Warna biru membentang begitu luas dan cerah di atas sana. Sinar keemasan dengan silaunya terlihat samar menyoroti semesta. Gumpalan putih mengarak perlahan seperti siput. Hembusan angin sejuk membawa aroma pepohonan yang begitu khas. Tubuh yang merenggang melepas penatnya akan kesibukan dunia dalam menyambung hidup. Suasana yang begitu cerah menemani waktu istirahat kerja yang mendorong mereka seperti mesin.
Senyum lembut terlukis indah. Mata tajam itu berkilau menikmati pemandangan yang cerah. Udaranya terhirup segar dan begitu sejuk menelusup masuk pada sela-sela bajunya. Tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak terlena suasana. Angin sepoi-sepoi terus mengusik rambutnya lembut. Mata itu perlahan terpejam. Dia terus menghirup udara segar hingga tercium aroma tipis lain dalam hidungnya.
"Manis."
Pria itu kembali menghirup harum yang terbawa hembusan angin untuk memastikan bahwa penciumannya tidak keliru. Mata yang masih terpejam akan kenikmatan yang tenang beralih menjadi menerka mencoba untuk menilik sesuatu dalam hidungnya. Hingga aroma itu kembali terhirup. Dengan cepat mata pria itu terbuka. Lalu mengedarkan penglihatannya ke sekeliling taman, seakan aroma samar itu terlihat terarah oleh penciumannya. Saat dia berbalik ke arah kanan tampak pohon besar yang hijau rindang jauh disana. Aroma itu berasal dari sana. Segera dia berjalan ke arah pohon itu, menapaki jalan setapak baru bata berwarna putih rusak.
Postur tubuh yang tinggi dan tegap terlihat menghadap pohon itu. Bias samar warna hijau melingkup disekitar pohon tersebut. Setelan jas berwarna cream memeluk tubuhnya begitu gagah dan menawan. Tubuh tampak belakang terlihat tampan meskipun wajahnya itu tidak tampak. Jika dilihat kembali, punggung pria itu terlihat lebar dan besar. Rasanya punggung itu mampu menampung sesuatu disana.
Rimbunnya dedaunan yang bergemerisik memberikan keteduhan di bawahnya. Terlihat sinar matahari yang luas mencoba menelusup masuk melewati celah-celah dedaunan. Sorot keemasan samar berwarna hijau terlihat memanjang seperti pipa kecil. Mata yang terus menelaah mencoba menjangkau apa yang bisa dia tangkap dalam tengadahan kepalanya. Hingga dia menangkap bunga dari pohon itu begitu rimbun. Bunga itu masih terkuncup rapat. Tapi setelah didekati aroma manis itu tidak tercium. Pria itu mulai terheran dan mencoba menghirup kembali.
"Kenapa wanginya tidak begitu tercium?"
"Haruskah kucoba sekali lagi?"
Pria itu kembali menghirup dengan matanya yang terpejam. Udara masuk melalui hidung dan mencoba memilah. Aroma manis itu kembali tercium tidak terlalu pekat namun jelas tercium. Mata pria itu kembali terbuka lebar dan mencoba mencari wangi yang membuat dirinya begitu penasaran dan ingin menguliknya. Bukan hanya sekedar penasaran tapi ada sesuatu yang menjangkit ingatannya. Tapi dia tidak tahu apa itu. Seperti benang yang sudah terikat. Pria itu dengan mudah menemukan asal wangi tersebut.
Sosok wanita berambut hitam dengan panjang sebahu sedang duduk menghadap danau di balik pohon itu. Seketika pria itu mulai terdiam. Entah dejavu atau ada memori lama. Dia merasa tidak asing. Pikirannya mulai berkelana sambil menatap punggung wanita tersebut. Tiba-tiba kenangan itu kembali datang.
"Mungkinkah?" gumamnya.
Dering ponsel berbunyi membuat pria itu mengalihkan perhatiannya. Rasa penasarannya tertunda akan refleks tangannya yang segera mengangkat ponselnya. Suara dari sebrang mulai terdengar.
"Halo Tuan." Sopan dan begitu tenang, suara pria itu terdengar menelusup telinganya.
"Selamat siang Tuan, hari ini ada jadwal meeting jam dua siang dan saya mohon Tuan segera kembali," lanjutnya.
"Baiklah, saya akan pergi kesana." Percakapan berakhir tanpa basa basi.
Jam 13:15 terlihat pada layar ponsel. Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru saja pria itu menikmati suasana cerah hari ini. Pelepasan penat yang tidak cukup seperti waktu layar ponselnya yang cepat meredup. Segera dia berpaling dari layar ponselnya untuk segera bergegas pergi. Saat bergegas pergi, pandangan yang sudah ke depan kembali sosok wanita tersebut tidak lagi ada di kursi taman. Matanya menjentik lebar seraya mencoba mencari kesekeliling namun tidak ada. Pria itu berpikir sejenak, namun dia segera melepaskan pikiran itu. Menurutnya itu tidaklah penting. Dia pun segera bergegas pergi meninggalkan pohon yang penuh akan kenangan.
...Hanya karena wangi itu, aku kembali mengingat dirimu....
...Hanya itu kenangan tentang dirimu yang menjadi jalanku menemukanmu....
...Bisakah semesta mempertemukan kita kembali ?...
...Aku hanya ingin berterima kasih dengan pertemuan yang selalu tidak terduga....
...Aku ingin melihat bagaimana wajahmu dan bagaimana rupa senyum dan tawamu terlukis di wajah pemilik suara yang begitu lembut itu....
...Aku ingin merekam itu dalam ingatanku....
...Aku ingin melihat apa yang kamu lukis dan apa yang kamu tulis....
...Rasanya begitu gila ketika menghirup wangi yang aku ingat, namun kamu bukan orangnya....
Sepanjang perjalanan pria pemilik mata biru tersebut memikirkan hal itu. Tidak hari ini, tapi hari-hari berikutnya. Dia begitu menaruh perasaan pada wanita yang dia temui tak terduga.
Hangat dan terang, tidak pernah dirasakan sebelumnya. Dingin dan gelap, tidak pernah semerangkak ini menerkam. Kekuasaan, kepemimpinan, validasi, dan ketenaran, semua itu didapatkan melewati banyak ranjau yang bertebaran. Meskipun ranjau itu sekarang semakin menyebar dan bertambah ke tingkat yang lebih tinggi seiring kemampuan yang bertambah tinggi. Semua ranjau itu sudah menjadi makanan keseharian yang ditelan hingga berdarah-darah. Rasa sakitpun sudah tidak bisa dirasakan. Ternyata kehidupan monokrom yang penah dirasakan dalam keseharian, jauh lebih baik dari yang terkira.
Benang takdir yang merentang begitu panjang dari masa lalu ke masa sekarang. Kita tarik sejenak benang itu menuju tiga tahun sebelumnya. Sebelum semua ini dia dapatkan. Dimana sinar matahari begitu cerah menembus jendela kaca yang begitu besar. Memberikan kehangatan dan terang yang sederhana. Dimana dia terduduk sendirian di meja besar itu ditemani para pelayan yang siap menyediakan kebutuhannya. Kehidupan hangat sedikit dingin yang monokrom.
"Pagi Tuan. Hari ini Tuan memiliki jadwal untuk makan malam keluarga," ucap seorang pria paruh baya yang tak lain adalah asisten pribadinya atau yang lebih dikenal oleh para pelayan sebagai wakil kepala pelayan di rumah tersebut.
Mug besar berwarna putih dengan dua lengan terisi berwarna putih kecoklatan yang begitu light. Kental dan begitu lembut dengan serpihan potongan jamur yang rimbun di dalamnya. Sebagai pemanis potongan parsley yang kecil bertaburan di permukaan. Mushroom soup yang creamy menemani paginya dengan roti garing terlumuri butter. Garing dan basah karena tercelup kedalam soup begitu gurih, renyah dan ringan di mulut.
"Jam berapa?" tanya pria berpakaian santai yang sedang duduk menikmati sarapannya.
"Tepatnya jam 7 malam," jawab sang asisten.
Pria itu hanya memicingkan matanya dan kembali menyantap makanannya tanpa bertanya lebih lanjut lagi.
"Jadi untuk hari ini Tuan harus mengosongkan jadwal Tuan," saran sang asisten meskipun selalu diabaikan.
"Kau tahu hari ini aku tidak memiliki jadwal apapun, apa yang harus aku kosongkan," timbalnya seraya tersenyum miring.
"Meskipun tidak ada, tapi Tuan selalu menghindari acara keluarga dan pergi bermain dengan teman anda. Jadi, lebih baik Tuan meluangkan waktu untuk nanti malam."
Makanan yang begitu lezat mulai terasa hambar karena perasaan yang turun drastis. Pria berwajah dingin dan datar itu mulai menghentikan kegiatannya. Bibirnya yang tebal dan seksi menghembuskan nafas kasar.
"Tentu saja Pak Diar saya akan meluangkan waktu saya yang sangat tidak bermanfaat bukan?" Senyum sinis itu terlontar begitu saja kepada Pak Diar yang sudah bersabar untuk merayu tuannya.
"Apakah ini masalah tentang diriku yang selalu melakukan hal tidak berguna?" tanya pria itu kembali pada asistennya.
Pak Diar hanya bisa terdiam dan merasa canggung dengan apa yang di ucapkan tuannya. Tapi sebagai pelayan yang sudah menjaga tuannya sejak kecil, dia menyikapi dengan sangat bijaksana dan juga jujur. Tuannya sudah lama mengenal dirinya begitu juga sebaliknya, tidak berguna jika berbohong hanya untuk meminimalisir rasa sakit dan tak enak hati.
"Untuk itu saya kurang tahu, tapi Tuan pasti bisa menebaknya. Mungkin hari ini Tuan besar akan memberikan hal yang penting untuk Tuan Muda."
Seringai tipis terlihat pada wajah tegas pria tersebut. Tanpa menghabiskan sarapannya pria itu langsung pergi meninggalkan meja makan. Sebelum pergi dia berbalik sejenak kepada Pak Diar.
"Kalau begitu hari ini aku akan bermain lebih awal," ucapnya dengan mata biru yang tersenyum seraya meninggalkan Pak Diar.
Tangan yang menjulur ke atas melambai begitu lepas tanpa beban. Meninggalkan Pak Diar yang menatap sendu punggung tuannya. Begitu khawatir dan penuh harap akan keseharian tuannya yang semoga berjalan penuh kebahagiaan. Senyum yang terulas dari terpaan cobaan yang menimpa tuannya begitu palsu.
.
.
.
.
.
Mata yang begitu menyempit tak membuat dia enggan untuk menatap langit biru dengan cahayanya yang terik dan menyilaukan.
"Waaah bukankah cuacanya begitu bagus," ungkap pria tersebut bersandar pada pintu mobil sport berwarna putih.
"Haruskah kubeli es krim?" terkanya kepalanya miring menengadah ke langit. "Tentu saja Lumi...." Senyuman nakal diiring pekikan ketawa seraya tangannya mulai membuka pintu mobil.
"Let's Go!" Lumi pun melaju dengan mobil sport putih kesayangannya.
......................
Matahari tepat berada di atas puncak. Panas menyengat terasa mengenai kulit. Keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Mereka begitu cekatan dan aktif bergerak. Lemparan demi lemparan terus menghantam ring basket. Ada sekitar enam orang disana termasuk Lumi. Tim dibagi menjadi 2 yang berisikan 3 orang.
"Lumi lempar kesini!" Lumi pun melempar bola tersebut dengan sigap saat teriakan tertuju padanya.
Teriakan para wanita mulai terdengar keras dibandingkan beberapa menit yang lalu. Kerumunan mulai mengerumuni mereka karena rasa ketertarikan mereka akan mata yang merasa begitu tercuci begitu bersih. Mereka yang hanya berjalan-jalan di taman tiba-tiba melihat sesuatu yang memanjakan mata dan tentu juga hati mereka. Rasa penasaran yang begitu senang hati dan ingin melihat lebih dekat. Kaki itu berjalan mengerubungi enam pria tampan yang sedang bermain basket di lapangan.
Tinggi badan yang semampai dan tubuhnya yang atletis membuat para kaum hawa menjerit. Keseriusan mereka dalam bermain begitu menambah ketampanan mereka yang berkarakter. Tubuh yang melompat dan melayang bersamaan bola yang menghantam ring basket membuat mereka berteriak kegirangan. Bukan karena akan poin yang tercetak, tapi ketika pria itu melompat atau memasukan ring basket. Pesona mereka bertambah begitu menakjubkan. Begitu memukau dengan sorotan sinar matahari yang menyinari mereka seperti sang bintang utama. Keringat yang bercucuran berjatuhan saat tubuh itu bergerak begitu gesit. Teriakan dan degup jantung yang begitu kencang ketika bagian perut mereka tersibak, menampilkan kotak - kotak yang melekuk begitu indah dan menggoda. Para wanita begitu terbakar haus akan hasrat. Di tambah satu pria yang paling menonjol di antara mereka, yaitu Lumi.
Lumi merupakan perbincangan topik yang pertama ketika mereka menonton permainan bola basket. Di antara pria tampan, dia yang paling bersinar dan berkharisma memikat kupu-kupu dalam pesonanya. Tatapan dingin yang begitu serius itu menghipnotis mereka dalam setiap gerakannya. Mereka dibuat pusing dan meleleh oleh Lumi pada siang hari yang terik. Panas matahari tidak sepanas Lumi yang bermandikan keringat. Mencetak lekukan tubuh pada pakaiannya yang basah.
Keringat yang melewati pelipis wajahnya yang terlihat begitu halus dan putih. Raut wajah tegas yang menikmati bermain basket begitu membuat hati tertegun tanpa kata dilihat. Bagaimana bisa dia yang sedang bermain basket terlihat gagah dan rupawan. Rambut yang basah dan tidak karuan tidak mengurangi ketampanannya. Justru itu menambah ketampanannya. Bajunya yang basah akibat keringat menambah aura panas yang menggoda. Begitu sexy dan kuat. Hingga antusiasme dan hati yang berdebar-debar dirasakan para wanita tersebut. Sampai ada yang tersipu melihatnya. Begitu terpesona para wanita tersebut oleh permainan pria-pria tersebut. Mereka tak mendukung siapapun dari mereka sepanjang permainan. Mereka berteriak hanya karena kepuasan hati mereka akan tontonan yang memberikan luapan cinta.
Prrriiiiiiit....
Alarm waktu dari ponsel berbunyi, waktu habis. Teriakan penonton bersorak riang dengan tim pemenang. Tim Lumi menang. Lumi dan tim besorak gembira. Para wanita pun bertepuk tangan.
"Ayo istirahat sebentar, kita beli minum!" ungkap salah satu teman Lumi.
"Siap Bos! Ayo!" sahut teman Lumi yang lain.
Saat mereka berdua hendak pergi, tiba-tiba wanita yang menonton dari tadi sedikit demi sedikit menghampiri mereka.
"Kak, tolong ambil minumannya." Minuman itu tersodor dari masing-masing tangan tiga wanita tersebut.
"Oh terima kasih. Kami terima dengan senang hati." Senyum hangat mereka tunjukan pada tiga wanita tersebut. Wanita tersebut hanya berteriak kegirangan.
"Selamat tinggal! Kalian semua tampan!" puji keras beberapa wanita tersebut sembari pergi meninggalkan mereka.
Hati yang sempat bersyukur dan beruntung mendapatkan minuman gratis berubah menjadi keterkejutan yang membuat mereka hanya bisa terdiam. Ternyata tidak hanya mereka tapi masih ada yang lain yang menunggu mereka. Wanita dengan minuman ditangan mereka siap menghujani mereka. Lumi dan teman yang lainnya hanya bisa tersenyum canggung dan tidak bisa berkata-kata.
.
.
.
.
.
Tidak terhitung, tangan mereka terus terulur menerima semua minuman tersebut. Lemas pada tangannya mulai mereka rasakan seiring penerimaan. Tangan yang bersemangat melempar bola di hantam lanjut menerima botol minum. Hati kecil mereka menangis menahan lemasnya tubuh yang ingin ambruk. Pipi mereka sudah mulai lelah dan kaku akan senyum yang terus melengkung mencoba tulus. Ucapan terimakasih tak lupa mereka lontarkan. Tenggorokannya mulai terasa kering. Karena sedari tadi mereka belum beristirahat akan kesibukan yang mendadak, menerima botol minum.
"Terima kasih." Tangan Lumi menerima hangat minuman itu.
"Itu yang terakhir sepertinya," sahut teman Lumi.
"Iya nih." Lumi menghampiri temannya dan menaruh minuman itu dengan minuman yang lain.
Berbagai jenis merk minuman terkumpul menjadi satu. Tersusun asal berdiri di hamparan lapangan basket. Begitu banyak seperti merayakan pesta. Mereka hanya bisa menatap kosong dengan hati yang terperangah melihat minuman di bawah sana.
"LARRRISSS MANIIIIS! Makasih anak muda sudah bermain disini!" Teriak sang pedagang minuman akan jualannya yang habis terjual. Puluhan uang yang membentuk kipas itu dia kibas-kibas, menikmati hasil jualannya seraya meninggalkan taman.
Lumi dan teman-temannya hanya saling melirik melihat pedagang itu mulai pergi menjauh dengan raut wajah bahagia.
"SEMOGA SUKSES SELALU!" teriak Hans sambil melambai.
"Waaaah.... bisa kembung kita kalau begini," celetuk salah satu teman Lumi melihat botol minum yang berjejer dipermukaan lapangan.
"Iya bisa kembung tinggal lo tambahin ikan jadi akuarium diperut lo," canda Lumi diiringi tawa teman yang lain.
"Segini banyak mau di apain?"
"Di jual aja," ujar Yuri.
"Ya sudah, lu yang jual gue siapin topi sama kotak buat lu keliling nanti kasih ke gua setorannya."
"Enak di lu gak enak di gue sialan lu," tukas Yuri.
"Tapi kita minum sebanyak ini gak jadi mermaid kan?"
"Alaaaah kaki lu buluk!" sahut mereka bersamaan sambil tertawa dan melempar botol minum kearah Hans.
"Kalau Dugong cocok sih hahahaha.... " Jari tengah muncul akibatnya.
"Tapi kita hebat menggabungkan berbagai merk minuman menjadi satu," ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak.
"Harusnya kita jadi BA sih," ucap Hans yang segera meraih salah satu minuman di bawah sana.
"Bawa aja sebagian," saran Lumi pada teman-teman.
Mereka menyetujui saran tersebut dan mulai mengambil satu per satu. Kecuali Lumi, Lumi hanya meminum 2 dan tidak ikut mengambil.
"Lu gak mau bawa satu Mimi?" Satu tepukan keras melayang pada Yuri yang membuatnya kesakitan.
"Berhenti sebut gue Mimi!" Lumi mulai merangkul keras leher Yuri yang membuat dia sesak nafas. Teman yang lain hanya tertawa melihatnya.
"Setidaknya ambil satu lah ....." Ada jeda dalam kalimatnya, diraih lah tangan kiri Lumi yang membuat kekangannya lepas pada Yuri. "Lulu Hahahaha...." Dikta pun segera menjauh dari Lumi yang mulai mengamuk dan mengincar dirinya.
Tawa bahagia dengan kehangatan yang mengalir begitu alami tak ternilai kenangannya. Panasnya matahari dengan langit biru yang begitu terang begitu menyilaukan. Silau terik keemasan menyinari mereka yang membuat silau itu indah dan menyatu dengan suasana kebersamaan yang begitu panas dan membara akan masa muda. Hingga terik mulai sedikit meredup namun terang masih di rasakan. Waktu menuju lembayung senja mulai terlihat akan datang menghampiri akan langit yang mulai meredup biru mudanya. Angin sejuk khas sore hari berhembus menyergap mereka.
Waktu berlalu begitu cepat, Pak Diar sudah menanti Lumi dari kejauhan. Lumi mengetahui hal itu. Melihat Pak Diar dari sebrang taman, teman Lumi langsung mengerti. Lumi pun bergegas berpamitan dan segera pergi untuk acara makan malam keluarga.
Dinner yang tidak menyenangkan.
Pagar hitam kokoh itu menjulang begitu tinggi. Kelajuan yang terhenti akan memohon izin. Di balik jeruji besi hitam itu bertengger begitu gagah dan berwibawa dengan warna hitamnya yang mengkilap. Mobil Rolls-Royce itu terhadang pagar di depannya. Mata penuh menyidik dan memantau akan sesuatu yang ingin masuk. Penjaga mulai mendatangi mobil tersebut. Kaca mobil terbuka hingga batas. Nampak remaja pria dan wanita menoleh dalam mobil tersebut.
Pria itu tersenyum pada penjaga. Tanpa perlu perbincangan, karena wajah mereka sudah tidak asing baginya. Segera pintu gerbang terbuka. Rumah besar itu kini terlihat begitu jelas tanpa jeruji besi menghalangi. Halaman depan rumah itu begitu luas, mungkin taman lebih cocok mendeskripsikan halaman rumah tersebut. Sepanjang jalan masuk, pohon tabebuya bermekaran. Bunga itu bermekaran berwarna merah muda seperti bunga sakura. Tidak lupa tanaman bonsai dan pohon peneduh lainnya ikut menghiasi. Di bagian tengah ada kolam air mancur berukuran besar berwarna putih. Hingga membentuk jalan melingkar yang di mana memiliki 2 cabang satu ke arah garasi dan satu lagi menuju bagian halaman utama rumah.
Mobil itu mengambil belokan untuk memarkirkan mobilnya. Pintu garasi terbuka, menyuguhkan isi dalam ruangan tersebut begitu luas. Garasi bernuansa kayu namun juga menggabungkan seni didalamnya. Ada banyak lukisan dan guci antik yang membuat tempat ini terlihat seperti galeri seni bergaya vintage. Apalagi dengan koleksi mobil klasik Kakek, timeless terasa memenuhi ruangan.
Akhirnya mobil menemukan tempat berhenti dan terparkir. Mereka berdua turun dari mobil sambil merapihkan dan memantaskan diri mereka. Dari sebrang sudah nampak seorang Ibu parubaya yang elegan, tegas, dan cantik namun tajam. Senyum hangat terukir pada wajah mereka berdua.
"Ibu!" Mereka berdua menghampiri ibunya dan memeluk hangat. Senyuman hangat khas seorang Ibu terpoles dalam wajah cantik yang tajam itu. Satu per satu Ibu itu mengelus puncak kepala anaknya.
"Ibu datang lebih awal rupanya," ucap sang anak perempuan.
"Iya Ibu datang lebih awal, karena Ibu ingin bicara dengan kakekmu lebih awal dan —" Kalimat itu terjeda oleh kekesalan yang tiba-tiba menghampiri.
"Sudah kuduga kakekmu tidak mau berbicara pada Ibu," sambungnya.
Sang anak laki-laki paham akan kekesalan ibunya, tapi di sisi lain dia tau bahwa ada sisi gelap dari ibunya. Ibunya sangat terobsesi pada kepemimpinan terutama warisan ayahnya yaitu Kakek. Namun dengan cepat sang anak mengalihkan pikiran tersebut dan mencari topik lain.
"Oh, Ibu Ayah dimana?"
"Ayahmu sedang dalam pengadilan, pekerjaannya sebagai hakim belum selesai. Jadi kemungkinan dia agak terlambat," jawabnya.
Sang anak mengangguk paham.
Cahaya dari luar yang begitu alami mulai menyoroti ruangan. Pintu garasi kembali terbuka. Mobil camry mewah berwarna hitam pekat yang elegan melenggang masuk. Pintu mobil itu terbuka. Seseorang keluar persis seperti mobilnya, pemiliknya lebih dari itu. Tampan rupawan memberkati wajahnya, tubuhnya atletis serta kulitnya yang tan begitu sexy di usianya yang sudah kepala tiga. Kharismatik dan juga elegan ikut ambil bagian.
"Hallo Paman!" Sang keponakan perempuan melambaikan tangannya dengan sumringah.
Pria itu membalas dengan senyuman lembut dan hangat saat kakinya menyentuh dataran padat. Segera kaki panjang itu melangkah menghampiri mereka. Pelukan hangat pun tak terelakkan. Terutama sang keponakan perempuan yang begitu erat memeluknya, membuat ibunya menggelengkan kepalanya.
Satu tarikan dari kerah baju belakang membuat perempuan itu terkejut. Pelukan lepas begitu saja secara paksa oleh kakaknya.
"Berhentilah menempel seperti parasit pada Paman Artemis!" titah Arguro.
Artemis mendengus kesal pada kakaknya. Dengan kasar dia menghempas tangan kakaknya dari kerah bajunya. Bibir bebek itu terpampang saat Artemis menatap kakaknya. Arguro hanya menatap datar, sementara pamannya hanya bisa tersenyum.
"Hema tidak biasanya kau ikut datang? Pasienmu biasanya lebih kau prioritaskan dari acara ini." Hema hanya bisa tertawa tipis.
Tangannya mulai merogoh saku dari dalam jasnya yang berwarna hijau zamrud. Bungkus rokok dan pemantik tergenggam. Satu batang rokok dia keluarkan. Bibir tebal itu kini menahan rokok tersebut. Jentikan pemantik begitu renyah terdengar, api keluar membakar ujung rokok. Satu hembusan asap keluar dari mulut Hema.
"Sebenarnya aku tidak ingin datang tapi seperti biasa Ayah memiliki berbagai cara, dia mengatakan aku harus datang karena Ayah ingin aku memeriksa kesehatannya." Satu hembusan asap keluar kembali.
"Kau tahu sifat Ayah, tiba-tiba saja rombongan pengawal datang. Terpaksa aku pergi dan menyerahkan tugasku pada dokter lain. Lalu —" Kalimat itu terjadi begitu lama karena Hema ingin menikmati rokok sementara.
Kalimat yang terjeda membuat Ibu kedua anak kembar itu penasaran dan menatap tajam adiknya.
Semirik tipis tersungging. Hema mengetahui kakaknya penasaran dan mengawasinya. Rokok dalam tawanan bibirnya belum habis seutuhnya, meski tidak memuaskan tapi cukup untuk menghilangkan rasa stress yang akan datang menghampiri. Jempol dan jari tengah itu mulai merenggut rokok dari hisapan terakhirnya. Kebul asap keluar dari mulutnya seraya rokok itu jatuh dan tergeletak di lantai. Warna merah pada puntung rokok masih terlihat. Satu injakan sepatu Hema dengan sedikit gesekan, rokok itu mati. Serbuk tembakau dan sekar menodai lantai itu dengan warna hitam keabu-abuan.
"Lalu — Kak Leta pasti sudah bisa menebaknya. Apa yang Kakak pikirkan mungkin akan keluar menjadi kenyataan, out of the box," sambung Hema membuat Leta membulatkan matanya.
Melihat reaksi itu si kembar mengetahui bahwa hal itu pasti berkaitan dengan kepemimpinan dan juga warisan. Sepertinya apa yang ditakuti ibunya akan terjadi.
Pintu gerbang kembali terbuka, mobil sport putih di ambang pintu. Sorot lampu itu begitu sengaja menyala menyoroti mereka. Silaunya sorot lampu tak membiarkan mereka tetap menatap mobil tersebut, termasuk Leta. Amarah terlihat dalam kepalan tangannya dengan Mobil putih itu melenggang mulus, melaju menghampiri mereka.
"Sepertinya yang kita bicarakan dia sudah datang."
Erebus is coming.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!