Hari pertama di sekolah baru selalu membuat hati berdebar-debar. Nada Azzahra, yang baru saja pindah ke SMA Nusantara Mandiri, merasa sedikit gugup meskipun mencoba untuk tetap terlihat ceria. Dengan langkah mantap, ia memasuki gerbang sekolah yang besar dan megah itu. Pagi itu, udara sejuk dan langit cerah membuat Nada merasa sedikit lebih tenang.
Pintu kelas terbuka, dan guru wali kelas, Pak Adi, berdiri di depan dengan senyum ramah. Nada disambut dengan tatapan penasaran dari teman-teman barunya. Mereka tentu saja heran melihat wajah baru yang tampak ceria dan penuh energi.
“Selamat pagi, anak-anak! Ada teman baru yang akan bergabung di kelas kita. Nama dia Nada Azzahra. Mari kita sambut dengan hangat,” ucap Pak Adi, sambil menepuk tangan.
Nada melangkah maju dengan senyum lebar. Ia mengangkat tangannya dan menyapa dengan penuh semangat. “Halo semuanya! Nama saya Nada, saya baru pindah ke sini, senang bisa bergabung dengan kalian!” ucapnya, dengan nada suara yang ceria dan ramah.
Semua mata langsung tertuju pada Nada. Sebagian besar siswa menyambutnya dengan senyuman dan tepuk tangan kecil. Ada yang memberi anggukan penuh perhatian, dan ada juga yang sudah tersenyum lebar, tampak antusias.
“Wah, akhirnya ada teman baru! Selamat datang!” sahut seorang gadis dengan rambut panjang yang duduk di dekat jendela.
“Senang bertemu denganmu, Nada!” teriak seorang cowok dari bangku belakang.
Nada merasa sedikit terkejut dengan sambutan yang begitu hangat. Ia pun tersenyum lebar dan melambaikan tangan. “Terima kasih semuanya, semoga kita bisa cepat akrab ya!”
Pak Adi tersenyum, melihat Nada yang tampak begitu percaya diri. “Silakan, Nada. Kamu bisa duduk di bangku yang masih kosong di depan.”
Nada pun berjalan menuju bangku yang ditunjukkan Pak Adi. Namun, saat ia melangkah ke depan, matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang cowok di pojok belakang kelas. Ia terdiam sejenak.
Di sana, Bara Aryasatya sedang duduk santai di bangkunya, dengan rambut acak-acakan, seolah baru saja bangun tidur. Bara menatapnya dengan pandangan yang tajam, dan Nada bisa merasakan matanya terkunci dengan milik Bara. Ada rasa aneh di dalam dadanya, sesuatu yang familiar dan tiba-tiba membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Bara, yang tadi terlihat malas dan hampir tertidur, langsung terkejut saat matanya bertemu dengan mata Nada. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan kalau itu benar-benar Nada, cewek yang selama ini dia usili di SMP dulu. Nada. Teman sekelasnya yang dulu sering jadi bahan keusilan dia, sekarang ada di hadapannya lagi, dan yang lebih mengejutkan, ternyata Nada tambah cantik, dan tetap ceria.
Kepalanya terasa sedikit pusing. Bara tidak menyangka, setelah beberapa tahun berlalu, cewek yang dulu ia usili kini muncul kembali di depannya, di kelas yang sama. Bara merasa sedikit kikuk. Dalam hati, ia merasa senang, tapi bingung harus bersikap bagaimana.
“Aduh, kenapa dia ada di sini?” pikir Bara, cemas dan sedikit gelisah.
Nada yang merasa aneh dengan pandangan Bara, langsung berusaha untuk mengalihkan perhatian. Namun, semakin ia mencoba untuk fokus pada teman-teman sekelas yang tersenyum ramah, semakin ia merasa Bara terus menatapnya. Hal itu membuatnya sedikit risih, dan ia tidak bisa menahan senyum kecut yang mulai muncul di wajahnya.
Pak Adi melanjutkan memperkenalkan Nada kepada teman-teman di kelas. “Nada, kamu akan duduk di sebelah Rio. Di belakangmu, itu Bara, jangan khawatir, dia memang sedikit pendiam, tapi dia baik kok,” Pak Adi melanjutkan sambil mengarahkan tangannya ke Bara.
Nada mengangguk sambil tersenyum kepada Pak Adi. Namun, pandangannya tak bisa lepas dari Bara, yang kini masih sibuk memainkan pulpen di tangannya, tampak tidak terlalu peduli.
Bara, yang merasa malu karena terlihat seperti orang yang baru bangun tidur, berusaha untuk terlihat lebih tenang. Ia menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya, seolah tidak ingin menatap Nada lebih lama lagi.
Namun, meskipun berusaha untuk tidak peduli, hatinya berdebar tak karuan. “Duh hati... kenapa sekian lama tidak berdebar, sekarang berdebar kembali… Kenapa dia datang ke sekolah ini?” Bara bergumam dalam hati.
Nada pun akhirnya duduk di bangkunya, dan bersikap acuh terhadap Bara, sang Tom di hidupnya dulu.
---
Teman sebangkunya Rio memulai pembicaraan. “Hallo Nada, perkenalkan namaku, Rio. Senang sebangku denganmu!” sambil mengulurkan tangannya.
Nada dengan tersenyum lebar “Hallo, Rio. Semoga kita bisa akrab, ya!”
Sedangkan di belakang Rio, sebangkunya Bara juga memperkenalkan diri "Hai Nada, nama ku Dimas, senang berteman denganmu."
Nada membalas uluran tangan Dimas "Senang berteman denganmu juga, Dimas," ucap nya dengan tersenyum manis.
"Oh.. Manisnya Nadaaaaa.." ucap Dimas tak melepas tangan yang masih menggenggam tangan nada. Dimas ini orangnya petakilan.
"Waah terima kasih, memang aku manis," balas nada dengan akrab yang malah disukai oleh Dimas.
"Sombong amat, padahal Dimas cuma basa basi, Nada." ucap Rio dengan bercanda.
"Lah, memang iya kan.." jawab Nada dengan pede nya.
"Serah kamu deh," pasrah Rio kemudian.
Tangan Dimas dan Nada masih saling menggenggam, kemudian di tepis oleh Bara.
"Eh lupa, maaf ya Nada. Terpesona sama kecantikanmu sih," ucap Dimas menggoda Nada.
"Ya ya,, memang apa sih yang gak akan terpesona oleh seorang Nada" jawab Nada dengan senyum manisnya yang membuat Rio dan Dimas tertawa kecil bersama.
Sedangkan Bara mau ikut nimbrung tapi gak tau mulai dari mana, namun nada melengos dan membalikkan badan nya tanpa menyapa Bara.
Rio dan Dimas hanya bengong dengan sikap Nada yang tidak menyapa Bara. Kalau Bara sih wajar, dia mah kulkas 2 pintu, dingin mana mau ngomong duluan. Namun Nada? Bara ini cowok famous dan paling dicari oleh para gadis di Sekolahnya, namun Nada adalah salah satu cewek yang tak peduli dengan seorang Bara?
Bara hanya terbengong dengan sikap Nada. "Sepertinya ia masih membenciku, karena dulu aku sering mengusili dia," ucap Bara dalam hati.
---
Pelajaran pertama dimulai, dan suasana di kelas mulai tenang. Pak Adi, guru matematika, berdiri di depan dengan buku pelajaran terbuka, menjelaskan materi awal untuk tahun ajaran baru. Nada mencoba untuk fokus, mencatat beberapa hal yang penting.
Bara yang duduk di belakang Nada, tampak lebih santai. Sambil mendengarkan penjelasan Pak Adi, ia sesekali melirik ke arah Nada dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi yang lebih membuat Nada merasa risih adalah sikap usil Bara yang tidak pernah berubah sejak mereka SMP dulu.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Bara menarik rambut Nada dari belakang. Tanpa suara, ia menarik sehelai rambut dengan jari telunjuknya. Nada yang merasa terkejut, langsung menoleh ke belakang, tapi Bara hanya menunduk pura-pura menyimak pelajaran. Nada menahan diri untuk tidak berteriak, meski rasa geram sudah meluap di dalam hatinya.
"Kenapa sih dia, penyakit tukang usil tak sembuh-sembuh!" Nada berpikir sambil berusaha menahan diri. Dia sudah cukup sabar, tapi Bara tidak berhenti begitu saja.
Beberapa menit kemudian, lagi-lagi Bara melakukan hal yang sama. Kali ini, ia menarik sedikit lebih keras, menyebabkan beberapa helai rambut Nada tergerai. Nada yang sudah tidak tahan lagi menatap Bara dengan tajam, namun Bara malah tertawa kecil, seolah merasa puas dengan reaksinya.
Nada menarik napas panjang dan berusaha untuk fokus kembali pada pelajaran. Namun, Bara masih belum puas. Kali ini, ia menggerakkan kakinya dan menendang bangkunya sedikit, hingga kursi Nada bergetar.
Nada yang merasa kesal, mencoba untuk tetap tenang. Namun, getaran kursi itu membuatnya semakin tidak sabar. "Aduh, ini sih bikin pusing!" pikirnya. Dengan kesal, ia menoleh ke belakang dan melihat Bara yang sedang tersenyum lebar, seolah menantikan reaksi dari Nada.
Bara yang melihat Nada menatapnya, hanya mengangkat bahu seolah berkata, "Apa sih masalahnya?" Tetapi saat itu juga, Nada merasa seperti ada sebuah tombol yang membuatnya meledak.
Tanpa berpikir panjang, Nada meraih kertas yang ada di mejanya. Kertas itu sudah digulung dan bentuknya seperti bola. Dengan gerakan cepat, Nada melemparkan bola kertas itu ke muka Bara dengan keras. "Suka-suka kamu aja, kan?" pikir Nada, puas melihat ekspresi Bara yang terkejut.
Bara yang tak siap dengan serangan mendadak itu, hanya bisa terdiam sejenak. Bola kertas yang meluncur tepat ke mukanya itu membuatnya terkejut. "Aduh!" Bara terkejut dan mencoba membersihkan kertas yang menempel di wajahnya.
Nada kembali fokus pada pelajaran, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia menahan senyum puas di bibirnya.
Di belakang, Bara hanya bisa mendengus. Namun, di balik semua itu, Bara tidak bisa menghindari perasaan hangat yang mulai tumbuh. Meski ia usil, di dalam hati ia merasa senang bisa berinteraksi dengan Nada lagi, meskipun cara yang dipilihnya tidak selalu tepat.
Pak Adi yang tidak menyadari kejadian itu, melanjutkan penjelasannya, dan suasana kelas kembali menjadi tenang. Nada yang sudah merasa puas dengan balasannya, kembali mencatat materi dengan penuh perhatian.
Bel tanda jam pelajaran pertama pun berbunyi, tanda istirahat dimulai. Nada yang sedang sibuk membereskan buku dan alat tulisnya, tiba-tiba merasakan tangan Dimas menarik tangannya.
"Ayo, Nada, ke kantin!" Dimas berkata sambil menyeretnya. Nada yang masih bingung dengan situasi baru di sekolah ini hanya bisa menganggukan kepalanya dan mengikuti saja, karena sebagai siswi baru, dia belum tahu banyak tentang gedung-gedung sekolah ini.
Rio yang duduk di samping Nada, tiba-tiba bertanya, "Woy, mau kemana kalian pada?"
Dimas yang sudah tak sabar menjawab, "Ke kantin lah, emang kalian gak pada lapar?"
"Lapar dong!" Rio langsung menjawab dengan teriakannya, membuat beberapa teman yang duduk di dekat mereka menoleh.
"Ya ayok jalan cepetan, keburu gak ada tempat nanti!" Dimas mengajak mereka bergegas. Tanpa banyak bicara, Nada hanya mengikuti langkah Dimas, meskipun dia merasa sedikit kikuk.
"Ih Dimaaaas, sabar sih. Kantinnya gak bakalan pindah tauk," ucap Nada dengan candanya.
"Woy tungguin Napa?" teriak Rio. Rio yang hendak mengikuti di belakang mereka berdua, berhenti dan menatap Bara yang hampir memulai tidur di bangkunya.
Tiba-tiba terdengar panggilan untuknya "Ayo, Bara! Lo mau tidur terus? Gak mau makan sama cewek baru tadi?" Rio menggoda, menarik tangan Bara.
Bara yang masih sedikit mengantuk hanya mendengus dan mengikuti mereka dengan malas. Tapi dia masih agak canggung bertemu dengan Nada, yang kini berjalan di depan dengan Dimas. Mata Bara tidak bisa lepas dari sosok Nada yang terlihat begitu cantik dan ceria.
Sementara itu, di sepanjang jalan menuju kantin, banyak siswa yang menatap Nada dengan senyuman gemas. Bagaimana tidak, Nada yang mungil, cantik, dan manis, dengan pipi yang terlihat empuk seperti mochi, sangat menarik perhatian. Beberapa siswa bahkan saling berbisik, memuji penampilannya.
"Eh, itu siapa sih? Anak baru ya?" bisik seorang siswi sambil melirik ke arah Nada.
"Iya, lihat deh, dia mungil banget, lucu lagi. Pipinya kayak mochi!" balas temannya dengan nada kagum.
"Ih, bener banget. Cantik banget, ya. Kayaknya asik buat diajak temenan," ujar siswa lain sambil mencuri pandang.
"Eh, tapi kok jalannya bareng Dimas? Deket banget lagi. Wah, Dimas cepet juga geraknya!" celetuk seorang cowok sambil tertawa kecil.
Bara yang berjalan di belakang merasa gelisah melihat perhatian yang diberikan kepada Nada. "Hei Doremi..." panggil Bara kepada nada.
Rio yang mendengar teriakan Bara, ia melirik nya "Siapa Bar, Doremi? lo mau nyanyi?" tanya Rio bingung.
Bara memutar bola mata malas nya, "itu noh si Nada, dipanggil kok gak nyaut?" tanya Bara.
"Ya jelas gak jawab, Bar. Namanya Nada, bukan Doremi," ucap Rio.
Percakapan mereka berlanjut hingga sampai kantin, namun Nada tak peduli.
...----------------...
Akhirnya, mereka sampai di kantin. Dimas dan Nada memesan makanan dan minuman nya, sedangkan Bara dan Rio mencari tempat duduk nya.
Semua telah di meja nya, menunggu pesanan mereka tiba. Nada asyik mengobrol dengan Dimas, Bara yang duduk di sebelah tiba-tiba menyelipkan sedotan bekas minuman ke rambut Nada dengan gerakan cepat. Sedotan itu tersangkut di antara helaian rambut Nada yang tergerai.
"Nad, lo tahu nggak? Rambut lo kok kayak antena sekarang," Bara berkata sambil menahan tawa.
Nada yang merasa aneh langsung meraba rambutnya dan menemukan sedotan itu. Ia menatap Bara dengan tajam. "Bara! lo apaan sih?!"
"Tuh kan, cocok banget buat jadi stasiun TV," Bara menimpali dengan wajah polos, pura-pura tidak bersalah.
Nada yang melihat banyak sendok di depannya, ia mengambilnya satu dan mengetuk dahi Bara menggunakan sendok itu.
Tuk...!
Nada mendengus kesal, lalu tanpa pikir panjang mengambil sedotan itu dan melemparkannya tepat ke muka Bara. "Itu gue balikin sedotan lo. Jangan bikin rambut gue jadi tempat eksperimen, tahu!"
Bara tertawa puas, sementara Nada mendengus, mencoba menahan kesal.
...----------------...
Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap Bara dengan penuh rasa ingin tahu. "Eh, Bara, gue penasaran deh. Lo tuh kenapa sih? Dari dikelas hingga dikantin ini, usil banget sama Nada."
Rio yang duduk di sebelah Dimas menimpali sambil mengangguk. "Iya, padahal Nada kan anak baru di sekolah ini. Kalian kenal dari mana?"
Nada yang sedang menyeruput minumannya langsung mendengus pelan. Dia menoleh ke arah Dimas dan Rio, lalu menunjuk Bara dengan tatapan malas. "Dia itu musuh bebuyutan gue waktu SMP. Suka banget bikin gue kesel tanpa alasan."
"Hah, musuh bebuyutan?" Dimas menaikkan alisnya, setengah tak percaya. "Serius lo, Bara? kenapa lo nggak bilang jika kenal sama Nada?"
Bara tersenyum santai, meski matanya sedikit menghindari tatapan teman-temannya. "Musuh? Gue sih biasa aja. Dia aja yang baper waktu SMP."
Nada langsung membanting garpu ke atas piring dengan pelan, tapi cukup untuk menunjukkan rasa kesalnya. "Apa? Baper? Yang ada lo tuh selalu usil nggak jelas. Bahkan sekarang, masih aja nyebelin!"
Rio tertawa kecil sambil menatap Bara dan Nada bergantian. "Wah, seru nih. Jadi kalian musuh pas SMP terus ketemu lagi di sini? Kayaknya nggak mungkin musuh deh, kalian kayak... gimana ya?"
Nada mendengus lagi, kali ini menatap Rio dengan tajam. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Dimas sudah ikut bicara.
"Eh tapi tunggu, gue penasaran. Jangan-jangan kalian ini bukannya benci-bencian, malah ada rasa nih?" goda Dimas, sambil mengerling ke arah Bara.
Nada langsung menoleh cepat, matanya membelalak. "Ogah banget! Suka sama cowok nyebelin kayak dia? No way!"
Bara mengalihkan pandangan ke makanan di depannya, mencoba terlihat santai. "Iya, ogah juga. Siapa juga yang mau suka sama lo."
Namun, dalam hati, Bara langsung menyesali perkataannya. "Aduh, salah ngomong lagi! Padahal gue suka dia dari dulu... Kenapa mulut gue malah bilang ogah?!"
Nada menahan diri untuk tidak melemparkan sendok ke arah Bara. "Ugh, sebel banget sama cowok ini. Mana mungkin gue suka sama dia. Nyebelin banget!" ucap Nada dalam hatinya.
Dimas tertawa terbahak-bahak, matanya berbinar melihat reaksi Nada dan Bara. "Yakin nih? Jangan-jangan pepatah ‘benci jadi cinta’ bakal kejadian, loh."
Nada dan Bara serempak membantah dengan suara keras. "Gak mungkin!"
Rio dan Dimas langsung tertawa makin keras melihat Nada dan Bara yang begitu kompak dalam membantah.
"Wah, kalian tuh ngomong ‘gak mungkin’nya barengan," Rio terkikik, menatap mereka dengan penuh arti. "Jangan-jangan..."
Nada memotong cepat dengan tatapan geram. "Jangan-jangan apaan?! Udah deh, mending kita makan aja sebelum pesanan kita dingin."
Bara hanya diam, berusaha menyembunyikan senyumnya di balik minuman yang ia angkat perlahan. Di sisi lain, Nada sibuk memotong makanannya dengan semangat, atau lebih tepatnya, dengan pelampiasan rasa kesalnya. Dia sama sekali tidak sadar kalau Bara beberapa kali mencuri pandang ke arahnya dengan senyuman kecil di bibirnya.
Di tengah riuh rendah suasana kantin, dua gadis masuk dengan langkah cepat. Gisel dan Jessika, nama mereka. Mata mereka langsung tertuju ke sosok yang duduk bersama tiga cowok di salah satu meja.
"Eh, tunggu sebentar," bisik Gisel, menarik lengan Jessika. "Bukankah itu... Nada?"
Jessika memperhatikan dengan saksama, lalu mengangguk yakin. "Ya, benar! Itu Nada. Ayo kita ke sana!"
Mereka berdua segera berjalan mendekat, tak sabar untuk memastikan. Ketika sudah berada di dekat meja tersebut, Gisel memanggil dengan suara ceria, "Nada! Nada Azzahra!"
Nada yang sedang menyendok makanan langsung menoleh cepat ke arah suara yang memanggilnya. Saat pandangan matanya bertemu dengan dua gadis yang berdiri di sana, mulutnya terbuka lebar. "Gisel? Jessika?"
Nada langsung berdiri, nyaris menjatuhkan kursinya. "Astaga! Gisel! Jessika! Kalian di sini?!"
Gisel dan Jessika mengangguk penuh semangat, lalu tanpa menunggu waktu lagi, mereka bertiga berpelukan erat. Nada bahkan melompat kecil saking bahagianya, membuat seisi kantin menoleh ke arah mereka dengan penasaran.
"Histeris banget," gumam Rio sambil tersenyum geli.
"Kayak ketemu artis aja," celetuk Dimas sambil meminum jusnya.
Namun, Bara hanya diam, memandangi Nada yang tampak begitu ceria. Di dalam hatinya, ia merasa sedikit kesal. "Kenapa Gue nggak pernah dapet senyuman selebar itu dari dia?" pikirnya, meski tak berani mengatakannya.
Sementara itu, Nada, Gisel, dan Jessika sudah kembali duduk. Nada tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Kalian gimana kabarnya? Aku kangen banget sama kalian!"
"Kita baik-baik aja," jawab Jessika dengan senyum lebar. "Tapi serius deh, kita nggak nyangka banget bakal ketemu kamu di sini. Kita sudah tak pernah dapat kabarnya setelah lulus sekolah, kami pikir kamu pindah ke luar kota waktu SMP."
"Iya, aku memang pindah. Hp ku hilang, makanya gak bisa hubungi kalian berdua. Tapi sekarang aku balik lagi. Kangen banget suasana Jakarta di sini. Tak disangka bertemu Dnegan kalian, satu sekolah lagi." jawab Nada sambil tertawa kecil.
Obrolan mereka terus berlanjut dengan suasana penuh kegembiraan, sementara Rio, Dimas, dan Bara hanya bisa memperhatikan dari sisi lain meja. Dimas akhirnya berbisik ke Rio, "Eh, ini mereka bakal ngobrol terus? Gue jadi pengen gabung tapi nggak ngerti apa-apa."
Rio tertawa kecil. "Sama. Tapi lihat Bara deh, kayaknya dia bete banget."
Bara hanya mendengus pelan, pura-pura fokus ke makanannya. Namun, dalam hati, ia bertanya-tanya, "Sekarang mereka bertiga dekat lagi. Terus gue harus gimana?"
...----------------...
Nada, Gisel, dan Jessika sibuk bertukar cerita sambil mengeluarkan ponsel masing-masing. Mereka bertukar nomor telepon dengan antusias, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah itu, mereka saling menanyakan kelas masing-masing.
“Jadi, kalian satu jurusan tapi beda kelas?” tanya Nada, memastikan.
“Iya, aku di kelas 3-2,” jawab Gisel sambil tersenyum. “Jessika juga di sana. Kalau kamu?”
“Aku di kelas 3-1,” kata Nada.
“Wah, dekat dong! Jadi gampang ketemunya,” ucap Jessika, penuh semangat.
Bel istirahat pun berbunyi, tanda waktu makan selesai. Mereka berenam akhirnya meninggalkan kantin bersama, melangkah menuju kelas masing-masing. Nada, Gisel, dan Jessika berjalan di depan sambil terus mengobrol, mengenang masa SMP mereka.
“Kamu masih inget, kan, Nada, waktu kita dihukum gara-gara telat masuk kelas bareng-bareng?” Gisel tertawa kecil, mengenang kejadian konyol itu.
“Aku mana bisa lupa! Gara-gara kalian ngajakin sarapan dulu di kantin!” Nada ikut tertawa, membuat suasana semakin akrab.
“Tapi, ngomong-ngomong, kok bisa sih kamu satu kelas sama Bara? Kalian kan dulu suka ribut terus waktu SMP,” tanya Jessika penasaran, memandang Bara sekilas yang berjalan di belakang mereka.
Nada mendengus kecil. “Jangan ditanya. Aku juga nggak tahu kenapa. Kayaknya karma deh, harus ketemu sama dia setiap hari.”
Gisel dan Jessika tertawa mendengar jawaban Nada. “Dari dulu ya, kalian berdua kayak Tom & Jerry. Satu nggak usil, yang lain nggak tenang,” ucap Gisel sambil mencubit pelan lengan Nada.
Sementara itu, di belakang mereka, Bara, Rio, dan Dimas berjalan santai, mengobrol sesama mereka.
“Eh, Bara, lu kenal sama cewek-cewek itu?” tanya Dimas sambil menunjuk ke arah Gisel dan Jessika.
“Kenal. Mereka teman SMP Nada juga,” jawab Bara singkat, tanpa ekspresi.
Rio melirik Bara dengan senyum penuh arti. “Jangan-jangan, lu cemburu mereka ngobrol terus sama Nada, ya?”
Bara langsung memasang wajah datar, meski pipinya sedikit memerah. “Ngapain gue cemburu? Mereka cuma teman SMP biasa.”
“Ah, biasa katanya,” ledek Dimas sambil menepuk bahu Bara. “Kalau gitu jangan bete gitu dong mukanya.”
Bara hanya mendengus, malas meladeni mereka lebih jauh. Namun, dalam hati, ia merasa ada sedikit rasa iri melihat Nada tertawa lepas dengan Gisel dan Jessika.
Ketika mereka sampai di persimpangan, Gisel dan Jessika berhenti. “Kita ke kelas duluan, ya. Sampai ketemu nanti, Nada!” kata Jessika sambil melambaikan tangan.
“Iya, sampai ketemu lagi!” balas Nada, melambaikan tangan dengan senyuman cerah.
Setelah kedua sahabatnya berbelok ke lorong lain, Nada menoleh ke arah Bara, Rio, dan Dimas. “Ayo, kita juga balik ke kelas. Jangan sampai telat.”
Mereka bertiga mengangguk, melangkah bersama menuju kelas 3-1. Namun, dalam hati Bara masih menyimpan satu pertanyaan besar "Apa gue harus ngomongin perasaan gue ke Nada?"
...----------------...
Ketika mereka sampai di kelas, Nada berjalan menuju tempat duduknya dengan santai. Namun, tiba-tiba ia melihat Bara berbicara serius dengan Rio.
“Rio, sini tukeran tempat sama gue,” kata Bara sambil menyodorkan selembar uang ke tangan Rio.
Rio menatap uang itu dengan mata berbinar. “Serius nih, Bar? Gue disuap buat pindah tempat?”
“Cepetan sebelum guru masuk,” desak Bara, menatapnya penuh arti.
Rio, yang tak bisa menolak godaan, langsung mengangguk. “Oke deh, gue pindah.”
Nada yang baru saja duduk mendengar percakapan mereka. Matanya membulat, menatap Rio yang dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan berpindah tempat.
“Rio! Apa-apaan ini? lo kenapa pindah gitu aja?!” protes Nada sambil melotot.
Rio hanya mengangkat bahu dengan senyum cengengesan. “Sorry, Nad. Bara lebih meyakinkan. Lagian, dia cuma mau duduk di sini, kok.”
“Cuma?!” Nada mendesis, menatap Bara yang kini dengan santai duduk di kursi Rio.
Bara tersenyum tengil, melipat tangannya di atas meja. “Kenapa, Nada? Gue cuma mau nemenin lo lebih dekat, biar kita bisa nostalgia SMP.”
Nada mendengus kesal. “Nostalgia apanya? Gue nggak pernah ngajak lo buat duduk di sini! Lo itu nyebelin, Bar!”
Bara tertawa kecil, menikmati ekspresi sebal Nada. “Nyebelin? Masa sih? Gue kan duduk aja di sini, nggak ganggu lo.”
Nada yang sudah di ujung kesabaran menggebrak meja, meski suaranya tak terlalu keras agar tidak menarik perhatian guru. “Denger ya, Bara. Kalau lo macem-macem, gue nggak segan-segan laporin lo ke pak Adi . Biar lo tahu rasa!”
“Wih, galak banget. Lo ini jangan-jangan masih dendam waktu SMP?” Bara membalas dengan nada santai, seolah-olah ancaman Nada hanya angin lalu.
Nada mendekatkan wajahnya ke arah Bara, matanya menyipit tajam. “Coba aja kalau lo berani usil sama gue lagi, Bar. Kita lihat siapa yang bakal nyesel!”
Bukannya takut, Bara malah tersenyum lebar. “Tenang, Nada. Gue nggak akan nyesel kok, kalau itu soal lo.”
Nada mendengus sebal, lalu membalikkan badannya dengan kasar, memutuskan untuk mengabaikan Bara. Sementara itu, Bara tersenyum kecil, merasa puas karena berhasil membuat Nada bereaksi.
Dalam hati, Nada bergumam. "Kenapa sih gue harus satu kelas sama dia? Hari-hari gue bakal penuh drama nih."
Di sisi lain, Bara hanya tersenyum sendiri sambil berpikir, "Nada, gue udah kangen banget sama lo. Tapi ya, ini cara gue buat dekat sama lo lagi."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!