PROLOG.
Di dalam laboratorium Perusahaan Reviva Labs yang sunyi, terdapat keputusan yang mengubah segalanya. Profesor Arya Pratama, pemilik perusahaan tersebut, berdiri dengan hati berat di samping tubuh, Lara, istrinya yang terbaring kaku. Cahaya lembut lampu laboratorium memancarkan bayangan sedih di wajahnya.
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, sayang," katanya dengan suara bergetar. "Aku akan melakukan apa saja untuk membawa kamu kembali."
Dengan tangan gemetar, Profesor Arya memegang jarum suntik berisi cairan eksperimental, hasil pengambilan sampel darah putrinya yang tidak diketahui. Ini adalah vaksin yang belum pernah diuji, mencampur harapan dan keputusasaan.
Dengan napas dalam, dia menyuntikkan cairan itu ke tubuh istrinya. Waktu terasa berhenti. Hening. Detak jam terdengar, mengingatkan bahwa waktu tidak menunggu siapa pun.
"Aku hanya ingin satu kesempatan lagi," bisik Profesor Arya. "Aku tidak akan membiarkan dunia ini memisahkan kita."
Semoga kesempatan kedua itu datang. Semoga cinta dapat mengatasi kematian. Tapi, apakah harga yang harus dibayar sepadan?
Tubuh Lara tiba-tiba bergetar hebat, urat-uratnya membengkak dan berubah menjadi biru-ungu menyeramkan. Cahaya laboratorium memantulkan bayangan mengerikan di dinding. Profesor Arya terpaku, matanya terbelalak melihat perubahan drastis ini. Keringat dingin membanjiri pelipisnya, detak jantungnya mempercepat.
"Apa yang terjadi pada dirimu?" pikirnya, takut merayap ke seluruh tubuhnya.
Tubuh Lara terangkat sedikit, kepala terangkat perlahan dengan gerakan tidak manusiawi. Mata Lara terbuka lebar, tapi tidak seperti dulu. Pupil mengecil, kosong, hanya menyisakan warna putih yang terang. Wajahnya terbakar, membusuk. Ini bukan lagi wajah istrinya.
"Sayang?" suara Profesor Arya tercekat, tubuhnya membeku.
Mulut Lara terbuka, suara serak keluar. Raungan dalam dan menakutkan mengguncang ruangan. Profesor Arya mundur, jantung berdetak kencang. Apa yang terjadi? Eksperimen atau sesuatu yang lebih mengerikan?
Wajahnya memucat, keringat dingin mengalir. Lara mengeluarkan jeritan rendah mengguncang ruangan. Gerakannya cepat, liar, mata kosong.
"Apa yang terjadi pada dirimu?" bisik Profesor Arya, menatap wajah tak dikenalnya.
Kilasan kesadaran muncul, tapi terhalang kekuatan gelap tak terjelaskan.
"Tidak… ini bukan kamu, Sayang… Aku akan membawamu kembali," ujar Profesor Arya, berusaha meyakinkan diri.
Tubuh Lara berbalik, menatapnya dengan mata kosong. Ruang laboratorium terasa sempit, dunia akan berubah selamanya. Lara mengangkat kepala dengan cara aneh, mulut terbuka lebar, suara mengerikan menggetarkan ruangan.
----
----
HARI PERTAMA.
Di Kota Plaguehart, Reviva Labs dikenal sebagai pusat penelitian bioteknologi dan tempat rahasia kelam. Profesor Arya Pratama berusaha menjaga ketenangan perusahaan, namun eksperimen kontroversialnya menimbulkan ketakutan.
Setahun lalu, tragedi menimpa keluarganya. Istri Arya, Lara, berubah menjadi makhluk mengerikan setelah eksperimen gagal. Meskipun demikian, Arya tidak menyerah. Ia terobsesi memulihkan Lara dengan eksperimen baru.
Di laboratorium Reviva Labs, Arya berdiri di depan tubuh Lara yang telah berubah. Tubuhnya penuh luka, wajahnya terdistorsi, dan matanya kosong. Dengan tangan gemetar, Arya menyuntikkan sampel darah putrinya, Widya.
Tiba-tiba, Lara menggigit telinga Arya. Darah mengalir deras, dan rasa sakit menjalar. Arya menjerit, panik. Konflik batinnya semakin berat.
"Apa yang terjadi padamu, Sayang?" ucap Arya, tergagap. Jawabannya hanya raungan mengerikan dari mulut Lara. Arya menyadari Lara tidak akan kembali seperti dulu. Dalam keadaan panik, ia mencari benda untuk melawan dan menemukan pisau.
Dengan tangan gemetar, ia menusukkannya ke jantung Lara. Suara jeritan Lara terdengar mengerikan sebelum akhirnya ia terkulai. Profesor Arya terjatuh, menatap tubuh Lara yang kini terkulai kaku.
Sementara itu, Widya Angela Pratama menerima panggilan darurat dari adiknya, Alvin. "Kak, tolong! Aku kecelakaan! Tangan aku melepuh!" Widya memerintahkan rekan-rekannya menunda rencana operasi dan bergegas menuju rumah sakit.
Di rumah sakit, Arya memasuki ruang gawat darurat dengan tubuh lemah. Perawat membawanya ke ruang perawatan. Widya tiba dan menemukan ayahnya terbaring. "Dokter, apa yang terjadi pada ayah saya?" tanya Widya dengan nada cemas.
Perawat itu terdiam, menatap tubuh Arya yang semakin lemah. "Kami tidak tahu, Nona. Ia terluka parah, tapi kami tidak menemukan penyebab pasti." Widya merasa sesuatu tak beres dan bertekad mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya.
Widya memikirkan ayahnya yang terluka parah dan adiknya yang mengalami kecelakaan. Ia harus menemukan jawaban atas semua kejadian mengerikan ini. Sementara itu, Profesor Arya terus berjuang melawan rasa bersalah dan keraguan yang menghantui pikirannya.
Dengan hati berat, Widya meninggalkan rumah sakit untuk mencari jawaban. Ia bertekad mengungkap kebenaran di balik eksperimen kontroversial ayahnya. Sementara itu, Profesor Arya terus berjuang melawan rasa bersalah dan keraguan yang menghantui pikirannya.
Saat Alvin, Reza, dan Dosen Efri tiba di rumah sakit, Alvin langsung mencari kakaknya, Widya. Namun, dia tidak menemukannya. Kekhawatiran menghantui pikirannya.
"Dimana Kakakku? Bukannya dia bilang akan menyusul?" Alvin bertanya cemas.
Reza mencoba menenangkan, "Mungkin kakakmu sedang dalam perjalanan."
Sorot mata Alvin menyapu sekeliling ruangan, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia merasa semakin bingung dan cemas saat melihat ayahnya terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Luka-luka aneh pada telinga ayahnya, yang menyerupai bekas gigitan, menambah kekhawatirannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah?" pikir Alvin dengan hati yang semakin cemas.
Sementara itu, Widya menyusup ke Reviva Labs, bertekad mencari kebenaran tentang eksperimen ayahnya tanpa sepengetahuan Alvin. Begitu memasuki laboratorium, dia terpapar bau darah menyengat.
Dengan hati berdebar, Widya menyusuri lorong gelap dan menemukan pemandangan mengerikan: para pegawai tergeletak dalam keadaan kacau, dengan luka robek parah di tubuh mereka. Luka-luka tersebut seperti bekas gigitan binatang buas, menimbulkan rasa ngeri dan kecurigaan.
Widya terkejut dan ngeri melihat sosok ibunya, Lara, berdiri dengan pisau tertancap dalam-dalam di dadanya. Matanya kosong, kulitnya pucat, dan wajahnya menyeramkan, seperti mayat hidup.
Lara, yang seharusnya sudah meninggal, kini bangkit dengan penampilan mengerikan. Dia melangkah pelan mendekati Widya, dengan mata kosong dan wajah pucat. Widya terpaku, tak bisa bergerak atau bernapas. Suasana semakin menegangkan ketika Lara membuka mulutnya, menampilkan gigi-gigi tajam yang mengkilap, siap menggigit.
Widya terkejut dan ketakutan, menyadari ibunya telah berubah menjadi makhluk mengerikan.
"Ibu...?" Widya berbisik, suaranya gemetar.
"Apa yang terjadi denganmu, Ibu? Apa yang terjadi di sini?" Widya mundur perlahan, matanya terpaku pada ibunya dengan campuran rasa takut dan bingung.
Tiba-tiba, para pegawai yang terluka bangkit dari tempat tidur mereka, metamorfosis menjadi makhluk mengerikan dengan mata kosong dan nafsu buas. Mereka mengepung Widya, bergerak cepat dan ganas ke arahnya, menimbulkan suasana horor yang mencekam.
Sementara itu, di rumah sakit, Professor Arya mulai berubah menjadi zombie. Dia menggigit lengan dokter dan perawat, menyebarkan teror dan kekacauan. Alvin, Reza, dan Efri terkejut dan berlari mencari Widya, khawatir dia terjebak dalam kejadian mengerikan ini. Mereka harus bertindak cepat untuk menyelamatkan Widya.
Di rumah sakit, keadaan yang sebelumnya tenang berubah menjadi neraka. Profesor Arya, yang sedang ditangani dokter dan perawat, menunjukkan gejala yang tidak wajar. Warna matanya berubah menjadi abu menuju putih seperti ciri orang yang kehilangan penglihatannya, dan urat-urat pada tubuhnya menonjol menjadi warna biru-ungu yang menyeramkan.
"Profesor, apa yang terjadi dengan Anda?" tanya dokter, terkejut melihat perubahan pada pasiennya dengan cemas. Namun, Profesor Arya tidak memberikan respons. Sebaliknya, kepala Profesor Arya perlahan memutar ke arahnya dengan gerakan lambat, dan mulutnya terbuka mengeluarkan air liur begitu banyak sambil menatap dokter dengan hasrat kelaparan.
Perawat yang berdiri di samping dokter ikut terkejut melihat perubahan Profesor Arya yang begitu aneh dan menyeramkan. "Dokter, apa yang terjadi padanya?" tanyanya khawatir. Namun, sebelum dokter bisa menjawab, Profesor Arya tiba-tiba melompat ke arah dokter sehingga terhuyung ke belakang dengan gerakan cepat. Arya menggigit lengan dokter dengan sangat ganas, menyobek dagingnya dengan mulut penuh darah.
Mata dokter tersebut terbelalak, dia berteriak kesakitan, namun tubuhnya mulai terkulai dengan cepat. Sementara perawat itu, wajahnya mulai pucat pasi, dan mengeluarkan keringat dingin di pelipisnya. Dia berjalan mundur sambil berteriak, Arya menoleh ke arahnya. Dalam sekejap, Arya bangkit dan berlari ke arah perawat tersebut dengan sangat agresif.
Perawat yang melihat dirinya akan dimangsa mencoba berlari ke arah yang lebih aman, namun terlambat. Kini Arya telah melompat ke arahnya dan dengan gerakan cepat langsung meraih lengan perawat tersebut. Tanpa peringatan, Arya menggigit lengannya dengan ganas dan mencabik daging perawat tersebut dengan kekuatan yang tidak manusiawi.
Perawat itu menjerit kesakitan, namun jeritannya terhenti begitu tubuhnya mulai bergetar dan darah mengalir deras. Arya melepaskan gigitan itu, namun darah yang menetes dari bibirnya hanya semakin menegaskan perubahan mengerikan pada dirinya. Wajahnya terdistorsi, dan matanya kosong menyapu ke sekeliling, seolah-olah mencari mangsa berikutnya.
Tak lama setelah itu, dokter dan perawat yang sebelumnya terkulai mulai terbangun dengan menunjukkan gejala persis sama seperti Profesor Arya. Mereka mengeluarkan suara menderu, mulut terbuka lebar, air liur yang banyak, dan dengan tubuh yang bengkak dan kaku, mereka berlari ke segala arah menyerang siapa pun yang ada di dekatnya dengan sangat brutal dan seperti sedang kelaparan.
Sementara Alvin melihat kejadian ini langsung bergeming di tempat. "Ayah...?" Alvin berbisik, suaranya gemetar. Reza yang berdiri di samping Alvin dengan perasaan kebingungan dan cemas. "Kenapa mereka berubah menyeramkan seperti ini?" tanyanya. Sementara Dosen Efri yang mengamati semua kejadian mengerikan tersebut menjawab, "Mereka semua sudah menjadi zombie!"
"Ayo, kita harus keluar dari tempat ini!" Efri berteriak karena mereka kini berada di tengah-tengah kerumunan makhluk menyeramkan. Keadaan menjadi semakin kacau; semua pengunjung dan para tim medis kini berubah menjadi makhluk yang sama. Mereka berlari dengan panik, namun saat itu, Profesor Arya yang kini tak bisa lagi disebut manusia berputar dan menatap mereka dengan mata kosong dan berkilat.
Mereka berlari dengan panik saat Profesor Arya, yang tidak lagi bisa disebut manusia, berputar dan menatap mereka dengan mata kosong yang berkilat. Dengan suara geraman, Arya melangkah mendekat dengan tubuh yang bergoyang tak terkendali.
"Kita harus pergi!" seru Dosen Efri.
Mereka mundur ke belakang, berlari menjauh dari Profesor Arya yang mengejar mereka dengan kecepatan luar biasa. Makhluk-makhluk terinfeksi lainnya juga mengepung mereka dari segala arah.
"Ke sana!" Efri berteriak, menunjuk pintu darurat.
Namun, saat mencapai pintu, salah satu makhluk meraih tangan Reza dan menariknya ke lantai. Reza berteriak kesakitan. Efri berlari kembali, menyodokkan lengan kursi ke arah makhluk tersebut.
"Reza, tendang perutnya!" teriak Efri.
Reza mulai menendang perut satu makhluk yang menariknya, namun makhluk lain berhasil menyambar kakinya dengan sangat cepat. Reza berteriak, dengan suara teriakannya yang begitu melengking. Membuat makhluk lain berlari menuju ke arah mereka semakin banyak, Efri yang mencoba membantu Reza mundur ketakutan.
Alvin mencari alat bantuan dan menemukan tiang infus, tongkat, dan tabung pemadam api. "Pak Efri, ambil ini!" Alvin melempar tongkat ke arahnya.
Efri menangkap tongkat tersebut dan melawan makhluk-makhluk itu dengan brutal. Alvin menyemprotkan gas pemadam api untuk mengusir mereka.
Mereka berhasil melarikan diri dan menuju ke mobil. Dosen Efri mengemudi, Alvin dan Reza duduk di kursi penumpang.
"Pak, kita mau ke mana?" tanya Alvin.
"Kita kembali ke kampus, kita obatin luka kalian di UKS!" jawab Efri.
Sementara itu, di Reviva Labs, Widya terpaku melihat ibunya berubah menjadi zombie. Dia dikepung oleh pegawai Reviva Labs yang juga berubah menjadi zombie.
Widya merogoh tasnya dan menemukan senjata. Dengan refleks militer, dia menembakkan peluru ke dada zombie terdekat. Makhluk itu terhuyung, tapi tidak jatuh. "Kenapa tidak tumbang?" pikir Widya bingung.
Widya menarik napas lega, namun suara geraman semakin banyak. Dia mengalihkan tembakan ke kepala zombie itu dan berhasil menumbangkannya.
Namun, persediaan peluru di senjatanya mulai habis. Wajah Widya mulai pucat. Panik melanda, namun dia cepat menyadari bahwa dia harus terus bertarung atau menjadi mangsa berikutnya.
Widya mencoba berlari ke pojok ruangan dan melihat sebuah pipa besar. Dia mengangkatnya dan memukul zombie-zombie yang mendekat dengan brutal.
Ketika Widya berbalik, matanya menangkap sosok ibunya yang berlari ke arahnya dengan geraman rendah. "Ibu..." Widya berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. Air matanya mengalir deras, kenangan masa kecilnya, masa-masa indah bersama ibunya, tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Namun, realita mengerikan ini menuntutnya untuk bertindak.
Ibunya mulai mendekat dengan gerakan yang kaku dan menyeramkan. Tanpa berpikir panjang, Widya menggenggam erat pipa itu, jantungnya berdebar cepat. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Meskipun hatinya hancur, dia tak punya pilihan lain. Dengan mata yang penuh air mata, Widya mengangkat pipa dan memukul kepala ibunya dengan sekuat tenaga.
Tubuh ibunya tergeletak, dan Widya terjatuh ke lutut. Air matanya mengalir deras. Namun, dia tidak punya waktu untuk larut dalam kesedihan.
Widya berdiri dan berlari menuju pintu keluar dengan tabung pipa itu di tangannya. Dia menghindari serangan-serangan dari zombie lainnya.
Akhirnya, Widya berhasil melesat ke luar dan berlari menuju tempat yang lebih aman. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Widya kembali ke mobil dan memasukkan kunci. Saat dia menyalakan mesin, suara langkah kaki makin mendekat. Dia melihat beberapa zombie yang belum tumbang total.
Namun, kali ini Widya tidak takut. Dia harus kembali ke rumah sakit untuk ayah dan adiknya. Dengan satu gerakan cepat, mobil meluncur pergi meninggalkan Reviva Labs.
Di ruang UKS kampus, Alvin, Reza, dan Dosen Efri berlari sangat tergesa-gesa. Dosen Efri langsung menyuruh Dosen Anggun untuk memeriksa luka mereka berdua, dengan suara tegas, "Bu Anggun, tolong obati luka-luka mereka. Terutama pada luka, Reza."
Dosen Anggun mengangguk dan segera mendekati Reza terlebih dahulu. "Astaga, kenapa Reza mempunyai luka begitu banyak, dan aneh? Bukan kah, kalian berdua menemani Alvin untuk ke rumah sakit? Lalu, kenapa Reza bisa mempunyai luka seperti ini?" tanyanya secara beruntun dengan penuh kebingungan, sambil membuka kotak P3K dan mulai membersihkan luka Reza.
Alvin yang masih mengatur nafasnya, mencoba menjawab. "Kami... memang dari rumah sakit, untuk mengobati luka ku. Tapi... ada kejadian aneh disana. Semua orang berubah menjadi makhluk mengerikan seperti zombie, termaksud Ayahku..."
Sementara Chaca, mahasiswa yang dikenal paling manja, dan centil sedang terbaring karena sakit perut, memandang mereka dengan bingung, dan wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Zombie? Bagaimana mungkin ada zombie di dunia ini? Ada-ada saja kamu, halusinasinya terlalu jauh." seru Chaca mentertawakan Alvin, dan tidak mempercayai hal seperti itu.
Lina dan Mely yang menemani Chaca juga ikut mentertawakannya, seolah merasakan jika Alvin sedang halusinasi, dan berdongeng.
Sementara Dosen Efri menatap mereka bertiga dengan sangat tajam, dan membentak mereka yang menganggap sepele, atas ucapan Alvin yang baru saja mereka rasakan tadi. "Hei! Lebih baik, kalian masuk ke kelas sekarang!" Efri mengusir mahasiswa yang dikenal bikin rusuh, dan hobby memojokkan orang lain.
Chaca yang tidak terima di usir oleh Dosen kesayangannya, berkata dengan suara manja, dan berusaha mencari perhatian kepada Dosen Efri. "Tapi... perut aku sakit, Pak."
Dosen Efri memutarkan bola matanya, dan menatap Chaca kembali dengan penuh ancaman. "Cepat masuk ke kelas atau saya kurangi nilai kalian bertiga!"
Chaca yang berusaha mencari perhatian, malah menerima ancaman yang membuat dirinya berdecak kesal. Dia langsung bangkit dari tempat tidurnya, dan mengajak kedua sahabatnya untuk kembali ke kelas.
Dosen Anggun yang hendak mengobati luka Alvin, akibat tumpahan bahan kimia. Dia terkejut melihat perubahan aneh pada mata Reza yang sebelumnya tampak normal kini mulai mengabur dan berubah menjadi putih, sementara urat-uratnya mulai menonjol dengan warna biru-ungu yang mengerikan.
"Reza... kamu kenapa?" Dosen Anggun bertanya dengan cemas, namun suaranya terhenti ketika Reza mulai mengeluarkan suara geraman rendah. Tiba-tiba, air liur yang kental mulai menetes dari bibirnya, dan wajahnya mulai terdistorsi, menyerupai makhluk yang mengerikan seperti Zombie.
Reza melangkah maju, gerakan tubuhnya makin kaku dan tidak terkendali. Wajah Reza yang pucat semakin mendekati Dosen Anggun, matanya kosong dan penuh hasrat kelaparan.
Dosen Anggun yang sebelumnya terkejut, mundur dengan cepat. "Apa... apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan suara bergetar, namun Reza yang semakin tidak rasional melangkah lebih cepat lagi, geramannya semakin keras.
Sementara Chaca dan teman-temannya, Lina dan Mely, yang hendak melangkah keluar dari ruang UKS, menyaksikan pemandangan mengerikan itu, berteriak ketakutan dan terlihat sangat panik. "Kenapa, Reza bisa berubah sangat aneh seperti ini?" Chaca berteriak.
Alvin, dan Dosen Efri yang ikut menyaksikan itu, membulatkan matanya. Ada rasa takut, dan bingung yang sedang mereka rasakan. "Ini... Ini kenapa Reza bisa berubah seperti makhluk yang kita lawan di rumah sakit tadi, Pak Efri?" tanya Alvin, sementara Efri menjawab dengan sangat tegas. "Sepertinya, dia terinfeksi virus zombie!"
"Cepat selamatkan diri kalian! Jika terkena gigitan makhluk seperti mereka... kalian akan ikut terinfeksi seperti ini juga!" teriak Dosen Efri, membuat Chaca, Lina, Mely semakin panik.
Ketiga mahasiswa itu berlari ke arah Dosen Efri untuk mencari perlindungan. Sementara Alvin, berusaha menyelamatkan Dosen Anggun. Dia tidak ingin berlari sendirian tanpa Dosen dan teman-teman lainnya.
Reza yang siap menyerang dengan ganas, mengarahkan gigitan ke arah Dosen Anggun. Dengan refleks cepat, Alvin menendang tubuh Reza menjauh. Reza terhuyung, namun tak berhenti, matanya yang kosong hanya berfokus pada mangsanya. "Bu Anggun, ayo!" seru Alvin, menarik lengan Dosen Anggun.
"Alvin... Ibu takut..." Anggun berbisik, dengan suara bergetar, wajahnya mulai pucat pasi dan mengeluarkan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Namun, Reza kembali bangkit dan melompat ke arah Alvin.
Reza mencoba menggigit leher Alvin, dan dengan cepat, Dosen Efri menendang kepala Reza sehingga terjatuh ke samping. Saat itulah Dosen Efri menarik Alvin agar tidak diserang kembali. "Cepat keluar dari ruangan ini!" seru Dosen Efri, panik. Mereka mundur, dan berlari keluar dari ruangan UKS dengan sangat terburu-buru.
Di belakang mereka, terdengar geraman rendah, Reza mengejar dengan keganasan yang tak terkendali. "Kita harus kemana, Pak Efri?" tanya Alvin, cemas, dengan napas yang semakin berat.
"Ke kelas dulu, kita harus beritahu kepada yang lain!" jawab Efri tegas, meskipun matanya dipenuhi ketakutan. Mereka berlari menuju ke kelas, namun sebelum tiba di pintu kelas. Aldo, Eric, dan Erin teman satu kelas Alvin, keluar dari kelas dengan sangat santai sambil menyaksikan mereka tengah berlari ketakutan.
"Rin, lihatlah mereka berlari seperti habis di kejar hewan buas saja!" ucap Eric, sambil tertawa. Namun, Aldo menyipitkan matanya, dan mencoba melihat dengan teliti, apa yang sedang terjadi dengan teman-teman mereka, dan juga para Dosennya? Apa yang membuat mereka berlari terengah-engah seperti itu?
"Itu... Itu bukannya Reza? Kenapa dia mengejar mereka?" tanya Aldo, menyadari keanehan yang ada di depan matanya secara langsung.
Dosen Efri yang melihat, ada mahasiswanya berdiri di luar pintu kelas, mencoba berteriak sekuat tenaga sambil berlari mendekati mereka. "Lari, ada zombie!"
Seketika, kegaduhan mulai muncul saat para mahasiswa yang di kelas mendengarkan teriakan Dosen Efri. Mereka semua sempat terkejut, panik, saat melihat pemandangan mengerikan yang membahayakan mereka semua.
Seluruh mahasiswa saling dorong, berlari menuju pintu keluar dengan panik. Beberapa dari mereka terjatuh, tergilas teman-temannya yang lebih cepat lari. Sementara itu, Reza bergerak lebih cepat, tubuhnya seperti tidak terkendali, melompat dan menyerang Mely yang tiba-tiba tersandung saat hendak ikut berlari bersama Dosen, dan teman-temannya dari ruang UKS menuju ke pintu kelas.
Mely berusaha melepaskan diri. "Tolong! Tolong!" teriaknya, namun tidak ada yang bisa menolong. Reza semakin menggila, matanya kosong, dan menggigit tubuh Mely dengan sangat ganas.
Chaca, dan Lina melihat pemandangan itu berteriak ketakutan. "Mely...!" Chaca berbisik, suaranya gemetar dengan nada yang hampir tak terdengar.
Mely meraung kesakitan, namun raungannya terhenti begitu tubuhnya mulai bergetar dan darah mengalir deras. Reza melepaskan gigitan itu, dan berlari ke arah lain untuk mencari mangsa berikutnya.
Tak lama setelah itu, Mely menghembuskan nafas terakhirnya. Namun, dalam hitungan detik tiba-tiba, dia terbangun dengan menunjukkan gejala persis sama seperti Reza. Dia bangkit dengan gerakan kaku, dan mengeluarkan suara menderu, mulut terbuka lebar, air liur yang banyak.
Chaca, dan Lina teriak ketakutan. Langkah kaki mereka terasa begitu berat setelah melihat temannya kini berubah menjadi Zombie. Tanpa Chaca sadari, Reza telah mendekatinya, melompat dengan ganas.
Dalam sekejap, Reza menghantam tubuh Chaca, membuatnya terjatuh. "Chaca!" Lina berteriak histeris, berusaha menarik sahabatnya yang terjatuh, tapi Reza sudah memegang pergelangan tangannya. Bibirnya mengeluarkan suara mengerikan, mencoba menggigit.
Namun dengan sigap, Efri berlari ke arah mereka. Di susul oleh Eric yang ternyata sudah mengambil sebuah kursi di dalam kelas, dia angkat dan menghantamkan kepala Reza. Sementara Efri, membantu Chaca untuk bangun. "Ayo, cepat lari dan ikut dengan mereka!" seru Efri, menunjuk ke arah Alvin yang telah melindungi Dosen Anggun, dan teman-teman lainnya.
Reza yang sudah terjatuh, akibat hantaman kursi dari Eric. Kembali bangkit, penuh dengan kegansan. "Eric, mundur! Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih aman!" teriak Efri, dan Eric pun melempar kursi itu ke arah Reza.
Merek semua mulai berlari mencari tempat perlindungan. Namun, Mely ternyata kini telah menggigit beberapa mahasiswa lainnya, dan menyerang ke segala arah. Beberapa Mahasiswa yang terinfeksi, kini berubah menjadi zombie semakin banyak.
"Pak, kita harus kemana?" tanya Eric, dengan nafas yang sudah tidak teratur lagi. "Kita ke gudang saja, disana sepertinya aman!" jawab Efri tegas.
"Semuanya! Ayo, ke gudang sekarang!" teriak Efri, mereka pun mengikuti langkah Dosen Efri, dan menuju ke gudang kampus yang berada di dekat kantin. Suasana kini semakin mencekam; hampir setengah mahasiswa kampus tersebut berubah menjadi zombie.
Sementara Widya, yang telah berhasil keluar dari Reviva Labs. Di tengah perjalanan, dia mendengarkan, suara tangisan, jeritan histeris, bunyi sirine dan klakson mobil bersautan, ada juga kecelakaan beruntun, di beberapa titik jalan menciptakan suasana yang kacau.
Saat memasuki pusat perkotaan, mata Widya terbelalak melihat kondisi kota yang semakin kacau. Dia menyaksikan pemandangan yang membuat tubuhnya bergetar, beberapa makhluk yang mengerikan seperti ibunya. Wajah mereka pucat, tubuhnya terkulai lemah, dan beberapa di antaranya bergerak dengan cara yang sangat aneh, menyerang warga sipil, dan siapa saja yang ada di dekat mereka.
Widya menelan ludahnya dengan susah payah, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba dia mendengarkan ketukan kaca pintu mobilnya. Seseorang yang tampak panik, meminta pertolongan dengan penuh harap. "Tolong! Tolong saya!" teriak pria itu, namun sebelum Widya sempat memutuskan untuk membuka kaca mobil, beberapa sosok makhluk yang seperti zombie muncul dan menerkam, merobek daging pria tersebut dengan ganas. Dia berteriak kesakitan, namun segera raungan itu terhenti, digantikan dengan suara mengerikan dari makhluk-makhluk yang kini sudah mengelilinginya.
Widya menutup matanya sejenak, tangannya gemetar di atas setir mobil. Namun Widya berusaha menekan pedal gas, berlari dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit untuk menjumpai ayahnya, dan takut jika Alvin sudah berada disana juga saat dia meninggalkan rumah sakit tanpa memberitahu mereka.
Tiba-tiba, dengan kecepatan yang tak terduga, mobilnya menabrak seseorang yang melintas di depannya. Widya membelalakkan mata, saat melihat tubuh yang terlempar ke kaca depan mobilnya adalah ayahnya, Profesor Arya, yang kini telah berubah menjadi zombie tanpa dia duga. "Ayah..." Widya berbisik, suaranya hampir hilang.
Widya menekan klakson keras-keras, agar sang ayah turun dari kap mobilnya. Namun ternyata makhluk lain, berlari ke arah mobilnya. Kini dia telah dikelilingi oleh zombie, dan menggeram pelan sambil menatapnya dari luar. "Ya Tuhan, ini seperti neraka!" seru Widya, suaranya penuh kepanikan.
Widya dengan cepat menancapkan gas, dan memutar kemudi, untuk melindas makhluk yang menghalangi jalannya. Ayahnya yang tadi di atas kap mobil, kini tubuhnya jatuh ke tanah.
Widya tidak bisa percaya dengan apa yang baru ia lihat. Kota Plaguehart yang awalnya damai, kini kacau dan hancur begitu saja karena sebuah makhluk mengerikan yang muncul di kota tersebut. Namun, di dalam pikirannya, ada beberapa pertanyaan yang terus berputar; Makhluk apa itu? Apakah mereka zombie? Bagaimana caranya manusia bisa berubah menjadi zombie? Apakah itu ada kaitannya dengan virus ekperimen yang diciptakan oleh Ayahku?
Widya melajukan kendaraannya menuju ke arah kampus adiknya. Dia berharap Alvin masih hidup, dan tidak berubah menjadi makhluk tersebut seperti kedua orang tuanya. "Semoga adikku masih di kampus, dan tidak ada makhluk seperti mereka disana!" serunya penuh harap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!