NovelToon NovelToon

Mimpi Buruk Clara

Episode 1. Keluarga Cemara

Pranggg

"Maksudmu apa, hah?! Kamu sudah terpergok jalan sama Rudi dan sekarang kamu mau ngelak?!" raung pria itu, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah istrinya, jari-jarinya gemetar karena amarah.

Istrinya terisak, matanya berkaca-kaca. Ia berusaha meraih tangan suaminya, memohon agar dia tenang. "Please mas, ini salah paham. Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirin," racaunya, suaranya bergetar.

"Salah paham?! Kamu pikir aku bodoh?! Aku lihat sendiri kamu jalan sama dia, berpegangan tangan! Kamu mau bohong lagi?!" teriak pria itu, suaranya menggema di ruangan.

Pertengkaran mereka semakin menjadi-jadi, suara bentakan dan tangisan bercampur aduk dengan bunyi barang-barang yang dihantamkan ke dinding. Di balik pintu kamar, seorang wanita muda, Angelia Clara Bramantya, terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya.

"Papa sama Mama berantem lagi... lagi... dan lagi! Rasanya kayak nonton ulangan sinetron yang nggak ada habisnya. Sekarang Papa sampai menuduh Mama selingkuh. Padahal, Mama belum jelasin lengkapnya gimana kan?Hiks.

Pengen banget punya keluarga sebahagia Keluarga Cemara, tapi kayaknya nggak mungkin. Nggak mungkin semua harapanku itu jadi kenyataan!" gumam Clara, suaranya serak. Ia menarik ingusnya dengan kasar, berharap bisa menghentikan tangisnya.

"Mama gak selingkuh, Pa! Ini salah paham! Percaya dong sama Mama!" Mama Clara berusaha menjelaskan, suaranya bergetar, penuh keputusasaan.

Namun, pria itu sudah terlanjur buta amarah. Matanya melotot, rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat. "Kamu bohong! Kamu selalu bohong!" teriaknya, suaranya bergetar karena amarah.

Tanpa aba-aba, pria itu melayangkan tangannya ke wajah istrinya.

Plak!

"Ouch!" jerit Mama Clara, pipinya terasa panas dan perih. Tangannya terangkat, menyentuh pipinya yang memerah.

"Kamu nampar aku?" tanya Mama Clara, suaranya bergetar, penuh kepedihan.

Pria itu tidak menjawab. Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan istrinya yang terduduk di lantai, air matanya mengalir deras, hatinya hancur berkeping-keping.

Di balik pintu kamarnya, tangis Clara membuncah. Isaknya yang pilu menggema, sampai mungkin terdengar dari luar.

"Papa nampar mama? Ini kenapa malah jadi makin rumit sih?!!" teriak Clara, air matanya tak berhenti mengalir. Rasa marah dan bingung bercampur aduk dalam dadanya.

Lalu ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia mendengarkan dengan saksama, mencari suara apapun dari luar kamarnya. Hanya keheningan yang menyapa. Clara bangkit dari duduknya di lantai, langkahnya gontai menuju nakas. Jemarinya meraih ponselnya, lalu jaket yang tergantung di gantungan baju dekat ranjang.

Dengan hati yang masih bergemuruh, Clara membuka pintu kamarnya sedikit demi sedikit, mengintip ke luar. Rumah tampak kosong. Mama dan Papa sudah pergi. Tanpa ragu, Clara bergegas keluar, memesan taksi online dan segera menaiki kendaraan yang tiba beberapa saat kemudian.

"Di saat-saat kayak gini cuma Sarah yang bisa jadi obat buat gue," gumam Clara lirih di dalam taksi.

Ia ingin pergi ke tempat Sarah, sahabatnya. Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah sederhana, namun asri milik Sarah. Setelah membayar ongkos, Clara turun dan menyaksikan taksi itu melaju pergi. Dengan langkah cepat, ia menuju rumah Sarah dan mengetuk pintu.

Pintu terbuka, memperlihatkan Sarah dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih setengah terpejam, seperti baru bangun tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih—malam telah larut.

"Eh Ra, kenapa? kok kamu nangis?" tanya Sarah, matanya melebar terkejut melihat Clara yang tiba-tiba datang dengan air mata di pipi.

Clara langsung menghamburkan diri memeluk Sarah. Tangisnya semakin kuat.

"Papa Sar, papa. Papa sama Mama berantem lagi," adu Clara, suaranya tersendat-sendat dan serak karena ia bicara sembari menangis. Pelukannya pada Sarah pun semakin erat.

Sarah menepuk-nepuk lembut punggung Clara, lalu mengangguk pelan. "Oh gitu, ya udah kamu masuk dulu gih, kebetulan mama sama papa aku lagi nggak ada di rumah. kamu bisa nginep di sini," katanya.

Sarah mengantar Clara masuk dan menutup pintu di belakang mereka. Di kamarnya, Sarah mengajak Clara duduk di tepi ranjang. Ia mengambil tisu dari meja dan menyodorkannya pada Clara. Dengan lembut, Clara menerima tisu itu dan menyeka air matanya.

"Kali ini mereka bertengkar apa lagi?" tanya Sarah mencoba memahami.

Clara berdecak kesal. "Ish, kamu tau nggak, kali ini Papa tuh nuduh Mama selingkuh tanpa dengar penjelasan Mama dulu! tadi itu mereka bertengkar tepat di depan kamarku. Heran deh, apa mereka niatnya itu mau pamerin pertengkaran mereka sama aku?" tanyanya masih meledak-ledak.

Sarah menghela napas panjang, kepala menggeleng pelan. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan sahabatnya, memberikan usapan lembut.

"Sabar ya, itu urusan mereka. Urusan orang tua. Kamu nggak usah ikut campur, nanti mereka malah marah loh," katanya, berusaha menenangkan Clara.

Clara hanya menggeleng, wajahnya masih dipenuhi amarah dan kesedihan. "Sabar? Gimana bisa sabar, Ra? Setiap hari mereka ribut, dan aku yang jadi saksi bisu. Rasanya kayak mereka nggak peduli sama perasaanku!" Clara meluapkan semua emosinya, matanya masih berkaca-kaca.

Sarah berusaha menenangkan, "Aku paham, Ra. Rasanya pasti berat banget melihat orang tua bertengkar terus, dan kamu merasa terjebak di tengah semua itu. Kamu berhak merasa marah dan kecewa. Kadang, orang dewasa juga lupa gimana dampak dari masalah mereka bisa terasa sampai ke anak-anaknya.

Tapi ingat, mereka mungkin nggak sadar gimana beratnya semua ini buat kamu. Itu bukan berarti mereka nggak peduli. Mereka cuma mungkin nggak tahu cara mengatasi masalah mereka sendiri. Kamu nggak sendirian disini, Ra, ada aku. Aku akan selalu siap dengerin semua curhatan kamu."

Clara menghembuskan napas berat, "Tapi aku nggak mau hidup dalam ketegangan terus-menerus, Sar. Aku pengen keluarga yang bahagia, bukan yang selalu berantem kayak gini. Kenapa sih mereka nggak bisa ngerti perasaan aku?"

Sarah menatap sahabatnya dengan penuh empati. "Aku tahu ini sulit, dan kamu berhak merasa marah dan sedih. Tapi rasa sakit di hatimu dan semua masalah nggak akan bisa hilang kalau kamu kayak gini terus. Coba deh kamu cari waktu buat curhat sama mereka. Kamu keluarin semua unek-unek kamu dan rasa sakit kamu selama ini."

Clara menggeleng lagi, "Curhat? Mereka nggak akan denger! Mereka terlalu sibuk sama dunia mereka sendiri buat peduli sama aku." Suaranya mulai meninggi lagi, menunjukkan betapa frustrasinya ia.

Sarah mencoba lagi, "Ra, aku tau kamu lagi down banget, tapi kamu juga harus mengambil tindakan dan jangan sedih terus. Ehm, gimana kalau kita nonton film atau jalan-jalan ke taman? Mungkin bisa bikin kamu lebih tenang."

Clara menatap sahabatnya, seolah mencari sedikit harapan dari kata-katanya. "Aku ngerti, Sar, tapi pikiranku masih nggak karuan sekarang. Gimana bisa aku happy-happy kalau kondisiku aja masih kayak gini?"

"Ra, dengerin aku. Rasa sakit di hatimu emang nggak bisa langsung hilang begitu aja, kayak luka yang butuh waktu buat sembuh," jawab Sarah lembut.

"Tapi meluangkan sedikit waktu buat diri sendiri, bersenang-senang bisa membantu mengurangi beban di pikiranmu. Kita mungkin nggak bisa mengubah orang tua kita, tapi kita bisa mengubah cara kita menghadapi situasi ini."

Clara terdiam, merenungkan kata-kata Sarah. Mungkin ada benarnya. Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri, untuk bisa berpikir jernih dan merasa lebih baik. "Ya udah, Ra. Kita nonton film aja. Siapa tahu bisa sedikit membantu."

Sarah tersenyum, "Nah itu dia! Ayo kita buat popcorn dan nikmati malam ini. Kita bisa hadapi ini bareng-bareng." Clara merasakan sedikit kelegaan di hatinya, berharap malam itu bisa membawa sedikit kebahagiaan di tengah kekacauan yang sedang terjadi di rumahnya.

Bersambung...

Episode 2. Sahabatku Tersayang

Clara dan Sarah tertawa lepas, mata mereka tertuju pada layar televisi mini di kamar Sarah, larut dalam cerita film yang mereka tonton.

"Hahaha, Sar, lihat deh kok tukang sayurnya ganjen banget sih, hahaha." Clara terbahak sambil menunjuk ke layar televisi. Ia begitu terhanyut dengan filmnya, sampai-sampai tanpa sadar menepuk-nepuk bahu Sarah untuk meluapkan kesenangannya.

Sarah ikut tertawa, tetapi juga lega melihat Clara sudah kembali ceria. "Iya, lucu banget, absurd!" ujarnya.

Di sekeliling mereka, aroma popcorn buatan sendiri memenuhi ruangan. Mereka larut dalam cerita di layar, hingga tanpa terasa, kredit tittle mulai bergulir. Clara menarik napas panjang, sebuah desahan lega. Dengan perlahan, ia merebahkan tubuhnya di kasur Sarah, memandang langit-langit kamar yang remang-remang.

Senyum manis terukir di wajahnya. "Makasih ya Sar, karena kamu pikiranku udah membaik sekarang," katanya, penuh syukur.

Sarah ikut berbaring di samping Clara, memiringkan tubuhnya, senyumnya ikut merekah. "Sama-sama. kita kan sahabat, aku akan selalu ada setiap kamu butuhin aku," katanya lembut.

Suara Sarah langsung membuat bulu kuduk Clara merinding—suara yang selalu membuatnya tenang. Clara membalas tatapan Sarah, senyumnya ikut mengembang.

"Aku ada sesuatu buat kamu," kata Clara tiba-tiba.

Sarah mengerutkan keningnya. "Sesuatu apa?" tanyanya penasaran.

Seulas senyum jahil bermain di bibir Clara, matanya berkilat nakal. "Kamu tutup mata dulu gih," pintanya lirih. Sarah menurut, menutup matanya rapat-rapat. Senyum Clara melebar. Perlahan, tangannya mengelus lembut rambut dan pipi Sarah, geli menggelitik kulit Sarah.

"Ra, geli tahu, jangan usap-usap pipiku deh!" protes Sarah, sambil tertawa geli.

Tapi Clara tidak mendengar. Jari-jarinya lembut membelai pipi Sarah, mendekat, dan sebuah kecupan singkat mendarat di sana. Sarah tersentak kaget, pipinya memerah, matanya membulat sempurna menatap Clara yang hanya menatapnya santai.

"Kamu cium pipi aku? Ih, takut aku sama kamu," kata Sarah, tangan kanannya refleks menyentuh pipinya yang baru saja dicium Clara. Bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum tipis, keningnya sedikit berkerut, tatapannya campuran antara terkejut dan geli. Entahlah, rasanya aneh.

Clara mengerutkan kening. "Kok takut? aku kan bukan singa, ngapain kamu takut sama aku?" tanyanya heran.

Sarah tertawa kecil, geli sendiri mendengar pertanyaan Clara. "Kamu cium aku kayak gitu bikin aku takut, Ra. Aku takut kamu..." Ia menggantung kalimatnya, takut kata-katanya melukai Clara.

Clara paham apa yang Sarah bicarakan. Ia tersenyum tipis. "Lesbay kan? Santai aja, aku masih normal kok. Lagian, aku udah mulai suka sama seseorang," ucapnya tanpa beban.

Senyum itu masih terpatri di wajahnya, belum menyadari kata-katanya yang kelepasan. Namun, Sarah langsung tersentak. Tatapannya berubah tajam, menusuk, penuh intimidasi.

"Kamu suka sama siapa, Ra? Jawab aku!" desak Sarah.

Clara terhenyak. Diam sebentar, lalu... cengengesan. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kirinya. "Hehe, anak beda jurusan di kampus Sar. Anaknya ganteng, dia kebetulan anak BEM juga," jawabnya santai.

Sarah mengerutkan keningnya, matanya menyipit tajam menatap Clara. "Anak BEM? Ra, kamu tahu nggak sih, anak BEM itu banyak yang playboy?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi, penuh kekhawatiran.

Clara terkekeh, "Ah, lebay Sar, masa sih? Lagian kan aku udah punya kamu. Kamu kan sahabatku, aku nggak bakal ngelakuin hal bodoh yang bikin kamu sedih," jawabnya santai, tangannya terulur mengelus lembut lengan Sarah.

"Nggak Ra, bukan itu maksudku. Aku takut kamu terlalu cepat percaya sama orang. Kamu harus hati-hati, jangan sampai kamu terluka," kata Sarah, suaranya lembut, tapi tatapannya tetap tajam.

"Kamu masih inget kan kejadian sama mantanmu waktu itu? Aku nggak mau kamu ngalamin hal yang sama lagi," lanjutnya, nada suaranya sedikit bergetar.

Clara terdiam sejenak, matanya menatap Sarah dalam-dalam. Ia mengerti apa yang dimaksud Sarah. "Iya Sar, aku ngerti. Tapi aku nggak mau kamu terlalu khawatir. Aku bisa jaga diri kok," katanya, berusaha meyakinkan Sarah.

Sarah menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Aku tahu kamu bisa jaga diri Ra, tapi aku tetap khawatir. Kamu kan terlalu baik, kamu akrab sama semua orang. Aku takut kamu dimanfaatin," katanya, suaranya terdengar lirih.

"Kamu harus lebih selektif dalam memilih pasangan. Jangan terlalu mudah percaya sama omongan manis dan muka mereka yang ganteng. Jangan buru-buru jatuh cinta," pesan Sarah, suaranya lembut, tapi penuh makna.

Clara mengangguk pelan, ia tidak bisa membantah apa yang dikatakan Sarah. Ia tahu Sarah hanya ingin yang terbaik untuknya. "Iya Sar, aku janji. Aku akan lebih berhati-hati," katanya, matanya menatap Sarah penuh rasa syukur.

Sarah tersenyum mendengar janji Clara. "Bagus, Ra. Aku cuma pengen kamu bahagia dan nggak sakit hati. Ingat ya, kenali dulu orangnya sebelum kamu jatuh cinta," ujarnya, nada suaranya penuh perhatian.

Clara mengangguk, merasa hangat dengan perhatian sahabatnya. "Aku tahu kamu selalu ada buatku, Sar. Itu yang bikin aku tenang," jawabnya, senyumnya merekah.

"Dan inget ya, kalau ada yang bikin kamu ragu atau nggak nyaman, kasih tahu aku aja. Kita bisa selesaikan bareng-bareng," tambah Sarah sambil merangkul Clara dengan lembut.

"Tenang aja, Sar. Aku nggak bakal lupa," Clara menjawab dengan semangat. "Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, aku pasti akan cerita ke kamu."

"Jadi, siapa nama anak BEM itu?" tanya Sarah, mencoba mengalihkan suasana menjadi lebih ringan.

Clara sedikit mengernyit, berpikir sejenak. "Namanya Antonio. Dia asik dan banyak ngobrol, tapi ya itu, kita baru kenalan. Belum sampai ke yang serius-serius gitu," katanya dengan nada santai.

Sarah mengangguk, tetap waspada. "Oke, tapi jangan buru-buru ya. Luangkan waktu buat kenalan lebih jauh sama dia," ujarnya sambil tersenyum.

"Ih, Sar, kamu udah kayak ibu-ibu komplek deh! Kita baru kenal, Bestie. Lagian, kamu juga harusnya mulai cari pacar, biar nggak jomblo terus!" Clara menggoda, mencubit lembut pipi Sarah.

Sarah tertawa, meski sedikit malu. "Aku? Ah, males ah. Mending fokus ke diri sendiri dulu. Lagian, belum nemu yang pas juga sih," jawabnya, menyelipkan senyuman.

Clara menepuk-nepuk lengan Sarah. "Udah ah, jangan ngomongin yang serius-serius. Mending kita lanjut nonton drakor aja yuk!"

Sarah langsung setuju. "Asiiiik! Bentar lagi kan ada episode baru 'The Glory'!"

Mereka larut dalam dunia drakor hingga kredit title muncul di layar. Keheningan menyelimuti kamar Sarah sejenak, hanya diiringi suara kipas angin yang berputar pelan. Clara, yang tadinya tergelak-gelak, kini tampak termenung, matanya masih tertuju pada layar televisi yang kini gelap.

Sarah menyikut pelan lengan Clara. "Mikirin Antonio, ya?" tanyanya, nada suaranya lembut, namun sedikit menggoda.

Clara tersentak, pipinya memerah. "Apaan sih, Sar! Nggak kok," bantahnya, namun senyum tipis terukir di bibirnya.

Sarah tertawa kecil. "Jangan bohong, deh. Kelihatan banget dari matamu yang berkaca-kaca itu."

Clara menghela napas. "Ya, sedikit. Dia emang asik anaknya, tapi aku juga masih ragu."

"Aku ngerti kok, Ra," kata Sarah, suaranya penuh pengertian. "Makanya, aku cuma mau kamu hati-hati. Jangan sampai terjebak rayuan gombal anak BEM yang terkenal playboy itu."

Clara terkekeh. "Lebay banget sih kamu! Aku nggak sebodoh itu, kali."

"Ya, tapi lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?" sahut Sarah, sambil menaikkan sebelah alisnya. "Lagian, kamu itu baik banget, Ra. Aku nggak mau kamu dimanfaatin."

Clara terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Sarah. Ia tahu sahabatnya itu hanya ingin yang terbaik untuknya. "Iya, Sar, aku ngerti. Makasih ya, udah selalu jagain aku."

"Sama-sama, sahabatku tersayang," jawab Sarah, sambil memeluk Clara erat. "Sekarang, lupakan Antonio sebentar. Gimana kalau kita lanjut ngobrol sambil minum coklat panas?"

Clara langsung semangat. "Asiiiik! Cokelat panas, aku mau, Sar! Makasih ya!"

Sarah segera bangkit dari kasurnya dan menuju dapur, sambil melirik Clara yang masih tersenyum. "Aku bikinin bentar di dapur, ya! kamu tunggu sini aja, jangan kemana-mana!" teriaknya sambil beranjak.

Clara menatap ke arah layar televisi yang sudah gelap, senyumnya tak kunjung pudar. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Sarah yang selalu peduli dan siap mendengarkan. Suasana nyaman di antara mereka membuatnya merasa aman untuk berbagi tentang apa pun.

Tak lama kemudian, Sarah kembali dengan dua cangkir coklat panas yang mengepul. "Tada! Ini dia, coklat panas ala rumahan, tapi rasanya Italia banget!" katanya dengan semangat, meletakkan cangkir di samping Clara.

Clara menerima cangkirnya dengan senyuman lebar. "Wah, ini yang aku tunggu-tunggu! Thank you, Sar!" ucapnya, lalu menyeruput coklat panasnya yang hangat.

"Enak, kan?" tanya Sarah, ikut menyeruput coklatnya. "Selalu jadi penghangat hati di malam yang dingin."

Clara mengangguk, menutup matanya sejenak menikmati rasa coklat yang lembut. "Bener banget! Coklat ini bikin perasaan yang awalnya badmood jadi ceria."

Bersambung ...

Episode 3. Top Markotop

Akhirnya Clara benar-benar menginap di rumah Sarah, tanpa memberitahu kedua orang tuanya terlebih dahulu. Kedua orang tuanya sedang diam-diaman di rumah, tanpa saling bicara atau menegur karena pertengkaran mereka. Bahkan, mereka tidak sadar jika Clara sudah tidak ada di rumah.

Clara tidur di kamar Sarah bersamanya. Berbalut selimut yang sama dan saling berpelukan erat. Seperti dua saudara perempuan, Sarah tersenyum manis sebelum ia menutup matanya.

"Tidur yang nyenyak ya Bestie, mimpi yang indah," ucap Sarah lirih sebelum matanya terpejam.

Malam itu udara sangat dingin, menusuk sampai ke tulang. Angin berdesir di luar jendela, namun di dalam kamar, terasa hangat. Clara dan Sarah tertidur pulas, tubuh mereka saling bertaut erat dalam pelukan yang nyaman. Kehangatan tubuh mereka mengusir dinginnya malam.

Pagi menjelang, Clara perlahan membuka mata, menguceknya pelan sebelum meregangkan tubuh.

"Huammpp," sebuah lenguhan menguap meninggalkan bibir Clara. Ia menoleh ke samping; Sarah sudah tidak ada. Clara pun bangkit dari kasur.

"Sarah di mana sih?" tanya Clara sendiri.

Dengan langkah gontai, ia menuju pintu, rambutnya seperti sarang burung, matanya masih terpejam. Pintu terbuka, dan hening menyapa. Di luar kamar Sarah, tak ada seorang pun, tak ada satu pun suara, hanya kesunyian yang menyelimuti.

Clara yang hampir setiap hari pergi ke rumah Sarah sampai hafal setiap sudutnya. Ia melangkah menuju dapur, tempat Sarah biasanya menghabiskan pagi harinya. Benar saja, Sarah ada di sana, asyik memetik sayuran dan menyesap teh hangat.

"Sar," panggil Clara. Sarah menoleh, tersenyum manis.

"Hai, pagi, gimana tidurnya semalam? Nyenyak?" tanya Sarah.

Clara mengangguk, lalu duduk di kursi dekat Sarah. Wajahnya masih tampak lelah karena baru bangun tidur.

"Biasa aja sih. kamu sendiri kok bangun-bangun nggak bangunin aku?" tanya Clara.

"Hehe, aku nggak mau ganggu tidur kamu. Tadi aku bangun setengah lima pagi, mau bikin nasi sekalian masak. Lagi pula kamu nginep di sini kan, kalau aku nggak masak kita mau makan apa coba?" tanya Sarah, sekilas menoleh ke Clara sambil tangannya tak berhenti memetik sayuran dan memasukkannya ke dalam baskom.

Clara menoleh ke sayur yang sedang dipetik Sarah. "kamu mau masak apa? itu kangkung bukan?" tanyanya, merasa tidak asing dengan sayur yang sedang dipetik Sarah.

Dengan senyum tipis, Sarah mengangguk pelan, tetap fokus pada pekerjaannya. "Iya ini kangkung. Kemarin Mama aku beli kangkung di pasar sama sayuran lain, terus dimasukin ke kulkas buat bersediaan. Jadinya ya aku ambil dari itu aja," jelasnya.

Clara kembali mengangguk. "Ehm, Sar, nanti kita harus ke kampus ya?" tanyanya, menoleh ke Sarah, tapi orang yang ditanya sedang sibuk memetik sayuran, lalu membawanya ke wastafel untuk dicuci.

"Iya kan kita hari ini ada kelas. Ra, kamu kan di sini ya, terus kuliah kamu gimana? kamu mau pulang dulu atau gimana nih?" tanya Sarah.

Clara diam saja. Ia sendiri juga bingung harus melakukan apa dan bagaimana. Sekarang ia sedang berada di rumah Sarah, sementara baju dan perlengkapan kuliahnya ia sama sekali tidak membawanya.

"Mungkin aku akan pulang dulu. Nggak tahu lah, pusing aku," jawab Clara malas.

Sarah menggeleng pelan mendengar jawaban Clara. Dengan lembut, ia meletakkan sayuran yang baru dicucinya di meja dekat wastafel, lalu berjalan menuju pantry yang harum aroma kopi. Di sana, ia mengambil gelas dan menyeduh secangkir teh hangat untuk Clara, lalu meletakkannya di meja kecil di depan temannya itu.

"Minum dulu biar anget," ujar Sarah lembut, setelah meletakkan cangkirnya.

Clara menoleh, tersenyum manis penuh terima kasih pada Sarah. Hangat terasa di hatinya melihat perhatian Sarah. "Makasih, ya," katanya, lalu menyesap teh hangat buatan Sarah.

"Emang nggak ada yang ngalahin deh teh buatan kamu ini. Manisnya pas, enak!" seru Clara, jempol kanannya teracung.

Pipi Sarah langsung memerah karena pujian itu, ia mengangguk pelan. "Bisa aja kamu. Ehm, nanti kan kita kuliahnya sekitar jam sembilanan ya, aku mau masak dulu. Soalnya orang tuaku juga bentar lagi bakal pulang dari luar kota. Kamu mau nungguin aku masak atau gimana?" tanyanya.

Clara malah menyeruput minumannya, diam. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan, "Lagi males aku pulang ke rumah. Kamu tahu sendiri kan orang tuaku gimana kemarin? Aku mau di sini aja deh nungguin kamu masak. Nggak papa kan kalau aku di sini?" tanyanya.

Sarah duduk di samping Clara, menepuk tangannya lembut. "Nggak papa. kapan sih aku nggak ngebolehin kamu di sini? udah kamu santai aja. Nanti kita sarapan bareng-bareng, oke? Aku mau masak dulu," jawabnya, lalu berdiri dan menuju wastafel untuk mengambil sayuran.

Clara berdiri, menghampiri Sarah. "Aku bantuin masak ya? nggak enak rasanya kalo cuma duduk diem sambil lihatin kamu masak," katanya, lalu menuju pantry. Ia mengambil bawang merah dan bumbu lainnya, mengambil pisau, dan mulai mengupas semuanya.

"Kamu duduk aja juga nggak papa kok, aku bisa sendiri. Aku nggak mau repotin kamu," kata Sarah, lembut.

"Nggak papa, udah, aku bantuin kamu masak aja biar cepet. Ehm, ngomong-ngomong kamu mau masak apa sih? tumis kangkung?" tanya Clara, sekilas menoleh pada Sarah yang sedang meletakkan wajan di kompor di sampingnya.

Sarah mengangguk, sembari menuangkan minyak ke dalam wajan. "Iya, maaf ya kalau cuma sederhana. Soalnya yang ada di kulkas cuma sayuran gini doang. Tadi ada beberapa sayuran lain, tapi aku rasa cukup ini aja buat kita sarapan.

Nggak papa kan kalau kita sarapan ini? aku takut kamu nggak suka. Di rumah kamu nggak biasa makan sayuran kayak gini kan?" tanyanya.

Clara terlahir sebagai anak orang berada. Papanya adalah seorang karyawan di perusahaan besar, sementara mamanya adalah ibu rumah tangga sekaligus pemilik sebuah butik yang lumayan terkenal di kota mereka. Bisa dibilang keuangan di keluarga Clara tercukupi.

Clara menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia menoleh ke Sarah, "Tumis kangkung juga enak. Aku bahkan di rumah pernah loh nggak makan gara-gara Mama sama Papa sibuk sama dunia mereka," katanya dengan nada sedikit sedih.

Sarah menghela napas. Ia mengambil bumbu-bumbu yang sudah dikupas Clara, membilasnya di wastafel, lalu kembali ke tempat semula untuk memotongnya kecil-kecil.

Setelah bumbu siap, Sarah menyalakan kompor dan menumisnya. Sembari menumis, ia menoleh ke Clara. "Kamu harus pikirin kesehatan kamu ya, jangan kayak gitu lagi. Kamu boleh marah, boleh nangis, tapi juga harus pikirin kesehatan kamu. Aku nggak mau kamu sakit," katanya perhatian.

Lalu Sarah masukan kangkung segar yang tadi dicucinya ke dalam wajan. Ia menumisnya hingga layu, aromanya yang sedap langsung tercium. Setelah kuah tumisan mendidih, Sarah mencicipinya dengan sendok.

"Hmm, dah oke." Sarah mengangguk puas setelah mencicipi tumis kangkungnya. Dengan hati-hati, ia mengambil sebatang kangkung dan memencetnya; teksturnya sudah empuk. Ia pun mematikan kompor dan meletakkan spatula di wajan.

"Dah mateng nih Ra, kamu mau sarapan sekarang?" tanya Sarah kepada Clara di sampingnya.

Clara menggeleng, lalu berbalik dan kembali duduk di kursi tempatnya duduk tadi. "Nanti aja aku belum laper," jawabnya.

Seulas senyum mengembang di bibir Sarah. Ia berbalik, mendekat, dan berdiri di samping Clara yang sedang duduk. Dengan lembut, Sarah menyentuh bahu Clara. Clara menoleh, penasaran.

"Ra, aku bukan mau ngusir kamu ya, tapi apa nggak lebih baik kamu pulang dulu dan bersih-bersih? sekarang udah mau setengah tujuh loh," kata Sarah mengingatkan.

Clara mengangguk, lalu meraih tangan Sarah di bahunya dan menempelkannya di pipi. Hangat dan lembut, tangan Sarah terasa sedikit basah dan beraroma rempah-rempah masakan.

"Aku mau sarapan dulu sama kamu, habis itu pulang," kata Clara.

Sarah tersenyum hangat, tangannya terangkat sebelah mengelus lembut rambut Clara, "Ya udah kalau gitu aku siapin dulu ya," katanya.

Clara melepaskan tangan Sarah yang ia pegang. Dengan cekatan, Sarah mengambil dua piring dan sendok dari rak, meletakkannya di meja. Ia lalu mengambil nasi dari magic com dan tumis kangkung yang sudah ia pindahkan ke dalam mangkuk besar, dan menatanya di meja.

Sarah mengambilkan nasi dan lauk untuk Clara, baru untuk dirinya sendiri. Mereka menikmati sarapan mereka dengan hening. Tanpa sepatah kata pun, sampai akhirnya nasi di piring mereka habis tak tersisa.

"Masakan kamu emang top markotop deh Sar. Nggak ada yang bisa ngalahin, serius!" puji Clara sambil mengangkat kedua jempolnya dan tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.

Sarah, yang merasa malu mendengar pujian berlebihan itu, hanya tersenyum simpul dan menepuk tangan Clara yang tergeletak di atas meja. "Bisa banget kamu muji aku. Makasih loh," katanya, pipinya memerah sedikit.

Mereka lalu mengobrol sebentar, membahas hal-hal ringan dan lucu tentang pengalaman mereka di kampus. Suasana hangat dan ceria menyelimuti mereka. Namun, waktu terasa cepat berlalu. Clara melirik jam tangannya, lalu bangkit berdiri. "Wah, udah mau jam delapan nih, aku pulang dulu ya, Sar," ucapnya.

Sarah mengangguk mengerti. "Yaudah, hati-hati di jalan ya," jawabnya.

Clara mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan memesan taksi online. Tak lama kemudian, sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan rumah Sarah. Clara melambaikan tangan kepada Sarah. "Nanti ketemu di kampus ya, Sar!" teriaknya sebelum masuk ke dalam taksi.

Taksi pun melaju pergi, meninggalkan Sarah yang masih berdiri di depan pintu, melambaikan tangan sambil tersenyum.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!