Kamar Hotel
22.30
"Batas main kamu dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Di bawah jam itu, kamu harus sudah ada di rumah," ucap Davin tegas, sorot matanya menatap tajam ke arah Valerie.
"Saya gak akan pernah kasih izin kamu pergi ke bar. Jadi, jangan sampai saya lihat kamu diam-diam pergi ke bar di tengah malam tanpa sepengetahuan saya," lanjutnya.
"Buang semua pakaian kamu yang kurang bahan itu. Saya gak mau kamu pakai pakaian seperti itu di depan umum,"
"Gue bukan pembantu lo. Jadi, buat apa gue ngikutin semua peraturan gila lo itu," ucap Valerie santai, seolah tak peduli dengan aturan-aturan yang Davin buat.
"Terserah. Tapi kamu istri saya, saya berhak ngatur kehidupan kamu selagi kamu masih jadi istri saya, " ucap Davin santai.
"Tapi aturan lo itu kebanyakan, gue gak mau ngikutin semuanya," ucap Valerie dengan nada menantang, sorot matanya menatap tajam ke arah suaminya.
"Saya gak maksa kamu. Tapi jangan sengaja cari masalah sama saya," Davin menatap istrinya itu serius.
"Tapi gue pengen cari masalah sama Lo. "
"Kalau gue mau cari masalah sama Lo, kenapa? Lo mau marah sama gue? "
"Kalau lo mau marah, marah aja. Gak ada yang ngelarang. Mau mukul gue sekalian gak?" Valerie menodongkan pipinya.
"Ayo, pukul gue. Berani gak?" tantangnya.
Davin mendekat dengan langkah santai. Valerie spontan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok, merasa sedikit terintimidasi.
"L-lo mau ngapain hah?!" tanya Valerie gelagapan, takut dengan kelakuan Davin.
Davin menyandarkan satu tangan di dinding, tubuhnya tetap menjaga jarak. "Saya gak ngerti lagi, harus ngasih tau perempuan keras kepala kayak kamu itu pakai cara apa," ucapnya dengan suara pelan namun penuh makna.
"Gak usah ngasih tau gue. Gue gak suka diatur-atur sama orang asing kayak lo," jawab Valerie.
"Orang asing? Saya suami kamu," balas Davin, mencoba mengingatkan status mereka.
"Tapi gue gak nganggap status itu ada di hubungan kita," kata Valerie dingin.
"Acara tadi pagi itu mainan buat kamu?" tanya Davin, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran istrinya.
"Kalau iya kenapa? Gak terima Lo?! " jawab Valerie menantang.
"Lagian gue tau alasan lo nikahin gue itu apa. Lo nikahin gue pasti karena kasihan, iya kan?!" tuduhnya.
"Ada ya cowok kayak lo. Nikahin cewek modal kasihan," lanjutnya.
"Kalau saya cuma kasihan sama kamu, saya gak akan buang buang waktu saya buat berdiri di sini sama kamu sekarang," ucap Davin.
"Lo terima perjodohan ini pasti ada niatan buat nyakitin gue, kan? Iya, kan?" Valerie membalas dengan emosi yang memuncak.
"Ceraiin gue detik ini juga!" tuntutnya dengan suara lantang.
"Kamu mau kasih saya apa?" tanya Davin tenang.
"Apapun! Asal lo mau ceraiin gue!" teriak Valerie putus asa.
Davin menyunggingkan senyum tipis. "Tidur sama saya," ucapnya singkat.
"Kalau cuma sekadar tidur bareng, gue mau."
"Ngapain saya ngasih syarat segampang itu?" ucap Davin santai.
"Maksud lo apa, hah?!"
"Gak mungkin kamu gak paham sama apa yang saya maksud."
"Emang gue gak paham!" Valerie menatap laki laki itu penuh perlawanan.
"Lakuin kewajiban kamu sebagai istri saya," ujar Davin tanpa basa-basi.
"Gue. Gak. Mau." Valerie menekankan setiap ucapannya dengan jelas.
"Daripada tidur sama cowok kayak lo, mending gue tidur sama Jena," ucap Valerie, sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kamar hotel yang sudah dipesan khusus setelah acara pernikahan.
"Gue gak suka sama dia. Lo paham gak si?!" ucap valerie kesal.
"Terus mau lo apa? Pernikahan lo sama pak davin itu udah kejadian. Malam ini, lo udah sah jadi istrinya davindra aditya, pak davin udah resmi jadi suami lo,"
"Kalau dia minta jatah sama lo, itu hal yang menurut gue wajar," kata Jena.
"Jena, kenapa lo lebih belain dia? Temen lo gue atau dia hah,"
"Gue netral, gue belain yang bener," jawab Jena.
"Jadi menurut lo gue gak bener?!" valerie menatap jena kesal.
"Kalau iya kenapa? gak terima lo?!"
"Sialan, ternyata lo sama aja kayak laki laki satu itu,"
"Kayaknya lo cocok deh kalau sama dia. Lo mau gak sama suami gue?" valerie menaikkan alisnya.
"Gue tawarin di depan lo sekarang, lo mau atau gak? "
"Dia CEO kaya raya, baik, sopan. Persis banget sama tipe cowok yang selalu lo ceritain itu ke gue,"
"Meskipun Davin masuk ke tipe gue, gue sampai detik ini belum ada niatan sedikit pun buat ambil cowok orang, apalagi cowok sahabat gue sendiri,"
"Kalau lo mau, ambil aja. Gak usah gengsi ataupun sungkan sama gue,"
"Lagian kan lo tau sendiri. Gue lebih naksir sama adiknya davin," ucap valerie.
"Lo juga tau kan alasan gue nerima perjodohan sama davin karena ada jean. "
"Lo beneran masih ngincer Jean?" tanya jena shock.
Valerie menganggukkan kepalanya.
"Lo beneran gila val,"
"Kalau gue gila, tempat gue bukan disini, " ucap valerie.
"Ya, lo gila. Dikasih cowok modelan Davin malah naksir sama cowok yang gak pasti modelan Jean,"
"Gue gak tau lagi harus ngomong kayak apalagi sama lo,"
"Perasaan kalau dilihat lihat masih gantengan pak davin kemana mana," ucap Jena.
"NAH KAN!!"
"Lo akhirnya ngakuin kalau Davin ganteng. Jadi gimana? " valerie menaikkan alisnya menggoda temannya itu.
"Mau kan gantiin posisi gue? "
"Gue bantuin pdkt deh sama dia,"
"Mau gak?"
"Gue gak segila itu," ucap Jena.
"Kesempatan gak datang dua kali, jena. Lo mau atau gak,"
"Kapan lagi gue nawarin hal positive kayak gini,"
"Gue. Gak. Mau," Jena menekankan setiap ucapannya.
"Yakin? Nolak cowok hot, kaya raya, idaman cewek cewek kayak dia? " valerie memastikan.
Jena menghela napas panjang, merasa lelah. "Udah, balik ke kamar lo sana. Gue pusing dengerin penawaran gak jelas lo itu." jena mendorong Valerie keluar dari kamarnya, menutup pintu dengan keras.
Valerie berjalan dengan sebal, meninggalkan kamar Jena. Di tengah jalan, langkahnya terhenti saat melihat Jean duduk sendirian di lobi hotel. Senyum nakal muncul di wajahnya, dan tanpa ragu, ia menghampiri Jean lalu duduk di sampingnya.
"Jean......."
"Lo ngapain sendirian disini?" tanya valerie tanpa basa basi.
Jean mengalihkan pandangannya, laki laki itu menatap penampilan perempuan yang baru saja mengambil duduk disampingnya dari bawah sampai atas.
"Ngapain mbak disini?"
"Pengen nemenin lo aja,"
"Lo pasti kesepian kan duduk sendirian disini?" tanya valerie.
"Daripada nemenin saya, mending, mbak, nemenin mas Davin," ucap Jean.
"Gue gak mau, dia gak asik,"
"Lo mau tidur sama gue gak? "tawar wanita itu blak blak an.
"Jangan gila mbak,"
"Kalau gue gila, gue gak bakalan jadi kakak ipar lo kan? " jawab Valerie.
"Mending mbak balik aja ke kamar. Mas davin, pasti udah nungguin disana,"
"Dia udah tidur, gak mungkin kalau dia nungguin gue," ucap valerie santai.
valerie merogoh saku celananya, wanita itu mengambil handphone dari dalam sana. "Bagi nomor dong,"
"Lo harus ngasih nomor Lo ke gue, kalau gak mau ngasih, nanti gue aduin ke Davin,"
"Buat apa? " tanya jean dengan raut wajah datar.
"Kalau gue butuh apa apa, gue bakalan hubungin lo," ucap valerie.
"Mas Davin udah nyediain supir khusus buat mbak, kalau mbak butuh apa apa tinggal bilang sama supir,"
"Tapi gue mau-nya minta bantuan sama lo, jean,"
"Gak peka banget si lo jadi cowok,"
"Ayo cepetan bagi nomor, lo,"
"Mas Davin udah nungguin dibelakang, aku pergi dulu," ucap jean lalu beranjak pergi meninggalkan Valerie yang masih duduk disana.
Davin melangkah mendekati wanita itu, tanpa persetujuan Valerie, Davin segera menarik tangan wanita itu untuk membawanya kembali ke kamarnya.
"Davin, lo apa apaansi hah ?!!"
"Lo mau ngapain gue?!"
"Pelecehan tau gak narik narik tangan cewek tanpa persetujuan kayak gini,"
"Lepasin gue atau gue teriak,"
"Gue bakalan teriak biar semua orang ngira kalau lo nyulik gue,"
"Teriak aja," ucap davin santai.
"Hotel ini milik saya kalau kamu lupa," ucap Davin.
"Sialan,"
"Lepasin gue !!"
"Lepasin gue atau gue bakalan pukul wajah lo pakai tangan gue,"
Davin membuka pintu kamar hotel, laki laki itu melangkah masuk kedalam kamar dan mendorong tubuh valerie hingga jatuh tepat diatas ranjang.
"L-lo mau apa?!!" valerie menelan ludahnya ketakutan.
"Gue bilang jangan macam macam sama gue,"
"Jauh jauh dari gue!!"
Davin naik ke atas ranjang. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di samping Valerie, istrinya. Dengan gerakan lembut, Davin mengusap rambut Valerie pelan.
Valerie, yang menyadari gerakan itu, meneguk salivanya ketakutan. Matanya memandang Davin dengan campuran rasa takut dan bingung, seolah mencoba memahami maksud di balik sikap laki-laki itu.
"Lo mau apa?!!"
"Gue bilang jauh jauh dari gue,"
"Gue gak suka,"
"Duduk sama jean gak ada jarak, giliran duduk sama saya minta jaga jarak. Suami kamu itu sebenernya saya atau jean?" davin menaikkan alisnya.
"Harusnya suami gue jean, bukan lo," ucap Valerie.
"Asal lo tau. Gue lebih naksir sama adik lo daripada sama lo," ucap wanita itu terus terang.
"Coba kasih tahu saya, apa yang kamu gak suka dari saya. Biar saya belajar buat ngerti kemauan kamu," Davin memulai dengan nada serius.
Valerie menghela napas. "Gue tuh cuma gak suka kalau lo terlalu ikut campur sama apa yang mau gue lakuin."
"Kalau keinginan kamu masih dalam batas wajar, saya bisa maklumin," jawab Davin.
"Minimal izinin gue keluar malam," Valerie menjawab tegas.
"Gue udah kebiasaan keluar malam. Jadi, lo jangan ngelarang kebiasaan gue itu." Ucap valerie
"Mama sama papa gue aja gak pernah ngelarang gue ini itu!"
"Jadwal main kamu dari pagi sampai jam lima sore. Di bawah itu, kamu harus sudah ada di rumah buat nemenin saya," Davin menjelaskan.
"Kenapa sih lo ngatur hidup gue banget? Gue berasa dipenjara tau gak?!!" Valerie merasa frustasi.
"Coba kasih tahu saya alasan kamu keluar malam setiap hari itu apa?" Davin bertanya.
"Barr bukanya malam," ucap Valerie terus terang.
"Kalau cuma sekedar pergi ke barr, saya bisa sediain kamu barr khusus di rumah ini," Davin menawari.
"Segitunya?" Valerie membalas dengan sinis.
"sekarang giliran gue yang tanya,"
"Alasan lo apa ngatur hidup gue kayak gini?"
"Saya gak mau istri saya hidup tanpa aturan,"
"Gue juga punya aturan, Lo pikir selama ini hidup gue gak punya aturan? "
"Aturan yang kamu buat gak jelas," ucap Davin terus terang.
"Jelas kalau menurut gue,"
"Gue happy sama peraturan yang gue buat sendiri,"
"Saya mau ngerubah aturan yang kamu buat,"
"Ih, Lo tuh kenapa ngeselin banget si,"
"Ah, males,"
"Gue mau tidur," ucap Valerie sebal.
"Keluar dari kamar gue,"
"Gue bakalan turutin kemauan Lo. Asal kita gak tidur satu ranjang," ucap Valerie.
••••••

"Gimana istri lo?" tanya Regan.
"Mantep nggak?" Regan menaikkan alisnya sambil tersenyum menggoda.
"Gue harap lo nggak nganggurin perempuan secantik itu," ucap Dilan.
"Gue nggak pernah maksa dia buat ngelayanin gue," jawab Davin santai.
"Maksud lo apa?" tanya Dilan penasaran. "Jangan bilang kalau dia nggak mau."
"Nunggu dia siap," jawab Davin tenang.
"Siap nggak siap harusnya lo terkam aja," sahut Dilan.
"Nunggu perempuan siap itu lama, apalagi pernikahan kalian itu bukan karena cinta, tapi perjodohan," lanjutnya lagi. "Yakali mau ngelewatin kesempatan emas ini."
"Lo nggak pisah ranjang kan sama dia?"
"Kalau pisah kenapa?" balas Davin.
"What?" Dilan terkejut. "Apa-apaan sih lo?"
"Suami-istri itu harusnya seranjang," Dilan mendesak. "Lo jangan jadi suami takut istri."
•••••
APART JENA
"Gue jadi takut sama davin karena kejadian kemarin malam," ucap Valerie.
"Takut kenapa? takut diterkam?" goda Jena.
"Apaansi lo. "
"Terus?" Jena menatap temannya, masih bingung. "Apa yang lo takutin?"
"Gue kan udah nikah..."
"Suami lo tajir, duitnya oke, parasnya juga oke. Pak Davin itu mantep banget buat jadi suami," lanjut Jena. "Dia itu gambaran pria matang-laki-laki yang udah siap finansial dan mental buat nikah. Nggak perlu ragu atau takut kalau nikahnya sama dia."
"Gue takut bukan karena itu, bego."
"Terus takut kenapa?" tanya Jena penasaran.
"Gue takut kalau dia minta jatah ke gue."
"Lo belum siap, gitu?"
"Ya, gue belum siap digrepe-grepe," Valerie berbisik dengan wajah serius. "Bayangin aja, 21 tahun gue jaga tubuh gue. Yakali gue serahin ke orang yang nggak gue cinta."
"J-jadi maksud lo apa?"
"Ya, gue takut kalau dia minta jatah itu sama gue," jawab Valerie tegas. "Pokoknya gue nggak mau. Tubuh gue cuma boleh disentuh sama orang yang gue suka."
"Perempuan gila," Jena menatap temannya tidak percaya. "Jadi, kemarin malam, Lo belum disentuh sama sekali?"
"Gue pisah ranjang sama dia."
"What the fuck... L-lo nganggurin Pak Davin?" Jena menatap Valerie serius. "Pak Davin beneran lo anggurin? Lo nggak tertarik atau tergiur sedikit pun kalau lihat body-nya?"
"Yang bener aja lo."
"Lo nggak lesbi kan?" Jena mulai curiga. "Lo masih normal kan?"
"Lo beneran nanyain hal itu sama gue?"
"Kalau lo normal, harusnya cowok modelan Pak Davin nggak lo tolak," Jena menyindir.
"Kalau cowoknya modelan Jean, gue mau," ucap Valerie santai.
"STOP NAKSIR SAMA ADIK IPAR LO SENDIRI !!!" ucap Jena kesal.
"Jean makin lama makin ganteng kalau dilihat-lihat." Ucap valerie.
"Jean udah nolak lo ke seribu kali, nggak usah ngarepin dia lagi," Jena menasihati.
"Masih ada kesempatan, tau, Jena. Gue sama Jean itu sekarang udah satu rumah. Masih ada kesempatan buat godain dia."
"Mau lo godain pakai gaya apa juga nggak bakalan mempan. Jean bukan tipe orang yang gampang kegoda," balas Jena. "Digoda setan aja nggak kegoda, apalagi digoda cewek modelan lo."
"Gue takut kalau Jean gay," ucap Valerie khawatir.
"Kenapa sih pikiran lo udah sampai ke sana aja?" Jena geleng-geleng.
"Soalnya gue nggak pernah lihat dia gandeng atau pacaran sama perempuan."
"Kalau dia gay, gimana dong?" Valerie terlihat makin cemas. "Gue harus meluruskan masalah ini. Cowok seganteng Jean nggak boleh gay."
"Minimal dia harus sama gue. Iya, kan, Jena?"
"Tetep nggak. Gue tetep shipper lo sama Pak Davin. Valerie-Jean nggak boleh berlayar sampai kapan pun."
"Sialan, lo ini temen gue atau bukan sih?" ucap Valerie kesal.
"Ya, karena gue temen lo, makanya gue harus nyadarin lo kalau suami lo itu Davin, bukan Jean."
"Harusnya Mama sama Papa ngejual gue ke Jean, bukan ke Davin."
"Untung lo dijual ke Pak Davin, daripada ke orang nggak jelas," Jena menyentil.
"Kayaknya gue harus ngebujuk Davin biar dia ngizinin gue magang di perusahaan nya," Valerie merenung.
"Ngapain lo magang?" tanya Jena curiga. "Gue yakin niat lo magang bukan cuma sekedar cari pengalaman. Niat lo apa?"
"Gue nggak mau sekantor sama perempuan bawel kayak lo," ucap Jena terus terang.
"Lo temen gue, bukan sih? Kenapa lo nggak mau sekantor sama gue?"
"Gue nggak siap denger omelan lo itu setiap hari."
"Tenang, gue nggak akan bawel," Valerie tertawa kecil. "Gue magang buat mantau Davin."
"Davin atau Jean?" jena memastikan.
"Dua-duanya. Tapi gue bakalan lebih fokus ke Jean."
Jena menghela napas. "Davin nggak akan ngizinin lo jadi anak magang di perusahaan miliknya sendiri. Yakali istrinya jadi kasta terendah di kantor."
"Kayaknya gue harus ngebujuk Davin deh."
"Oke, gue tahu. Rencana gue malam ini cuma satu, ngebujuk Davin biar dia ngizinin gue magang di kantornya."
"Biar gue juga bisa sekantor sama lo dan jean. " ucap valerie antusias
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!