SUASANA dingin dari embun pagi dan keramaian di SMA Bina Harapan Nusantara menyambut kami, para murid, sesaat setelah matahari terbit. Sekolah ini selalu penuh aktivitas sejak pagi, terutama di area tribun yang menjadi favorit para siswi sebelum pelajaran dimulai.
"Uhuyy, Justin! Selamat pagi, sayangku, cintaku, semestaku, belahan jiwaku, hidup dan matiku!" teriak Anya, cewek paling centil di sekolah ini. Justin hanya tersenyum sambil melempar bola ke pinggir lapangan basket.
Teman yang berjalan di belakang Anya langsung mengernyit, menarik tangannya, "Berlebihan kamu!"
Contohnya ya, seperti itu.
"Apaan sih? Namanya juga cinta! Coba kamu tanya Justin deh. Cewek mana sih yang nggak tergoda sama dia?" Anya, dengan ciri khas poni tebalnya, menghentakkan kaki di lantai sekolah berulang kali.
"Lempar lagi, Roy!" seru Justin pada temannya, tampil gagah bersama rekan-rekannya saat bermain basket.
"Ah, Justin!"
Teman ceweknya kembali mencolek pinggangnya. "Bantuin aku bawa buku ke ruang guru, nanti aku kasih imbalan!"
"Imbalannya Justin, ya? Harus Justin!"
"Justin terus kepalamu itu!" protes rekannya.
"Tapi aku mau Justin! Harus Justin, ya!" rengeknya lagi.
"Iya, iya."
Bel berbunyi. Justin berhenti bermain, melempar bola sembarangan, lalu tersenyum tipis. "Tuh, lihat. Bener kan aku bilang? Cewek-cewek itu tergila-gila sama aku!"
Sambil menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, temannya bertanya, "Mau pacaran, Bos?"
Justin menggeleng. "Enggak, nanti saja aku cari yang sesuai tipeku. Cewek centil kayak gitu, bukan tipeku. Nanti saja!"
"Bos, bos, bos!"
Sambil mematikan ujung rokok dan membuang sisa puntungnya, Justin menyela, "Aku lihat, kok!"
Di tempat lain, area parkir sekolah SMA Bina Harapan Nusantara.
"Sebetulnya aku heran, Yeon. Sebulan kita sekolah di sini. Aku mikir, kenapa mamaku bersikeras pindah ke sini setelah kematian Matthew dan Papa? Pindah rumah ke kompleks baru!" Abigail menghentakkan punggungnya ke jok mobil, tampak lesu. Banyak hal yang memberatkan pikirannya.
"Beruntungnya aku dapat dua slot buat olimpiade. Satu untuk CV, satu lagi untuk prestasi masuk kedokteran!"
Sahabatnya, Yeon, mengangguk. "Iya, kamu pikir kenapa?"
Abigail tersenyum tipis. "Mama sedang dalam fase move on, Yeon. Dia sedang berusaha menerima takdir karena kehilangan suaminya dan orang yang nyaris jadi menantunya."
"Aku juga bisa merasakannya, apa yang Mama rasakan!" kata Abigail lirih.
"Gabriella Abigail, kamu ingat cowok yang itu? Yang sebulan lalu kita perkenalan."
"Mungkin sedikit mirip Matthew, ya?" Sahabatnya mengamati Abigail yang masih terlihat belum move on. "Ini juga, gimana kamu mau move on kalau semua buku-buku kamu adalah pemberian dari Matthew?"
Abigail tersenyum tipis. "Iya, iya."
"Nanti aku temenin kamu ke mana pun, oke? Oh iya, olimpiade!" Yeon sedikit berteriak. Abigail mengangguk.
"Kamu sudah bilang ke Mama? Juga kepala sekolah?"
"Ke Mama sudah. Ke kepala sekolah belum, kayaknya abis ini. Aku nggak nyangka, baru pindah sudah langsung ditunjuk ikut olimpiade nasional!"
Yeon tersenyum bangga. "Hebat, kamu memang ditakdirkan jadi calon dokter yang berprestasi!"
Abigail tertawa kecil. Setelah berbincang, mereka mendengar bel masuk. Mereka pun turun dari mobil, membawa tas masing-masing, menyusuri setiap koridor hingga sampai ke kelas 12.
"Enggak nyangka ya, sebentar lagi kita kuliah! Waktu itu cepat banget rasanya!" kata Abigail saat mereka berlari kecil masuk ke kelas, tepat beberapa menit sebelum guru datang.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa guru wanita itu. Para murid menjawab serentak, "Pagi, Bu!"
---
Abigail mulai fokus pada pelajaran, mengambil buku catatan dan pensil untuk menyalin catatan di papan tulis. Namun, seorang cowok terus-menerus mengganggunya dengan melempar kertas yang sudah diremas ke arahnya.
"Hei, culun!" serunya, melempar satu lagi kertas.
Abigail berbalik dengan tatapan tajam. "Culun? Kamu yakin? Cewek sebadass aku kamu bilang culun?"
"Iya deh, cantik!"
Beberapa saat kemudian, Abigail berdiri di depan kelas dan berkata kepada teman-temannya, "Guys, kalau ada cewek yang berhasil luluhkan Justin, kasih tahu aku, ya?"
Saat Abigail menatap ke arah Justin, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda, seolah sebuah pertanda. Yeon, sahabatnya, menyela. "Aku mau nulis, minggir dong!"
Cewek itu berjalan sambil tersenyum ke arah tempat duduk Justin, yang dengan genit memukul pelan pantatnya saat dia lewat.
"Justin, dasar genit!"
Waktu berlalu, dan Abigail tidak merasa kesulitan memahami pelajaran meski suasana kelas cukup bising. Hingga wali kelasnya masuk dan memanggil namanya. "Abigail, ikut ibu ke ruang guru sebelum bel istirahat."
Abigail menutup bukunya. "Baik, Bu."
"Abi, good luck!" Yeon membuat simbol cinta dengan tangannya, membuat Abigail tertawa kecil.
Di ruang guru, kepala sekolah menyapanya hangat. "Prestasi kamu luar biasa, Abigail. Ibu bangga. Semua medali dan pencapaian kamu sangat menginspirasi."
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu," jawab Abigail dengan senyum hangat.
Saat bel istirahat berbunyi, Yeon langsung menyambut Abigail di depan pintu.
"Gimana, Bi?"
"Olimpiade, Yeon," jawab Abigail dengan tenang.
"Kenapa kelihatannya murung? Kamu tuh luar biasa! Pinter, cakep, sempurna deh!" Yeon merangkul Abigail dengan semangat.
"Ya, kamu benar, tapi aku masih merasa ada yang hilang," kata Abigail, terkejut saat seorang cowok tinggi dengan tatapan tajam—mirip Matthew, mantan kekasihnya—berdiri di hadapannya.
Laki-laki itu menggenggam tangannya lembut. "Kalau kamu ikut olimpiade, aku yakin kamu menang. Semangat terus, ya?"
Sosok itu, Justin, membuat semua orang di koridor tertegun, termasuk Anya yang melihatnya dengan mata berkaca-kaca.
"Justin, aku baru sadar ada murid sepertimu," batin Abigail.
"Siapa dia?"
"Namanya Abigail. Dia anak baru, tapi langsung berhasil merebut hati Justin," ujar Anya, tampak terkejut.
"Pintar, kaya, sempurna!" puji Erika, temannya. Jujur saja, Anya merasa tidak nyaman dengan segala hal yang diraih oleh Abigail, si anak baru itu.
"Sekarang dia juga akan ikut olimpiade. Baru sebulan di sini, dia sudah berhasil mengambil hati Justin. Menurutku itu hebat, apalagi Justin itu benar-benar seperti es batu. Tidak ada yang bisa meluluhkan hatinya, tapi Abigail bisa. Jadi, menurutku kerenlah. Sepertinya, tipe Justin itu bukan yang manja dan genit," sindir Erika kepada Anya.
“ERIKA, KAMU MENYEBALKAN!” teriak Anya di tengah koridor, di antara para siswa yang lalu-lalang.
O0O
"Jadi, kamu ingin ikut?" tanya Yeon.
“Tentu saja, aku mau,” jawab Abigail dengan senyum lebar. "Aku ingin jadi dokter, sesuai pesan Papa dan Matthew! Mereka berdua adalah sumber semangatku. Walaupun mereka sudah tiada, aku tetap ingin menjadi dokter."
“Abigail, pernah terantuk kepalamu?” tanya Yeon, menatap Abigail yang sedang mengaduk cokelat panasnya di kantin sekolah.
“Belum, memangnya kenapa?” Abigail bertanya penasaran.
Yeon menghela napas panjang, namun merasa lega melihat senyum kembali menghiasi wajah Abigail. "Ikut olimpiade, ya? Semangat, kamu pasti bisa!"
“Ya, aku tahu kok!”
Kehidupan Abigail selalu berdampingan dengan kenangan yang sulit untuk dilupakan. Dia sangat mencintai Matthew, begitu tulus. Setiap barang pemberian Matthew menjadi saksi cintanya yang dalam, seolah menjadi pengganti pesan cinta dari kekasih pertamanya. Sedangkan sosok ayahnya adalah sumber kekuatan baginya.
Namun, Abigail tetaplah sosok yang ceria. Meskipun ia membutuhkan penopang untuk tetap berdiri kuat, ia menjalani hidupnya dengan semangat. Bahkan setelah kepindahannya ke sekolah dan rumah baru, Abigail tetap berusaha bangkit. Ibunya, Eliza, sangat terpukul oleh kehilangan ini, namun tetap mendukung Abigail dengan segenap cinta.
"Kamu sepupu yang baik, Yeon. Tante tidak pernah khawatir, karena percaya bahwa Abigail aman bersama kamu," ujar Eliza, ibu Abigail, beberapa bulan lalu.
“Tante hanya tidak ingin Abigail terus dibayangi kematian ayah dan kekasihnya. Kamu tahu, kan, Abigail sangat trauma ditinggal ayahnya,” ujar Eliza, suaranya bergetar menahan isak.
“Terima kasih, Tante, atas kepercayaan yang selalu diberikan kepadaku sebagai keponakan Tante,” jawab Yeon sambil menundukkan kepala di ruang tamu rumah baru Abigail.
Setelah itu, Yeon dan Eliza berjalan-jalan menyusuri rumah baru tersebut. Rumah itu, dengan desain klasik dan sebagian besar isinya, menjadi perwujudan impian keluarga bahagia yang didambakan Eliza.
O0O
“Wah, luar biasa!”
Yeon dan Abigail berjalan mengelilingi rumah. Bangunan berwarna cokelat klasik ini penuh dengan keindahan yang memikat, hingga mereka akhirnya sampai di kamar Abigail. Di sana terpajang piala, medali, dan sertifikat yang jumlahnya cukup banyak, hingga membuat Yeon terpaku.
“Kamu ikut lomba-lomba ini sejak kecil, ya? Banyak sekali!”
“Iya, sejak TK. Dari lomba mewarnai hingga berbagai lomba lainnya. Lumayan untuk melatih otak agar tidak tumpul.”
Yeon menatap lemari penuh penghargaan itu dengan kagum. “Keren sekali, aku sampai ngiler melihat prestasimu. Aku ingin satu piala ini, boleh?”
“Ada-ada saja kamu ini. Memangnya bisa?” Abigail tertawa kecil.
Yeon mengangguk sambil membuat tanda dua jari, “Tentu saja bisa. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini?”
Abigail menggeleng, “Bisa sih, tapi nanti masuk penjara karena pemalsuan. Mengerti?”
O0O
Di bulan ini, Abigail kembali menunjukkan tekadnya untuk meraih prestasi bagi keluarganya. Setiap hari dia rajin belajar dan bertanya tentang soal-soal olimpiade kepada guru-gurunya. Ketika jam istirahat, dia sering mengunjungi ruang guru atau menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mencatat poin-poin penting dari buku yang ia baca.
Justin diam-diam memperhatikan Abigail dari luar pintu perpustakaan. Ia merasa tidak salah telah jatuh hati begitu cepat pada gadis itu.
"Justin, aku punya es krim. Mau nggak? Rasanya manis lho, seperti kamu!" goda Anya. Ia memang selalu mencari kesempatan untuk menggoda Justin, pria yang sangat ia sukai.
Di balik pintu perpustakaan, Yeon melihat keduanya. Ia mendekat dan bertanya, “Kalian berdua sedang apa di sini?”
“Pacaran!” jawab Anya cepat sambil membetulkan pita merah di rambutnya.
“Maaf, kamu siapa?” tanya Justin sambil berusaha masuk ke perpustakaan. “Aku ingin membaca buku!”
“Justin!”
Yeon masuk ke perpustakaan dan bertanya, “Mengapa ramai sekali di luar?”
“Anya dan Justin, kalau mau pacaran, tolong di luar saja ya, jangan di perpustakaan,” tegur penjaga perpustakaan.
“Saya hanya ingin membaca buku, Bu!” jawab Justin dengan suara agak keras.
“Sudah, aku ingin membaca buku sendiri, oke? Jangan ikut-ikut,” ucap Justin kepada Anya yang terus merengek.
“Aku ingin ikut!”
Akhirnya, mereka berdua masuk ke perpustakaan. Tempat yang biasanya tenang itu berubah menjadi agak ramai.
Abigail dan Yeon sibuk dengan buku masing-masing, tidak terlalu memperhatikan orang yang tiba-tiba berdiri di depan mereka.
“Cantik!” seru Justin.
“Aaaw, terima kasih, Justin! Aku tahu kok, aku memang cantik,” balas Anya dengan nada ge-er.
“Tapi aku memuji Abigail, bukan kamu. Abigail itu pintar, sempurna. Iya, kan, sayangku?” goda Justin kepada Abigail, membuat Anya terlihat jengkel.
Yeon, Abigail, Anya, dan Justin terdiam sejenak sampai penjaga perpustakaan mengingatkan mereka untuk tenang.
O0O
Justin kemudian duduk di hadapan Abigail, terpisah oleh rak buku di antaranya.
“Semangatmu luar biasa, ya, bisa membuatmu melangkah maju untuk olimpiade. Nilai rapormu sudah seperti emas, tidak ada yang bisa menyaingimu. Kamu keren, Bi!” katanya dengan nada percaya diri.
Abigail menatap Justin lalu tersenyum kecil. “Terima kasih sebelumnya. Eh, namamu siapa? Aku Gabriella Abigail.” Abigail mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Justin tampak terpesona. “Aku Justin, murid yang paling dikenal di sekolah ini. Salam kenal!”
“Oh, jadi seluruh sekolah mengenalmu?” Abigail menutup bukunya sejenak, beristirahat dari membaca.
“Ya, benar sekali. Semua orang di sekolah ini mengenalku. Kalau kita disandingkan, keren kita akan berkali lipat!” jawab Justin dengan percaya diri.
"Hm, baiklah." Abigail tersenyum, melirik catatan tentang olimpiade yang akan segera tiba.
Buku dan Tulisan dengan Tinta Merah
Abigail mencerna setiap kata yang ada dalam pikirannya, memikirkan langkah-langkah ke depan. Setelah keluar dari kelas, dia berlari di sepanjang koridor yang dipenuhi siswa yang berlalu-lalang. Anak-anak yang tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler sepak bola, tari, hingga basket, semuanya bersiap menunjukkan kemampuan mereka di lapangan pagi itu.
Tak ketinggalan, Justin, murid paling populer di sekolah atau "Most Wanted," juga muncul dari kelasnya dengan bola basket kesayangannya. Sepanjang perjalanannya, kamera dari teman-temannya terus membuntutinya, merekam setiap langkah dan ucapannya, termasuk saat Justin memberikan klarifikasi mengenai gosip yang beredar tentang dirinya dan si anak baru, Abigail.
"Justin! Justin!" panggil seorang teman laki-lakinya, tetapi Justin tetap tak peduli dan asyik memainkan bola basketnya.
"Justin, bagaimana tanggapanmu soal foto yang tersebar dengan si anak baru?" tanya seorang siswa bertubuh besar yang memegang mikrofon kecil di tangannya.
"Foto di perpustakaan kemarin, dengan Abigail dan temannya?" Justin hanya mengangguk tipis. "Siapa yang menyebarkan foto itu?"
“Justin!” teriak Anya yang mendekat ke arah kerumunan, dengan wajah penuh semangat. "Aku yang menyebarkannya ke akun gosip, memangnya kenapa?" katanya tanpa rasa bersalah.
“Sudah kuduga, kamu yang jadi biang keladinya!” sahut salah seorang siswa, yang langsung menggiring Anya ke tengah kerumunan dan menggoda gadis itu dengan tawa.
Di sisi lain koridor, Abigail bersama para siswa yang terdaftar sebagai peserta olimpiade sekolah tahun ini berjalan menuju lapangan untuk bersiap-siap. Mereka akan berangkat ke sekolah lain yang menjadi tuan rumah acara tersebut, bersama para guru pendamping.
“Kuduga, kamu pasti ikut maju, Abigail,” ucap Yeon, sahabatnya.
“Tenang saja, aku sudah memberi tahu ibuku. Nanti siang aku akan pulang,” jawab Abigail sambil menggendong tas yang berisi buku dan peralatan tulis.
"Hanya satu hari, tapi aku akan sangat merindukanmu!" kata Yeon dengan nada dramatis.
"Jangan berlebihan. Nanti juga aku pulang," balas Abigail dengan tersenyum.
Mereka berdua berjalan bersama menyusuri koridor hingga tiba di lapangan, di mana mobil jemputan sudah menunggu untuk membawa rombongan peserta olimpiade ke tempat tujuan. Semua mata tertuju pada mereka, kecuali para siswa yang tengah berlatih paskibra.
Justin mendekati Abigail, yang tengah berdiri di pinggir lapangan. “Semangat, sayang. Aku yakin kamu akan menang dan hasilnya memuaskan. Aku percaya pada kemampuanmu!” katanya dengan yakin, dan Abigail mengangguk menerima dukungan tersebut.
Perkataan Justin membuat para siswa yang ada di sekitar mereka berbisik-bisik. Panggilan “sayang” dan foto mereka yang tersebar di media sosial langsung menjadi pembicaraan hangat.
Sementara itu, Anya yang merupakan penggemar berat Justin sudah sejak tadi mendekati teman-teman Justin untuk mencari informasi, bahkan sampai harus “memaksa” George dan Roy, dua sahabat Justin, agar mau bekerja sama dengannya.
"Kalian ini menyebalkan! Sudah jelas tinggal bilang saja ke bos kalian, soal perasaanku ini. Tidak susah, kan?" keluh Anya sambil melirik Roy yang hanya mengangguk.
"Memangnya kalian berdua sedang apa di sini?" tanya Erika, sahabat dekat Anya, yang datang dengan membawa pel dan sapu.
“Kamu sendiri sedang apa di sini?” balas Anya sambil melirik temannya di toilet sekolah.
"Kalian baru saja selesai, ya? Hah?!” Erika terdiam dengan wajah bingung, tak percaya bahwa Anya bisa mengajak dua pria berbicara sekaligus.
“Pikiranmu kotor! Aku cuma meminta tolong pada mereka berdua untuk mendekatkanku dengan Justin, tapi sulit sekali. Mereka ini bandel,” keluh Anya.
Roy kemudian menjelaskan, “Gimana nggak susah? Bos kami itu lebih suka jatuh cinta secara alami. Dia bukan tipe yang mudah dirayu. Kalau ada usaha, boleh saja, tapi modal cinta saja tidak cukup. Cinta tidak bikin kenyang!”
Anya hanya bisa mengeluh sambil mencubit lengan Roy, “Kalian ini memang menyebalkan!”
Erika yang melihat percakapan itu hanya bisa tertawa kecil. “Sepertinya kamu langganan bikin masalah ya, Er?”
“Ah, iya. Aku sedang menjalani hukuman membersihkan toilet selama tiga puluh hari. Sudah sepuluh hari, tinggal dua puluh hari lagi,” jawab Erika sambil terkekeh.
“Lama sekali! Kamu kena masalah apa?” tanya George penasaran.
“Ah, kalian kepo sekali!” sahut Erika sambil tertawa.
O0O
“Semangat, Abigail!” seru Justin di tengah lapangan, mendukung keberangkatan Abigail ke olimpiade.
Para siswa di sekitar mereka mulai berbisik lagi. “Benarkah mereka pacaran?”
“Apa? Anak baru berhasil dapetin si Justin?”
“Wow, ini gila! Most Wanted kita jadian dengan anak baru!”
Begitu banyak bisikan dan komentar dari para siswa lainnya yang melihat Abigail berhasil menarik perhatian Justin, siswa paling dingin dan susah didekati di sekolah. Abigail tersenyum tipis dan melambaikan tangan kepada rekan-rekannya yang sudah siap masuk ke mobil untuk pergi ke tempat olimpiade.
“Abigail, semangat ya!” kata Yeon.
Tidak mau kalah, Justin juga berteriak, “SEMANGAT YA, CINTAKU!”
Yeon hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan kata “cinta” yang diucapkan Justin. Semua siswa seketika terdiam mendengar teriakan Justin yang begitu lantang.
O0O
“Tunggu, tadi kamu bilang apa? Cinta?” tanya Yeon saat mereka hendak kembali ke kelas. Justin yang berjalan di depannya berhenti dan menoleh.
“Aduh, kakak ipar!” ujar Justin dengan senyum mengembang saat melihat Yeon, sahabat dekat Abigail.
“Aku bukan kakaknya Abigail. Kami hanya sahabat sejak kecil. Tapi ngomong-ngomong, kamu murid paling terkenal ya di sekolah ini?” tanya Yeon.
“Hm, bisa dibilang begitu.”
“EKHEM!!” Seorang guru lelaki dengan kumis tebal berdehem kecil saat ia melewati mereka. “Justin, Yeon, masuk kelas! Pelajaran segera dimulai.”
“Siap, Pak!” jawab mereka serempak, lalu segera masuk ke kelas.
Di dalam kelas, Yeon melihat Anya dan teman-temannya, termasuk Erika. Tatapan Anya langsung terfokus pada Yeon, merasa bahwa kedatangannya membawa Abigail telah mengganggu kehidupannya. Bagi Anya, Justin adalah miliknya dan tidak bisa diganggu gugat.
“Anak baru, ya?” tanya Anya.
Yeon berbalik dan menjabat tangan Anya. “Iya, aku anak baru. Salam kenal, namaku Yeon,” jawabnya ramah.
“Selamat pagi, anak-anak!” Wali kelas mereka masuk, langsung membuka mata pelajaran pagi itu.
“Pagi, Pak!”
“Hari ini kita akan belajar Ekonomi,” kata Pak Guru sambil berdiri di depan kelas.
“Baik, Pak,” jawab para siswa serempak sambil mengeluarkan buku catatan masing-masing.
Anya hanya terdiam dan berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan kembali perhatian Justin dan membalikkan keadaan ini sesuai keinginannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!