NovelToon NovelToon

Aku? Jadi Suami Pengganti?

BAB 1: Tumbal Kakak

Pintu utama rumah keluarga Aldebaran itu terbuka lebar. Suara koper besar diseret kasar memenuhi ruang tamu. Farel muncul dengan hoodie kusut, wajah yang sama sekali tak menyiratkan penyesalan, dan earphone menggantung sembarangan di lehernya.

“Home sweet home,” katanya dengan nada berlebihan sambil menjatuhkan koper besar ke lantai, menggelegar seperti suara guntur.

“Pasti pada kangen gue, kan?”

Di ruang tamu, duduklah Pak Syaiful, ayahnya, bersama beberapa anggota keluarga lain. Suasana yang awalnya tenang berubah hening.

Semua mata tertuju pada Farel, kecuali Pak Syaiful yang tetap memandang lurus dengan aura intimidasi yang sulit disangkal.

“Farel,” suara Pak Syaiful akhirnya terdengar, dingin dan pelan, “sini.”

Farel melenggang dengan gaya sok santai, seolah baru memenangkan hadiah besar. Tapi begitu melihat ekspresi serius ayahnya, dia langsung memasang muka malas.

“Apa lagi nih, Yah? Nilai gue jelek? Kampus gue ribet?” katanya sambil duduk di sofa, menjatuhkan tubuhnya dengan gaya lebay.

“Ya, salah kampusnya lah! Gue itu keren, mereka aja nggak ngerti gaya hidup gue.” lanjut Farel, dengan menyilangkan kedua tangannya di dada.

Pak Syaiful tidak langsung menjawab. Napas panjang yang dihela cukup untuk membuat Farel merasa gelisah, meski dia mencoba menutupinya dengan senyum sombong.

“Kamu dikeluarkan dari kampus, Farel,” ujar Pak Syaiful, dengan nada yang begitu tenang, tapi cukup menghantam seperti palu.

Farel tertawa kecil. “Yaelah, Yah. Itu kampus nggak ngerti seni hidup. Gue cuma bikin pesta kecil-kecilan di aula kampus. Masa salah gue lagi, mereka aja tuh, yang nggak bisa nikmatin DJ internasional!”

Beberapa keluarga di ruangan itu menutup wajah, malu mendengar ucapan Farel. Tapi Pak Syaiful tetap tenang.

“Kamu pikir hidupmu bisa terus seenaknya?”

“Yah,” Farel bersandar, “hidup gue ini masterpiece. Gue cuma kurang dihargai, ngerti, kan?”

Senyum itu memudar ketika Pak Syaiful melanjutkan, “Faris sudah tiada, Farel. Sekarang giliranmu.”

Hening. Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang tertahan.

“Giliran apa?” tanya Farel akhirnya, keningnya berkerut. “Giliran gue jadi anak baik? Duh, susah, Yah. Itu misi impossible.”

Pak Syaiful menatapnya tajam. “Giliran kamu menikah. Kamu akan menggantikan Faris menikahi Yena.”

Farel berdiri. “APA?!”

Dia menunjuk dirinya sendiri, lalu tertawa, tapi lebih seperti histeris. “Gue yang harus nikah? DENGAN YENA?! Oh Tuhan, ini hukuman apaan, sih?”

Dia melangkah beberapa kali ke depan, lalu berbalik, ekspresinya seperti aktor drama yang sedang bermain tragedi besar.

“FARIS! LU NGGAK BERPERIKEMANUSIAAN, BRO! Lu pergi gitu aja ninggalin gue yang jadi tumbalnya? Serius, sih, lu egois banget bahkan di akhirat!”

“Farel,” suara Pak Syaiful menghentikan langkahnya. “Kamu satu-satunya anak laki-laki yang tersisa. Tanggung jawab ini ada di kamu.”

“Tanggung jawab?” Farel menunjuk dirinya sendiri, terkejut seperti baru mendengar dirinya terpilih jadi presiden. “Yah, Yena itu buat Faris! Gue alergi komitmen! Gue bakal bikin Yena kabur!”

“Farel,” suara Ibu yang lembut terdengar dari belakang. “Ini soal keluarga. Kamu harus belajar bertanggung jawab.”

“Tanggung jawab apa?” Farel menunjuk ke foto kakaknya di dinding. “Faris, lu tega ninggalin gue buat acara begini? Kalau di atas sana lu ketawa, gue doain setan-setan di neraka nge-dance di depan lu!”

“FAREL!” bentak Pak Syaiful.

Farel langsung terdiam, tapi detik berikutnya dia bersandar lagi di sofa, kembali menyilangkan tangan di dada. “Oke. Tapi Yena pasti tau gue ini paket gagal. Gue nggak cocok jadi suami, gue ini cuma... Farel. Bahkan Faris nggak suka gue dulu.”

Pak Syaiful memukul meja. “Kamu nggak punya pilihan, Farel. Nikah atau kartu kreditmu saya blokir.”

Hening kembali menyelimuti ruangan. Mata Farel melebar, tangannya terangkat, seolah Pak Syaiful baru saja melemparkan ultimatum yang lebih buruk dari hukuman mati.

“Yah... nggak segitunya dong. Tapi... gila, sih. Yena bakal nangis kalau tau pengganti suaminya pria kayak gue!” decak Farel masih dengan posisi tangan yang terangkat, bayangkan saja Farel seperti di sodongkan pistol.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di otak jeniusnya, dengan senyum bangga. perlahan ia menurunkan tangannya, dan bangkit, berjalan mendekat ke sofa di mana ayah dan ibunya duduk.

"Aku ada ide," Farel langsung duduk di tenga-tenga ayah ibunya, karena gerakan itu mengeluarkan tenaga, ibunya dengan spontan menutup hidungnya.

"Farel, kamu tidak lupa mandi kan? Saat kembali dari UK?" tanya Arina, Ibunya, tidak tahan dengan aroma yang di keluarkan putranya itu.

Farel hanya melihat ibunya dengan wajah malu, tangannya spontan menggaruk-garuk kepalanya, memperlihatkan rambutnya yang tiga hari tidak keramas.

"Jangan bahas itu dulu, Bu, aku ada ide cemerlang nih." balas Farel mencubit pipi ibunya dan berbalik ke ayahnya.

"Aku tidak mau mendengar ide cemerlangmu itu," jawab Pak Syaiful cepat sebelum Farel mengucapkan ide yang mungkin di luar nalar.

"Duh... Gini, Yah. Kenapa tidak di batalin aja perjodohan ini? Apalagi, si Yena kan bisa cari cowok lain. Di luar sana pasti banyak yang ngantri buat dia.”

Pak Syaiful menghela nafas panjang, semakin tidak mengerti dengan pola pikir putranya itu. Dia kembali menatap Farel tajam.

“Kamu pikir perjodohan ini cuma buat gaya-gayaan?”

“Ya, nggak juga sih,” Farel menjawab santai. “Tapi... buat apa dipaksain? Gue aja nggak ada pengalaman pacaran. Lagian, Yena tuh berhak dapet cowok yang... ya, normal.”

“Normal?” Pak Syaiful menaikkan alis.

“Yah, liat gue deh.” Farel menunjuk dirinya sendiri, dari kepala hingga kaki. Dimana rambutnya yang berantakan bahkan ada sedikit memperlihatkan serpihan ketombe, wajah kusutnya, hoodie abu-abu yang belum di cuci dipadukan celana jeans robek. Menghilangkan harga diri barang branded yang melekat di tubuhnya.

“Gue nggak cocok jadi suami. Suami itu harus rapi, elegan, kayak Faris. Gue? Gue mah kayak figuran film komedi.” lanjut Farel dengan mantap.

Pak Syaiful kembali menghela napas panjang, “Farel, kamu sadar nggak ini bukan tentang gaya hidup kamu? Perjodohan ini adalah amanah dari kakekmu. Kamu tahu apa artinya amanah?”

Farel terdiam sebentar, lalu mengangkat bahu. “Tahu sih... cuma ya, kenapa harus gue? Ini tuh amanah buat Faris, bukan gue." bantah Farel menyilangkan kedua tangannya di dada, sudah menjadi gaya andalannya.

"Aku tidak ingin lagi mendengar ucapanmu, mau tidak mau kamu harus menikah besok. Kalau kamu tidak ingin kartu kreditmu itu di blokir dan di hapus dari pewaris tunggal. Kamu harus menurut. Ini juga adalah hukumanmu." ujar Pak Syaiful dengan tegas, ia berdiri, berniat untuk pergi.

Dengan kasar Farel mengacak-acak rambutnya, ibunya hanya bisa pasrah melihat situasi itu, sedangkan anggota keluarga lain, om dan tantenya yang ikut menyusun rencana pernikahan itu, hanya menggeleng pasrah.

BAB 2: Pernikahan Tidak di Inginkan

Sehari setelah ultimatum maut Pak Syaiful, Farel duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Jas hitam yang ia kenakan kurang pas, sebuah tanda jelas bahwa ini bukan miliknya, tapi peninggalan kakak kembarnya. Di tangannya, dia memegang dasi dengan ekspresi seperti memegang ular berbisa.

“Apa gue bener-bener harus pake ini? Yena bakal tau gue cuma cosplay jadi Faris,” gumamnya, memandang Ibu yang sibuk membenarkan kerah bajunya.

“Farel, berhenti mengeluh,” Ibu menjawab dengan nada tenang, tapi matanya penuh peringatan. “Hari ini kamu harus terlihat seperti pria dewasa. Setidaknya sekali dalam hidupmu.”

“Dewasa?” Farel tertawa kecil, getir. “Bu, gue ini paket gagal. Kalau Yena sampai tau gue ini cuma pengganti, dia pasti bakal kabur sambil nangis. Dan gue sih, nggak bakal nyalahin dia.”

“Farel.” Suara Pak Syaiful terdengar dari belakang. Ia berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar yang lebih menyeramkan dari teriakan.

“Pakai dasinya. Sekarang.”

Farel mendengus, tapi akhirnya patuh. Dia melilitkan dasi itu dengan asal-asalan, dan hasilnya membuat simpul itu terlihat seperti tali yang siap untuk menggantung diri.

“Perfect,” katanya, melangkah ke cermin dan mengangkat alis. “Liat nih, pria paling sial tahun ini.”

Di ruang akad, suasana berubah jadi lebih serius. Yena duduk di samping wali, wajahnya tenang meski matanya sesekali memandang ke arah Farel. Sementara itu, Farel sibuk mengatur napas seperti orang yang baru selesai maraton.

“Tenang, Farel. Tenang,” gumamnya pelan sambil mengusap wajah. Tapi di dalam kepalanya, seolah suara Faris terus terdengar: Lu nggak bakal bisa, Farel. Lu bakal nge-rusak semuanya.

“Aduh, Faris!” Farel mendesis pelan. “Lu tuh bener-bener egois sampai mati.”

“Farel,” panggil Pak Syaiful. “Sudah waktunya.”

Farel menoleh dengan tatapan panik, seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri permen. Dia melangkah ke depan, duduk di samping Yena, dan menatapnya sekilas.

Yena tersenyum tipis, seolah berusaha menenangkan Farel. Tapi bukannya merasa lebih baik, Farel malah makin stres.

Ya Tuhan, dia lebih dewasa dari gue. Kok bisa gue yang disuruh nikah'in dia?

Saat penghulu mulai membacakan doa, Farel memejamkan mata dan menarik napas panjang. Tapi begitu tiba waktunya mengucap ijab kabul, tangannya gemetar.

“A-aku...” Dia tersendat. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sesuatu untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Dan kemudian, seperti mendapat ide brilian, dia tiba-tiba berdiri.

“Saya rasa ini salah!”

Semua orang terdiam. Yena menatapnya bingung. Pak Syaiful memijat pelipis.

“Salah apa, Faris?” tanya penghulu dengan sabar.

“Salah orang!” Farel mengangkat tangan dengan dramatis. “Saya ini Farel, bukan Faris! Ini salah teknis, Pak. Yena harusnya nikah sama Faris. Tapi Faris udah... ya, udah nggak ada, kan?” Dia melirik ke foto kakaknya di sudut ruangan. “Jadi, ya... kita batalin aja, gimana?”

Pak Syaiful berdiri, wajahnya merah padam.

“Farel!”

“Eh, Yah, gue cuma bilang fakta. Lagian, Faris pasti setuju, kok. Kalau dia ada di sini, gue yakin dia bakal bilang, ‘Farel, gue nggak nyuruh lu nikah kok, bro. Santai aja.’ Gitu, kan?”

Penghulu berdehem, mencoba memecah keheningan yang canggung. “Jadi Anda, Farel? Yasudah, yang penting sekarang adalah niat. Jika Anda sudah siap...”

“Saya nggak siap, Pak!” Farel langsung memotong. “Tapi, Yena, kalau kamu mau mundur, aku dukung seratus persen. Gue ngerti banget gimana rasanya dipaksa.”

Yena akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tegas.

“Aku sudah tau kamu Farel dan bukan Faris-” ucap Yena terpotong, wajahnya tertunduk, “Tapi saya nggak akan mundur. Kamu?”

Mendengar itu, Farel terkejut dan spontan berdiri dan menarik tangan Yena, "Bentar ya, kita skorsing dulu akadnya," ucap Farel kepada penghulu, dan beberapa orang yang menjadi saksi.

Sedangkan ayahnya, Pak Syaiful dan Istrinya saling pandang, mereka berdua hanya menggelengkan kepala, tidak tahu lagi.

Di kamar tamu, yang menjadi tempat ia bersiap sebelumnya, dia membawa Yena di sana. Farel menutup pintu keras, membuat orang-orang tersontak kaget, lagi-lagi ayahnya hanya bisa menepuk jidat.

"Yena, jadi lo sudah tau?" tanya Farel, wajahnya telihat kebingungan, dan tak habis pikir.

Yena mengangguk, membuat Farel juga ikut frustasi. Jadi, ternyata ini semua sudah direncanakan? Farel menghela nafas panjang, memegang kedua pundak Yena.

"Kita, batalin aja, gimana?" ucap Farel mantap, menatap mata Yena.

"Farel. Kita tidak bisa lakuin itu, ini sudah amanah keluarga kita." ujar Yena, keningnya berkerut.

"Sudahlah, ayo, Farel. Lo harus siap." lanjut Yena pelan.

Farel terdiam dan mencoba menerima, walaupun hatinya sebetulnya masih penuh tanya. Siapa yang siap dengan pernikahan mendadak ini? Apalagi, ini bukan pernikahan yang diinginkan. Ini bukan tentang cinta atau kebahagiaan. Ini tentang memenuhi amanah yang diwariskan oleh almarhum kakek mereka.

"Siap apa, Yen?" Farel nyengir, berusaha mencairkan suasana. "Gue nggak siap. Gue nggak siap banget. Apalagi nih, gue masih bingung, harus ngapain setelah ini. Ijab kabul, akad nikah, terus gimana? Gue cuma bisa bayangin gue jadi suami... tapi suami yang kayak... ya kayak aktor sinetron yang dikawin'in buat jalan cerita yang tiba-tiba."

Yena menatapnya, tak terpengaruh dengan guyonannya. “Farel, ini bukan sinetron. Ini hidup kita. Kalau lo bilang nggak siap, kita bisa jalanin pelan-pelan. Gak perlu buru-buru, yang penting kita coba.”

Farel menatap Yena sekilas. “Ya iya sih, ya. Tapi coba deh bayangin, Yen. Gimana rasanya nikah sama orang yang... nggak jelas kayak gue? Ini bukan hal yang kita pilih, kan?”

Yena diam sejenak, lalu mengangguk. “Tapi kita bisa coba, kan? Gak ada yang bilang ini bakal gampang. Gue juga gak minta jadi istri yang sempurna buat lo. Yang penting kita jalanin aja.”

Mendengar itu, Farel merasa sedikit lega. Yena berbicara dengan begitu tenang, seakan-akan ia sudah menerima takdir ini jauh lebih dulu. Sementara Farel? Farel malah merasa seperti baru ditarik ke dalam peran yang sama sekali dia nggak tahu skripnya.

"Ya udah deh," ucapnya, menyerah pada keadaan.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya kembali dan duduk di tempatnya. Penghulu mulai membuka kitab, dan Farel bisa merasakan ketegangan di udara. Semua mata tertuju padanya, menunggu dia untuk mengucapkan ijab kabul, kata-kata yang akan mengikatnya seumur hidup pada seorang gadis yang, jujur saja, masih terasa seperti orang asing.

“Sa... saya Farel Aldebaran, menerima nikah dengan Yena Syakila Binti Husen Gunawan... ,” katanya terbata-bata.

Dengan kata itu, rasanya dunia seperti berhenti sejenak. Farel merasa ada berat yang menggelayuti dadanya, seolah-olah pernyataan itu bukan sekadar kata-kata, tapi sebuah keputusan besar yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Yena hanya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis, namun tidak ada kegembiraan berlebihan.

"Alhamdulillah," kata penghulu, memimpin doa yang akan mengakhiri proses sakral ini.

Farel masih terdiam, tidak bisa menghilangkan perasaan seperti baru saja melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda. Yena meraih tangannya dengan lembut, dan walau Farel merasa seluruh tubuhnya beku, dia berusaha menenangkan diri.

“Gue... bisa nggak sih, lari dari sini?” Farel berbisik pada dirinya sendiri.

Tapi Yena, dengan senyum yang tak bisa dia bohongi, menatapnya. "Gak usah lari, Farel. Ini bukan tentang melarikan diri. Ini tentang jadi dewasa, jadi seseorang yang bisa dipercaya."

Farel menelan ludah. "Dewasa... Dewasa? Ini gue kayak... lagi main tebak-tebakan hidup." balas Farel dengan suara berbisik.

Yena hanya tersenyum, dan mencium punggung tangan Farel, yang membuatnya sontak kaget dan hampir menarik tangannya kembali, tapi Yena mencoba menahan dan mecium pelan punggung tangan pria kocak yang sudah menjadi suaminya itu.

BAB 3: Di Kamar Pengantin

Setelah selesai dengan prosesi akad nikah yang berlangsung sangat cepat dan penuh dengan tatapan serius dari seluruh keluarga, Farel dan Yena akhirnya tiba di kamar pengantin. Mereka duduk di ujung ranjang yang besar, dengan suasana yang lebih sunyi dan kaku daripada yang bisa dibayangkan oleh Farel.

Farel menatap sekeliling kamar, merasa semakin canggung. Tembok kamar yang dihiasi dengan bunga dan tirai merah muda itu terasa sangat kontras dengan hatinya yang masih berantakan. Ia meremas tangannya, memandang Yena yang duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang tak kalah kikuk.

“Jadi... ini kamar pengantin ya?” tanya Farel, mencoba mencairkan suasana. “Kamar ini lebih mirip kamar tidur anak kecil yang baru pindahan dari rumah nenek, deh.”

Yena meliriknya dengan senyum tipis. “Ya, Farel. Tapi ini kamar pengantin, jadi bisa dibilang ini kamar kita. Kita bisa bikin nyaman, kok.”

Farel mengangkat alis, seolah tak percaya. “Kita? Lo serius? Gue masih bingung harus ngomong apa ke lo, Yen. Gue tuh biasanya ngobrol sama temen-temen gue soal game, gak gini-gini banget,” jawab Farel, sambil menggigit bibirnya, seolah mencoba menahan tawa.

Yasmin mengangguk pelan, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya juga mulai ragu. “Jadi, gimana nih, Farel? Kita harus ngobrol tentang... apa?”

Farel menarik napas panjang. “Gue nggak tahu sih. Gue nggak siap banget, Yen. Gue tuh, ya, biasa hidup sesuka hati, tiba-tiba sekarang ada yang harus dipikirin serius. Kayak, lo mau makan apa, besok pagi? Gue nggak punya jawaban buat itu!”

Farel menghembuskan nafasnya, kembali melanjutkan. “Jadi, Yena... lo beneran siap jadi istri gue, nih?” tanyanya dengan wajah serius, meskipun ada senyum nakal di ujung bibirnya.

Yena terdiam sejenak, melihat Farel dengan pandangan penuh tanya. “Gue sih nggak tahu, Farel. Lo sendiri, gimana? Siap jadi suami?”

Farel tertawa canggung, melirik ke arah pintu kamar yang seolah menjadi pelarian. “Gue sih nggak tahu. Rasanya kayak terjebak di film yang nggak pernah gue pilih. Tapi... ya, kita coba aja, kan? Kalau nggak enak, kita bisa restart.”

Yena menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa. “Restart? Kayak main game aja, loh. Gak segampang itu, Farel.”

“Ya kan, kalau ada tombol reset, hidup bakal jauh lebih gampang!” Farel berkata, masih mencoba untuk mencairkan suasana. Tapi matanya mulai tampak lebih serius. “Gue nggak tahu harus gimana, Yena. Gue tuh nggak siap buat peran ini. Pernikahan... bukan hal yang bisa gue anggap enteng. Gue tahu lo juga pasti bingung.”

Yena menatap Farel dengan empati, mencoba memahami perasaan yang mungkin tersembunyi di balik kekocakan Farel. “Lo nggak sendiri, Farel. Gue juga nggak tahu harus gimana, tapi yang jelas kita nggak bisa lari dari ini. Gue juga butuh waktu, dan lo juga butuh waktu. Kita bisa jalani ini pelan-pelan.”

Farel tersenyum kecut, meskipun hatinya sedikit lebih ringan mendengar kata-kata Yena. “Pelan-pelan? Hmm..." Tiba-tiba, Farel berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamar, seolah mencari jawaban untuk kehidupan yang baru saja dimulainya.

“Gue tuh gak ngerti, kenapa hidup gue bisa berakhir di kamar pengantin ini. Dulu, gue kira kamar pengantin itu cuma buat orang-orang yang udah siap banget. Tapi sekarang... gue kayak orang bingung yang baru dikasih tugas matematik susah di tengah ujian!”

Yena tertawa ringan melihat tingkah Farel. “Tenang, Farel. Kita juga nggak harus langsung ngerti semua. Semua hal butuh proses, kan?”

Farel berhenti sejenak, menatap Yena, lalu melanjutkan dengan nada kocak. “Oke, kalau gitu, boleh nggak gue bikin peraturan sendiri? Peraturan nomor satu: setiap malam, kita harus nonton film komedi. Kalau nggak, gue bakal ngamuk.”

Yena menahan tawa, meskipun dia merasa canggung. "Oke, gue setuju. Tapi gue mau peraturan nomor dua, ya: setiap pagi, kita harus masak bareng, biar nggak ada yang ngomel kalau sarapan gue kepedesan.”

Farel mengangguk dengan antusias. “Setuju! Tapi, lo yakin lo bisa masak bareng gue? Gue nggak jamin, ya, kalau lo bisa bertahan dari eksperimen dapur gue.”

Yena tersenyum, sepertinya mulai sedikit lebih nyaman dengan situasi yang penuh kejutan ini. “Nggak masalah, Farel. Setidaknya kita berdua bakal ketawa-tawa, kan?”

Farel tersenyum lebar. “Iya, sih. Nggak ada yang lebih bikin nyaman selain tawa... bahkan kalau itu tawa konyol dari gue. Pokoknya, Yena, lo harus siap banget jadi istri yang tahan banting, ya!”

Yena meliriknya dengan tatapan serius namun tetap ringan. “Siap, kok. Tapi... kalau tiba-tiba lo bawa pulang hewan peliharaan baru dari jalan, gue nggak jamin ya.”

Farel langsung tertawa terbahak-bahak, melepaskan ketegangan yang ada di dadanya. “Oke deh, deal. Gue janji nggak akan bawa pulang iguana atau ular ke sini. Tapi kalau ada kucing oren yang lewat, lo harus kasih izin, ya?”

Yena hanya menggelengkan kepala, tapi senyumnya semakin lebar. “Terserah deh. Yang penting, lo jangan bawa pulang masalah lebih banyak lagi dari yang kita punya.”

Farel meluruskan punggungnya dan duduk kembali di samping Yena. “Yaudah, Yen, kita coba aja jalani ini pelan-pelan, ya? Mungkin nggak harus sempurna, tapi setidaknya kita bisa bikin banyak cerita kocak.”

Yena terkekeh. “Gue siap, kok, Farel. Setidaknya, hidup kita nggak akan pernah membosankan.”

Farel terdiam dan tidak lagi merespon ucapan Yena, ia sibuk mengutak-atik dasinya yang sejak tadi terasa seperti tali jerat di leher. Sementara itu, Yena menghela napas panjang, lalu berdiri dari tempat duduknya.

“Ah, panas banget!” keluh Yena sambil mulai melepaskan hiasan kepala pernikahannya.

Farel menoleh dengan ekspresi penasaran, alisnya terangkat tinggi. “Eh? Lo mau ngapain?”

Yena, yang sudah mulai melepas satu per satu jepitan rambutnya, menatap Farel sekilas sambil mengangkat bahu. “Mau ganti baju, lah. Gaun ini berat banget. Lagian udah gak ada acara, kan?”

Sebelum Farel sempat menjawab, Yena sudah mulai membuka kain penutup gaun bagian depannya. Mata Farel membulat seketika, seperti baru saja melihat sesuatu yang melampaui logikanya.

“Eh, eh, eh! Yena! Lo ngapain sih?” Farel berteriak panik, langsung memalingkan wajahnya sambil mengibaskan tangan di udara.

Yena menatap Farel dengan bingung. “Ya buka baju lah. Mau sampai kapan gue pakai gaun ini? Berat banget, tau!”

“Ya tapi nggak di depan gue juga kali!” Farel berseru dengan nada setengah histeris, masih memalingkan wajahnya ke arah dinding.

Yena mendengus pelan, lalu tertawa kecil. “Apaan sih? Santai aja, Farel. Kita udah nikah, kan?”

“Tapi kita nggak ‘nikah’ dalam artian itu!” Farel menjawab cepat, nyaris tergagap. Tangannya kini sibuk menarik dasinya lebih erat, seperti mencari pelampiasan dari kegugupannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!