NovelToon NovelToon

VARSHA

Bagian 1

...🌦️...

...🌦️...

...🌦️...

“Apa mah menikah dengan anak orang kaya itu? Apa Rania tidak salah dengar?”

Suara seorang wanita muda terdengar nyaring. Ia beranjak dari duduk kala mendengar penuturan sang ibu. Ketidakpercayaan menjadi boomerang dalam dirinya.

“Tidak. Ini sudah menjadi keputusan Mamah, Sayang. Kamu tahukan kalau Mamah bekerja di rumah nyonya Park? Lagi pula nyonya sudah banyak membantu keluarga kita. Tidak ada salahnya sekarang kita yang membantunya.”

Penjelasan sang ibu membuatnya menunduk dalam. Rania, nama wanita tadi. Seorang wanita keturunan Asia Tenggara itu terdiam merasakan tertimpa batu berton-ton beratnya.

Ia tidak menyangka kepulangan sang ibu setelah berminggu-minggu mencari nafkah membawa berita yang mencengangkan. Tidak mungkin di usianya yang baru menginjak dewasa ia harus menikah. Bahkan ia tidak tahu siapa pria itu hanya mengetahuinya anak orang kaya.

Bak anak bangsawan konglomerat hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Keluarga Park yang ia dengar dari ibunya begitu kaya. Perusahaan tambangnya dibangun diberbagai daerah. Tidak hanya itu bahkan mereka pun meluncurkan parfum, pewangi pakaian dan lain sebagainya. Sudah jelas jika mereka bukanlah keluarga main-main.

Namun, seperti petir menyambar di siang bolong Rania harus menerima kenyataan jika dirinya dipaksa menikahi seorang pewaris tunggal itu.

Ia tidak senang, sungguh. Rania merasakan dunianya runtuh seketika. Masa depan yang ingin dicapai harus berhenti di tengah jalan.

Awan mendung muncul di kedua matanya. Perlahan bulir demi bulir kristal menetes membasahi pipi. Seperti tanah kering diguyur air hujan, bukan kesejukan yang ia dapatkan melainkan kesesakan. Apalah artinya harta jika itu harus membuatnya menangis?

“Besok kamu akan bertemu dengan tuan muda," jelas sang ibu seraya meninggalkan putri semata wayangnya di ruang keluarga.

Rania menangis sejadi-jadinya. Ia sudah tidak bisa menolak perkataan sang ibu. Ia sadar selama hidupnya sudah menyusahkan orang tua tunggalnya. Jadi balasan untuk satu-satunya orang tua yang masih hidup adalah berbakti dan salah satunya menerima permintaan tersebut.

Rania Varsha Hafizha, seorang wanita berusia dua puluh satu tahun ini berasal dari Indonesia. Ia dibawa oleh ibunya pergi jauh dari tanah kelahiran. Alasannya, sebab sang ibu menginginkan kehidupan yang layak untuknya, sedangkan sang ayah sudah meninggal ketika ia berusia lima tahun. Ia hidup hanya bersama sang ibu, Basimah Hafizha sudah membesarkannya seorang diri dengan bantuan keluarga Park, tentunya.

Ia tumbuh besar di negara orang, negara Ginseng yang minoritas muslim.

Sebagai seorang muslim mereka harus tahan banting. Beruntung Basimah bisa bekerja ditempat sesama umat Islam. Keluarga Park memang seorang muslim, sang ibu sangat bersyukur ada orang terkaya satu iman dengannya.

Begitu pula Rania yang sudah banyak dibantu oleh mereka. Terutama dalam hal pendidikan. Saat ini ia tengah menempuh jenjang pendidikan S1 disalah satu Universitas terkenal di Seoul. Ia mengambil jurusan keperawatan di sana. Namun, sepertinya mimpi itu hanyalah tinggal mimpi. Beasiswa yang ia terima dari keluarga Park mengharuskannya untuk menerima permintaan sang ibu tadi. Ia sadar sangat sadar akan kenyataan yang menimpa.

...🌦️🌦️🌦️...

Keesokan harinya, seperti yang sudah dibicarakan tadi malam kini Rania dan Basimah berada dalam taksi menuju Utara Kota Seoul, di sanalah tempat tinggal keluarga Park. Sedari tadi Rania terus diam mencoba membasuh kekecewaan dalam dada.

Sang ibu yang duduk di sebelah mengerti dengan perasaan putrinya. Ia pun menggenggam tangannya erat membuat Rania menoleh mendapati ibunya tersenyum tulus.

“Mamah tahu kamu pasti tidak mau menerimanya, tapi kita bisa apa? Nyonya besar menginginkan ini semua. Beliau berharap putranya bisa menemukan kebahagiaan. Beliau juga tahu tentangmu, Rania. Mamah selalu menceritakannya. Tenang saja nyonya Park sangat baik. Kamu tahu sendiri beliau juga yang sudah memberimu beasiswa untuk kuliah di sana.”

Penjelasannya semakin membuat Rania tidak bisa berkutik. Fakta mengatakan jika uang sangat berkuasa.

Rania menarik napas panjang merasakan sesak dalam dada. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya sedih. Lagi-lagi awan mendung itu datang, sekuat tenaga ia tahan agar tidak terlihat lemah dihadapan ibunya dan tidak mau membebaninya lagi.

“Rania tahu, Mah.” Hanya itu yang bisa ia katakan.

Tidak lama berselang taksi pun berhenti tepat di depan kediaman keluarga Park. Mereka pun turun bergegas masuk ke dalam. Netra besar Rania semakin melebar tidak percaya melihat bangunan mewah di depannya, bak istana megah yang ditinggali seorang pangeran.

Basimah segera membawanya yang tengah berdecak kagum. Rania pun terkejut lalu mengikutinya.

Sang pemilik rumah sudah menunggu kedatangan mereka sedari tadi. Pintu yang terbuka membuatnya bangkit dari sofa. Wanita berkepala empat itu tersenyum senang. Rambut kecoklatan nya yang disanggul ke atas memperlihatkan aura wibawa. Bak ratu di dunia dongeng, Rania segan melihatnya. Baru kali ini ia bisa bertatapan langsung dengan nyonya besar itu.

Perlahan Basimah pun mendekati sang majikan. “Ini anak saya, Nyonya,” jelasnya.

Langkah demi langkah kaki ber heels itu menggema dalam pendengaran Rania.

Ia yang tengah menunduk terkejut saat sebuah tangan mengangkat dagunya untuk mendongak. Kini mata mereka saling bertubrukan. Bibir merah meronanya kembali melebarkan senyum.

“Senang bertemu denganmu. Perkenalkan saya Park Gyeong. Kamu tahu arti dari nama itu?” Rania menggeleng cepat, “Yang dihormati. Jadi kamu harus menerima apapun yang saya katakan. Arraso? Besok kamu akan menikah dengan putra saya. Bukankah itu kabar yang menggembirakan?”

Rania merasakan tatapan matanya begitu menusuk.

Namun, ia sadar ada kekosongan yang tersembunyi di sana. Ia tidak kuasa untuk mengatakan sepatah kata. Seolah perkataan itu tercekat di tenggorokan, yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk dan menggeleng.

“Bagus ternyata kamu anak yang patuh. Saya suka.”

Senyumnya kali ini membuat Rania merinding. Entah kenapa sosok wanita di hadapannya seperti ibu tiri yang siap menerkamnya kapan saja.

Setelah pertemuan singkat dengan nyonya besar itu Rania pun dikurung disalah satu kamar besar di sana. Ia kembali berdecak kagum dengan kemewahannya.

Ruangan yang hampir menyerupai tempat tinggalnya itu membuat ia tidak bisa berhenti menggelengkan kepala.

Park Gyeong memutuskan untuk menyuruhnya tinggal di sana sebelum pesta pernikahan yang akan digelar esok hari. Secepat itukah? Rania berpikir jika rencananya sudah disusun jauh-jauh hari.

Di dalam ruangan, Rania menelusuri setiap barang-barang yang ada di sana. Begitu banyak boneka dan juga make up yang tersusun rapih. Bahkan selama dua puluh satu tahun ia hidup, Rania tidak pernah menyentuh barang-barang kecantikan itu. Namun, tetap saja kemewahan tidak bisa membeli kebahagiaannya.

Rania duduk mematung di sofa sebelah tempat tidur. Lagi-lagi air mata menetes membasahi hijabnya. Kini hidupnya sudah di atur tanpa bisa bebas lagi.

“Ya Allah jika ini memang yang terbaik kuatkan hamba menerimanya," gumamnya lirih.

...🌦️🌦️🌦️...

Jam yang masih menunjukan pukul lima dini hari itu sudah membuat Rania benar-benar terjaga. Selesai salat subuh ia terkejut melihat kedatangan lima pelayan perempuan ke kamar. Mereka pun merubah seluruh dirinya dengan baik.

Rania yang tidak terbiasa merasa risih dibuatnya. Gaun mewah putih menjuntai menutupi tubuh rampingnya. Wajah ayu yang tidak pernah tersentuh make up pun kini terlihat berbeda.

Rania sangat cantik dalam balutan hijabnya. Ia tahu, hari ini menjadi hari pernikahannya. Tidak pernah ia memikirkan bisa menikah secepat itu.

"*T*unggu, aku beneran menikah sekarang? Bukankah dari kemarin aku belum melihat siapa calon suamiku?’" benaknya tersadarkan.

“Em, maaf sebelumnya apakah saya benar akan menikah dengan tuan muda? Dari kemarin saya tidak melihat beliau?” tanyanya pada salah pelayan yang masih mendandaninya.

Kedua wanita itu saling pandang dibuatnya, “Sebentar lagi nona akan bertemu dengan tuan muda.”

Hanya itu jawaban yang diberikan. Rania semakin bertanya-tanya dalam diam.

Satu setengah jam berlalu. Rania masih menunggu waktunya untuk keluar kamar. Ia tahu akad tengah berlangsung. Tanpa kehadirannya sang calon suami mengucapkan ijab kabul.

Perasaan Rania semakin tidak karuan, hanya dalam hitungan detik ia bukan menjadi milik ibunya lagi.

Tidak lama kemudian ia pun disuruh keluar. Para pelayan wanita berjalan beriringan membantunya mengangkat gaun.

Satu demi satu anak tangga ditapakinya. Ia tahu kini semua perhatian tengah mengarah padanya. Rania tidak kuasa untuk melihat kemewahan itu dan terus menunduk.

Namun, rasa penasaran akan suaminya semakin besar. Ia pun memberanikan diri mengangkat kepala lalu melihat sosok itu.

Dahi lebarnya seketika mengerut dalam. Di sana, di hadapan sang penghulu Rania melihat seorang pria berjas hitam tengah duduk membelakanginya. Namun, bukan itu yang membuatnya heran, melainkan,

"Kenapa dia menggunakan kursi roda? Tunggu, jadi maksud pernikahan ini?"

Di hari pertama pernikahannya, awan mendung lagi-lagi datang membuat air itu mengalir tak tertahankan.

...🌦️PERNIKAHAN🌦️...

Bagian 2

...🌦️...

...🌦️...

...🌦️...

Katanya jodoh itu cerminan dari diri. Itulah yang Rania ketahui saat tengah menunggu pangeran berkudanya datang. Namun, entah kenapa sekarang ia benar-benar merasa kecewa.

Ia seperti sudah ditipu habis-habisan, tetapi, dibalik itu Rania tahu jika semuanya terjadi atas kehendak yang Di Atas. Allah tidak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Hari itu juga ia sudah resmi menjadi bagian keluarga Park, menyandang sebagai istri dari tuan muda serta menantu nyonya besar tidak membuatnya berbangga diri.

Senyum lega dari Park Gyeong pun semakin melebar. Seperti beban dalam pundaknya perlahan menghilang.

Rania pun di antar untuk duduk berdampingan bersama suaminya. Pria yang tidak pernah ia pikirkan, harapkan, ketahui kini sudah menjadi bagian dalam hidupnya.

Bola mata hitam itu terus memandangi sang pria. Wajah putih bersih tertangkap pandangan. Merasakan kedatangan seseorang dia menoleh seraya tersenyum manis nan tulus. Rania pun tercengang dibuatnya. Setidaknya dia pria yang baik, pikirnya.

"Sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Selamat yah Jim-in, Rania." Kedua mata Rania melebar kala baru sekarang ia mengetahui nama suaminya.

Pernikahan macam apa yang menimpaku ini? Pikir Rania lalu menghela napas panjang kembali merasakan sesak dalam dada.

Dengan ragu ia menjabat tangan putih pria itu untuk menyalaminya. Sebagai seorang istri ia memang harus hormat pada suaminya. Namun, bagaimana jika tidak ada cinta dalam hatinya? Rania bagaikan hidup dalam kemewahan yang tidak berarti.

Setelah pengucapan ijab kabul mereka pun duduk bersama di pelaminan. Bagaikan berdiam diri dalam tungku panas, Rania tidak merasakan kenyamanan sedikitpun.

Tidak lama berselang Park Gyeong datang dengan senyum masih membingkai wajah tuanya yang masih terlihat cantik, lalu mencondongkan tubuh ke sisi kanan telinga Rania.

"Sekarang kamu sudah resmi menjadi istri dari anakku. Jangan harap kamu bisa bersikap layaknya nyonya di rumah ini. Kamu tahu kenapa saya menikahkan mu dengan dia? Karena saya ingin kamu mengurusi anakku yang lumpuh. Kalau kamu membangkang ibumu yang akan menanggung akibatnya."

Seketika itu juga bak petir menyambar hati terdalam. Rania melebarkan matanya kembali tidak percaya saat ibu mertua atau nyonya besar dalam rumah itu berbisik di telinganya.

Hancur sudah perasaan yang ia miliki. Rania tidak mungkin menghancurkan pernikahan mereka yang belum satu hari ini dan tidak mungkin membebani sang ibu.

Rania menoleh melihat sang ibu di sana terlihat bahagia menyaksikan putri semata wayangnya menikah dengan orang berada. Seorang pangeran yang tidak terendus keberadaannya, tapi memberikan duri tak kasat mata.

Setelah berkata seperti itu Park Gyeong meninggalkannya sendirian. Bola matanya bergulir melihat pria yang tengah duduk di kursi roda tengah menyunggingkan senyum ramah. Rania terperangah melihatnya dan sadar ada sesuatu yang disembunyikan dalam keluarga ini.

"Jadi aku menikahi Tuan Muda untuk mengurusinya? Aku tahu dalam agama kami lawan jenis yang bukan mahram tidak bisa bersama. Apa mungkin itu alasannya? Apa mungkin juga karena aku mengambil jurusan keperawatan? Ya Allah semoga ada kebaikan dibalik semua ini," benak Rania meracau.

Senyum yang terbingkai indah di bibir kemerahan pria bernama Park Jim-in itu masih setia di wajah tampannya. Rania mengerutkan dahi heran saat melihat ada sesuatu dalam sorot mata itu. Ia tidak mengerti kenapa mata dan bibirnya seolah tidak bekerja sama dengan baik.

"Apa ada yang dia sembunyikan?" lanjut benaknya lagi.

Tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka. Rania dan Jim-in sama-sama bungkam. Namun, fakta mengatakan sekarang mereka sudah sah menjadi suami istri.

Seharusnya sekarang menjadi hari paling bahagia untuk mereka. Namun, itu mungkin bagi mereka yang menikah atas dasar cinta, tetapi, tidak untuk Rania.

...🌦️🌦️🌦️...

Malam menjelang, pesta sederhana yang hanya dilakukan di dalam mansion pun berakhir. Kini Rania tengah berada di dalam ruangan pribadi. Sedari tadi ia hanya duduk di depan meja rias menunggu suaminya yang tengah berganti pakaian.

Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang saat pintu sebelahnya di buka. Ia pun menundukkan pandangan mendengar roda yang semakin mendekat.

Tanpa ia sadari tatapan mata Jim-in mengarah tepat padanya. Sebelah bibirnya terangkat membentuk seringaian. Jika saja saat ini Rania melihatnya mungkin akan merinding.

"Jangan harap kamu bisa tidur bersamaku. Kamu tidur di sofa. Aku tidak sudi berbagi selimut denganmu meskipun kita pasangan yang sah."

Suara serak sang suami terdengar. Rania mendongak melihat pantulannya dalam cermin.

Ia melihat mimik wajah yang serius nan dingin. Seketika itu juga netra jelaganya kembali melebar. Rania seperti melihat orang lain. Jim-in berbeda dari dirinya beberapa saat lalu, ia pun beranjak lalu menghadapnya.

"Ma-maksud Anda?"

"Panggil saya Tuan. Meskipun kita sudah menikah tapi kamu, hanya seorang perawat. Kamu dengar sendirikan tadi eommonim bilang apa? Jadi kamu tidur di sana."

Tunjuknya sekali lagi pada sofa di sudut ruangan. Setelah itu Jim-in berusaha untuk duduk di atas tempat tidur. Melihatnya yang kesusahan membuat Rania tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Ia pun berjalan mendekat berusaha membantu. Namun, yang didapatkannya hanyalah penolakan.

"Tidak usah membantuku." Tegasnya menghempaskan tangan Rania.

Ia pun terkejut saat dibentak olehnya. Rania terdiam masih tercengang dengan perlakuan sang suami. Benarkah aku menikah dengan pria ini? Pikirnya. Sungguh tidak pernah terpikirkan ia akan bersanding bersama pria seperti Park Jim-in.

Iris kecoklelatannya terus memandangi Tuan Muda itu. Ia membaringkan tubuhnya lalu membelakangi sang istri. Dirasa tidak dibutuhkan Rania pun berjalan ke arah sofa dan mendudukkan dirinya di sana seraya menelusuri ruangan megah ini.

"Ya Allah apa benar hamba sudah menikah sekarang? Kenapa rasanya begitu hampa? Tidak ada cinta dalam rumah tangga ini. Apa aku bisa melewati semuanya? Ya Allah hamba percaya dengan ketentuan-Mu dan bantulah hamba untuk menjadi istri yang baik. Karena hamba tidak ingin mengingkari ikrar suci pernikahan," monolognya dalam diam lalu mulai berbaring mengistirahatkan tubuh lelahnya.

Hanya setetes air mata yang menemani kehampaan. Di hari pertamanya menikah cairan bening mengalir deras

...🌦️🌦️🌦️...

Pagi menjelang, selesai salat subuh Rania bermaksud untuk membangunkan sang suami. Namun, baru saja tangannya hendak terulur tiba-tiba saja pria itu bangkit dari tidur. Ia pun kembali terkejut dan berjalan mundur.

Kedua mata Jim-in langsung mengarah padanya. Rania tahu itu adalah tatapan kebencian. Karena dari awal pertemuan, ia sudah merasakan hawa ketidaksukaan darinya. Meskipun kemarin ia melihat senyum tulus dari pria itu, tetapi, ada aura dingin yang bisa dirasakan.

"Tuan, Anda sudah bangun?"

Suara pria berusia sekitar lima puluhan mengusik lamunan Rania. Ia pun langsung menoleh ke arah samping melihat kedatangannya.

"Lee Sang Ook, cepat bantu aku," titah Jim-in mengabaikan Rania.

Tanpa melihat ke arah wanita muda di sana, pria itu pun langsung membantu Jim-in memindahkannya ke kursi roda. Raina hanya terdiam memandanginya. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyapa hati terdalam saat sang suami menatapnya tajam.

"Apa artinya itu? Apa dia membenciku? Cih, yang benar saja lagi pula pernikahan ini bukan keinginanku juga," omelnya dalam diam.

"Saya harap, Nona bisa ikut bersama Tuan Muda," ajak Sang Ook si kepala pelayan itu.

Mau tidak mau Raina pun mengikuti mereka.

Tidak lama berselang ia sudah berada di ruang makan yang besarnya melebihi kamar tidurnya di rumah. Ia tidak menyangka sang ibu bisa bekerja di tempat semewah itu.

"Pantas saja mamah jarang pulang," benaknya kemudian.

"Kalian semua, mulai hari ini jangan siapkan apa pun untuk makananku. Biarkan dia saja yang memasak semuanya. Cepat kerjakan tugasmu sekarang!" Tunjuk Jim-in tepat pada sang istri.

Dengan pikiran kosong Raina membulatkan kedua matanya. Ia tercengang mendengar perkataan sang suami tadi.

"M-mwo?!"

"Jadi benar aku dijodohkan dengan Tuan Muda ini untuk dijadikan pembantu? Ya Allah apa yang sedang ku jalani?" Lagi-lagi Raina hanya bisa membatin seraya irisnya menatap langsung bola mata di hadapannya.

Senyum meremehkan pun terpampang jelas di wajah tampan Park Jim-in. Seperti memperlihatkan maksud terselubung dalam pernikahan tersebut.

Mulai detik itu juga hidup seorang Raina Varsha Hafiza berubah.

...🌦️AWAL🌦️...

Bagian 3

...🌦️...

...🌦️...

...🌦️...

Menit demi menit terlewati dengan ocehan yang terus keluar dari bibir ranumnya. Tangan mungil itu tidak pernah berhenti bekerja memotong sayuran dan juga daging. Uap dari air yang mendidih dari panci terus menemani kesendirian.

Rania tahu jika sekarang dirinya sudah mengemban tugas sebagai seorang istri. Namun, bukan kehidupan seperti ini yang diinginkannya. Itu sama saja ia diperlakukan layaknya sebagai asisten rumah tangga.

Suami yang seharusnya menjaga, melindungi dan memberikan kasih sayang nyatanya hanya memberikan perintah seenaknya.

Ia tahu pernikahan tersebut terjadi akibat perjodohan yang disetujui ibunya sendiri. Jauh dari lubuk hatinya paling dalam Rania sama sekali belum berkeinginan untuk berumah tangga. Namun, sekarang takdir mengharuskannya berganti status.

Ia menghela napas kuat seraya bergumam, "Ya Allah baiklah memang seperti ini tugas yang harus ku jalani, insyaAllah aku bisa melakukannya," gumamnya menyemangati diri sendiri.

Tidak lama kemudian, masakan yang dibuatnya matang. Dengan hati-hati, Rania membawanya menuju tempat sang tuan muda berada.

Di sana sang suami sekaligus orang paling berkuasa tengah duduk sendirian di ujung meja. Kedua netranya menatap nyalang kedatangan "sang istri".

Mendapatkan tatapan seperti itu membuat kedua tangan Rania bergetar. Perlahan tapi, pasti ia mencapai keberadaan suaminya lalu menjulurkan makanan yang telah selesai dibuat. Iris jelaganya memandangi Jim-in sekilas dan duduk mengikutinya.

"Eh-eh, kamu mau apa?" tanya Jim-in menunjuk tepat padanya.

Rania yang belum sempat duduk pun kembali menarik diri dan membalas tatapan itu lekat.

"Aku mau ikut sarapan bersamamu," jelasnya kemudian.

Jim-in menggelengkan kepala beberapa kali.

"Mwo?! Kamu tidak pantas untuk makan bersamaku. Kamu lihat mereka?" Tunjuknya pada beberapa pelayan yang berdiri di kedua sisi meja makan, Rania pun mengangguk singkat.

"Kamu ikuti mereka. Karena keberadaan mu memang pantas di sana," bisik Jim-in kemudian.

Baru saja sehari menjadi seorang istri, perkataan yang dilayangkan suaminya barusan benar-benar menghujani perasaan terdalam.

Rania tidak menyangka pria pemilik senyum menawan itu memiliki hati sekejam belati. Seraya menahan kepedihan, ia berjalan ke samping kanan meja kemudian menyaksikan sang tuan muda sarapan.

Sesak di dada membuat cairan bening merembes dalam mata dan sekuat tenaga Rania menahannya. Ia tidak mau dianggap cengeng dan kembali mendengar kata-kata tak mengenakkan.

Semua pandangan mata pelayan yang ada di sana langsung mengarah padanya. Ada yang kasihan, ada pula yang menertawakan dalam diam. Rania tidak mengerti kenapa dirinya bisa berada pada posisi seperti sekarang. Kehidupan bebasnya sudah direnggut paksa oleh pria itu.

Sangkar emas yang diberikan telah mengurungnya. Rania tidak bisa terbang lagi. Cita-cita yang hendak dicapai harus kandas dengan paksaan.

...🌦️🌦️🌦️...

Selesai dengan urusan perutnya, Jim-in membawa istri di atas kertas itu ke ruangan pribadinya. Di sana ia sering menghabiskan waktu sendirian, bersama dunianya sendiri melupakan hal-hal yang membuatnya bisa berakhir di kursi roda.

Rania masuk dan seketika saja menghirup aroma manis yang menguar menyambut kedatangan. Netra jelaga itu berkeliaran melihat isi di dalamnya.

Ia menangkap banyak sekali anak panah beserta busurnya terpajang. Di sisi lain juga terdapat piala yang tersusun rapih di dalam lemari kayu dengan jumlah tidak sedikit.

Rania tidak tahu seperti apa hobi yang dimiliki suaminya ini. Bahkan baru kemarin ia bertemu dengan sosok dingin tersebut.

"Aku sudah menuliskan beberapa peraturan. Kamu memang istri sah ku, tapi ... kamu tidak berhak menjadi nyonya di rumah ini. Karena tugasmu hanya satu, menjadi mainanku." Kembali tatapan mengintimidasi diperlihatkan.

Rania membulatkan mata tidak percaya. Perkataan yang meluncur dari bibir keriting Jim-in lagi-lagi melukai hati.

Tanpa mengatakan sepatah kata Rania membawa secarik kertas yang disodorkan Jim-in. Bola mata kelerengnya bergulir membaca tulisan Hangul yang tertuang di sana.

...Peraturan pertama, sang istri harus membangunkannya tepat jam enam pagi....

...Kedua, sang istri harus bergerak cepat jika Tuan Muda membutuhkannya....

...Ketiga, sang istri tidak boleh menolak apa pun yang diinginkan Tuan Muda....

...Keempat, sang istri tidak boleh membantah apa pun yang disuruh Tuan Muda....

...Kelima, sang istri hanya melayani selayaknya seorang perawat kepada Tuan Muda....

...Keenam, sang istri jangan pernah melibatkan perasaan....

...Ketujuh, sang istri dilarang jatuh cinta kepada Tuan Muda....

...Peraturan ini dibuat dan ditandatangani oleh Tuan Muda Park Jim-in....

Rania tidak habis pikir Jim-in bisa merancang peraturan tersebut dengan sangat apik. Ia tidak henti-hentinya menarik napas merasakan kekecewaan. Ternyata, perjodohan itu terjadi tidak lain dan tidak bukan untuk menjadikannya sebagai pelayan pribadi.

Sungguh konyol, pernikahan yang terjadi dalam hidupnya harus berakhir seperti itu. Rania menggelengkan kepala beberapa kali menahan keterkejutan.

"Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan semua ini. Kamu tahu pernikahan itu suci. Kita berjanji di hadapan Allah untuk terus bersama, hingga menuju jannah-Nya," tegas Rania mengingatkan.

Namun, Jim-in malah melebarkan senyum. Tentu kedua sudut bibir yang melengkung itu bukan menandakan kebahagiaan, melainkan ada makna lain yang tersirat di dalamnya.

"Tuan Muda! Mana sopan santun mu? Ingat kamu itu hanya orang lain di rumah ini jadi jangan seenaknya memanggilku. Tentang pernikahan ini memang keinginanku. Aku tahu salah satu pelayan memiliki seorang anak dan tengah mengenyam pendidikan keperawatan. Tidak sengaja beberapa bulan lalu aku melihatmu tengah berjalan-jalan bersama ibumu. Karena ibuku sudah membantu biaya pendidikanmu, aku pikir tidak ada salahnya mendapatkan perawat gratis. Anggap saja kamu sudah lulus dan langsung mendapatkan pekerjaan."

Sudah cukup penjelasan yang dikatakan Jim-in membuat Rania mengerti. Ternyata pernikahan itu memang sudah menjadi rencana pria dua puluh lima tahun ini.

Rania tidak menyangka pria yang ia pikir bisa menjadi imam dalam hidupnya melakukan tipu daya. Ia sudah terperangkap dalam permainan konyol yang diatur olehnya.

Hilang sudah rumah tangga yang pernah ia dambakan. Ternyata pangeran berkalung sorbannya berubah menjadi pria licik tidak berperasaan. Rania hadir dalam kehidupan pria itu hanya untuk menjadi perawat pribadinya saja, tidak lebih.

"Kejam! Jadi, Tuan Muda sudah merencanakan ini semua? Kenapa harus saya?" tanya Rania menahan kepedihan.

Seringaian tercetak jelas di wajah tampan Jim-in. "Mudah saja. Karena aku tahu ibumu pekerja keras, jadi putrinya juga sudah pasti bisa diandalkan. Jangan harap kamu bisa berubah menjadi tuan putri di sini. Ingat kedudukanmu hanya sebatas perawat dan pelayan pribadiku. Status istri hanya sebatas di atas kertas. Jangan bermimpi kamu bisa benar-benar menjadi istriku. Sekarang tandatangani surat perjanjian itu," tegasnya membuat Rania kembali melebarkan kedua mata.

Dengan tangan bergetar ia mengikuti suruhan sang tuan muda. Manik kelamnya memandang ke arah kertas di mana di sana sudah tertera tandatangan dari pasangan sah nya. Rania pun menyetujui peraturan tidak mendasar dari suaminya seraya membubuhkan tandatangannya.

"Bagus, mulai sekarang kamu tidak bisa mengelak lagi." Senyum penuh kemenangan tercetak di wajah tampan itu.

Rania sudah tidak bisa menahan air mata lagi. Ia pun keluar dari ruangan idan terus berlari hingga menepi di balkon. Angin berhembus menyambut kegelisahan. Awan mendung pun turut mendampingi. Hingga tidak lama kemudian hujan turun membasahi tanah gersang.

Rania menganggukkan kepala beberapa kali. Ia mengerti sungguh dirinya mengerti kenapa ada nama itu dalam dirinya.

"Ini tangisan pertama setalah aku menjadi seorang istri. Ternyata aku menikahi pria tidak berperasaan. Ya Allah takdir apa yang tengah Engkau rencanakan untuk hamba?" bisiknya mendongak ke atas.

Hujan pun turun semakin lebat. Rania sudah tidak mempedulikan jika hawa dingin berkali-kali menyapa. Ia hanya ingin menangisi kehidupannya saat ini.

"Tapi bagaimana pun juga pernikahan ini suci. Aku harus menjadi istri yang baik. Karena aku yakin Allah Maha Tahu segalanya, dan Dia Maha Membolak balikan hati hamba-Nya," gumamnya lirih.

...🌦️SURAT PERJANJIAN🌦️...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!