Mata lelaki berusia 29 tahun itu membelalak, bahkan minuman yang sedang di minumnya hampir menyembur keluar dari mulutnya.
"Kamu stress ya Bang?!!" Ucap pria bernama Aaron dengan suara yang cukup tinggi membuat perempuan yang ada di sekitar mereka terkejut.
Namun, lelaki itu tampak tak memperdulikan nya karena masih terkejut dengan apa yang telah dikatakan oleh lelaki yang dipanggil nya bang itu.
Keenan menghembuskan nafas dengan pasrah, Ia sudah menduga bahwa reaksi Keenan akan seperti ini sebelumnya.
"Aku mohon cuma kamu yang aku percaya buat aku minta pertolongan, untuk aku dan istriku, tolonglah kami," Keenan memohon pada Aaron.
Aaron menutup mata dan menggelengkan kepala karena tak tega melihatnya, kepalanya pusing seketika di mintai tolong seperti ini.
"Tanpa kamu memohon aku pasti akan menolong kamu Bang, aku pasti akan menjaga Raya seperti menjaga anakku sendiri. Walau kita tidak ada hubungan darah, aku sudah menganggap kalian seperti saudaraku sendiri!"
Ia menghembuskan napas dan memejamkan matanya sejenak, dan membukanya kembali lalu menatap lelaki yang lebih tua 13 tahun darinya yang ada di depannya itu.
"Kalian ingin aku menjaga Raya padaku dan menitipkan nya padaku, aku pasti akan melakukannya seperti aku menjaga anak-anakku, Lalu apa lagi yang kalian khawatirkan?"
Napas Aaron semakin cepat, sedangkan Keenan masih menampilkan wajahnya yang memohon. Lelaki yang sudah dianggap olehnya sebagai adiknya sendiri, tidak mungkin memahami apa yang sedang dipikirkannya, ia sedang bingung dan sudah kehilangan akal.
"Aku yakin kalau kamu akan menjaga Raya dan merawatnya dengan baik Aaron, tapi aku dan Dayana akan pergi sangat lama, kami butuh orang yang bisa menjaga Raya dengan baik dan bukan hanya menjaga, tapi juga mengajarinya dan membimbingnya, aku perlu itu Aaron. Apa kamu bisa hanya merawat dan menjaga nya tanpa menikahinya akan membuat kamu membimbingnya dengan baik, aku ragu kamu bisa melakukan itu. Jadi aku mohon nikahi Raya."
Keenan sudah tak tahu lagi bagaimana cara membujuk Aaron untuk memenuhi permintaannya ini. Hanya Aaron yang bisa dia percayai, hanya dia satu-satunya yang bisa dia percaya untuk menjaga anaknya.
Aaron bingung dengan situasinya saat ini, ia diminta oleh Keenan dan Dayana untuk menikahi anak perempuan mereka, sedangkan mereka berdua tidak mau memberitahu apa yang sebenarnya terjadi, masalah apa yang menerpa mereka sampai harus menyuruhnya menikahi anak mereka, ini sangat tidak masuk akal di pikiran Aaron,
dia seperti dimintai tanggung jawab untuk sesuatu yang tidak dia lakukan. Lidah Aaron terasa getir, makanan yang ada di depan meja yang seharusnya terlihat enak, menjadi seperti daun kering, nafsu makan nya sudah tidak ada lagi.
"Aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, tiba-tiba kalian datang bertamu ke rumah ku, dan meminta tolong sesuatu yang membuat aku seperti di tabrak mobil di pinggir jalan. Kalian pikir aku mau menolong kalian tanpa ada penjelasan yang jelas? Tidak!"
Aaron marah, permintaan Keenan terlalu semena-mena baginya.
Dayana yang semenjak tadi diam dan hanya melihat dua lelaki dihadapannya, akhirnya ikut memelas pada Aaron.
"Kami tidak bisa memberi penjelasan masalah apa yang menimpa kami sekarang, mungkin setelah kamu menik-"
"Kalau begitu kenapa kalian tidak minta tolong aku untuk membantu menyelesaikan masalah kalian saja?!!"
Perlahan-lahan, Aaron mulai mengerti bahwa masalah yang sedang menimpa mereka bukanlah masalah yang ringan, jika itu masalah ringan, tidak mungkin mereka memintanya untuk menikahi Raya, putri mereka yang masih belia dengan duda dua anak yang masih berusia enam tahun.
"Jika kamu menikahi Raya, kamu sudah membantu kami menyelesaikan sebagian masalah yang menerpa kami, Aaron," kata Keenan dan di setujui Dayana.
Aaron menghela napas panjang. Ia menggelengkan kepala dengan lemas untuk menolak permintaan gila dua orang yang dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.
Semua masalah itu ada solusinya, Aaron bahkan tidak tau masalah yang menimpa mereka dan menurutnya, menikahi Raya bukanlah solusi dan malah akan menambah masalah baru.
Keenan menghela napasnya, dan Dayana di sampingnya sudah menangis ketika mendengar penolakan dari Aaron.
"Raya masih kecil, dia masih SMA, ia masih punya masa depan yang panjang, apa kalian tidak memikirkan masa depan nya?" Kata Aaron dengan tegas.
"Justru karena kami memikirkan masa depan Raya, kami meminta kamu untuk menikahinya!" Ucap Dayana di sela-sela tangisnya.
Suara tangis dari Dayana membuat gadis yang duduk jauh dari mereka mengernyit bingung, ia bingung kenapa ayahnya meminta nya untuk duduk agak jauh dari mereka, sekarang dia melihat ibunya menangis, hati dan mukanya menjadi murung, makanan kesukaannya yang tengah dia makan menjadi terasa hambar, dia meletakkan sendoknya dan kemudian mendekati ibunya.
"Ibu kenapa nangis?" tanya gadis berusia tujuh belas tahun itu dengan polos.
Tiga orang yang sedang bicara itu kaget, mereka hampir lupa dengan si Objek pembicaraan yang dari tadi ada di antara mereka.
Dayana memaksakan senyumnya ke putrinya, air matanya ia biarkan menetes, karena ia tahu bahwa putrinya tidak akan peka terhadap apa yang sedang dialami orangtuanya.
"Nggak Kok, ibu cuma kelilipan," jawabnya.
"Tapi muka ayah sama paman Aaron juga kelihatannya lagi murung, kalian kenapa sedih?" Raya bertanya sambil menatap kedua lelaki dewasa di depannya bergantian.
Keenan menggeleng membantah pertanyaan Raya, ia memaksakan senyumnya, Aaron pun berusaha memperbaiki ekspresi mukanya.
"Enggak kok sayang, kita nggak sedih, kita cuma lagi ngobrol biasa aja kok, kamu duduk ketempat kamu lagi, ya."
Raya menekuk wajahnya, dari tadi mereka bertiga mengobrol sesuatu yang tidak bisa ia mengerti, ia juga tidak mendengarkan karena sedang asik memakan makanannya.
Kata ibu nya makan itu tidak boleh bicara, tetapi mereka bertiga malah saling bicara.
"Raya mau di suapi sama ibu," ucapnya sambil meminta pada ibunya.
Tangan Dayana mengelus kepala Raya, dan berusaha menunjukkan senyumnya.
"Nanti aja ya sayang, kamu makan sendiri dulu ya, nanti ibu suapi, sekarang kamu balik dulu dan lanjutin makanannya, ya," kata Dayana dengan lembut.
Raya hanya bisa menurut dan kembali ketempat duduknya.
Aaron yang melihat interaksi ketiganya, mengusap mukanya dengan kasar. Gadis itu terlalu kekanakan untuk remaja seumurannya. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Keenan dan Dayana memikirkan ide gila untuk menikahkan Raya yang menurutnya masih membutuhkan bimbingan kedua orangtuanya, bukan bimbingan dari seorang suami.
"Kami mohon, Aaron, tolong percaya pada kami, kami melakukan ini semata-mata untuk Raya agar dia tidak menderita karena
masalah kami. Bimbinglah dia, buat dia menjadi perempuan yang kuat dan dewasa, tolong nikahi dia."
Mulut Keenan merasakan pahit ketika mengatakan itu. Ia bahkan hampir ingin bersujud, jika saja tidak dicegah Aaron.
"Jika kamu mau menikahi Raya, kamu boleh menceraikannya ketika dia sudah lebih dewasa dan mandiri," ucap Keenan sambil masih memohon.
"Baiklah aku akan menikahi Raya," ucap Aaron pada akhirnya.
Tetapi, yang tidak diketahui oleh Aaron ketika setuju menikahi Raya itu artinya pernikahan dilaksanakan pada keesokan harinya. Aaron ternyata baru mengerti bahwa ternyata Keenan dan Dayana sudah menyiapkan pernikahan ini dengan sangat matang, dan ia yakin mereka sudah merencanakan ini sudah lama sebelumnya. Ketika Aaron diminta datang ke rumah Keenan, rumah itu sudah dipenuhi dekorasi sederhana, dan ada juga beberapa orang yang datang sebagai saksi, begitu juga penghulu yang sudah siap untuk menikahkan dia dengan Raya.
Keenan dan Dayana pasti tahu mau sekeras apapun Aaron menolak, dia pasti akan setuju pada akhirnya, sehingga ia merasa mereka sudah merencanakan semua dengan sebaik ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rayana Putri binti Keenan Pramudya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Aaron bahkan hanya memberikan mas kawin seadanya yang ada di dalam dompetnya yaitu,
tujuh ratus ribu rupiah.
Ucapan sah para saksi pun terdengar, doa pun dilantunkan. Setelah doa selesai kini saatnya mempelai perempuan mencium tangan suaminya yang sudah sah.
Ini sangat membuat bingung Raya, seingatnya tidak ada yang ulang tahun hari ini, tetapi kenapa rumahnya di dekorasi seperti ini.
Dan yang membuatnya lebih bingung, ia disuruh duduk di samping paman Aaron dan ayahnya ada di depan bersampingan dengan seseorang yang menurut Raya bisa ia panggil sudah kakek-kakek.
Raya benar-benar bingung dengan keadaan ini. Tubuhnya terasa panas karena harus mengenakan pakaian kebaya berwarna putih dengan bawahan batik. Rambut dan wajahnya juga di beri riasan tipis oleh ibunya, ia merasakan panas mungkin karena tidak pernah memakai make up sebelumnya.
"Raya Sayang, sekarang kamu pasangin cincin ini ke tangan paman Aaron, terus nanti kamu cium tangan sama paman Aaron, ya." Kata ibunya yang ada di belakang Raya.
Meskipun dia bingung, tetapi dia tetap melakukan apa yang di suruh ibunya.
Aaron menyodorkan tangannya pada Raya, setelah ia mendengar yang di ucapkan Dayana pada Raya. Cincin itu ternyata sangat pas di jarinya, mereka benar-benar sudah menyiapkan semuanya dengan matang.
Setelah itu Raya mencium tangan Aaron, kini giliran Aaron yang memasang cincin ke jemari Raya, lalu setelahnya dia mencium kening gadis itu.
Tindakan yang dilakukan Aaron sebelumnya membuat Raya semakin heran. Apa ini yang namanya menikah seperti yang pernah di katakan oleh ayahnya.
Dia sendiri lah yang menikah dan itu dengan paman Aaron.
Kata ibunya dulu, menikah itu hanya dilakukan oleh orang yang sudah besar dan dewasa, dan Raya merasa dia belum cukup dewasa untuk menikah.
Kenapa ayah dan ibunya begitu tega menikahkan dirinya secepat ini.
Tetapi, ketika Raya melihat wajah kedua orang tuanya yang terlihat bahagia dan tidak murung seperti kemarin atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya, ia pun ikut tersenyum.
Raya merasa bahagia jika ayah dan ibunya senang dengan pernikahannya.
"Ayah sama ibu mau pergi kemana?" tanya Raya dengan polosnya ketika melihat Keenan dan Dayana berdiri di hadapannya.
Beberapa saat setelah pernikahan itu selesai, Keenan dan Dayana tanpa basa basi sudah menyiapkan dua koper besar dari kamar mereka, mereka akan pergi, tapi tidak ada diberitahu dan tidak ada yang tahu, kemana mereka akan pergi.
"Raya nggak diajak?" Dia kembali melontarkan pertanyaan meskipun pertanyaan sebelumnya belum dijawab.
Ia takut akan di tinggalkan oleh ayah dan ibunya.
Dayana mendekat dan membelai kepala putrinya. "Ibu kan sudah bilang kemarin ibu sama ayah mau pergi." katanya dengan lembut dan senyum menenangkannya.
"Raya mau ikut." rengekan dari nya keluar dari bibirnya, disertai air matanya yang mulai membasahi pipinya.
"Ayah sama ibu pergi Raya sama siapa?"ucap Raya.
Dayana memeluk putrinya, membiarkan putri menangis di pelukannya.
"Ibu kan sudah bilang, Raya nanti tinggal saya paman Aaron, paman Aaron pasti jagain Raya." bisik ibunya pada Raya sambil mengelus pundak putrinya itu.
"Tapi Raya maunya tinggal bareng ayah sama ibu!" Raya memeluk ibunya dengan kencang takut akan pergi jika ia melepaskannya, tubuhnya gemetar dan tangis makin banyak.
"Raya kan udah janji bakal jadi mandiri, itu artinya Raya bakal tinggal jauh sama ayah dan ibu, kamu harus tenang, paman Aaron itu orang yang baik, kok." ucap Dayana.
"Tapi ibu Raya-" ucap Raya namun di sela ibunya.
"Ingat pesan ibu, kamu harus nurut sama semua yang di ajarin sama paman Aaron,
Kamu harus patuh sama dia."
Keenan yang melihat dan mendengar tangisan putrinya tidak berani beranjak dari tempatnya, ia takut benteng ada dalam dirinya akan roboh.
Keenan memberitahu lewat tatapan matanya, meminta Aaron mengurus Raya ketika dia melihat istrinya kelelahan melepas pelukan Raya, hingga akhirnya Dayana terlepas dari pelukannya Raya.
"AYAH?!!!" Raya teriak dengan keras, tubuhnya yang dari tadi ditahan Aaron memberontak dengan hebat.
Aaron merasa kelelahan, meski tubuh Raya yang lebih mungil bagi dirinya, tetapi tenaganya sangat kuat.
"LEPASIN, RAYA MAU IKUT AYAH SAMA IBU, LEPASIN RAYA!!!!" tenaganya bertambah dan membuat pelukan Aaron terlepas.
Raya langsung lari mengejar ayah dan ibunya yang sudah menaiki mobil, dan lambat-laun mobil itu sudah semakin jauh dari Raya.
"AYAH, IBU!!!" gadis berambut panjang itu akhirnya terduduk di aspal karena sadar kaki nya tak mungkin bisa mengejar mobil orang tuanya.
Tangis Raya menjadi terisak-isak, ia mulai membisikkan ayah dan ibunya di tengah tangisannya.
Terdengar sangat menyedihkan, membuat perasaan Aaron yang berdiri dibelakangnya terasa sakit.
Aaron membawa Raya kerumahnya, ia sedang menangis sesenggukan di pelukannya, tangisan tak kunjung berhenti dari semenjak perjalanan menuju rumahnya dan hingga saat ini gadis itu duduk pangkuannya.
Aaron bingung tidak tahu bagaimana cara menenangkan Raya, ia merasa tak tega mendengar napas Raya mulai terasa tersengal-sengal.
"Sudah berhenti menangis," bisik nya di telinga Raya. Lengannya tak berhenti mengelus kepala Raya. Hanya itu yang ia bisa untuk menenangkannya.
Selama hidupnya, baru kali ini Aaron merasa kesusahan menenangkan seseorang yang sedang menangis. Menenangkan anaknya, jauh lebih mudah, karena mereka masih kecil sehingga gampang dibujuk, sedangkan Raya ini sudah remaja, sudah susah dibujuk lagi.
"Hey sudah berhenti!" kata Aaron sekarang lebih tegas.
Sebenarnya, Aaron bukanlah tipe orang yang memiliki banyak kesabaran. Ia sedikit tidak bisa menahan emosi kepada orang-orang yang menggangu.
Raya jelas tak mengganggunya, Aaron hanya tak tega mendengar tangisan kesakitan Raya.
Raya merasa telah dibuang, ia merasa sakit hati ketika pikirannya berkata bahwa mungkin ayah dan ibunya sudah tak menyayanginya lagi.
Selama ini, Raya tak pernah berjauhan dari ayah dan ibunya. Ayahnya adalah seorang pemilik usaha toko bangunan terbesar di kota. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa yang mengurus kebutuhan keluarganya.
Mereka bertiga hidup dengan harmonis dan bahagia. Karena Raya adalah anak tunggal, ia jadi terlalu dimanja dan disayangi ayah dan ibunya, inilah yang menyebabkan terbentuk kepribadiannya yang sekarang, Manja dan polos.
Raya semakin kencang menangis, tangisannya kembali pecah ketika mengingat saat ia selalu di suapi oleh ibunya, meski sudah berumur tujuh belas tahun, dan ketika dia teringat dulu dia sering masuk ke kamar orangtuanya dan tidur bersama mereka karena takut pada hantu.
Harusnya Raya tidak menangis seperti ini, ia harusnya malu menangis di hadapan orang lain, meski itu di hadapan Aaron yang sudah dianggap bukan orang lain untuknya. Ayah dan ibunya sudah bagaikan saudara dengan Aaron dan sangat akrab dengannya. Meski sebenarnya Raya tak begitu akrab dengan Aaron karena sifatnya yang pemalu dan polos.
"Raya! Kalau kamu nggak bisa berhenti nangis, ayah sama ibu kamu gak akan pulang lagi!" ucap Aaron dengan nada sedikit keras.
Raya sampai menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya agar berhenti menangis. Aaron yang melihat itu sedikit menyesal kenapa tidak dari tadi dia menggunakan ancaman itu.
"R- Raya U- dah g- gak n- nangis, A-yah sama I-ibu nan-ti pu-lang kan?" tanya Raya dengan terbata karena terlalu lama menangis.
"Enggak akan, kalau air mata kamu masih ada!" kata Aaron lagi.
Raya dengan buru-buru mengusap mata dan pipinya dengan kasar. Aaron tersenyum kecil melihatnya, ia mengambil segelas air dihadapannya dan diberikan ke Raya.
Raya tidak langsung meminum air itu dan malah memandanginya, airnya tidak dingin maupun hangat.
"Minumlah," kata Aaron.
"Raya nggak suka air biasa," kata Raya.
Aaron menghela napas, gadis itu berpikir di rumahnya ada air yang luar biasa? Aaron langsung menempelkan gelas itu ke mulut Raya dan memaksanya minum.
Setelah minum, Raya merasa sudah baikan dan tenang sekarang, hanya matanya yang sembab dan merah karena terlalu lama menangis.
"ehem, mau sampai kapan kamu duduk di paha paman?" kata Aaron menyadarkan Raya posisinya yang sekarang.
Mukanya yang merah karena habis menangis, menjadi semakin memerah sekarang. Dia benar-benar tidak sadar bahwa sedari tadi dia dipangku oleh Aaron, karena terlalu sibuk menangis.
"Maaf paman." ucapnya pelan, ia berusaha bangun tetapi tidak bisa karena terlalu kelelahan sehabis menangis.
"Aduh Raya nggak kuat bangun."ucapnya.
Tiba-tiba ada suara teriakan datang dari pintu masuk."AYAH NAYA BARU PUL-" suara anak perempuan itu langsung berhenti ketika melihat ada seseorang yang duduk di paha ayahnya.
Dengan cepat, bocah itu langsung berlari menghampiri Raya dan ayahnya dan menarik rambut Raya hingga membuat Raya baru saja berhenti menangis menjadi kesakitan menangis kembali.
Aaron yang kaget tidak sempat bereaksi dan baru sadar beberapa detik kemudian, ia berusaha memisahkan mereka berdua.
"Aduh Naya jangan begitu, lepasin rambutnya nak!" ucap Aaron panik melihat betapa kuatnya tarikan putrinya pada rambut Raya.
"Sakit..." Tangis Raya karena rambutnya yang di tarik dengan sangat kuat.
"Udah dong Naya, kasihan kakak ny-"ucap Aaron namun terhenti.
"Enggak mau, dia mau ngambil papa dari Naya!" potong gadis cilik itu dan semakin menarik dengan kencang rambut Raya.
Raya semakin menangis karena kulit kepala serasa mau copot ditarik seperti itu.
Aaron tak tahu lagi harus bagaimana, karena kalau soal dirinya putrinya itu akan sangat posesif dan cemburu buta pada siapa saja yang mendekati papanya. Ia juga merasa bersalah karena tidak mendengar suara apapun dari luar, Aaron seharusnya tahu bahwa di jam segini anak-anaknya sudah pulang sekolah di jemput neneknya.
Aaron mencari ke sekitar dan melihat di depan pintu ibunya sudah kembali bersama anaknya yang satu lagi. Dengan lirikan matanya Aaron meminta ibunya untuk membantunya memisahkan Naya.
Wanita berusia enam puluhan itu kaget dan dengan segera menghampiri Naya untuk memisahkannya.
"Naya jangan gitu, kasihan kakaknya, ayo sayang lepasin rambut kakaknya, kasihan kakaknya nangis kesakitan," ucap Rani pada Naya. "Kalo naya galak kaya begini nenek ga akan ajak Naya lagi sama nenek."
Mendengar kata-kata nenek gadis kecil itu melepaskan tarikan nya karena takut tidak diajak neneknya lagi. Ia pun memilih untuk menahan marahnya saja.
Aaron dan Rani merasa ngilu ketika melihat banyak rambut Raya yang tersangkut di jari Naya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!