NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Kakak Pacarku

Episode 1

"Aku tidak mau menerima perjodohan ini, pokoknya tidak mau!" teriakku sambil menutup pintu kamar keras.

"Bruk.."

"Kau tidak punya pilihan nak," ucap Ayah dari balik pintu.

"Bagaimana aku bisa menerimanya, Ayah menjodohkanku dengan Kakaknya Ardi. Ayah tahu kalau aku dan Ardi sudah berpacaran hampir 3 tahun. Tapi kalian, tiba-tiba menjodohkanku dengan Kakaknya Ardi yang bahkan tidak ku kenal," teriakku dari dalam kamar.

"Ayah tidak mau tahu, kau harus menikah dengan Bara. Suka atau tidak," kata Ayah lalu pergi.

Aku menangis histeris, tak terbayang jika semua hal buruk ini harus terjadi kepadaku. Setelah sekian lama aku memimpikan pernikahan terbaik dalam hidupku, tapi yang ku terima justru pernikahan buruk. Bagaimana aku bisa terima? Jika aku harus menikahi Kakak dari pacarku sendiri. Mungkin Ardi bukan hanya akan sakit hati, bisa jadi dia bunuh diri, jika aku menerima perjodohan ini.

Aku menatap ponselku, mencoba menelpon Ardi untuk menceritakan perihal perjodohan yang dibuat Ayahnya dan Ayahku.

"Hallo.." suara Ardi terdengar sendu seperti habis menangis.

"Apa kau sudah dengar soal.." aku tak berani melanjutkan ucapanku.

"Perjodohanmu dengan Kakakku," ucap Ardi dengan pilu.

"Maafkan aku," ucapku sedih.

Airmataku mengalir deras membasahi seluruh wajahku. Tak terbayang rasanya jika nanti setelah menikah, aku harus menganggap Ardi sebagai adik iparku. Membayangkannya saja sudah sangat menyakitkan, apalagi jika semua itu benar-benar terjadi.

"Sudahlah, itu bukan salahmu!" ucap Ardi dengan suara sember.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau menikah dengan Kakakmu, tidak mau!" teriakku keras.

"Kau akan mencintainya, karna Kakakku memiliki semua kesempurnaan yang didambakan setiap wanita. Terima saja perjodohan ini, aku ikhlas!" kata Ardi walau diiringi suara tangis.

"Bagaimana bisa kau berkata begitu? Kau lupa dengan semua janji cinta kita?" ucapku sambil menangis.

"Terserahlah aku tidak perduli! Toh, kau pun tidak mungkin bisa menghindari perjodohan ini. Kau dan aku bisa apa? Kendali ada ditangan orangtua kita," ucap Ardi dengan pasrah.

"Kau sudah tidak mau memperjuangkan cintaku?" tanyaku sambil mengusap airmata yang tak henti mengalir dipipi.

"Lupakan saja semuanya," ucap Ardi sambil menutup telponnya.

Kenapa jadi seperti ini? Kenapa Pak Arman, Ayahnya Ardi secara tiba-tiba memintaku menikah dengan Kak Bara? Padahal beliau tahu, bahwa aku dan Ardi sudah menjalin cinta sejak awal kuliah dulu. Lalu aku harus bagaimana? Hiks.. Hiks..

Dari luar kamar terdengar ketukan pintu, suara Ibu menggema memenuhi ruangan.

"Mau sampai kapan kau mengkunci kamar Chika? Apa kau sudah bosan hidup? Keluar cepat, kita makan malam," teriak Ibu sambil menggedor keras pintu kamarku. Aku membuka pintu kamarku pelan, menatap sosok Ibu yang tidak ramah itu.

Ibu Ratna itu Ibu tiriku, dia adalah Ibu sambungku setelah Ibu kandungku meninggal. Sementara Ayah Yudi adalah suami Ibu Ratna yang sudah satu tahun dinikahinya, seminggu setelah Ayah meninggal.

Entahlah, mereka berdua memang sangat cocok jadi pasangan paling sadis dimuka bumi. Kalau mereka bukan keluargaku, lalu untuk apa aku bertahan tinggal bersama mereka?

Pasti itu yang akan menimbulkan banyak pertanyaan. Jawabannya karna adikku Alesha, adikku dari Ibu Ratna bersama Ayah kandungku. Usianya baru 8 tahun, dia punya kekurangan fisik. Alesha mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu hingga dia lumpuh. Ibuku selalu menjadikan Alesha sebagai senjata untuk membuatku tunduk pada perintahnya.

"Dasar anak sialan, kenapa sekarang kau mulai berani melawanku? Aku ingin kau terima perjodohan ini. Atau aku akan membuang Alesha jauh, agar kau tidak bisa melihatnya lagi," ancamnya.

"Memangnya aku bisa apa?" ucapku sambil mengusap pipiku yang penuh airmata.

"Bagus, ayo makan! Dan ingat jangan coba-coba kabur, kau akan kehilangan adikmu jika kau sampai macam-macam," teriaknya.

Aku tidak menjawab, aku mengikuti langkah Ibuku kearah meja makan. Aku menatap wajah adikku disana, Alesha sedang makan malam.

"Kak Chika," sapa Alesha.

Aku menghapus airmataku, mencoba menyembunyikan airmata dan kesedihanku pada adik kecilku.

"Hai, kau sedang makan ya?" senyumku pada adikku yang manis.

"Eheh, aku makan banyak hari ini Kak," kata Alesha membalas senyumanku.

"Wah, hebatnya." Aku mengusap wajah adikku penuh kasih, tak terbayang rasanya jika harus dipisahkan dengannya.

Aku sudah kehilangan Ibu dan Ayah kandungku, yang ku miliki hanya Alesha. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, adik kecil yang bahkan tidak disayang oleh Ibu tiriku.

"Kak, kata Ayah dan Ibu kau akan menikah ya?" tanya Alesha, saat aku duduk dikursi. Aku tak menjawab, hanya anggukkan yang bisa kuberikan pada adik kecilku.

"Dengan Kak Ardi?" tanya Alesha dengan senyum, seketika airmataku mengalir deras tak tertahan.

Kembali membayangkan pernikahan buruk yang tidak pernah kuinginkan. Namun, Ibu mencubit tanganku agar aku menghapus airmataku.

"Bukan Sha, Kakak menikah dengan Kak Bara, Kakaknya Kak Ardi," senyumku sambil mengusap airmata.

"Kenapa dengan Kak Bara, bukankah kau berpacaran dengan Kak Ardi?" tanya Alesha.

"Anak kecil, tahu apa kau tentang masalah orang dewasa? Habiskan makanmu cepat," teriak Ibu.

Aku menatap kesal pada Ibu, lalu mengusap lembut wajah adikku.

"Setelah makan, jangan lupa kerjakan PRmu ya," senyumku.

"Aku sudah membuatnya tadi Kak," tawanya.

"Wah, hebat sekali," kataku sambil mencubit pipi Alesha.

Ayah menatap kearahku dengan tidak ramah, tanpa senyum.

"Besok pagi bersiaplah," ucap Ayah.

"Bersiap untuk apa?" tanyaku.

"Pertunanganmu dengan Kakaknya Ardi," teriak Ibu.

Aku hanya bisa diam, pasrah dengan semua takdirku. Berusaha menolakpun itu tidak mungkin, karna mereka punya Alesha yang akan menjadi ancaman telak bagiku.

****

Keesokkan harinya, Ibu sudah datang membawa gaun cantik untukku. Gaun terusan diatas paha dengan warna navi.

"Pakai baju ini, berdandanlah yang cantik! Jangan berbuat ulah disana, apalagi sampai membuat Bara membatalkan pertunangan ini," ucap Ibu. Aku mengambil baju itu, lalu masuk kekamar mandi untuk mengganti pakaianku.

Hari buruk itu dimulai disini, saat Ayah dan Ibuku membawaku kerumah Ardi. Rumah yang cukup besar dengan barang-barang mewah didalamnya. Aku menatap sekeliling rumah itu, mencari keberadaan Ardi. Tapi laki-laki itu tidak ada, mungkin dia sama terpukulnya dengan diriku. Terpaksa berpisah untuk keinginan orangtua masing-masing.

Aku menundukkan wajahku, rasanya mataku enggan menatap wajah Kak Bara. Laki-laki yang menginginkan aku menjadi istrinya, laki-laki yang sudah menghancurkan hubunganku dengan Ardi. Aku mengusap airmataku yang tiba-tiba saja mengalir deras. Aku tidak bisa menutupi kesedihanku saat ini. Andai aku punya keberanian besar, ingin rasanya aku lari dari pertunangan ini.

"Hapus airmatamu, bodoh!" bisik Ibu, aku segera mengusap airmataku dengan saputangan yang diberikan Ibu.

Laki-laki itu menghampiriku, menegakkan kepalaku yang tertunduk agar menatap kearahnya.

"Kenapa kau menangis?" tanya Bara. Aku hanya diam, menepis lembut tangan laki-laki itu.

"Aku tidak apa-apa?" ucapku.

"Aku tahu ini akan sulit untukmu dan Ardi, tapi percayalah semua akan baik-baik saja," ucapnya.

Ingin rasanya aku berteriak keras padanya, ini semua terjadi gara-gara dirimu. Tapi aku tak punya nyali untuk mengatakannya secara langsung.

Terlihat rumah itu mulai dipenuhi para tamu, acara pertunangan itupun dimulai. Aku bahkan tidak pernah berani menatap wajah laki-laki itu, laki-laki yang sudah melingkarkan cincin dijari manisku.

Aku tidak sanggup melihatnya, aku belum bisa terima kehadirannya. Bahkan aku enggan, walau hanya sekedar menoleh kearahnya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, takut jika para tamu melihat kesedihan dimataku.

Aku menatap kearah tangga lantai dua, kulihat Ardi disana. Berkali-kali terlihat Ardi mengusap airmata dengan kedua tangannya. Entahlah, aku bahkan bisa merasakan kesedihan yang saat ini dia rasakan. Dia harus merelakan aku, untuk Kakaknya. Bagaimana mungkin ini mudah untuk kami? Sementara kami sudah menjalin cinta cukup lama, rasanya aku ingin berlari memeluknya. Meninggalkan pertunangan ini, lalu kawin lari dengannya. Tapi Alesha, bagaimana nasib adikku jika aku melakukan hal itu?

Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini, biarkan semua terjadi sesuai takdir. Aku mungkin tidak ditakdirkan menjadi jodoh Ardi, semoga Ardi mendapatkan wanita pengganti diriku.

Mohon beri dukungan untuk Author tinggalkan komen, vote, like, atau jempol untuk lanjutkan ceritanya.

Terimakasih.

Episode 2

Hari pertunangan itu berjalan meriah, walau tidak dengan hatiku. Rasanya hal buruk itu baru saja dimulai, semua bersorak mengucapkan selamat padaku dan Bara.

"Aku tunggu undangan pernikahan kalian," kata beberapa tamu padaku dan Bara.

"Segera," jawab Bara sambil menatap kearahku.

Itu kali pertama aku menatap wajahnya, wajah tampan dengan senyum tulus dibibirnya. Aku cukup terkesima menatap wajah laki-laki itu. Dia yang sedari tadi menyadari diriku memperhatikannya langsung mendekat kearahku.

"Ada apa? Kenapa kau menatapku sampai seperti itu," tawanya.

Aku tidak menjawab, enggan untuk berbicara atau hanya sekedar tersenyum. Aku berjalan menjauh dari hadapannya, tapi Bara meraih tanganku. Mencium lembut jemari tanganku, aku kaget sontak melepaskan tanganku yang digenggam erat olehnya.

"Beri aku kesempatan," kata Bara masih menatap wajahku.

"Tidak akan," teriakku sambil pergi meninggalkannya.

Aku masih sekuat tenaga menahan kesedihanku, sampai suara itu membangunkan hayalku.

"Sudah cukup menangisnya, besok kau akan segera jadi pengantin," senyum Ibu Ardi.

"Besok? Kenapa secepat itu?"

"Karna aku tak sabar menjadikanmu menantuku," tawa ramahnya.

"Tapi tante.."

"Chika, aku tahu apa yang ingin kau katakan! Mengertilah, kau dan Ardi itu tidak jodoh. Kau hanya akan menikah dengan Bara," kata Ibu Ardi dengan wajah kesal.

Aku diam, menutup mulutku rapat-rapat, karna tak ada satupun yang mau tahu kesedihanku saat ini. Saat acara selesai aku berjalan pelan kearah taman rumah itu. Aku lihat Ardi ada disana, duduk dikursi taman sambil melamun.

"Ardi," sapaku pelan.

"Kau? Kenapa kau ada disini? Apa yang sedang kau cari? Kakakku yang akan jadi calon suamimu itu?" Ardi tak menatap kearahku dia membuang pandangan kearah lain.

"Ardi, aku minta maaf," kataku sambil mengusap tangan kanan Ardi.

"Lepas, kau bahkan tidak punya hak lagi atas diriku. Menjauhlah, kau akan segera menikah dengan Kakakku. Jangan terus memberiku harapan, yang hanya akan membuatku semakin hancur." Ardi mengusap airmata yang jatuh dipipinya. Airmataku pun tak luput membasahi pipiku, aku memeluk hangat tubuh Ardi. Kulihat Ardi memejamkan matanya ikut merasakan hangatnya pelukkanku saat itu.

"Kenapa semua harus terjadi pada cinta kita," kata Ardi sambil mendekatkan wajahnya kearahku. Aku tidak menjawab, tapi aku merasakan sentuhan bibir Ardi mendarat dipipiku.

"Aku mencintaimu Chika," bisiknya diiringi tangis.

Aku mengusap wajah Ardi yang dipenuhi airmata, lalu kembali memeluk tubuh Ardi dalam kebisuan. Itu adalah pelukkan terakhirku untuk kekasihku, kekasih yang akan menjadi adik iparku.

****

Keesokkan harinya aku bangun lalu aku keluar dari kamar, aku menatap takjub pada rumahku yang sudah didekorasi sangat indah. Ibu menuntunku kearah kamarnya, disana ada perias yang siap mendandaniku.

"Apa aku akan menikahinya hari ini?" tanyaku pada Ibu. Bahkan aku tidak ingin menyebut nama calon suamiku itu.

"Iya, jaga sikapmu. Usahakan tidak menangis saat acara ijab kabul, kalau sampai kau mempermalukkan aku. Lihat saja adikmu yang akan menanggung semuanya," ancam Ibu dengan wajah marahnya.

Beberapa jam berlalu, ijab kabul sudah diucapkan oleh Bara dengan suara lantang. Itu tandanya sudah tidak ada harapan untukku bersama Ardi. Kini aku sudah syah menjadi istri Bara, Kakaknya Ardi. Aku membendung airmataku, berusaha untuk tersenyum didepan semua orang. Tapi hatiku menjerit keras, menolak semua sumpah pernikahan ini.

Bara mengecup keningku, dia juga memintaku untuk mencium tangannya tanda hormatku padanya. Kali ini aku tak menolak, karna kulihat Ibu berkali-kali mengancamku lewat tatapan matanya.

"Sekarang kau sudah syah menjadi istriku, bersiaplah untuk malam pertama kita," senyumnya.

Aku memalingkan pandanganku, untuk menjauh dari Bara. Aku begitu jijik membayangkan malam pertama yang bahkan bagai mimpi buruk bagiku. Menikah dengannya itu bukan bagian dari rencana hidupku, tapi aku tidak bisa menolaknya.

"Ayo," kata Bara sambil merangkul mesra tanganku.

Bara mengajakku menyambut para tamu yang hadir dipesta pernikahan itu. Aku tersenyum mengikuti langkah kakinya, walau sungguh hatiku benar-benar hancur saat itu. Ardi datang menghampiriku dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.

"Selamat untukmu, semoga kau bahagia bersama Kakakku," kata Ardi sambil memberikan kado untukku.

Aku menatap cukup lama kearah Ardi yang berada dihadapanku, lalu dia tersenyum sambil berbisik,

"Tersenyumlah, kau kini sudah benar-benar menjadi Kakak iparku," bisiknya.

Bukannya tersenyum justru airmata yang sekuat tenaga sejak tadi kutahan, tak terbendung juga. Aku tanpa berpikir panjang memeluk tubuh Ardi didepan para tamu undangan. Aku memeluk erat tubuh Ardi sambil menangis histeris, aku lupa bahwa saat ini aku sudah menikah dan punya status sebagai istri dari Kakak Ardi.

Ibu tiriku menarik tanganku, melepaskan pelukkanku ditubuh Ardi.

"PLAK.."

Tamparan keras dilayangkan Ibu tepat dipipiku, rasanya begitu sakit. Tapi rasa sakit tamparan ini tak sebanding dengan rasa sakit dihatiku.

"Apa yang Ibu lakukan," ucapku sambil memegangi pipiku yang ditampar Ibu.

"Harusnya Ibu yang bertanya kepadamu, apa yang sedang kau lakukan? Kau sudah menikah, kenapa kau berani memeluk pria lain dihadapan suamimu?" bisik Ibu dengan geram.

"Maaf," kataku sambil menundukkan kepala, tak berani menatap Ibu.

"Mendekat pada suamimu, dan jangan berulah lagi," kata Ibu sambil pergi meninggalkanku.

Bara mendekatiku, memberi saputangan untuk menghapus airmataku.

"Jangan menangis lagi," bisiknya pelan ditelingaku.

Bara menuntunku keluar dari pesta itu, wajah lembut dengan senyum ramah menghiasi bibirnya.

"Aku tahu kau begitu membenciku, karna kau harus menikah denganku. Tapi aku percaya, seiring berjalannya waktu kau akan menerima kehadiranku dihatimu," senyum Bara.

"Sebenarnya apa alasanmu menikahiku? Bukankah kita ini tidak saling kenal?" tanyaku dengan raut wajah kesal.

"Kita saling kenal, hanya mungkin kau melupakannya," tawa kecil Bara.

"Kapan? Dimana?" aku benar-benar penasaran menunggu jawabannya.

"Di Australia saat kau dapat beasiswa disana! Kita pernah beberapa kali bertemu," tawanya.

Aku mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam, dimana saat itu aku belum mengenal Ardi. Aku mendapat beasiswa di Australia, lalu aku bertemu dengan laki-laki tampan yang ternyata satu kebangsaan denganku. Dia salah satu seniorku di Universitas itu, laki-laki ramah dan baik hati namanya Farel. Aku menatap kearah Bara, sambil membandingkan wajahnya dengan Farel.

"Kau Farel?" tanyaku terkejut. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala, mengusap lembut wajah Chika.

"Bara Alfarel, itu nama lengkapku," ucapnya.

Aku mengingat kembali masa itu, disaat aku kehilangan dompet dan semua uangku. Laki-laki bernama Farel inilah yang menolongku, dia memberi uang tabungannya untukku agar aku bisa bertahan hidup disana.

Aku juga begitu mengingat jelas, saat dia harus hujan-hujanan untuk menjemputku selesai kuliah. Farel selalu bilang jika dia mengkhawatirkan aku, karna aku belum mempunyai kawan disana.

Aku masih menatap laki-laki itu, wajah tampan dan ramah yang dimiliki Farel. Memang sejak awal bertemu aku tidak pernah menatap secara detail seperti apa rupanya. Sampai tawanya membangunkanku dari hayalanku tentang sosok pria baik dimasalaluku.

"Apa kau mengingat aku?" senyumnya.

"Iya, aku mengingatmu. Kau laki- laki baik yang selalu menolongku saat aku kesulitan. Tapi, kenapa kau harus melakukan ini padaku? Kenapa kau menikahiku, sementara kau tahu kalau aku ini pacar adikmu Ardi," kataku agak kesal menatapnya.

"Kadang disaat kau mencintai, kau tak pernah memerlukan alasan. Begitupun aku, aku tidak punya alasan untuk semua rasa cintaku kepadamu," kata Bara sambil mencium pipiku. Seketika aku mematung, tubuhku tak dapat bergerak saat Bara memeluk tubuhku. Ada apa ini? Kenapa aku membiarkan laki-laki ini memeluk tubuhku?

Tetap beri dukungan untuk Author ya Kak. Tinggalkan jejak Komen, Vote, Like atau Jempol agar Author semangat lanjutin ceritanya.

Terimakasih.

Episode 3

Aku terhanyut dalam masa lalu, aku melepaskan pelukan tubuh Bara. Menatap sinis pada laki-laki itu,

"Lepaskan aku, " teriakku.

"Kenapa? Bukankah kini kau sudah menjadi istriku? "

"Tapi, aku tidak mencintaimu.. "

"Cinta akan datang pada waktunya, aku akan sabar menunggu itu, " Bara tersenyum menatap ke arahku.

"Itu tidak akan terjadi, aku hanya mencintai adikmu Ardi, bukan dirimu! "

"Aku tahu. Aku juga memahami kesedihanmu, juga kesedihan adikku. Tapi mau bagaimana lagi, hatiku sudah memilihmu. Dan aku tidak bisa melupakan pertemuan kita dimasa lalu." ucapnya. Bara mendekat ke arahku, memegang kedua tanganku lembut.

"Percayalah, kau akan bahagia menikah denganku, " kata Bara menatap penuh ketulusan.

Aku tidak bisa membencinya, ternyata laki-laki yang menikahi ku adalah orang yang pernah menjadi malaikat baik dimasa laluku. Tapi biar bagaimanapun, aku masih menganggap dia penyebab perpisahan ku dengan Ardi. Dia laki-laki yang menghancurkan mimpi indah ku bersama Ardi.

"Ada apa? Ayo kita kembali kedalam, " katanya sambil menuntunku menuju para tamu undangan.

****

Setelah pesta pernikahan selesai, aku diminta Ibu tiri ku menunggu Bara di kamarnya. Aku langsung mandi dan membersihkan diri dari keringat yang menempel. Aku mengganti bajuku dengan baju tidur sexy yang diberikan oleh Ibu tiri ku. Aku benar-benar takut, membayangkan malam pertama bersama orang yang tidak ku cintai.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menopang dagu memikirkan banyak hal yang akan terjadi malam ini. Sampai suara ketukan pintu yang cukup keras itu membangunkan ku dari lamunan.

"Tok.. Tok.. Tok.."

Aku membukakan pintu kamar itu, terbayang sudah hal buruk yang akan terjadi malam ini. Aku kaget menatap laki-laki yang langsung memeluk tubuhku erat.

"Ardi.. " teriakku sambil mencoba melepaskan pelukannya.

"Aku tidak akan merelakan mu menikah dengan Kakakku." kata Ardi, tercium bau alkohol menyengat dari mulut Ardi.

"Lalu kau mau apa? "

"Melakukan hal yang harusnya sudah ku lakukan sejak lama, " ucap Ardi sambil menggendong tubuhku keatas kamar.

Ardi benar-benar hilang kendali, melucuti pakaian di tubuhku satu-persatu tanpa ampun.

"Lepaskan aku Ardi, tolong! " teriakku keras.

Ardi mencium bibirku dengan penuh nafsu, tangannya menggerayangi tubuhku yang sudah polos tanpa pakaian. Kini bibir Ardi menciumi leherku tak terkendali, air mataku sudah membasahi wajahku saat itu.

"Ardi, apa kau sudah gila? Lepaskan aku, " teriakku sambil memukul dada Ardi keras.

Tapi Ardi tidak perduli, dia memulai aksinya padaku tanpa menatap air mataku yang sudah mengalir deras. Aku hanya bisa menutup mataku, karena sekuat apapun aku berteriak tidak membuat Ardi menghentikan aksinya.

"Bruk.. "

Pukulan keras membuat Ardi tidak sempat melakukan perbuatan gilanya padaku. Bara menarik tangan Ardi memaksa Ardi keluar dari kamarnya.

"Aku tahu kau adalah kekasih Chika, tapi mengertilah saat ini aku dan Chika sudah menikah. Berhentilah mengganggu Chika, cari wanita lain untuk hidupmu, " ucap Bara.

"Munafik, kau selalu bersikap sok baik dan sok manis didepan orang tua kita. Kau ingin hanya dirimu yang disayangi oleh mereka, kenapa mereka hanya perduli pada kebahagiaan dirimu? Apa aku ini bukan anak mereka? " kata Ardi berteriak keras.

"Berhentilah bertindak hal bodoh seperti ini, aku masih sabar menghadapimu kali ini. Tapi jika kau terus berulah, aku akan menarik semua fasilitas mu." kata Bara sambil menutup pintu kamarnya.

Aku masih berbaring ditempat tidur tanpa busana, rasanya aku benar-benar kaget dengan hal yang baru saja dilakukan Ardi. Sampai aku lupa untuk menutupi tubuhku yang tidak memakai baju. Sekilas aku melihat Bara menatap kearahku dengan wajah kesal. Tapi tiba-tiba dia tersenyum sambil duduk di tepi tempat tidur.

"Pakai kembali bajumu, aku sudah lelah malam ini. Kita bisa memulainya besok, kau bersabarlah! "

Aku langsung berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa baju tidur yang berserakan dilantai. Ucapan dari bibir Bara membuatku tidak dapat menahan malu. Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu?

Apa aku terlihat sedang menunggunya menggodaku, agar dia memberikan malam pertamanya? Rasanya aku ingin tidur dikamar mandi saja, malu jika harus bertemu dengannya. Tadi dia bahkan sudah melihat bentuk tubuhku tanpa busana, dan kejadian menjijikan yang dilakukan Ardi padaku. Apa dia tidak marah padaku dan Ardi?

"Chika, buka pintunya. Apa kau mau tidur di kamar mandi? " teriak Bara dari balik pintu.

Aku sudah selesai mengganti bajuku, tapi aku belum siap bertemu dengan laki-laki itu. Apa yang akan dia lakukan padaku?

"Buka pintunya! " suara Bara semakin keras.

Aku mulai ketakutan, membuka pintu itu pelan-pelan. Menatap kearah laki-laki tampan yang sudah menungguku diluar kamar mandi.

"Keluar! " teriaknya.

Tapi aku tidak bergerak sedikitpun dari tempatku berdiri, rasanya tubuhku membeku dan tidak mampu digerakkan. Mungkin karena kesal, Bara memutuskan untuk menggendongku keluar dari kamar mandi. Aku menatap wajah itu, wajah lembut dengan senyum ramah di bibirnya. Memang harus ku akui wajah Bara sangat tampan, bahkan jauh lebih tampan dari Ardi.

"Berhenti menatapku begitu, apa saat ini kau sedang menggodaku? " senyumnya. Aku tidak berbicara, aku hanya diam dalam pelukan tubuh Bara yang menggendongku.

Bara merebahkan tubuhku di atas tempat tidur, dia masih menatap kearah ku dengan senyum manis diwajahnya. Wajah kami kini saling tatap, entahlah apa yang sedang dia pikirkan tentang diriku. Tapi aku merasa benar-benar terhipnotis dengan wajah tampannya.

"Apa yang kau rasakan saat aku bersamamu?" bisik Bara.

Aku tak menjawab, aku masih diam menatap wajah Bara tanpa berkedip. Bibirnya mendekat kearah bibirku, kami bercumbu cukup lama sampai aku mendorong lembut tubuh Bara.

"Kenapa? Apa kau tidak suka aku mencium bibirmu?" bisik nya lagi.

"Maafkan aku, " ucapku sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku menangis cukup keras, aku tidak bisa mengendalikan perasaanku saat itu. Dilema besar menghantui hidupku, ada rasa bersalah pada Ardi, kekasih baik yang paling kucintai.

"Aku mengerti, aku tidak akan memaksamu, " ucap Bara sambil berdiri meninggalkan aku.

Aku menatap sekilas Bara tidur di sofa kamar, dia benar-benar tidak memaksaku melayaninya. Tapi aku merasa bersalah padanya, rasanya aku benar-benar menjadi istri jahat karena belum bisa mencintai suamiku sendiri.

****

Pagi pun datang, aku menatap kearah Bara yang masih tertidur pulas. Aku berjalan mendekat kearahnya, lalu menatap wajah tampan yang masih berbalut dalam mimpi. Aku melihat Bara membuka matanya sedikit, lalu menarik tanganku jatuh di atas tubuhnya.

Bara memeluk tubuhku, masih enggan membuka matanya. Aku hanya diam, mengikuti pelukan Bara tanpa perlawanan.

Tak lama Bara membuka matanya, senyum manis terpancar dari bibirnya mendapati ku berada di pelukannya.

"Apa kau mulai merindukan ku? " tawanya.

Aku melepaskan pelukan di tubuh Bara, lalu berjalan menuju kamar mandi. Aku mulai berpikir hal yang baru saja aku lakukan, aku malu jika harus menemuinya. Berkali-kali aku melakukan hal bodoh dihadapannya. Entah apa yang saat ini dipikirkan Bara tentang diriku.

Aku keluar dari kamar mandi, tapi kamar itu kosong. Kemana Bara pergi? Aku berjalan keluar dari kamar menuju lantai dasar rumah itu. Aku menatap seluruh keluarga berkumpul di meja makan, semua kecuali Ardi. Bara sudah tampil rapi dan tampan, dia mendekat lalu dia menggandeng tanganku kearah meja makan.

"Kau kapan mandinya? Tiba-tiba sudah rapi begini? " tanyaku heran.

"Aku lama sekali menunggumu mandi tadi, jadi aku pakai kamar mandi lain untuk mandi," tawanya.

"Maaf ya, "

"Untuk apa minta maaf, sekarang kita sarapan dulu ya, " senyum Bara.

Bara memintaku duduk di kursi, lalu dia duduk disebelah ku. Dia memintaku untuk segera makan, tapi aku menolaknya.

"Chika, ayo makan! Anggap saja rumah sendiri, " ucap Ibu Bara dengan senyum ramah.

"Tidak usah malu-malu, ayo makan nak, " tawar Ayah Bara.

"Iya, " jawabku singkat.

Aku menatap semua keluarga Bara, keluarga yang cukup ku kenal dengan baik. Ada Ayah dan Ibu nya, ada Cindy adik perempuan Ardi dan ada Marcell adik laki-laki berumur sama dengan Alesha.

"Kau pasti sudah mengenal baik keluargaku saat berpacaran lama dengan adikku? " kata Bara sambil tersenyum kecil.

Aku bahkan tidak tahu, apa arti kata-kata Bara itu. Apa dia sedang bertanya atau sedang meledek aku. Aku memakan sarapanku sampai habis lalu Bara memintaku untuk masuk kembali ke kamar. Ada rasa takut, tapi aku juga tidak bisa lari.

Aku mengikuti langkah kaki Bara menuju kamar. Ku lihat kamar itu sudah di penuhi hiasan, ada banyak bunga mawar merah di atas tempat tidur. Lalu kulihat rangkaian kelopak bunga disusun rapi membentuk hati dengan bunga-bunga lain di susun rapi di setiap sudut kamar.

"Apa ini? " tanyaku.

"Hadiah untuk istriku, " senyum Bara.

Aku berjalan masuk kedalam kamar itu, mengelilingi kamar itu dengan rasa takjub. Sampai Bara memintaku untuk duduk di tepi tempat tidur, lalu dia memberikan hadiah kotak kecil yang sudah dibungkus rapi padaku.

"Apa ini? " tanyaku.

"Untukmu, " jawabnya.

"Bukalah, " pintanya.

Aku membuka kado kecil itu, kulihat kalung yang berbentuk hati di sebuah kotak kecil. Bara memasangkan kalung itu di leherku tanpa izin dariku, mungkin karena saat ini aku sudah menjadi istrinya. Jujur, ada rasa bahagia dicintai oleh laki-laki sebaik Bara. Tapi jika aku ingat Ardi, rasanya aku jahat bahagia di atas air matanya. Bara memeluk tubuhku, dan mencium kening ku hingga ku merasa bak seorang putri yang dicintai seorang pangeran.

Beri dukungan Kak, jejak Like, Vote, Komen, agar author semangat lanjutin cerita.

Terimakasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!