran bisa putus dan berakhir menjadi asing. Sama dengan menikah. Bagaimana kalau kami tidak cocok sebagai teman hidup dan memutuskan bercerai? Bagaimana caraku memandang Ares nantinya? Cinta bisa merusak segalanya bukan?
“Tenang dulu” Kata Ares santai dan menenangkan.
“Gimana aku bisa tenang, Res? Papaku menetapkan kamu sebagai calon suami aku secara sepihak tanpa bertanya dulu sama aku dan kamu setuju tanpa diskusi sama aku! Kamu kan tau kalau aku pacaran sama orang lain yang bisa nerima aku apa adanya!” Nafasku turun naik. Tubuhku bergetar menahan amarah dan rasa kecewa yang berkombinasi menjadi rasa yang cukup menyakitkan.
“Terus menurut lo gue nggak nerima lo apa adanya selama ini?”
Aku bisa melihat kalau tensi di antara kami mulai menegang. Tatapan mata Ares yang lembut mulai merubah ditutupi rasa kecewa karena ucapanku tapi aku sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan perkataanku. “Ya memang kan? Kamu si idola sekolah dan aku si kutu buku. Mau dilihat dari manapun kita nggak serasi, Res. Nggak akan pernah serasi! Kita cuma sahabat kan makanya wajar kamu bisa terima aku apa adanya, karena kamu nggak ada perasaan apapun buat aku”
“Terserah lo. Lo silakan bicara sama bokap lo dan urus pembatalan perjodohan kita, Ra” Ares memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana dan kembali masuk ke dalam rumahnya. Aku langsung mengkonfrontasinya saat dia baru sampai di rumah.
“Kamu nggak usah nurut apa maunya papaku… itu cuma membuat dia merasa paling benar seumur hidup” kataku sebelum Ares benar - benar menjauh. Langkah lelaki itu sempat terhenti sebelum akhirnya menjauh.
***
Aku membaringkan tubuh di atas kasur sambil menatap langit - langit kamar. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kejutan yang papaku berikan di usia yang menginjak 24 tahun ini adalah sebuah perjodohan dengan sahabatku sendiri. Ares Elano.
“Selamat ulang tahun Anjani Rara Divia. Anak papa satu - satunya. Papa punya kejutan buat kamu” kata Papa sambil duduk di ruang tamu.
“Apa, Pa?” tanyaku seraya mengambil duduk di hadapan papa. Saat itu aku baru saja kembali dari bekerja sebagai finance di perusahaan papa Ares.
“Papa dan Om Lukman setuju untuk menikahkan kamu dan Ares”
“Hah? Apaan si, Pa? Kan aku sama Ares cuma sahabat. Ares juga nggak mungkin mau kan” Aku tertawa berusaha menenangkan perasaanku yang mulai kacau dan meyakini kalau Ares tidak akan menerima perjodohan macam ini. Ares dan aku sudah sepakat untuk menjadi sahabat selamanya.
“Ares setuju untuk menikah sama kamu, Rara. Nggak akan ada yang menerima kamu sebaik Ares di dunia ini”
“Nggak mungkin, Pa. Mana mungkin cowok setampan Ares suka perempuan kayak Rara”
“Nggak usah peduli soal suka atau nggak suka, Rara. Yang kamu perlu pikirkan adalah lelaki baik yang bersedia ada di samping kamu kalau papa sudah nggak ada”
“Tapi, Rara kan sudah punya pacar, Pa”
“Siapa? Arno? Kamu pikir Arno cinta sama kamu?”
“Kalau Arno nggak cinta Rara… nggak mungkin kita pacaran, Pa”
“Jangan terlalu naif, Rara. Jangan hanya berpikir kalau pacar sebulan kamu itu benar - benar mencintai kamu dan solusi untuk kebahagiaan kamu”
“Selama ini Arno selalu membuat Rara bahagia, Pa. Dan itu cukup buat Rara”
“Terus bagaimana sama Ares yang membuat kamu tersenyum selama belasan tahun?”
“Ya, itu kan hanya kewajiban Ares sebagai sahabat Rara, Pa”
“Takdir kamu selalu Papa yang tentukan, Rara. Menikah ama Ares. Dengan begitu Papa punya jaminan soal kebahagiaan kamu”
“Kebahagiaan aku atau kebahagiaan, Papa?”
“Persetan, Ra. Lakuin saja apa yang Papa minta”
Aku menarik nafas ketika memoriku mulai memutar pertengkaran bersama Ares tadi. Semua orang berpikir kalau Ares terlalu sempurna untuk orang sepertiku. Jujur aku tidak yakin kalau pria setampan Ares akan menyukai perempuan sebiasa diriku.
Aku bercermin setiap hari dan tau kalau tidak seujung rambut pun pantas bersanding bersama Ares yang superior. Lagi pula aku sudah menerima Arno - teman semasa SMA yang bertemu kembali dan menjadi pacarku. Mana mungkin aku meninggalkan Arno untuk menerima perjodohannya bersama Ares.
“NGGAK! Ares nggak akan mungkin suka sama aku dan aku cuma sayang Arno” lirihku disusul tangis yang tidak bisa aku bagi lagi.
Dari dulu Ares adalah tempat untuk menangis. Bahu lelaki itu sekokoh batu karang, karena mampu menahan perasaan sakitku selama bertahun - tahun dan menguatkan aku. Sekarang aku bahkan tidak bisa berlari untuk mengeluhkan hidup bersama Ares. Ini membuat perasaanku benar - benar terasa sakit. Aku merasa kalau pertengkaran tadi membuatku kehilangan sosok yang selama ini sangat aku takutkan jika dia menghilang dari hidupku.
Aku yang sedikit gemuk dengan tubuh mungil dan berkacamata tebal ini adalah korban bully di sekolah dulu. Semua orang yang aku sukai tidak pernah menyukaiku. Sampai rumah kosong di sebelah rumah terisi oleh sebuah keluarga dan anak lelaki seusiaku yang tampan. Itu Ares dan keluarganya. Sejak saat itu aku selalu bermain bersama Ares dan aku mulai membagi rasa sakitku kepadanya. Mulai dari kediktatoran papa yang membuat tersiksa hingga impian yang harus aku kubur dengan rapat.
Ares dan segala gombalannya yang tidak bisa aku bedakan keseriusan dan candaannya menemani masa remaja hingga saat ini. Dari dulu lelaki itu selalu berkata kalau dia ingin menikah denganku atau berkata kalau aku adalah solusi untuk masalahnya. Aku adalah orang yang paling cocok menjadi istrinya karena dia mengenalku dengan sangat - sangat baik. Aku tidak pernah berani bertanya tentang kebenaran hal itu karena aku terlalu takut kehilangan orang paling penting diurutan kedua dalam hidup.
Aku berjalan keluar ke balkon kamar tempat termudah menemukan Ares yang suka terduduk di balkon sambil merokok dan bermain gitar meramaikan malam sunyiku. Tapi, malam itu. Malam setelah kami bertengkar. Ares tidak muncul di balkon dan aku mulai merasa kehilangan. Aku merasa terbelenggu dalam ikatan persahabatan yang kami jalin selama belasan tahun ini. Apakah Ares pun merasakan demikian?
Aku terduduk di sebuah kafe favortitku dimana para karyawannya sudah mengenalku dengan sangat baik.
“Sore, Mbak Rara. Ini ya coklat panasnya” Kata salah seorang barista yang aku kenal sembari meletakan secangkir minuman coklat dengan uap yang masih mengepul.
“Makasih, Mas” Kataku sejenak mengangkat wajah dari hadapan laptop yang layarnya dipenuhi aplikasi pengolah data.
“Silakan dinikmati”
Aku melanjutkan menelaah data yang aku terima dan berusaha mengolahnya sambil menunggu kedatangan pacarku yang suka terlambat dari waktu janjian. Tak lama pacarku itu muncul di depanku dan menarik bangku kosong persis di sebelahku.
“Sudah nunggu lama, Ra?”
“Lumayan, No”
“Maaf ya aku telat. Waktu rapat sama klien agak molor”
“Nggak apa - apa. Kapan si aku nggak ngerti kamu?” candaku sambil tersenyum.
Arno balas tersenyum dan mengacak rambut panjangku yang dicepol asal. Ah menurutku kekasih kesayanganku ini sangat tampan. Arno memiliki kulit kecoklatan, hidung mancung, bibir tebal, dan rambut rapih. Sungguh bertolak belakang dengan Ares yang urakan.
“Aku pesan dulu” Arno beranjak dari kursi dan berjalan menuju kasir. Disini kita harus membayar terlebih dahulu sebelum mereka mengantarkan pesanan untuk dinikmati.
Aku menyesap coklat panasku sambil memandangi punggung Arno dari belakang. Dari dulu Arno memang terlalu menarik. Dia adalah murid terpintar di sekolahku dulu yang menerima beasiswa dan sekarang bekerja sebagai marketing produk investasi dengan banyak klien. Arno itu menjanjikan makanya banyak orang percaya terhadapnya termasuk aku. Memandangi punggung Arno dari belakang lumayan mengobati perasaan kesepian yang aku rasakan, tapi entah mengapa aku masih merasakan kekosongan yang tidak aku mengerti setelah Ares berhenti berbicara padaku. Hubungan kami belum membaik beberapa hari ini. Padahal aku dan Ares tidak pernah diam - diaman selama ini.
“Mikirin apa, Ra?” Tanya Arno lembut yang tiba - tiba sudah berdiri di sebelahku.
Aku terlonjak kaget “Nggak mikirin apa - apa” Dustaku. Mana mungkin mengaku memikirkan Ares.
“Gimana kerjaan kamu sejauh ini?”
“Baik kok” Ucapku.
“Bagus kalau gitu. Oh ya katamu ada yang mau kamu omongin sama aku?”
Mataku membulat aku refleks menggigit bibir bawahku. Beberapa saat lalu aku hilang akal dan terlau frustasi hingga ingin mengakui perjodohanku dan Ares di depan Arno. Namun ketika dihadapkan secara langsung dengan Arno nyaliku benar - benar ciut. Aku tidak berani mengakuinya. Reaksi Arno tidak bisa aku bayangkan.
“Oh, nggak ada apa - apa. Aku cuma lagi kesel aja sama Papa dan orang - orang kantor. Mereka taruh aku di bawah tekanan mereka. Emang mereka pikir aku robot ya” Kataku beralasan. Ini bukan suatu kebohongan mengingat bagaimana perlakuan orang - orang disekitar terhadapku. Aku tidak mau mengakui soal rencana perjodohan dengan Ares. Aku pikir untuk apa mengakui sesuatu yang bisa menghancurkan hubunganku. Apalagi hal itu sama sekali tidak pasti. Aku tidak akan menikah dengan Ares. Tekadku bulat dari dulu hingga sekarang.
“Sabar ya, tapi kamu nggak apa - apa kan?”
“Aku nggak apa - apa, No”
“Syukurlah, Sayang. Aku tau kamu kuat”
Aku merasa bersalah karena tidak bisa memberi tahu Arno yang sebenarnya, tapi aku rasa tidak apa - apa. Selama aku tidak menyakiti perasaannya dan bisa menjamin kebahagiaanya.
***
Naik motor bersama Arno dari kafe menuju rumah selalu membuatku merasa senang. Aku melingkari tanganku di pinggang Arno yang sedang mengendarai motor vespa warna abu. Demi naik motor bersama Arno aku sampai rela meninggalkan mobilku di parkiran kantor.
Aku menyandarkan wajahku di punggung Arno. Rasanya terlalu nyaman seperti menemukan sesuatu hal menyenangkan yang selama ini aku cari. Perjalanan ini terlalu singkat. Tak lama Arno sudah menurunkan aku di depan rumah.
“Cepet banget sih”
“Apanya?”
”Naik motornya. Kenapa kamu nggak muter lebih jauh?”
Arno tersenyum.”Mau sejauh apa?”
“Sejauh apapun asal sama kamu”
“Bisa aja” Kata Arno sambil mencubit gemas pipiku. “Masuk, Ra. Sebelum papamu liat dan marah”
Aku merasa bersalah pada Arno. Kedatangannya pertama kali sebagai lelaki yang aku pilih disambut tidak baik oleh papa. Papaku sama sekali tidak menaruh respek pada Arno. “Maaf ya, No”
“Untuk apa?”
“Karena papaku nggak baik sama kamu”
“Masuk, Ra. Aku pulang dulu”
Aku memandangi punggung Arno sampai menghilang. Rasanya enggan untuk masuk ke dalam rumah setelah kejadian beberapa hari lalu dimana papa secara sepihak meminta Ares menjadi suamiku. Aku menghela nafas berat. “Aku akan perjuangin kamu, No” Kataku yakin. Aku tidak pernah seberani ini sebelumnya untuk memperjuangkan hal yang aku inginkan. Tapi, kali ini usaha dan hasilnya sebanding.
Mobil sedan hitam berhenti di rumah Ares. Aku kenal betul siapa pemilik mobil itu.
Ares turun dari mobil dengan santainya. Lelaki itu menggunakan kemeja hitam dan celana hitam dengan sepatu kets. Rambutnya yang agak panjang diikat ke atas ala man bun. Dia terlihat sangat maskulin. Ares memandangku sesaat. Kami jadi bertatapan. Tidak ada sepatah kata yang kami tukar. Ares memasuki rumahnya dan aku berbalik memasuki rumah. Dalam hati aku merutuk kenapa semua jadi terasa canggung untuk kami?
Di dalam rumah aku mendapati papa duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
“Malam, Pa” Sapaku sekalipun enggan.
Papa mengangkat kepala dan memandangku. “Kamu habis ketemu sama Arno?”
“Iya” Jawabku tanpa berpikir untuk berbohong. Ini adalah tindakan nyata dari apa yang baru saja aku suarakan. Kalau aku akan memperjuangkan hubungan seumur jagungku dengan Arno.
“Mau sampai kapan kamu melawan Papa?”
“Aku nggak pernah melawan Papa. Baru kali ini aku memperjuangkan apa yang aku mau, Pa”
“Jangan merasa hebat, Ra. Hanya karena kamu melawan Papa”
”Pa, kenapa sih memangnya kalau Arno yang aku cinta?”
”Arno hanya manfaatin kamu, Ra”
“Tau dari mana, Pa? Papa cenayang?”
Papaku mendengus kesal. “Arno itu bukan siapa - siapa. Sementara kamu akan mewarisi perusahaan Papa. Apa kamu nggak pernah mikir kalau Arno hanya manfaatin kamu?”
”Arno nggak kayak gitu. Dia tipe orang yang memperjuangkan segalanya sendiri” Aku masih bersikeras membela Arno.
“Kamu itu jalan keluar untuk hidup dia yang nggak pasti. Sementara Ares punya segalanya. Dia nggak perlu manfaatin kamu sama sekali”
“Nggak ada buktinya kalau Ares nggak akan manfaatin aku, Pa”
“Untuk apa dia manfaatin kamu? Dia lebih kaya dua kali lipat dari kita!”
“Pa, Rara capek. Rara ke kamar dulu” Kataku menyerah. Mengakhiri perdebatan yang tidak pernah aku menangi. Papa hanya mengukur segalanya dengan uang. Kalau dari segi finansial Arno memang kalah telak dari Ares.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!