NovelToon NovelToon

Suami Di Alam Mimpi

Bab 1 Ajian Warisan

Tahun 1993

"Ambo' jangan tinggalkan kami," ucap anak perempuan yang sedari tadi sesenggukan.

Sudah seminggu ini Bapaknya mengalami sakit. Hidup di desa yang jauh dari akses pelayanan kesehatan membuat keluarga pasrah. Suara sesenggukan memenuhi kamar mungil itu. Walaupun belum ada kematian disana.

"Sabar Arum, Ambo' juga sudah tua. Orang yang sudah renta, rentang mengalami sakit begini,", Kata Puadi, Pamannya.

Ambo' nya hanya menatap lurus ke depan. Sesekali dia berbicara bahasa yang kurang jelas dipahami. Ambo' seolah sedang berbicara pada sosok yang tak kasat mata. Terkadang ia terdengar memanggil nama seseorang. Lalu, mengucapkan kata terima kasih berulang kali.

Rumpun keluarga yang saat ini membesuk menjadi penonton. Ada yang menanggapi biasa saja, ada pula yang terheran-heran, sebagian dari mereka paham dengan sikap Ambo' Pati.

"Kayaknya Ambo' sedang bicara dengan teman penjaganya," bisik anak pertama Ambo' Pati di telinga Arum.

"Teman penjaga apa maksudnya, Daeng?"

Lalia menarik tangan Arum untuk menepi. Di sudut ruangan itu, Lalia kembali berbisik, menjelaskan maksud ucapannya.

"Ambo' itu punya penjaga, dulu pernah bilang, katanya dia punya jin, perisai kalau perang, jin itu menangkal guna-guna, membantu Ambo' untuk menyembuhkan orang-orang sakit," jelasnya.

Arum tercengang. Dia hanya mengetahui Bapaknya sebagai sarana menyembuhkan orang sakit. Sebagai anak bungsu, Arum tidak tahu-menahu tentang hubungan Ambo' Pati dengan hal gaib.

"Lalu bagaimana, Daeng? Apa jin itu minta tumbal?"

"Tidaklah, Ambo' bukan pesugihan, ini katanya jin keturunan, tidak tahulah, mereka sedang berbincang saja kali," kata Lalia.

Ambo' Pati yang sedari tadi komat-kamit tidak jelas mendadak menangis. Tampaknya dia sedang melihat sesuatu yang membuatnya terharu. Sanak-saudara bergegas menghampirinya. Lalia juga duduk di bagian kaki, mengusap-usap kaki Ambo'nya.

"Ambo' kenapa?" tanya Arum.

Lalia, Arum, dan Pai mengelilingi Ambo' nya. Satia, istri dari Ambo' Pati datang menggenggam tangan suaminya. Ambo' Pati masih menatap lurus, kemudian mengeluarkan ucapan yang mengejutkan keluarganya.

"Jaga keturunan ku, tepati janji mu, sudah ku tepati janji ku wahai pemuda," ucap Ambo' Pati pada sesosok yang tak terlihat.

Angin yang sangat dingin berhembus di kamar Ambo' Pati. Sanak-saudara saat itu merinding kedinginan. Arum merasa hawa dingin itu menyapu punggungnya. Pandangan Ambo' Pati beralih ke anak bungsunya, Arum.

"Arum .." lirih Ambo' Pati.

Arum mendongakkan kepala menatap Ambo'nya.

"Arum, lebih lah dekat ke Ambo', mungkin ingin sampaikan sesuatu," kata Amma' Satia.

Arum perlahan mendekati Ambo'nya. Tangan yang dipenuhi keriput itu digenggam oleh Arum. Ambo' Pati berusaha berbicara ditengah dadanya yang makin sesak.

"A-arum ..Nanti jangan merasa kamu sedih, a-apa yang kamu kalani masa depan, itu sudah takdir kamu, Nak. Tapi Ambo' tetap memberi kamu penjagaan," kata Ambo' Pati.

Semua yang mendengar hanya saling pandang satu sama lain. Ucapan Ambo' Pati sulit dimengerti. Namun, Arum tidak Ambo'nya terbebani.

"Iya, Ambo' ..Jangan pikirkan saya, pikirkan kesehatan Ambo'," sahutnya.

Ambo' Pati menarik nafas panjang. Memandangi ketiga anaknya yang kurang satu.

"Mana Sapri?" tanyanya.

"Daeng Sapri belum datang, Ambo'" Jawab Lalia.

Ambo,' Pati berusaha menarik nafas lagi, mengisi rongga dadanya.

"Siapa yang mau ambil?" tanya Ambo' Pati.

Sanak saudaranya sebagian paham maksud Ambo' Pati. Termasuk istrinya, Satia. Juga Lalia dan Pai. Namun, tidak bagi Arum. Dia hanya bisa diam memandangi Ambo'nya yang memang terlihat sekarat.

"Saya tidak bisa Ambo'" Kata Lalia.

Pai yang ada disamping Lalia juga menggelengkan kepala. "Saya juga tidak mau Ambo'"

Keluarga Ambo' Pati enggan mengambil ilmu putih yang bersemayam di tubuh tua renta itu. Sementara aturannya, orang yang sedang menghadapi kematian harus melepas segala yang ada pada dirinya, termasuk ilmu putih yang ia pegang selama hidupnya. Jika tidak, seseorang yang meninggal tanpa melepas ilmu putihnya maka tubuhnya terasa berat dan diberi azab yang pedih karena pergi dengan tubuh yang tidak suci.

"Ambo' tidak tahan lagi, tolong ambillah, Nak.." Ambo' Pati mulai sesak nafas.

Arum panik melihat Ambo'nya. Sedangkan Sati yang duduk disebelah kiri hanya bisa menangis, andai saja ilmu putih dapat dialihkan ke istri, Satia pasti rela mengembang tugas itu. Namun, sayangnya ilmu putih tidak dapat diserahkan kepada seseorang yang tidak memiliki aliran darah dengan si pemberi.

"Maksud Ambo' tadi apa, Mak?" tanya Arum.

"Ambo' mu mau semua ilmu-ilmu nya di turunkan ke anak arau keluarganya, supaya tubuhnya ringan menghadapi Sang Pencipta, dia ingin berpulang dengan keadaan bersih," jelas Satia.

Arum yang tidak tahu resikonya langsung mengambil keputusan. Dia kian menggenggam erat tangan Ambo' nya.

"Saya siap Ambo'," ucapnya ikhlas.

Semua orang yang mendengar Arum terhenyak. Mereka berharap Arum bisa mengambil ilmu putih Ambo' Pati dengan sukarela.

"Iya, anakku. Seharusnya memang kau, ucapan pemuda itu memang harusnya kau," kata Ambo' Pati.

Tangan Ambo' Pati menunjuk ke lemari kayu yang sudah lapuk. Satia paham langsung beranjak membuka lemari lalu mengambil buku usang milik suaminya.

"Ini Ambo'," ucapnya menyerahkan buku coklat itu.

Ambo' Pati menyerahkan buku itu ke putrinya, Arum. Dia menjulurkan jempolnya kepada Arum, meminta putrinya itu menempelkan jempol kanannya pula.

"Ikuti saya, Nak."

Arum mengangguk tanda setuju. Jantungnya berdegup kencang. Tetapi Arum tidak bisa melihat Ambo'nya tersiksa menghadapi kematian tanpa melepaskan ilmunya.

"Saya menyerahkan warisan ilmu ku pada putriku Arum," ucap Ambo' Pati sambil menekan jempolnya kuat-kuat ke jempol Arum.

"Saya menerimanya dengan ikhlas dan mengamalkannya," kata Arum setelah diajar oleh Satia.

Setelah pelepasan ilmunya, Ambo' Pati tersenyum lebar pada sosok yang tidak terlihat. Ambo' Pati melambaikan tangan membalas lambaian sosok yang ia lihat itu. Semua keluarga yang menyaksikan itu ikut merinding. Ambo' Pati memejamkan mata lalu mengucap syahadat. Satia membimbing suaminya agar mengucap syahadat dengan benar. Di menit kemudian hembusan Ambo' Pati tidak terasa lagi oleh Satia.

"Ambo' sudah meninggal dunia," ucapnya lalu terisak tangis.

Arum histeris memeluk Ambo'nya. Para tetangga sudah berdatangan di rumah panggung Ambo' Padi.

"Satia, liat itu!" Seru adik Satia yang menunjuk ke jenazah Ambo' Padi.

Lidah Ambo' Padi menjulur keluar, di lidah yang sudah kaku itu terdapat kapas putih berbentuk satu siung bawang putih. Satia yang sudah lama diberitahu oleh suaminya meminta Arum mengambil benda di lidah Ambo'nya.

"Ambil Arum, hanya kamu yang bisa terima itu, Nak." Kata Satia.

Arum kembali mengiyakan. Dia mengambil kapas putih itu lalu disimpannya disaku.

"Seharusnya di telan, Nak. Jangan disimpan," titah Satia.

"Nanti saja, Bu. Tenggorokan ku kering," sahut Arum yang memang sejak tadi kehausan.

Satia paham lalu beralih membantu adiknya mengurus jenazah Ambo' Pati. Arum memilih keluar dari kamar Ambo'nya. Dia masuk ke kamarnya lalu menumpahkan tangis disana. Kehilangan Ambo' sama seperti kehilangan masa depan.

"Arum, boleh Daeng masuk?" tanya Lalia seraya mengetuk dinding kamar Arum.

 Kala itu setiap kamar belum ada pintunya. Semua kamar hanya ditutupi oleh tirai biasa. Arum mengizinkan kakaknya masuk. Dua gadis yang bersaudara itu duduk saling berhadapan dengan mata sembab.

"Kamu sudah ambil ajian Ambo', harus kamu bisa pegang dan amalkan, berat sebenarnya tugas kamu tapi begitulah, janu harus siap-siap bantu orang yang butuh bantuan untuk diobati," ujar Lalia.

Arum yang sudah kekurangan energi hanya menjawab dengan anggukan. Sampai detik itu, Arum belum mempercayai adanya hal gaib atau semacamnya. Dia wanita yang mengedepankan logika.

Bab 2 Hari Sial

2010..

Perempuan muda berlari di hamparan ilalang setinggi pinggul. Tawanya lepas, menunggangi kebahagiaan yang tak dapat ia rasakan di dunianya. Dia bermain seperti anak kecil, merasakan hembusan angin sejuk, matahari saat itu tidak menampakkan cahayanya. Langit terlihat mendung, tapi tidak akan turun hujan. Cuaca juga tidak panas dan juga tidak dingin. Hanya kesejukan disana. Begitulah keadaan di tempat itu. Namun, pemandangan sangat indah. Siapa saja akan terlena, enggan kembali ke tempat semula.

 Dia terlihat sangat bahagia, melupakan beberapa momen menyedihkan yang menimpanya sejak kecil. Sesekali ia melambaikan tangan, menyeru sosok yang terus memperhatikannya dari jauh.

"Ayo sini!" Serunya. Namanya Widuri.

Sosok itu tersenyum lebar. Dia berlari kecil menghampiri wanitanya yang lebih dulu berjalan menuju ke pinggir danau.

"Hap!" Sosok pria itu menangkap pinggul Widuri.

 Dia mencium punggung Widuri yang hanya terbalut gaun putih motif bunga melati.

"Ah, bikin kaget saja!"

Pria itu hanya tertawa. Dia masih menyandarkan dagunya di bahu Widuri.

"Aku suka kamu tersenyum seperti ini, Widuri .."

"Hmm, Aku sangat bahagia, ini tempat seperti di negeri dongeng, apakah ini nyata?" tanya Widuri yang meminta jawaban pasti.

Pria itu tersenyum simpul. Dia membalikkan badan Widuri agar mereka saling bertatap wajah.

"Kamu sangat menyukai tempat ini?" tanya pria itu sekali lagi.

Widuri mengangguk keras. Anak rambutnya di terpa angin, terlihat mempesona.

"Ini bukan tempat mu, tapi kamu bisa aku bawa kesini diwaktu tertentu," kata pria itu dengan serius.

Widuri memasang wajah kebingungan. Dia juga menatap serius pria tampan dihadapannya.

"Jadi, ini apa?" tanya Widuri pelan.

Pria itu membelai rambut Widuri. Sentuhannya sangat lembut, bahkan seperti hembusan angin yang menyentuh setiap helai rambut Widuri.

"Aku sayang kamu, Widuri .." Suara bisikan terdengar lembut.

"Apakah kita pacaran?" tanya Widuri polos.

Usianya memang sudah sembilan belas tahun. Tetapi, Widuri tidak pernah terlalu dekat dengan pria lain. Setiap ada kali yang mendekat hanya sekedar suka. Entah mengapa, para pria itu tak berniat lanjut untuk sekedar menjalin hubungan.

Widuri merasakan geli disekitar lehernya. Widuri tersentak, dia bangun sebab mendengar suara neneknya membuka gorden kamar. Gegas ia bangun dengan mata mengerjap.

"Kenapa kamu ketawa sendiri? kamu mimpi Widuri?" tanya wanita usia lanjut itu.

Widuri celingak-celinguk. Dia mengedar pandangannya ke sekitar kamar. Hanya ada dia dan bantal-batal berserakan.

"Tidur lagi, nenek juga mau tidur." Kata Nenek Satia yang kembali menutup gorden.

Widuri masih termangu. Duduk dengan perasaan hampa. Ada sesuatu yang ia cari. Tepatnya, sesosok pria yang ada di mimpinya tadi. Widuri kehilangan semangat. Dia terus teringat dengan momen yang ada didalam mimpinya. Menatap kosong, pikirannya mengembara ke tempat yang ia lihat di mimpi.

"Seperti nyata, tapi itu hanya mimpi," gumamnya. Widuri menghembuskan nafas kasar.

Dia membaringkan diri. Terlentang menatap langit-langit rumah terbuat dari sisa kain yang di jahit Nenek Satia dijadikan plafon.

"Hanya mimpi, tapi kenapa sedihnya sampai kesini." Lirih Widuri seraya memegang dadanya.

Setiap malam Widuri bermimpi bertemu dengan pria itu. Momen sesaat, tetapi mampu membekas di hati dan pikiran Widuri sepanjang hari. Dia bahkan, merindukan malam agar segera tidur lalu bertemu dengan prianya.

"Sudah menjelang subuh, jika aku tidur lagi, akan lambat masuk kerja besok," gumamnya.

Widuri menahan mata agar tidak terlelap lagi. Besok jadwal kerjanya shif pagi. Jika memilih tidur hanya untuk melanjutkan mimpinya, tentu dia akan ketiduran. Widuri memilih untuk bangun menonton tv. Mengingat momen indah di tepi danau yang berkelebat di benaknya.

***

Sore hari, Widuri dan sepupunya berjalan ke kantin tempat kerja. Akan tetapi, langkahnya di hadang empat wanita yang bergaya ala korea.

 "Hei kampungan!" Seru perempuan berambut golden brown.

Widuri tetap berjalan, menarik tangan sepupunya. Namun langkahnya di cegat, kaki sepupu Widuri di tendang, nyari saja terjatuh ke got.

 "Akh!" Zaria memekik.

Widuri geram karena ulah kesengajaan wanita yang sejak lama sinis padanya itu. Widuri turut membalas, menendang keras tulang betis lawannya.

"Rasakan!" Cecar Widuri

"Enggak takut ya kamu!"

Perempuan berambut pirang itu maju selangkah. Namun Widuri tetap pasang badan.

"Aku tidak akan pernah takut! Kamu yang duluan menyakiti sepupu aku." Tangkas Widuri.

"Sialan!" Umpat lawannya. Rina.

Perempuan berambut pirang itu kembali melempari Widuri dengan botol air mineral yang masih tersegel. Tepat mengenai wajah Widuri.

"Auhk!" Widuri meringis. Dia tertunduk seraya mengusap area hidungnya. Lemparan wanita itu sangat keras.

"Kurang ajar kamu ya, sini!" Sepupu Widuri yang tadinya diam menarik paksa wanita itu hingga terjengkang.

Aksi jambak-menjambak dimulai, para pekerja di pabrik mengerumuni mereka. Sedangkan para staff melerai. Ketiganya dibawa ke kantor divisi untuk menyelesaikan masalah.

"Bikin malu! Kalian disini kerja, bukan untuk sok jagoan, kerja kalian aja enggak becus, belum capai target tapi terus berulah."

Ketiga perempuan itu diam sambil menunduk. Takut jika permasalahan ini menyebabkan mereka di pecat sebagai karyawan di pabrik kayu lapis.

"Jadi bagaimana? mau damai?" tanya kepala staff dengan nada tinggi.

Widuri melirik sepupunya, Zaria. Anggukan dilayangkan kepadanya, pertanda Zaria memilih damai daripada harus kehilangan pekerjaan. Sementara si Rina, perempuan berambut pirang itu tidak ikhlas. Dia masih menyimpan amarahnya, tetapi di sisi lain, Rina tidak ingin kehilangan pekerjaan. Rina janda beranak dua, perannya sebagai singel mom' harus mempertahankan pekerjaannya.

"Baik, Pak. Saya memilih damai," jawab Widuri.

Di susul Zaria. "Saya juga, Pak."

Rina mengepal geram. Acuh, tapi sorot mata kepala staff memelototinya agar ia juga ikut bersuara.

"Saya juga." Jawab Rina memutar mata malas. Ia bersikap demikian karena kepala staff itu masih keluarganya.

Mereka bertiga menandatangani surat pernyataan damai dan perjanjian agar tidak membuat onar lagi di kawasan perusahaan. Setelah tugas mereka selesai, semuanya kembali diminta untuk pulang. Sepotong hari kerja mereka tidak di bayar sebagai bentuk konsekuensi atas perbuatannya.

"Ini semua karena kamu kampung!" Gertak Rina yamg menyambar bahu Widuri dan Zaria.

"Aku tidak mau berkelahi lagi."

"Apa?! Sepupu bodoh mu ini kemarin boncengan dengan pacarku, kenapa kau mau merebut? hah?!" Rina menuduh sebab melihat Zaria di bonceng oleh Sarif.

"Tidak seperti yang kamu lihat. Sarif mengajakku karena dia mau bayar hutang di tetangga ku, kebetulan kami searah." Jelas Zaria yang sesuai fakta yang ada.

"Awas ya! Kalau kamu sampai genit-genit, aku akan menemui mu di luar!"

Rina berlalu dengan raut wajah marah. Dia keluar dari halaman pabrik mengendarai sepeda motornya. Widuri dan Zaria hanya geleng-geleng kepala. Tak ada cara lain selain sabar. Keduanya masih butuh pekerjaan untuk menunjang kelangsungan hidup mereka.

"Kita pulang, Yuk!" Ajak Widuri.

Mereka memanggil dua ojek untuk mengantar mereka pulang. Sampai saat ini keduanya belum bisa membeli sepeda motor. Untuk sekedar makan dan membiayai orang-orang terdekatnya, bagi Widuri dan Zaria sudah lebih dari cukup.

"Sudah sampai," ucap Widuri pada tukang ojek.

Zaria lebih dulu singgah di rumah neneknya. Sedangkan jarak rumah nenek widuri sekitar seratus meter lebih jauh.

"Pulang cepat, Nak? kamu sakit?" tanya Nenek Satia menggunakan bahasa daerah setempat.

"Tadi dipulangkan, ada kerusakan mesin, Nek." Widuri terpaksa berbohong agar neneknya tidak kepikiran.

Nenek Satia memperlihatkan kardus mie. Tapi didalam bukan isinya mie. Melainkan bahan makanan yang dikirim oleh Ibu kandung Widuri.

"Kiriman mama mu, tante Ira bawa, lebaran mama mu tidak bisa pulang." Nenek Satia menyampaikan pesan dari Ibunya Widuri.

"Oh, iya, Nek."

Hanya itu jawabannya. Singkat, tapi tetap terdengar kecewa. Widuri sudah terbiasa tanpa orang tuanya. Sejak kecil dia dan adiknya korban perceraian. Widuri sedih, tapi tidak ambil pusing sebab kedua orang tuanya sudah memiliki keluarga kecil masing-masing.

***

Suasana malam di desa itu sangat tenang. Hujan turun di sore tadi, bau tanah yang masih basah menyeruak di penciuman. Suara jangkrik terdengar agak bising, seolah sedang berpesta bagi kaumnya.

"Nenek udah tidur?" tanya Widuri menghampiri Neneknya yang berbaring di depan tv.

"Belum, Nak. Sini sama Nenek," ajak wanita berusia lanjut itu.

Widuri duduk berbaring di samping Neneknya. Menghirup aroma khas Mamak dari Ibunya. Hanya Widuri yang memilih setia mendampingi Neneknya. Semua keluarga sibuk di luar daerah. Mereka hanya sesekali menjenguk Nenek Satia di waktu lebaran saja.

"Tidurlah, besok kamu masuk kerja," kata Nenek Satia.

Widuri mengangguk lalu masuk ke kamar. Matanya memang sudah mengantuk, seharian membersihkan rumah menyebabkan badannya terasa sangat lelah.

"Ah, Nyaman nya .." Widuri merentangkan tangan berbaring di kasur.

Widuri merasakan ada hembusan angin dingin menyambar bahunya. Jendela kayu memang belum di kunci. Widuri beranjak menguncinya, namun sebelum itu dia memantau kehidupan malam di luar sana. Sepi dan hening. Cahaya remang lampu teras rumah tetangga tak dapat melawan gelapnya malam.

"Aku ingin tidur, apa yang akan terjadi ya?" gumam Widuri.

Entah mengapa, setiap malam, di menyisakan satu bantal, sejajar bantal kepala di sampingnya. Memberikan ruang kosong seolah akan ditiduri oleh seseorang. Widuri tidak punya alasan tepat mengapa melakukan hal itu. Dipikirannya merasa dia hanya melakukan karena ingin dan suka.

Bab 3 Bertanya-tanya

Widuri menarik nafas panjang. Rongga dadanya terisi udara segar, udara yang tidak terpapar polusi. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Widuri mencari sesosok yang dirindukan.

"Hei dimana kamu?" seru Widuri.

Tak ada pergerakan. Tak ada kemunculan seseorang yang dia cari. Widuri berjalan ke tepi danau lagi. Dia duduk melamun sembari berharap pria yang ia cari segera datang.

"Kamu dimana?!" Teriak Widuri.

"Hm, aku disini." Tiba-tiba pria itu ada disampingnya.

Widuri sedikit terkejut sebab pria itu selalu saja datang tiba-tiba, dan pergi sesuka hati. Seolah bersembunyi dibalik angin.

"Aku tadi sedang mencari sesuatu, maaf membuat mu menunggu," ucap pria itu.

Widuri merungut. Memasang wajah lusuh. Namun, membuat pria itu terkekeh.

"Kamu malah terlihat manis seperti itu."

"Godaan mu tidak berfungsi kali ini."

Pria itu menarik tangan Widuri. Digenggamnya erat, ada yang ingin dia sampaikan.

"Aku minta maaf, apakah kau memaafkan aku, Widuri?"

Wanita berlesung pipi itu tersenyum manis. Kekesalan tadi hanya candaan, sebab Widuri tidak pernah mengeluarkan kekesalannya terhadap seseorang secara gamblang. Widuri tumbuh menjadi wanita yang tidak bisa menolak atau sekedar membela diri. Jauh dari merdeka terhadap dirinya sendiri. Asal sebab karena dia menjadi korban perceraian yang memendam trauma.

"Aku maafkan, aku tadi juga bercanda, masa karena hal itu, aku jadi marah, kekanak-kanakan namanya."

 Celoteh Widuri menghadirkan tawa di wajah pria itu. Di kembali membelai rambut wanitanya.

"Namaku Kailash," ucapnya memberitahu.

Saking bahagianya, Widuri bahkan lupa menanyakan nama pria itu. Padahal ini pertemuan kesekian kalinya, walaupun hanya bertemu diwaktu tertentu.

"Namamu seperti orang barat jaman dulu."

Kailash tertawa. Tapi tak ada niatan meluruskan tanggapan Widuri.

"Kita seperti orang pacaran," kata Widuri melihat tangannya di genggam erat oleh Kailash.

"Kamu sudah punya pacar?" tanya Kailash. Mimik wajahnya kali ini serius. Walaupun ia tahu kebenarannya.

"Tidak ada, mana ada yang mau sama aku? aku tidak punya pendidikan, keluarga miskin, anak korban perceraian," keluh Widuri. Dia selalu minder dengan latar belakang keluarganya.

Kailash makin menggenggam erat tangan Widuri. Dia tidak perlu mendengar cerita kehidupan Widuri, karena ia sudah lebih tahu sejak dulu.

"Aku juga tidak punya pacar, kamu mau jadi pacar aku?" tanya Kailash. Kali ini nadanya serius.

Widuri tercengang. Dia menelan ludahnya dengan kasar. Mata elang Kailash menenggelamkannya dalam kekaguman. Ia tidak bisa menampik jika Kailash pria tampan yang ia tidak pernah temui sebelumnya di dunia nyata.

"Bagaimana, Widuri?" tanya Kailash. Dia menunggu jawaban pasti.

Widuri menarik nafas panjang. Dia tersenyum lalu menjawab, "Aku nyaman semenjak kita sering bertemu, aku pikir, aku munafik jika menolakmu."

Senyuman Kailash mengembang. Dia menarik tubuh Widuri lalu dipeluknya erat. Hari yang ia nantikan selama ini terjadi juga. Widuri sudah bersedia menjadi kekasihnya. Sungguh menakjubkan bagi Kailash yang lama menanti harap-harap cemas dengan jawaban Widuri.

"Aku janji akan membahagiakan kamu, Widuri." Ucap Kailash yang masih memeluk erat tubuh wanitanya.

Widuri dapat merasakan aroma semerbak dari tubuh Kailash.

"Aku bahagia, Widuri. Sangat bahagia .."

Widuri hanya mengangguk pelan dibalik pelukan Kailash. Dia juga sangat bahagia, bahkan melebihi Kailash. Sejak dulu dia menginginkan seorang pria yang mencintainya dengan tulus, menerima keadaannya, serta tidak menuntut banyak.

Semenjak mengenal Kailash, pria itu tidak pernah sekalipun mencela dirinya, komplain padanya, dan bertanya-tanya yang bisa menyebabkan Widuri tidak nyaman. Kailash adalah pria yang sempurna bagi Widuri. Pria yang selama ini ia tunggu untuk menjadi peran kekasih atau bahkan suami kelak, pikirnya.

"Aku sudah punya pacar, akhirnya aku tidak diketawain lagi sama teman dan sepupuku," ujar Widuri bangga.

Kailash hanya bisa menanggapi dengan anggukan. Keduanya berpelukan sambil menyelami perasaan masing-masing.

Hingga akhirnya ...

"Widuri, widuri," seru suara yang tak asing bagi Widuri.

Sontak Widuri terbangun dari tidurnya. Ternyata Nenek Satia sedari tadi mengguncang bahunya agar segera bangun.

"Ini jam delapan pagi,

"Hah?! masa iya, Nek? aku tidurnya lama ya?" Widuri tampak kebingungan.

 "Kamu tidurnya nyenyak sekali, ayo bangun mandi, ada acara hajatan di rumah tante mu," kata Nenek Satia berlalu keluar dari kamar cucunya.

Seperti biasa, setelah bangun tidur memilih melamun, merenungi perisitiwa yang ia alami di alam mimpi. Widuri merasa sedih dan kehilangan ketika bangun tidur, dia tidak bisa berkomunikasi dengan Kailash, pria yang sudah menjadi kekasihnya.

"Kailash .. Aku harap ini memang nyata," gumam rindu mengusap dadanya yang bergemuruh.

Ketika mandi, Widuri tak habis pikir dengan mimpinya yang berulang kali bertemu dengan Kailash. Beberapa bulan belakangan ini, di malam-malam tertentu, Kailash hadir di mimpinya. Menjadi pria tempat Widuri bercerita. Kenyamanan itu tumbuh hingga Widuri memilih menerima Kailash sebagai kekasihnya.

Setelah Widuri mandi, dia mencomot satu pisang goreng di meja, menyeruput teh hangat buatan Neneknya. Widuri melenggang ke kamar sembari mengunyah, dia terhenyak melihat setangkai lalang kering di atas kasur.

"Hm, ini ..Dari mana ilalang ini?"

Widuri teringat dengan akhir dari mimpinya. Ilalang yang ia pegang sempat terjatuh, tetapi dipungut kembali oleh Kailash.

"Apakah, apakah ini dari Kailash?" Widuri bertanya-tanya sembari mencari jejak kedatangan Kailash.

Nihil, tak ada tanda-tanda kekasihnya datang di pagi itu. Widuri yang masih mengenakan handuk menghampiri Nenek Satia yang bersiap-siap ke hajatan.

"Nek, tadi ada tamu ya?"

Nenek Satia memperbaiki topi punuknya.

"Tidak ada, memangnya tamu siapa pagi-pagi seperti ini?"

Widuri terdiam. Dia kembali ke kamarnya sembari memegang ilalang itu. Suara nenek Satia berseru di belakang sana, meminta Widuri segera bersiap-siap.

Gegas Widuri menaruh ilalang itu di dalam laci, berharap ia bisa menemukan jawaban setelah pulang nanti.

***

Warga di dusun itu berkumpul di rumah tante Welas. Ada acara pertemuan keluarga yang kedua pihak calon pengantin. Widuri ikut nimbrung di antara para sepupunya yang sedang mengobrol santai. Mereka sedang membahas Zaria yang sedang didekati oleh Sarif.

"Zaria mulu yang dideketin ya," kata Irma. Sepupu Widuri juga.

"Zaria punya badan yang bagus, semua orang beruntung pada tempatnya masing-masing." Ketus Lili.

"Iya, jangan gitu, kita tidak enak sama Widuri, maaf ya Widuri, Irma suka ngeselin," ucap Fitria.

Widuri manggut-manggut saja. Sudah bisa mendengar kata pedas Irma yang tanpa disengaja terlontar. Sejak kecil ia memaklumi sepupunya itu.

Kalau dipikir, Widuri lebih cantik dibanding Zaria. Namun, kebanyakan pria-pria disekitar mereka hanya mendekati Zaria saja. Widuri juga tak mau ambil pusing. Lagipula pria-pria itu juga berperilaku buruk, bahkan ada yang menjadi duda di usia muda.

"Hm, apa kamu tidak mau dekat dengan pria Widuri?" tanya Lili penasaran.

Widuri diam sesaat. Dia berpikir keras dengan pertanyaan Lili. Namun, terlalu naif jika Widuri bersikap biasa saja lalu mengelak. Akhirnya Widuri mengakui.

"Aku sudah punya pacar," jawabnya.

Keempat sepupunya itu tercengang. Mereka saling berpandangan, memastikan jawaban Widuri bukan salah dengar.

"Benarkah? kenapa kau menyembunyikannya dari kami?" tanya Zaria terkejut. Sebab, hampir setiap hari dia bersama Widuri, dari berangkat kerja sampai pulang kerja.

Widuri menarik nafas panjang. Lalu menatap satu persatu sepupunya itu.

"Sekalipun aku memberitahu kalian, pasti kalian akan shock dan tidak percaya, mending kalian tidak tahu. Cukup kalian tahu saja jika aku sudah punya pacar."

Zaria memandangi sepupunya secara bergantian. Mereka menganggap Widuri hanya menghindar agar tidak di cecar pertanyaan tentang pasangan.

"Baiklah, kapan-kapan kenalkan kami," kata Irma. Entah mengapa dia langsung mempercayai Widuri saat ini.

Ketiganya sepupunya kuga enggan bertanya lebih lanjut, tetapi Zaria akan lebih memilih mencari tahu Sebab, sebagai saudara, Zaria takut jika Widuri salah pilih pasangan.

'Kejujuran ku ini sebagai bentuk penghargaan kepada mu Kailash, aku harap ini nyata dan benar.' Ucap Widuri dalam hati.

Setelah mengucapkan demikian di dalam hari, tiba-tiba hembusan angin dingin menyapu tengkuknya. Widuri tersentak, mengusap tengkuknya yang meremang. Mimik wajahnya jelas tampak kebingungan. Lili menangkap ekspresi terkejut Widuri yang sesekali menoleh ke belakang.

"Kamu kenapa, Widuri? kok tegang sih?"

Widuri menggelengkan kepala. Dia terus-menerus mengusap tengkuknya. Widuri dapat merasakan udara disekitarnya berubah dingin. Padahal, matahari saat ini sedang terik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!