Warna biru membentang begitu luas dan cerah di atas sana. Sinar keemasan dengan silaunya terlihat samar menyoroti semesta. Gumpalan putih mengarak perlahan seperti siput. Hembusan angin sejuk membawa aroma pepohonan yang begitu khas.
Tubuh yang merenggang melepas penatnya akan kesibukan dunia dalam menyambung hidup. Suasana yang begitu cerah menemani waktu istirahat kerja yang mendorong mereka seperti mesin.
Mengulas garis melengkung, pada wajahnya — senyum lembut itu terulas begitu indah. Tatapannya lurus tajam, kilauan pada matanya mulai terpatri, seperti pantulan air yang jernih — kala menikmati pemandangan hijau asri dan langit yang cerah. Udaranya terhirup segar oleh penciumannya dan begitu sejuk menelusup masuk pada sela-sela bajunya. Tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak terlena akan suasana. Angin sepoi-sepoi terus mengusik rambutnya lembut. Kelopak matanya perlahan mengatup — terpejam, mencoba merasakan suasana yang lebih intens. Dia terus menghirup udara segar hingga tercium aroma tipis lain dalam hidungnya.
"Manis."
Pria itu kembali menghirup harum manis samar yang terbawa hembusan angin. Untuk memastikan bahwa penciumannya tidak keliru. Mata yang masih terpejam akan kenikmatan yang tenang beralih menjadi menerka — mencoba untuk menilik sesuatu dalam penciumannya. Hingga aroma itu kembali terhirup.
Mata pria itu terbuka lebar dan mencoba mencari wangi tipis —— yang membuat rasa penasaran menyeruak, bukan sekadar ingin tahu, tapi ada yang menyentuh ingatannya yang samar. Pandangannya mulai berpendar, melihat ke sekeliling taman, seakan aroma samar itu terlihat terarah oleh penciumannya.
Saat dia berbalik ke arah kanan, tampak pohon besar yang hijau rindang tak jauh dari dia berdiri. Aroma itu berasal dari sana. Segera dia berjalan ke arah pohon itu, menapaki jalan setapak batu bata berwarna putih rusak.
Postur tubuh yang tinggi dan tegap terlihat menghadap pohon itu. Setelan jas berwarna cream memeluk tubuhnya begitu gagah dan menawan. Tubuh tampak belakang terlihat tampan meskipun wajahnya itu tidak nampak. Jika dilihat kembali, punggung pria itu terlihat lebar dan besar. Rasanya — punggung itu mampu menampung sesuatu di atasnya.
Bias samar warna hijau melingkup disekitar pohon tersebut. Rimbunnya dedaunan yang bergemerisik memberikan keteduhan di bawahnya. Terlihat sinar matahari yang luas mencoba menelusup masuk melewati celah-celah dedaunan. Sorot keemasan samar berwarna hijau terlihat memanjang seperti pipa kecil dan menari-nari di permukaan tanah.
Mata yang terus menelaah mencoba menjangkau apa yang bisa dia tangkap dalam tengadahan kepalanya. Hingga dia menangkap bunga dari pohon itu begitu rimbun — bergelayut merunduk, seperti lonceng-lonceng kecil. Bunga itu masih terkuncup rapat. Tapi setelah didekati aroma manis itu tidak tercium. Pria itu mulai terheran dan mencoba menghirup kembali.
"Kenapa wanginya tidak begitu tercium?"
"Haruskah kucoba sekali lagi?"
Pria itu kembali menghirup dengan matanya yang terpejam. Udara masuk melalui hidung dan mencoba memilah. Aroma manis itu kembali tercium tidak terlalu pekat namun jelas tercium. Mata pria itu kembali terbuka lebar dan mencoba mencari wangi yang membuat dirinya begitu penasaran dan ingin menguliknya.
Bukan hanya sekedar penasaran tapi ada sesuatu yang menjangkit ingatannya.
Tapi dia tidak tahu apa itu.
Seperti benang yang sudah terikat. Pria itu dengan mudah menemukan asal wangi tersebut.
Sosok wanita berambut hitam dengan panjang sebahu sedang duduk menghadap danau di balik pohon itu. Seketika pria itu mulai terdiam. Entah dejavu atau ada memori lama. Dia merasa tidak asing. Pikirannya mulai berkelana sambil menatap punggung wanita tersebut. Tiba-tiba kenangan itu kembali datang.
"Mungkinkah?" gumamnya.
Terkejut.
Dering ponsel berbunyi membuat pria itu mengalihkan perhatiannya. Rasa penasarannya tertunda akan refleks tangannya yang segera mengangkat ponselnya. Suara dari sebrang mulai terdengar.
"Halo Tuan." Sopan dan begitu tenang, suara pria itu terdengar menelusup telinganya.
"Selamat siang Tuan, hari ini ada jadwal meeting jam dua siang dan saya mohon Tuan segera kembali," lanjutnya.
"Baiklah, saya akan pergi kesana." Percakapan berakhir tanpa basa basi.
Jam 13:15 terlihat pada layar ponsel. Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru saja pria itu menikmati suasana cerah hari ini. Pelepasan penat yang tidak cukup seperti waktu layar ponselnya yang cepat meredup. Segera dia berpaling dari layar ponselnya.
Pandangan yang sudah ke depan kembali, sosok wanita tersebut tidak lagi ada di kursi taman. Matanya menjentik lebar seraya mencoba mencari kesekeliling namun tidak ada. Begitu cepat dan tak terdengar derap langkah, wanita itu begitu cepat menghilang seperti angin yang berlalu.
Pria itu berpikir sejenak, namun dia segera melepaskan pikiran itu. Menurutnya itu tidaklah penting. Dia pun segera bergegas pergi meninggalkan pohon yang penuh akan kenangan. Langkahnya menjauh, tapi hatinya tetap tertambat pada aroma samar yang seolah memanggil kembali masa lalu.
...•...
...Hanya karena wangi itu, aku kembali mengingat dirimu. Bagaimana wangi itu menyeruak seperti deburan ombak yang menghantam seseorang di pinggir pantai. Bagaimana seseorang itu terjatuh akan deburan tersebut. Seperti diriku —...
...yang selalu jatuh dalam wangi penuh kenangan. ...
...Hanya itu kenangan tentang dirimu yang menjadi jalanku —— menemukanmu....
...Bisakah semesta dengan kata sebuah kebetulan, kembali mempertemukan kita?...
...Aku hanya ingin berterima kasih dengan pertemuan yang selalu tidak terduga — dan bahkan saking tidak terduganya, aku terjerat dalam pertemuan lampau — antara kau dan wangi itu. ...
...Aku ingin melihat bagaimana rupa wajahmu dan bagaimana lengkung senyum —— serta gelak tawamu — terlukis di wajah pemilik suara yang begitu lembut, ceria dan menenangkan itu....
...Aku ingin merekam itu dalam ingatanku. Aku ingin tahu apa yang kau lihat, apa yang kau lukis dan apa yang kau tulis....
...Rasanya begitu gila ketika menghirup wangi yang aku ingat, namun kamu bukan orangnya....
...Sampai kapan aku akan terus kecewa — akan obsesi dengan apa yang tidak bisa aku lihat bentuknya. Hanya wangi yang membekas jelas. ...
...•...
Sepanjang perjalanan, pria pemilik mata biru itu — tak henti riuh memikirkan wanita yang pernah dia temui dalam kegelapan. Tidak hari ini, tapi hari-hari berikutnya. Dia begitu menaruh perasaan pada wanita yang dia temui tak terduga.
Hangat dan terang, sensasi yang tak pernah benar-benar dirasakan sebelumnya — pernah menaungi, Namun — sudah lama hilang. Dingin dan gelap, tidak pernah semerangkak ini menerkam. Kekuasaan, kepemimpinan, validasi, dan ketenaran, semua itu didapatkan melewati banyak ranjau yang bertebaran.
Kini, ranjau itu semakin menyebar, tumbuh ke tingkat yang lebih tinggi, seiring kemampuan yang juga meningkat, memuncak dan kuat. Semua luka dan jebakan itu sudah menjadi santapan kesehariannya —ditelan dengan perih, hingga berdarah-darah. Rasa sakit pun, tak lagi bisa dirasakan.
Ternyata, kehidupan monokrom yang dulu nampak membosankan — dirasakan dalam keseharian — ternyata jauh lebih baik dari yang terkira dan dipikirkan.
Benang takdir yang merentang begitu panjang, menjulur dari masa lalu ke masa sekarang. Mari kita tarik sejenak benang itu, menuju tiga tahun yang lalu — sebelum segalanya berubah dan semua dia dapatkan.
.
.
.
Kala itu — sinar matahari yang cerah menembus jendela kaca yang begitu besar. Menghadirkan kehangatan dan terang lembut yang sederhana. Dimana dia terduduk sendirian di meja besar itu, ditemani para pelayan yang siap menyediakan kebutuhannya. Sebuah kehidupan dalam hangat yang masih terasa, walaupun dingin lebih mendominasi akan kehilangan — memberikan kekosongan, menghadirkan kesepian pada dunianya yang sekarang monokrom.
" Selamat pagi Tuan. Hari ini Tuan memiliki jadwal makan malam keluarga," ucap seorang pria paruh baya yang tak lain adalah asisten pribadinya — atau yang lebih dikenal oleh para pelayan sebagai wakil kepala pelayan di rumah tersebut.
Mug besar berwarna putih, dengan dua lengan cangkir terisi berwarna cairan putih kecoklatan yang begitu light. Kental dan begitu lembut, dengan serpihan potongan jamur yang rimbun di dalamnya. Sebagai pemanis, potongan parsley berwarna hijau yang kecil bertaburan di permukaannya. Mushroom soup yang creamy menemani paginya, ditemani roti garing terlumuri butter. Garing dan basah karena tercelup kedalam soup — begitu gurih, renyah dan ringan di mulut.
"Jam berapa?" tanya pria berpakaian santai yang sedang duduk menikmati sarapannya.
"Tepat jam 7 malam," jawab sang asisten.
Pria itu hanya memicingkan mata, lalu kembali menyantap makanannya tanpa bertanya lebih lanjut.
"Jadi untuk hari ini, Tuan harus mengosongkan jadwal," ucap Pak Diar, tenang, lembut namun tegas — meski dia tahu sarannya kerap diabaikan.
"Kau tahu hari ini aku tidak memiliki jadwal apapun, apa yang harus aku kosongkan," sahutnya, seraya tersenyum miring, nyaris mengejek.
"Meskipun tidak ada, Tuan selalu menghindari acara keluarga dan memilih pergi bermain — menghabiskan waktu dengan teman Anda. Jadi, saya sarankan.... lebih baik jika Tuan meluangkan waktu malam ini."
Makanan yang sedari tadi terasa lezat dalam mulutnya, perlahan menghambar — lidahnya tidak lagi berselera. Wajah dingin pria itu tetap datar, tapi matanya berubah — menampakkan ketidaknyamanan. Perasaannya turun drastis. Berat, dia meletakkan pelan sendok makannya. Bibirnya yang tebal dan seksi menghembuskan nafas kasar.
"Tentu saja, Pak Diar. Saya akan meluangkan waktu saya yang.... sangat tidak bermanfaat, bukan?" Senyum sinis mengembang, menusuk dalam diam —terlontar begitu saja kepada Pak Diar yang sudah bersabar untuk merayu tuannya.
"Apakah ini masalah tentang diriku yang selalu melakukan hal tidak berguna?" lanjutnya, sedikit tajam.
Pak Diar tak langsung menjawab, lidahnya awas akan kata-kata yang terucap. Dia terdiam sejenak, lalu menatap tuannya dengan tenang. Sebagai pelayan yang sudah menjaga tuannya sejak kecil — seperti kaca bening, tidak ada yang bisa disembunyikan. Tidak guna berbohong untuk menjaga perasaan, itu hanya memperpanjang luka yang sama.
"Untuk itu saya kurang tahu, Tuan. Tapi saya yakin, Tuan pasti bisa menebaknya sendiri. Mungkin.... malam ini, Tuan Besar akan membicarakan hal yang penting untuk Tuan Muda."
Seringai tipis terlihat pada wajah tegas pria tersebut. Tanpa menghabiskan sisa sarapannya, dia bangkit dari kursi. Langkahnya menjauh. Namun, sebelum pergi dia menoleh sejenak memandang Pak Diar.
"Kalau begitu hari ini aku akan bermain lebih awal," ucapnya, mata biru itu tersenyum tulus — sedikit remeh, sebelum berbalik melangkah lanjut.
Pak Diar menunduk hormat. Tak satu pun dari mereka berkata lagi.
Tangan yang menjulur ke atas melambai begitu lepas tanpa beban, meninggalkan Pak Diar yang menatap sendu punggung tuannya. Begitu khawatir dan penuh harap akan keseharian tuannya yang semoga berjalan penuh kebahagiaan. Senyum yang terulas dari terpaan cobaan yang menimpa tuannya begitu palsu.
.
.
.
.
.
Kepalanya menengadah. Cerahnya langit biru yang kuat, membuat matanya harus mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Kelopak matanya menurun, nyaris rapat — mempersempit ruang penglihatannya. Tapi, itu tak membuat dia enggan untuk menatap langit biru dengan cahayanya yang terik, menyilaukan — tentu saja biru yang terhampar itu begitu indah dan cemerlang. Poin utama akan kukuhnya dia memandang langit.
"Waaah bukankah cuacanya begitu bagus," ungkap pria tersebut bersandar pada pintu mobil sport berwarna putih.
"Haruskah kubeli es krim?" terkanya kepalanya miring menengadah ke langit.
"Tentu saja Lumi...." Senyuman nakal diiring pekikan ketawa seraya tangannya mulai membuka pintu mobil.
"Let's Go!" Lumi pun melaju dengan mobil sport putih kesayangannya.
......................
Matahari tepat berada di atas puncak. Panas menyengat, menjalar, membakar kulit. Keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Meski begitu, keenam pria yang terbagi menjadi dua tim — tetap cekatan dan aktif bergerak di atas lapangan basket. Keseriusan dalam kenikmatan, serunya bermain — menghalau semua ketidaknyamanan yang menyergap tubuhnya — lengket, basah dan bau matahari. Bola terus berpindah tangan, lemparan demi lemparan terus menghantam ring basket.
"Lumi lempar kesini!" Lumi pun melempar bola tersebut dengan sigap, saat teriakan tertuju padanya.
Teriakan para wanita di pinggir lapangan mulai terdengar semakin keras dan nyaring, jauh lebih riuh dibanding beberapa menit sebelumnya. Kerumunan kaum hawa mulai mengerubungi, layaknya surat kabar yang tersebar — desas-desusnya mereka menarik perhatian yang lain untuk menengok.
Semula mereka hanya berjalan-jalan santai di taman, tiba-tiba melihat pemandangan yang memanjakan mata dan tentu juga memikat hati mereka. Langkahnya terhenti, berjalan mengikuti rasa penasaran yang menggoda untuk melihat lebih dekat — tak tertahankan dan tidak bisa dilewatkan.
Tinggi badan yang semampai — dan tubuhnya yang atletis membuat para kaum hawa tak pernah lepas menatap. Keseriusan mereka dalam bermain begitu menambah ketampanan mereka yang berkarakter. Tubuh yang melompat, berlari penuh semangat — setiap bola yang menghantam, menembus ring basket disambut sorakan riuh kegirangan.
Bukan hanya akan poin semata yang tercetak, tapi jeritan kegirangan itu — ada hal lain yang mereka kagumi. Sebuah pertunjukan tak resmi yang begitu memanjakan hati.
Dibawah sinar matahari yang membakar, begitu juga semangatnya. Cahaya terang alami darinya, nampak bersinar menyoroti mereka — seperti bintang di atas panggung. Begitu memukau pesona mereka saat bermain. Keringat yang bercucuran berjatuhan saat tubuh itu bergerak begitu gesit. Teriakan dan degup jantung yang bersemangat riang, kala bagian perut mereka tersibak, menampilkan kotak - kotak yang melekuk begitu indah dan menggoda. Para wanita begitu terbakar haus akan hasrat.
Namun di antara mereka, satu sosok paling mencolok—Lumi.
Lumi merupakan topik perbincangan yang pertama — ketika mereka menonton permainan bola basket. Di antara pria tampan, dia yang paling bersinar dan berkharisma memikat kupu-kupu dalam pesonanya. Panas matahari tidak sepanas Lumi yang bermandikan keringat. Mencetak lekukan tubuh pada pakaiannya yang basah. Gerakannya anggun namun, kuat. Tatapannya yang menajam kala fokus, menghipnotis mereka dalam tindakannya. Tak butuh waktu lama bagi Lumi untuk mendapatkan semua perhatian — akhirnya tertuju padanya.
Mereka dibuat pusing dan meleleh oleh Lumi pada siang bolong memanas dan menggairahkan.
Keringat yang melewati pelipis wajahnya yang nampak begitu halus dan cerah. Wajah tegas yang tak pernah kehilangan fokusnya — menikmati bermain basket, membuat hati tertegun tanpa kata — seolah waktu melambat setiap kali memandang Lumi. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat begitu gagah dan rupawan hanya karena bermain basket.
Rambut yang basah dan tidak karuan tidak mengurangi ketampanannya. Justru itu mempertegas akan semua hal alami, tentang ketampanannya. Bajunya yang basah akibat keringat menambah aura panas yang menggoda. Begitu sexy dan kuat.
Hingga antusiasme dan hati yang berdebar-debar dirasakan para wanita tersebut — ada yang tersipu, ada yang menatap tanpa berkedip, dan ada pula yang tanpa sadar menggigit bibir — menahan sesuatu yang membara. Mereka tak mendukung siapapun dari mereka sepanjang permainan. Mereka berteriak hanya karena kepuasan hati mereka akan tontonan yang memberikan luapan cinta.
Prrriiiiiiit....
Alarm waktu dari ponsel berbunyi. Waktu habis. Teriakan penonton bersorak riang dengan tim pemenang. Tim Lumi menang. Lumi dan tim besorak gembira. Para wanita pun bertepuk tangan.
"Ayo istirahat sebentar, kita beli minum!" ungkap salah satu teman Lumi.
"Siap Bos! Ayo!" sahut teman Lumi yang lain.
Saat mereka berdua hendak pergi, tiba-tiba wanita yang menonton sedari tadi — sedikit demi sedikit menghampiri mereka. Langkahnya begitu ragu dan malu-malu.
"Kak, tolong ambil minumannya." Minuman itu tersodor dari masing-masing tangan tiga wanita tersebut.
"Oh terima kasih. Kami terima dengan senang hati," ucapnya bibirnya merekah sempurna seperti kue dalam open, senyum hangat yang tersuguhkan pada mereka — memeberi ilusi sorot lampu bintang utama dengan bingkai bunga-bunga segar di sekelilingnya.
Tiga wanita itu hampir lemas, berteriak kegirangan.
"Selamat tinggal! Kalian semua tampan!" puji keras beberapa wanita tersebut sembari pergi meninggalkan mereka.
Hati yang sempat bersyukur dan beruntung mendapatkan minuman gratis, mendadak tercekat oleh keterkejutan yang datang tiba-tiba. Fokus pada botol minum yang dia genggam — pandangan yang beralih ke depan. Ternyata tidak hanya mereka. Kerumunan kaum dengan keanekaragaman gaya rambutnya. Beberapa wanita berdiri tak jauh, masing-masing dengan sebotol minuman di tangan — siap menghujani mereka. Mata mereka menyala, penuh harap dan senyum kegirangan.
Lumi dan teman-temannya hanya bisa terpaku. Senyum mereka kaku, seperti dipahat paksa. Tak ada satu pun yang mampu berkata-kata.
.
.
.
.
.
Botol demi botol berpindah tangan. Tidak terhitung, tangan mereka terus terulur menerima semua minuman tersebut. Setiap botol datang, dengan senyuman dan harapan. Harapan si pemberi agar mereka meminumnya dengan bahagia. Sementara, kala botol itu beralih dengan balasan senyum serupa — dibalik itu si penerima menginginkan ini cepat berakhir.
Lemas pada tangannya mulai mereka rasakan seiring penerimaan. Tangan yang bersemangat melempar bola beberapa menit yang lalu — harus di hantam lanjut menerima botol minum. Hati kecil mereka menangis protes, menahan lemasnya tubuh yang ingin ambruk. Pipi mereka sudah mulai lelah dan kaku akan senyum beban moral yang terus melengkung mencoba tulus. Ucapan terimakasih terus berulang seperti kaset rusak, membuat tenggorokan mereka mulai terasa kering.
Waktu istirahat mereka tertunda begitu lama, melewati yang di jadwalkan.
"Terima kasih." Tangan Lumi menerima hangat minuman itu.
"Itu yang terakhir sepertinya," sahut teman Lumi tak jauh darinya — yang tengah duduk di lantai lapangan basket.
"Iya nih." Lumi menghampiri temannya dan menaruh minuman itu dengan minuman yang lain.
Berbagai jenis merk minuman terkumpul menjadi satu. Tersusun asal berdiri di hamparan lapangan basket. Begitu banyak seperti merayakan pesta. Mereka hanya bisa menatap kosong dengan hati yang terperangah melihat minuman di bawah sana.
"LARRRISSS MANIIIIS! Makasih anak muda sudah bermain disini!" Teriak sang pedagang minuman akan jualannya yang habis terjual. Puluhan uang yang membentuk kipas itu dia kibas-kibas, menikmati hasil jualannya seraya meninggalkan taman.
Lumi dan teman-temannya hanya saling melirik melihat pedagang itu mulai pergi menjauh dengan raut wajah bahagia.
"SEMOGA SUKSES SELALU!" teriak Hans sambil melambai.
"Waaaah.... bisa kembung kita kalau begini," celetuk salah satu teman Lumi melihat botol minum yang berjejer dipermukaan lapangan.
"Iya bisa kembung tinggal lo tambahin ikan jadi akuarium diperut lo," canda Lumi diiringi tawa teman yang lain.
"Segini banyak mau di apain?"
"Di jual aja," ujar Yuri.
"Ya sudah, lu yang jual gue siapin topi sama kotak buat lu keliling nanti kasih ke gua setorannya."
"Enak di lu gak enak di gue sialan lu," tukas Yuri.
"Tapi kita minum sebanyak ini gak jadi mermaid kan?"
"Alaaaah kaki lu buluk!" sahut mereka bersamaan sambil tertawa dan melempar botol minum kearah Hans.
"Kalau Dugong cocok sih hahahaha.... " Jari tengah muncul akibatnya.
"Tapi kita hebat menggabungkan berbagai merk minuman menjadi satu," ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak.
"Harusnya kita jadi BA sih," ucap Hans yang segera meraih salah satu minuman di bawah sana.
"Bawa aja sebagian," saran Lumi pada teman-teman.
Mereka menyetujui saran tersebut dan mulai mengambil satu per satu. Kecuali Lumi, Lumi hanya meminum 2 dan tidak ikut mengambil.
"Lu gak mau bawa satu Mimi?" Satu tepukan keras melayang pada Yuri yang membuatnya kesakitan.
"Berhenti sebut gue Mimi!" Lumi mulai merangkul keras leher Yuri yang membuat dia sesak nafas. Teman yang lain hanya tertawa melihatnya.
"Setidaknya ambil satu lah ....." Ada jeda dalam kalimatnya, diraih lah tangan kiri Lumi yang membuat kekangannya lepas pada Yuri. "Lulu Hahahaha...." Dikta pun segera menjauh dari Lumi yang mulai mengamuk dan mengincar dirinya.
Tawa bahagia dengan kehangatan yang mengalir begitu alami tak ternilai kenangannya. Panasnya matahari dengan langit biru yang begitu terang begitu menyilaukan. Silau terik keemasan menyinari mereka yang membuat silau itu indah dan menyatu dengan suasana kebersamaan yang begitu panas dan membara akan masa muda.
Hingga terik mulai sedikit meredup namun terang masih di rasakan. Waktu menuju lembayung senja mulai terlihat datang menghampiri, menjalar mewarnai langit yang mulai meredup biru mudanya. Angin sejuk khas sore hari berhembus menyergap mereka.
Waktu berlalu begitu cepat. Wajah berseri perlahan menyurut, kala netranya mendapati Pak Diar sudah menantinya dari kejauhan. Melihat Pak Diar dari sebrang taman, teman Lumi langsung mengerti. Lumi pun bergegas berpamitan, meninggalkan wajah hangat sahabatnya.
Acara makan keluarga telah menantinya.
Dinner yang tidak menyenangkan.
Pagar hitam kokoh itu menjulang begitu tinggi, melindungi — membatasi area luar dari jangkauan lingkupnya. Kelajuan yang datang terhenti, menanti izin untuk melintas. Di balik jeruji besi hitam itu, bertengger gagah — sebuah mobil Rolls-Royce hitam mengkilap.
Menjangkau tajam, menyidik dari balik pos keamanan. Pandangannya, menyisir kendaraan yang terhadang pagar. Seorang penjaga melangkah mendekat, tak tergesa namun sigap. Kaca mobil perlahan terbuka hingga batas, menyingkap dua wajah muda—seorang pria dan seorang wanita.
Pria itu tersenyum ramah pada penjaga. Tanpa perlu perbincangan, karena wajah mereka sudah tidak asing baginya. Segera pintu gerbang terbuka, menyambut kehadiran mereka.
Hening, begitu teduh dan menenangkan — memanjakan mata mereka dari balik kaca mobil. Halaman luas seperti taman botani yang tersusun rapih. Tanah yang telah terlindas putaran ban, remaja perempuan berparas dewi menurunkan kembali jendela kaca mobil. Setengah wajahnya keluar dari jendela mobil, membiarkan udara sejuk membelai halus kulitnya. Matanya terpejam menikmati udara segar, dibalut aroma tanah lembab dan kayu kering pepohonan — menilik penciumannya.
Rambut hitam bergelombang mulai usik akan hembusan angin. Kelopak matanya perlahan terbuka, pandangannya menoleh ke atas. Langit biru dengan cahaya senja berwarna jingga keemasan itu terlihat mengintip, bersembunyi di balik dedaunan hijau segar yang rimbun.
Di sepanjang jalan, cahaya matahari menembus lembut celah-celah dedaunan lebat di atas sana, menciptakan bias hijau berbaur dengan warna jingga keemasan di langit-langit dedaunan — bayangannya menari-nari semu di permukaan tanah berlapis batu-bata. Pepohonan peneduh, tinggi menjulang dengan batang kokoh dan daun-daun lebat membentuk kanopi alam.
Di antara semak dan akar pohon yang menjalar, terlihat bunga-bunga liar bermekaran, mewarnai tanah dan rerumputan hijau dengan sentuhan merah, ungu, dan kuning cerah.
Sinar matahari yang hampir meredup — masih meninggalkan kehangatan, menyentuh kulit seperti pelukan lembut alam, sementara angin semilir menggoyangkan dahan-dahan perlahan, membuat dedaunan berdesir seperti bisikan rahasia antara mereka.
Di akhir kehijauan pepohonan peneduh, dimana jalan bertabur daun kering — pandangannya terpana akan taburan bunga yang mekar, berjatuhan tertiup angin, laksana hujan kelopak dari langit musim semi. Tanah di bawahnya pun berubah menjadi karpet alami merah muda. Tangan remaja perempuan itu mulai terulur seraya tersenyum hangat. Dia biarkan serpihan itu berjatuhan, membelai halus sejenak telapak tangannya.
Pohon Tabebuya di sepanjang jalan, mulai mereka jamah. Bunganya merekah serempak, menggantung seperti lonceng-lonceng kecil berwarna merah muda. Layaknya bunga sakura yang bermekaran di negeri orang. Sepertinya bunga sakura sedang melakukan migrasinya, menurut imajinasi.
Langit luas mulai nampak terbuka. Lembayung senja begitu jelas melukis langit begitu indah. Tepat di depan sana, rumah megah menunjukkan pintu besarnya berwarna coklat. Tanaman bonsai yang artistik, bertengger mengapit jalur.
Di tengahnya berdiri sebuah air mancur besar berwarna putih gading, berornamen klasik dengan pahatan malaikat kecil yang mengucurkan air dari tempayan batu. Gemericik airnya lembut, menciptakan irama yang menenangkan dan menghidupkan suasana.
Air mancur itu dikelilingi oleh bunga lavender, mawar putih, dan tanaman verbena yang memikat kupu-kupu. Di sekelilingnya, rerumputan hijau dibabat rapi, membingkai setiap sisi dengan kesegaran yang simetris.
Rolls-Royce itu berbelok menuju garasi. Pintu kayu otomatis terbuka, memperlihatkan interior yang luas dan berestetika tinggi.
Garasi yang terbuka itu, menyuguhkan ketenangan seperti di dalam kuil yang lapang. Perpaduan antara kesederhanaan nuansa Jepang yang clasic dan kemewahan mobil yang berjejer seperti sebuah pameran. Tempat ini terlihat seperti galeri seni bergaya vintage dan timeless.
Langit-langit tinggi dengan panel geometris dan pencahayaan LED tersebar merata, menciptakan kesan modern dan lapang. Lantai berlapis ubin abu-abu besar yang mengkilap, memantulkan cahaya dan mempertegas kesan eksklusif. Dinding sisi kanan terdiri dari shoji screen besar (panel kayu dan kertas) khas Jepang yang menghadirkan cahaya alami lembut. Di sisi kiri, terdapat struktur atap bergaya kuil Jepang, lengkap dengan genteng lengkung hitam elegan dan pilar kokoh berwarna gelap, dihiasi lukisan tinta klasik bergaya sumi-e dan pot tanah liat yang berjajar rapi di rak panjang.
Akhirnya mobil menemukan lahan pemberhentian dan terparkir. Pintu mobil gagah itu bergeser, menurunkan dua remaja berperangai ramah, dengan daya tarik kuat akan anugrah keindahan wajah mereka. Kaki yang sudah menapaki lantai abu-abu seraya merapihkan dan memantaskan diri mereka.
Dari seberang halaman, sosok seorang wanita paruh baya sudah tampak berdiri tegak. Anggun, berwibawa, dan memancarkan pesona tajam yang membuat siapa pun segan kepadanya. Tapi, tidak bagi kedua anaknya, sosok wanita tegas di hadapannya adalah simbol kelembutan kasih sayang yang abadi. Matanya yang tajam menusuk menjangkau mereka — dimata mereka tetap terlihat hangat dan mengayomi.
Senyum hangat terpoles, menyambut netra sang Ibu.
"Ibu!" seru mereka berdua hampir bersamaan seraya menghampiri sang Ibu.
Remaja perempuan itu mulai berlari kecil, menghamburkan dirinya pada pelukan kasih lembut sangat Ibu. Pelukannya hangat dan erat. Sementara sang anak laki-laki menyusul berjalan santai.
"Ibu datang lebih awal rupanya," ujar sang anak perempuan sambil tersenyum.
Senyuman hangat khas seorang Ibu terpoles dalam wajah cantik yang tajam itu. Satu per satu Ibu itu mengelus puncak kepala anaknya.
"Iya," jawab sang ibu sambil menghela napas. "Ibu ingin bicara dulu dengan kakekmu sebelum pertemuan—"
Kalimat itu menggantung. Matanya menyipit, rahangnya sedikit mengeras.
"—tapi sudah kuduga. Kakekmu tidak mau menemui Ibu," lanjutnya dengan nada kecewa yang terselip dalam intonasi tajam.
Anak laki-laki itu menatap ibunya, sedikit gelisah. Dia tahu betul: kekecewaan itu bukan sekadar urusan komunikasi. Kasih sayang dan kelembutan seorang Ibu yang dia miliki — ada sisi gelap yang tak bisa dianggap sepele. Bagaimana ibunya sangat terobsesi pada kepemimpinan terutama kuasa yang diwariskan dari sang kakek. Warisan yang selama ini menjadi bayangan besar dalam hidup ibunya.
Namun, sebelum suasana makin mengeruh, dia buru-buru mengalihkan topik.
"Oh, Ibu... Ayah di mana?"
"Ayahmu sedang dalam pengadilan, pekerjaannya sebagai hakim belum selesai. Jadi kemungkinan dia agak terlambat," jawabnya.
Sang anak mengangguk paham.
Cahaya alami dari luar menelusup masuk, menyoroti ruangan. Kepala mereka menoleh akan kedatangan seseorang. Mobil camry mewah berwarna hitam pekat yang elegan melenggang masuk.
Pintu mobil itu terbuka. Menampilkan seseorang yang persis sama dengan mobilnya — pemiliknya lebih dari itu. Tampan rupawan memberkati wajahnya, tubuhnya atletis serta kulitnya yang tan begitu sexy dan maskulin. Meski di usianya yang sudah kepala tiga. Kharismatik dan juga elegan ikut ambil bagian.
"Hallo Paman!" Sang keponakan perempuan melambaikan tangannya dengan sumringah.
Pria itu membalas dengan senyuman lembut dan hangat saat kakinya menyentuh dataran padat. Segera kaki panjang itu melangkah menghampiri mereka. Pelukan hangat pun tak terelakkan. Terutama sang keponakan perempuan yang begitu erat memeluknya, membuat ibunya menggelengkan kepalanya.
Satu tarikan dari kerah baju belakang membuat perempuan itu terkejut. Pelukan lepas begitu saja secara paksa oleh kakaknya.
"Berhentilah menempel seperti parasit pada Paman Artemis!" titah Arguro.
Artemis mendengus kesal pada kakaknya. Dengan kasar dia menghempas tangan kakaknya dari kerah bajunya. Bibir bebek itu terpampang saat Artemis menatap kakaknya. Arguro hanya menatap datar, sementara pamannya hanya bisa tersenyum.
"Hema tidak biasanya kau ikut datang? Pasienmu biasanya lebih kau prioritaskan dari acara ini."
Hema hanya bisa tertawa tipis. Tangannya mulai merogoh saku dari dalam jasnya yang berwarna hijau zamrud. Bungkus rokok dan pemantik tergenggam. Satu batang rokok dia keluarkan. Bibir tebal itu kini menahan rokok tersebut. Jentikan pemantik begitu renyah terdengar, api keluar membakar ujung rokok. Satu hembusan asap keluar dari mulut Hema.
"Sebenarnya aku tidak ingin datang tapi seperti biasa Ayah memiliki berbagai cara, dia mengatakan aku harus datang karena Ayah ingin aku memeriksa kesehatannya." Satu hembusan asap keluar kembali.
"Kau tahu sifat Ayah, tiba-tiba saja rombongan pengawal datang. Terpaksa aku pergi dan menyerahkan tugasku pada dokter lain. Lalu —" Kalimat itu terjeda begitu lama karena Hema ingin menikmati rokok sementara.
Kalimat yang terjeda membuat Ibu kedua anak kembar itu penasaran dan menatap tajam adiknya.
Semirik tipis tersungging. Hema mengetahui kakaknya penasaran dan mengawasinya. Rokok dalam tawanan bibirnya belum habis seutuhnya, meski tidak memuaskan — tapi cukup untuk menghilangkan rasa stress yang akan datang menghampiri.
Jempol dan jari tengah itu mulai merenggut rokok dari hisapan terakhirnya. Kebul asap keluar dari mulutnya, lalu — jari yang mengapit rokok itu sengaja dia renggangkan. Alhasil rokok itu jatuh dan tergeletak di lantai. Warna merah pada puntung rokok masih terlihat. Satu injakan oleh sepatu Hema dengan sedikit gesekan — rokok itu mati. Serbuk tembakau dan sekar menodai lantai itu dengan warna hitam keabu-abuan.
"Lalu — Kak Leta pasti sudah bisa menebaknya. Apa yang Kakak pikirkan mungkin akan keluar menjadi kenyataan, out of the box," sambung Hema membuat Leta membulatkan matanya.
Melihat reaksi itu si kembar mengetahui bahwa hal itu pasti berkaitan dengan kepemimpinan dan juga warisan. Sepertinya apa yang ditakuti ibunya akan terjadi.
Pintu gerbang kembali terbuka — mobil sport putih di ambang pintu. Sorot lampu itu begitu sengaja menyala menyoroti mereka, seakan menyergap kawanan pejahat. Silaunya sorot lampu tak membiarkan mereka luruh menatap mobil tersebut, termasuk Leta. Amarah terlihat dalam kepalan tangannya dengan mobil putih itu melenggang mulus, melaju menghampiri mereka.
"Sepertinya yang kita bicarakan — dia sudah datang."
Mitologi Yunani, simbolik dari kegelapan dan bayangan. Itu tersemat pada dia yang mereka pandang. Sosoknya membawa dendam yang gelap dan dingin. Bayangannya merupakan kehancuran bagi Leta — dalam mencapai puncak tujuannya. Bagi Leta, anak itu merupakan penghalang — kutukan.
Erebus is coming.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!