Fariq Atlas Renandra namanya, tidak pernah ada kata penolakan ketika ibunya yang berkata. Setiap apa yang dikatakan oleh surganya, Fariq akan melakukan hal tersebut tanpa banyak basa-basi lagi.
Seperti pada hari ini, Fariq di minta oleh ibunya untuk pergi ke suatu tempat. Di mana tempat itu adalah langganan untuk membeli barang-barang masakan di dapur. Dia sama sekali tidak malu jika harus membeli barang masakan walaupun posisinya adalah seorang pria.
Setelah Fariq pulang dari tempat itu, di tepi jalanan didekat halte, ia melihat ada seorang wanita muda yang sedang dihadang oleh beberapa orang. Sebagai seorang pria, Fariq pun tidak mau tinggal diam, ia turun dari dalam mobilnya menghampiri orang-orang tersebut.
"Waaah ... Ada yang mau jadi jagoan ini," ucap salah satu preman.
"Lepasin perempuan itu!"
Tidak membalas perkataan Fariq, kedua preman itu malah menyerang Fariq tanpa aba-aba terlebih dahulu.
Bugh!
Fariq mendapatkan pukulan pada wajahnya.
"Masuk ke dalam!" perintah Fariq kepada wanita yang berbaju jas putih layaknya seorang dokter.
Fariq dan kedua preman tersebut berkelahi, baik Fariq maupun kedua laki-laki itu, mereka bertiga sudah mendapatkan pukulan di beberapa bagian. Perkelahian terus saja berlanjut tanpa adanya orang yang membantu Fariq Atlas Renandra.
Bugh! Bugh! Bugh!
Fariq kalah, salah satu preman mengeluarkan senjata tajam. Tepat di bagian lengannya Fariq mengalami luka yang cukup parah.
“Aw …”
Wanita itu kaget, ia pun tidak mau berdiam diri di dalam mobil setelah melihat keadaan pria itu. Dia kembali keluar dan meminta tolong agar para preman pergi dari hadapan mereka.
"Tolong! Tolong!" teriaknya.
Kedua preman bertubuh tinggi itu panik, mereka lari terbirit-birit. Dokter muda nan cantik itu menghampiri Fariq yang sudah terduduk di jalanan.
"Tangan Mas luka."
"Arghhh!"
"Jangan pegang. Sakit!" Larang Fariq.
Perempuan itu membantu Fariq untuk berdiri. "Ayo Mas kita ke rumah saya dulu."
"Ngapain?" Tanya Fariq sambil menahan sakit yang ada pada lengannya.
"Luka Mas harus saya obati."
"Saya nggak mau."
"Mas harus ikut saya ... Mas udah menjadi tanggung jawab saya karena udah menolong saya."
"Tanggung jawab." Fariq Atlas Renandra malah senang mendengar ucapan dari wanita itu. Dia memang mencari seorang wanita yang pengertian.
"Malah senyum lagi. Ayo cepat."
Fariq Atlas Renandra berdiri.
"Saya yang bawa mobil Mas ... Mas duduk aja di sini."
"Biar saya aja."
"Saya aja."
"Tapi-"
"Jangan bandel, udah besar 'kan. Ikutin perintah," ucap dokter itu.
Lagi, Fariq semakin terpesona dengan perempuan yang baru saja ia tolong. Apalagi melihat mata indah dari wanita itu membuat jantungnya berdegup kencang. Sudah lama tidak menjalin hubungan dengan seorang wanita membuat Fariq terbawa perasaan dengan perlakuan dari dokter itu.
[] [] []
Fariq Atlas Renandra sedang menunggu seorang wanita. Sekarang dia duduk di sofa yang terlihat cukup mewah. Sambil menahan rasa sakit itu, Fariq mencoba menahan aliran darah yang sudah mengenai baju bahkan celananya.
Beberapa kali dia memperhatikan rumah tersebut, sepertinya wanita yang menolongnya ini adalah orang berada, terlihat dari tempat tinggal yang sekarang ia lihat.
"Sini dulu tangannya."
"Mau ngapain?" tanya Fariq bingung.
"Di obatin."
"Itu 'kan jarum."
"Iya, Mas. Di jahit dulu."
Fariq langsung berdiri, matanya melebar ketika mendengar pengucapan dari perempuan itu. "Saya nggak mau. Saya takut."
"Takut gimana? Ayo, sini." Perempuan itu kembali menarik tangan Fariq. "Duduk dulu."
"Jangan! Lebih baik saya pulang. Saya nggak mau tangan saya di jahit."
"Terus Mas maunya gimana? Ini lukanya parah."
"Saya, nggak, mau!"
"Harus, Mas. Karena ini luka sayatan."
"Nggak! Saya takut."
Wanita itu mendekati Fariq, dia langsung menarik lengan pria tersebut. "Mas, jangan takut. Saya Dokter kok."
"Sama aja. Saya takut di suntik, saya takut di jahit."
"Mas dengerin saya dulu ya ... Saya berhutang budi sama Mas."
"Nggak usah mikirin itu, saya nggak peduli. Asalkan saya nggak dijahit." Fariq masih mencoba untuk menolak bantuan dari Rachel.
"Nggak sakit, Mas."
"Sakit!"
"Enggak, Mas."
"Kamu bohong! Saya tidak percaya."
Wanita itu mengabaikan ucapan Fariq, dia langsung mengambil sesuatu untuk membersihkan darah tersebut.
"Mas, coba lengan bajunya di gulung dulu."
"Susah. Kamu nggak liat tangan saya sakit."
"Kalau gini saya susah mengobatinya."
"Nggak usah di obati. Saya mohon," ucap Fariq.
Melihat jarum suntik, rasanya sangat ngilu membuat pria itu benar-benar takut saat ini.
"Harus, Mas. Nanti bisa infeksi tau."
"Beneran nggak sakit 'kan?" tanya Fariq memastikan.
"Percaya sama saya, Mas. Mas akan baik-baik aja."
Tangan Fariq terulur membuka kancing bajunya sendiri membuat dokter tersebut merasa heran. "Mas mau ngapain?" tanyanya.
"Tadi kamu bilang mau ngobatin luka saya. Cuma ini cara satu-satunya supaya kamu bisa mengobati luka saya."
Perempuan itu merasa canggung, laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal malah bertelanjang dada di hadapannya.
Fariq pun memalingkan wajah supaya tidak melihat luka itu. Tangannya yang penuh darah membuat ia enggan untuk menoleh.
"Tahan ya, Mas."
"Pelan-pelan."
"Nggak usah manja deh. Badan besar malah takut jarum suntik."
"Ya namanya juga takut, mau gimana lagi."
Dokter itu terus mengobati luka pada lengan Fariq. Dengan sangat telaten dia membersihkan bercak darah yang masih saja mengalir.
"Udah belum?"
"Baru juga bersihin darahnya, Mas."
Menit demi menit sudah berlalu, tangan pria itu sudah berada di pangkuan wanita tadi. Dia sedang menyiapkan alat lain untuk mengobati luka tersebut.
"Arghhh! Kamu udah jahit?"
"Iya. Lagi saya jahit Mas."
Deg!
Perempuan itu kaget ketika tangan Fariq sebelah lagi malah merangkul pinggangnya dari arah belakang. Bahkan Fariq sangat dekat dengan dirinya.
Kedua wajah itu saling berdekatan, Fariq menyembunyikan pandangannya pada rambut wanita itu.
"Maaf. Tapi saya takut."
Lamunan gadis itu terhenti, kembali ia fokus mengobati luka itu.
"Sakit dokter."
"Tahan sebentar ya."
Sang dokter membulatkan matanya ketika Fariq malah meremas pinggang rampingnya. "Heh. Mas ngapain?"
"Saya minta maaf. Saya beneran nggak sengaja."
Hampir setengah jam lamanya, dokter muda itu sudah selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter. Dia membereskan barang-barangnya, tanpa sadar bahwa pria itu masih memeluk pinggangnya.
"Udah selesai, Mas."
Fariq memperbaiki posisi duduknya. Ia melihat tangannya yang sudah berbalut perban.
"Makasih ya Mas tadi udah nolongin saya."
"Sama-sama, Mbak-" Fariq menghentikan kalimatnya.
"Panggil, Rachel."
"Mbak, Rachel."
"Ngga usah pake, Mbak. Rachel aja."
Fariq tersenyum. Sedangkan Rachel masih deg-degan dengan pemandangan di depannya sekarang karena pria itu tidak memakai baju.
"Masih sakit?" tanya Rachel.
"Lumayan."
"Mas mau minum?" tanya Rachel.
"Nggak usah."
"Emangnya nggak haus setelah berkelahi tadi?" tanya Rachel.
"Haus ... Tapi nggak apa-apa, saya langsung pulang aja."
Saat Fariq hendak berdiri, Rachel menekan bahu pria itu untuk tetap duduk. "Mas duduk dulu. Saya ambilkan minum."
Rachel yang memiliki nama lengkap Rachel Diandra mengambilkan minuman untuk pria itu. Dari dalam hatinya, Rachel Diandra kasihan terhadap pria itu. Karena kalau tidak ada Fariq, mungkin preman-preman tadi akan berbuat sesuatu kepada dirinya.
"Minum dulu, Mas. Cuma ada air putih."
"Nggak apa-apa, Dokter. Makasih ya." Fariq meneguk air tersebut.
"Jangan terlalu banyak gerak ya. Nanti lukanya nggak kering-kering."
"Memangnya harus gitu?"
"Aaa ... Rachel!" teriak seorang wanita.
Rachel dan Fariq menoleh kearah suara itu, dua orang wanita paruh baya sudah berdiri di ambang pintu. Baik Rachel maupun Fariq, mereka bingung saat wanita itu berteriak.
"Kamu ngapain Rachel sama pria itu."
Rachel baru sadar, pria yang ada di sampingnya tidak memakai baju. Sudah pasti itu yang membuat ibunya berteriak. "Eh, Mama salah paham. Ini nggak seperti yang Mama liat."
"Mami," lirih Fariq.
Salah satu wanita bersama ibunya Rachel malah berlari menghampiri Fariq. "Sayang, tangan kamu kenapa?"
"Ada kecelakaan tadi, Mi. Di jalan."
"Lho! Rita, ini anak kamu?" tanya Indi, ibunya Rachel.
"Iya, Ndi ... Fariq anak lelaki ku yang sering aku ceritakan," jawab Rita. "Kenapa bisa gini sayang?"
"Rachel ... Apa yang terjadi?" tanya Indi dan duduk di samping anaknya.
"Tadi Mas ini nolongin Rachel, Ma ... Kalau dia nggak ada mungkin Rachel yang dapat luka ini."
"Kamu nolongin Rachel sampai dapat luka gini?"
"Ajaran Mami ... Ariq harus menolong orang yang lagi butuh bantuan," ucap pria itu. "Apalagi perempuan."
"Terima kasih, Nak ... Kamu sudah menolong anak Tante."
"Sama-sama, Tante ... Anak Tante juga sudah menolong saya. Dia mengobati tangan saya. Tapi dijahit, ngeri!"
"Terus ... Kenapa kamu nggak pakai baju?" tanya Rita.
"Mami jangan salah paham dulu. Ariq buka baju di suruh sama dia." Pria itu menunjuk ke arah Rachel. "Katanya biar mudah ngobatin."
"Ya Tuhan. Kenapa harus seperti ini sayang."
Sebagai seorang ibu, Rita khawatir dengan keadaan anak prianya itu. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi Fariq Atlas Renandra.
"Jadi, Mas ini anak Tante?"
"Iya, Hel. Namanya Fariq, ini anak Tante."
"Lihat Rachel, cari suami kayak Ariq. Contoh laki-laki yang bertanggung jawab," ujar Indi.
"Kami pulang dulu ya."
"Nggak jadi mampir, Rit?" tanya Indi.
"Lain kali aja. Saya harus rawat anak saya ini," jawab wanita itu. “Itu mobil kamu 'kan?”
“Iya, Mi,”
“Biar, Mami yang bawa.”
[] [] []
Hari ketiga setelah Fariq Atlas Renandra mendapatkan luka itu. Dia masih belum pergi bekerja karena dilarang keras oleh sang ibu. Dari hari pertama dia diserang oleh preman tersebut sampai sekarang ia belum keluar rumah.
Sebagai laki-laki, Fariq tidak nyaman rasanya terus-menerus berada di dalam rumah. Pekerjaannya juga sudah banyak tertunda hanya karena luka itu. Hari kemaren dan hari ini sama saja, Fariq duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi.
Fariq menoleh kearah jam yang terletak di dinding tepat di atas televisi. Masih jam sepuluh, tidak mungkin ibunya pulang secepat itu dari sekolah. Karena biasanya anak SMA pasti pulang di jam sore-sore.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..."
Fariq berdiri namun pintu rumah mereka langsung terbuka. Dia bingung seorang wanita berpakaian rapi masuk ke dalam rumah tersebut. Yang membuat Fariq heran adalah karena wanita berbaju dokter itu perempuan yang sempat mengobati lukanya.
"Assalamualaikum, Mas."
Rachel menghampiri Fariq, senyum yang ia perlihatkan membuat laki-laki itu terpesona.
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya. "Tau rumah ini dari siapa?"
"Saya ke sini di suruh sama Tante, Mas. Dia juga kasih alamat rumah ini."
"Mami nyuruh kamu ke sini? Ngapain?"
"Mau periksa luka, Mas."
"Periksa! Jangan-jangan, nanti saya bawa ke rumah sakit aja," ucap Fariq.
"Nggak boleh. Itu 'kan saya yang obatin."
"Nggak!" tolak Fariq. "Saya nggak mau."
"Jangan bandel, Mas ... Ini udah tiga hari, perbannya harus di buka."
"Tapi saya-"
Rachel melangkah lagi membuat Fariq terjatuh di sofa. "Eh, pelan-pelan. Nanti tangan Mas nggak sembuh-sembuh.”
Rachel Diandra duduk di samping Fariq, lalu meletakkan tas tempat ia menyimpan barang-barangnya di atas meja.
"Bisa nggak sih Mas itu dengerin kata orang."
"Ngapain? Mending saya dengerin kata Mami. Kamu 'kan bukan siapa-siapa saya," ucap Fariq dengan nada ketus.
"Tapi, karena saya Mas mendapatkan luka ini." Rachel langsung menarik lengan pria itu. "Saya lihat dulu ya."
Kembali seperti kemarin, Fariq memalingkan wajahnya. Melihat luka adalah hal yang mengerikan bagi dirinya.
"Perih."
"Iya, tahan."
"Udah, Dokter ... Saya takut berdarah lagi."
"Enggak kok." Rachel beranjak dari tempat duduknya. "Dapur di mana?"
"Mau ngapain?"
"Di mana?" tanya Rachel lagi.
Fariq menunjuk salah satu ruangan. Rachel bergegas menuju dapur. Sekitar lima menit, dia kembali membawa secangkir air panas.
"Air panas itu buat apa?"
"Buat nyiram tangan, Mas."
"Kamu jangan macam-macam ya." Fariq mulai takut. "Mentang-mentang saya lagi sakit kamu jangan main-main. Itu panas!"
"Ini nggak terlalu panas, Mas. Biar perbannya bisa kebuka dengan mudah."
"Saya nggak mau!" Tolak Fariq.
"Jangan bandel. Tante udah suruh saya ke sini buat obatin luka, Mas."
Rachel langsung menarik lengan pria itu lagi. Perlahan ia menuangkan air tersebut. Rachel tersenyum saat melihat ekspresi wajah Fariq yang sedang memejamkan mata.
"Panas," lirih Fariq.
"Kan nggak terlalu panas."
"Pelan-pelan bisa nggak?"
"Ini udah pelan, Mas ... Mas aja yang terlalu takut."
Disebuah cafe mewah, dua orang wanita sedang mengobrol hal yang sangat serius. Indi dan Rita berniat ingin menyatukan anak mereka. Terlebih lagi Fariq dan Rachel masih sama-sama sendiri.
Kedua wanita paruh baya berperawakan modis itu sangat berharap jika anak-anak mereka akan menikah seperti keinginan keduanya.
"Sampai sekarang aku nggak pernah lihat Rachel bawa laki-laki ke rumah, Rit."
"Kalau Fariq pernah. Perempuan itu bekerja sebagai DJ. Aku nggak setuju, Ndi," ungkap Rita. "Bukannya aku menghina pekerjaannya, tapi aku sebagai orang tua mau yang terbaik buat anak laki-laki ku."
"Lebih baik ikutin saran ku tadi. Aku bangga melihat anak kamu yang bisa melindungi Rachel," ujar Indi. "Aku mau Fariq jadi menantu ku."
"Aku juga," balas Rita. "Melihat Rachel merawat Fariq. Aku yakin, kalau Rachel bisa dijadikan istri yang tepat buat anak aku."
"Tapi permasalahannya sekarang. Mereka mau nggak?" tanya Indi pada Rita.
Rita berpikir sejenak setelah mendengar ucapan dari Indi. Dia yakin jika Fariq akan mengikuti permintaannya. Namun dia juga bingung, tidak bisa memastikan apakah anak-anak mereka akan menerima perjodohan tersebut.
[] [] []
Satu Minggu telah berlalu, Fariq Atlas Renandra melakukan pekerjaan seperti biasa. Luka yang ia dapat setelah menolong dokter muda itu sudah sembuh walaupun belum sepenuhnya.
Begitu juga dengan Rachel Diandra, sekarang ia bertugas di luar kota. Ada yang membutuhkan jasanya sebagai seorang dokter disana.
Saat malam tiba, Fariq sedang bersama ibunya di ruang meja makan. Pria itu sudah tidak memiliki seorang ayah dikarenakan meninggal dunia karena kecelakaan kerja.
"Ariq."
"Iya, Mi."
"Rumah kita sepi banget ya."
"Iya lah, Mi. Kan cuma Ariq sama Mami yang ada di sini ... Alda juga udah jarang ke sini."
"Alda sibuk kuliah, biarin ajalah. Apalagi sekarang dia semester akhir."
Fariq kembali melanjutkan makannya. Begitu juga dengan Rita. Rumah yang terbilang cukup besar memang terasa sepi jika hanya mereka berdua disana.
Rita berharap jika sesuatu yang ia inginkan bersama calon besannya akan segera terwujud, apalagi dia sudah mulai menua. Sebagai seorang ibu, Rita menginginkan Fariq mendapatkan istri yang bisa merawat anaknya kelak ketika dia sudah tidak ada
Sudah pasti, wanita yang sedang di fokuskan oleh Rita untuk menjadi menantunya adalah anak temannya. Tidak lain dan tidak bukan ialah Rachel Diandra.
"Mami mau cucu."
"Ha!" Fariq bingung mendengar ucapan ibunya tadi. Bahkan nasi yang sedang ia kunyah belum halus sepenuhnya. "Mami bilang apa tadi?" tanyanya.
"Mau cucu," ucap Rita mengulanginya.
"Ariq yang salah denger atau Mami yang salah ngomong?" tanya pria itu.
"Kamu nggak salah denger. Mami mau cucu ... Temen-temen Mami semuanya udah punya cucu. Setiap ketemu pasti mereka bawa cucu. Mami, cuma bawa tas!" kesal Rita.
"Terus Mami ngapain minta cucu sama Ariq. Hahaha ..."
Pria itu malah tertawa terbahak-bahak, karena baginya permintaan dari ibunya sangat lucu. "Emangnya Ariq bisa buat sendiri. Seenaknya Mami minta gitu aja."
"Makanya kamu nikah."
"Sama Tantri?" Fariq menaikkan sebelah alis matanya.
"Mami penggal leher kamu."
"Hahaha ..." Fariq Atlas Renandra kembali tertawa. "Tadi katanya mau cucu. "Hehehe ..."
"Nggak sama Tantri juga. Kamu mau Mami jantungan?"
"Mami kok ngomongnya gitu banget."
"Makanya kamu serius," ucap Rita. "Sama orang tua malah bercanda."
"Gimana Ariq nggak bercanda. Permintaan Mami aja aneh gitu," ucapnya.
"Aneh gimana? Kamu nggak mau nikah?" Tanya Rita.
"Mau lah, Mi. Siapa coba di dunia ini nggak mau nikah ... Kan Ariq juga pengen ngerasain malam pertama."
Rita menatap tajam anaknya itu. "Kurang ajar ya sekarang."
"Ya ampun, Mi. Kan kalau pengen cucu, Ariq harus malam pertama dulu 'kan."
"Tapi nggak usah mikirnya ke situ."
"Udah lah, Mi. Kita lagi makan, sekedar beginian aja kita ribut."
"Sekedar kamu bilang!" ujar Rita. "Ariq ... Kamu itu anak satu-satunya Mami. Mami udah tua, tapi sampai sekarang Mami belum menimang cucu."
"Kamu mau Mami mati duluan. Baru kamu nikah?" tanyanya.
"Mami ... Dari tadi ngomongnya ngelantur. Ariq nggak suka."
"Makanya kamu nikah. Mami juga pengen lihat kamu punya istri, punya anak, bahagia."
"Ariq udah bahagia Mami, sayang ... Cukup Mami ada, Ariq bahagia banget."
"Tapi Mami akan lebih bahagia kalau kamu menikah."
Fariq berdecak kesal. "Urusan nikah nanti-nanti ajalah, Mi ... Ariq 'kan laki-laki. Beda sama perempuan, kalau bisa harus cepat-cepat."
"Itu maksud Mami, Ariq," ujar Rita. "Kan nggak mungkin kamu nantinya menikah sama nenek-nenek."
"Ucapan itu adalah doa ... Mami nggak boleh gitu. Walaupun Ariq belum kepikiran buat nikah. Tapi Ariq pengen juga punya istri yang masih muda."
"Gini ya Ariq, sayang-"
"Iya Mami, sayang."
"Kebiasaan ini. Maminya lagi ngomong malah di putus."
Fariq langsung terdiam.
"Mau laki-laki ataupun perempuan sama aja, Ariq ... Kalau kamu udah berumur nanti. Emangnya kamu yakin ada perempuan muda yang mau sama kamu?"
Fariq Atlas Renandra mencerna ucapan dari ibunya. Setelah dipikir-pikir, perkataan yang baru saja keluar dari mulut Rita memang betul juga.
"Kenapa diam?"
"Mami kok jadi nakut-nakutin, Ariq ... Tadi 'kan Ariq udah bilang, kalau Ariq juga pengen nikah."
"Ya udah. Nikah dari sekarang."
"Eummm ... Mami kasih Ariq waktu dua bulan ya. Ariq akan cari istri, tapi jangan di paksa."
"Nggak perlu cari sampai dua bulan."
"Ya 'kan nggak mungkin juga sekarang, Mi ... Jodoh dari mana coba."
"Sebenarnya jodoh kamu udah dekat, tapi kamu nggak sadar."
"Tantri," ucap Fariq lagi.
Rita menatap tajam kearah anaknya. "Ariq! Kamu main-main sama Mami."
"Maaf, Mamiku sayang."
"Kamu nikah sama Rachel."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!