Napas Maria tertahan, jantungnya berdentum kencang seperti drum band yang dimainkan tepat di telinganya. Di antara hiruk pikuk gerbang sekolah yang perlahan sepi, dia berdiri di bawah tatapan beberapa pasang mata yang masih tersisa.
Di hadapannya, Simon Abraham Ahmad, Ketua OSIS yang terkenal kalem dan berwibawa, kini berlutut dengan lutut menyentuh aspal.
Tangannya yang biasanya terlihat kokoh saat memegang mic di lapangan upacara, kini memegang satu tangkai bunga mawar yang sedikit layu, entah dibeli dari mana.
“A..aku su..ka kamu.” Suara Simon bergetar, jauh dari nada tegas saat memimpin rapat. “Kamu mau ga jadi pacar aku?”
Kata-kata itu, diucapkan dengan gugupnya seorang bocah 13 tahun, terasa seperti guntur di dada Maria yang baru berusia 12. Dia tidak pernah menyangka hari ini akan tiba. Simon yang ganteng, Simon yang baik hati dan selalu membantunya sejak Masa Orientasi Siswa (MOPD). Tentu saja dia suka.
Wajah Maria memerah, sebagian besar karena malu menjadi pusat perhatian, dan sisanya karena bangga bahwa pria paling populer di angkatannya memilihnya.
"I..iya mau," jawabnya, suaranya nyaris berbisik.
Simon sontak berdiri. Wajahnya langsung cerah, seolah beban seberat tas sekolahnya terlepas. Dengan gerakan ragu, nyaris seperti takut menyentuh benda rapuh, ia mendekat dan merangkul gadis itu. Hanya merangkul bahu. Keduanya sadar, mereka masih anak-anak—terlalu muda untuk pelukan sungguhan.
Maria tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Simon yang kurus namun terasa meyakinkan. Benih cinta lugu telah resmi bersemi di antara mereka.
*****
Beberapa hari kemudian, ketenangan di rumah Hadinata pecah.
Simon saat ini duduk tegak di sofa tunggal ruang tamu bergaya klasik Eropa yang mewah itu. Di dinding, terpampang jelas foto keluarga Hadinata—Ayah, Ibu, dan Maria, anak tunggal kebanggaan mereka.
Rumah ini begitu besar dan hangat, tetapi Simon merasa seolah-olah ia sedang diinterogasi di kantor polisi.
Pria paruh baya yang duduk di depannya, Briyan Hadinata, menatapnya dengan pandangan tajam yang tak bisa ditembus.
Briyan, pemilik perusahaan makanan ternama di Bandung itu, terkenal sangat protektif terhadap putri satu-satunya, Maria Anastasya.
“Jadi, kamu anaknya Ron?” tanya Briyan tanpa basa-basi, suaranya dalam dan berwibawa.
“I..iya Om,” Simon menjawab gugup, menunduk. Ia sudah memperkirakan ini. Mereka ketahuan video call oleh Ayah Maria, dan Ayahnya meminta ia datang. Inilah momen untuk menunjukkan keberaniannya.
“Kamu, sejak kapan dekat dengan anak saya?”
“Sejak MOPD, Om.”
“Kalian pacaran?”
Simon mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Briyan, mencoba mengumpulkan semua keberanian Ketua OSIS-nya. “Eh, engga Om. Belum. Saya datang ke sini justru untuk meminta izin dari Om dan Tante.”
Ia mengambil napas dalam-dalam.
“Sa.. Saya menyukai Maria. Dan saya ingin kami punya status yang jelas. Bukan hanya teman, tapi p…pacar.”
Briyan berdeham, tangannya memijat kening. Sedikit takjub dengan nyali remaja yang baru berusia 13 tahun ini. Anak kelas 8 SMP, tetapi sudah datang ke rumah gadisnya untuk memohon restu—sebuah tindakan yang jauh lebih dewasa daripada rata-rata teman sebaya.
“Sa.. Saya janji Om,” Simon melanjutkan, nadanya kini lebih mantap.
“Saya akan menjaga Maria dengan baik. Saya tidak akan menyakitinya. Saya tahu tugas kami belajar, tapi setiap malam saya selalu memikirkan Maria. Di sekolah jika dia dekat dengan cowok lain, saya ga suka. Saya juga ga bisa lihat Maria sedih, Om.”
Di balik pintu ruang makan, Maria mengintip. Jantungnya berdebar antara takut ayahnya marah besar, dan bangga karena Simon berani melakukan ini semua demi dirinya.
Inilah yang ia sukai dari Simon.
Briyan menggelengkan kepala, mengambil ponsel, dan menghubungi seseorang.
“Maksudmu apa menyuruh anakmu melamar anakku secepat ini?” katanya begitu telepon terangkat.
Simon terdiam, terkejut.
“Tunggu sampai kedua orang tuamu kemari,” putus Briyan, meletakkan teleponnya lalu berdiri. Ia butuh udara segar untuk menenangkan hati. Ayah mana yang tidak kaget jika putri kecilnya—yang baru mendapat menstruasi sebulan lalu dan masih suka disuapi—tiba-tiba ‘dilamar’ menjadi pacar oleh bocah 13 tahun, bahkan jika itu anak dari teman baiknya.
Ron meneguk teh yang disediakan Sofia. Tangan Lia, ibu Simon, menggenggam tangan putranya yang sedari tadi menunduk di sofa.
Udara di ruang tamu Hadinata masih terasa berat.
“Aku juga tidak menyangka dia benar-benar akan datang padamu dan meminta putrimu menjadi pacarnya,” ujar Ron, mencoba mencairkan suasana.
Simon merasakan panas menjalar di punggungnya. Ia benar-benar gugup, tetapi rasa gugup itu bercampur dengan kekesalan kecil. Ia sudah jujur pada sang ayah bahwa ia menyukai Maria, dan sang ayah yang memintanya untuk mengungkapkan perasaan, dan kini, mengapa ia malah disuruh meminta izin yang terasa seperti sebuah persidangan?
“Sudahlah, Yan. Izinkan saja mereka. Bukankah Maria juga menyukai Simon? Mereka saling menyukai,” Ron meyakinkan Briyan.
Briyan menghela napas. “Aku tahu. Maria sudah bercerita. Anakmu juga baik. Hanya saja aku takut mereka tidak fokus belajar dan malah fokus pacaran. Aku ingin Maria berprestasi seperti ibunya dulu.”
Ron menatap putranya, pandangannya tegas namun mendukung.
“Simon, bisakah Papa minta komitmenmu dalam hal ini?” Ron berhenti sejenak.
“Angkat kepalamu. Jangan rendahkan harga dirimu. Tunjukkan bahwa kau layak untuk menjaga putri satu-satunya mereka.”
Seketika, Simon menegakkan bahunya. Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah Briyan.
Kekesalan kecilnya berubah menjadi tekad.
“Iya Om,” jawab Simon lantang.
“Saya janji akan selalu menjaga Maria, dan akan tetap fokus belajar walau kami berpacaran. Di depan Papa, Mama, Om, dan Tante, saya janji dan kalian bisa memegang janji saya.” Simon menatap penuh keyakinan, suaranya mengandung janji seorang remaja yang sedang jatuh cinta.
Briyan kagum. Keberanian dan ketegasan bocah 13 tahun ini adalah hal yang langka. Sebenarnya, sejak Simon memutuskan datang ke rumah ini, Briyan sudah sadar bocah ini istimewa. Keputusan untuk memanggil Ron tadi hanyalah reaksi kaget seorang ayah, namun setelah berpikir jernih, ia tak mau melewatkan calon menantu yang begitu berani dan lugas ini.
“Baiklah, Om izinkan,” ungkap Briyan akhirnya. Matanya beralih dari Simon ke Ron. “Tapi Ron, aku ingin kau memberikan edukasi dan batasan kepada anakmu, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak remaja seusia mereka. Kau urus anakmu, dan aku urus anakku. Dengan begitu, kita bisa sama-sama menjaga mereka. Kau mengerti maksudku, kan?”
Ron mengangguk, mengerti sepenuhnya. “Aku mengerti. Tentu saja aku juga tidak mau terjadi hal buruk pada anak-anak kita. Kita akan sama-sama menjaga mereka.”
Simon mengembuskan napas lega.
Ketegangan yang mencekiknya selama seminggu terakhir—bertemu Maria diam-diam, mengobrol sembunyi-sembunyi—langsung terlepas. Kini, ia bisa dengan leluasa mengajak Maria jalan, walau hanya ditemani supir.
Esoknya di sekolah
“Jadi, semalam Kak Simon ke rumah lo dan minta izin buat pacaran sama lo?” Prita terkejut, matanya membulat.
Maria mengangguk senang. “Iya. Terus dia juga bawa orang tuanya. Akhirnya Papa setuju!”
Saat itulah, bayangan sosok tinggi muncul di depan pintu kelas. Simon, dengan jaket OSIS yang rapi, berjalan menghampiri mereka.
Di tangannya, ada dua botol minuman dingin yang tampak menggiurkan.
Maria merasakan pipinya langsung menghangat. Walau sudah resmi, jantungnya selalu berdebar tak karuan setiap Simon muncul. Inilah salah satu alasan ia malu-malu—ia takut Simon mendengar detak jantungnya.
“Hai, Mar,” sapa Simon. Senyumnya lebih lebar dan rileks dari biasanya.
Ia memberikan salah satu minuman itu pada Maria. “Aku bawain kamu minuman. Kamu udah makan?”
Maria menerimanya. Jari-jari mereka sempat bersentuhan, membuat Maria segera menarik tangannya.
“Thank Kak. Aku udah makan, kok. Kakak sendiri?”
“Aku juga sudah,” jawab Simon. Ia lalu membungkuk sedikit, suaranya merendah. “Kata Om Iyan, nanti siang kamu ada jadwal les Matematika. Boleh ku antar?”
Maria terkejut.
“Eh, Papa bilang gitu?” Ia menoleh ke Prita, matanya memancarkan rasa tidak percaya dan sedikit takut.
Simon tersenyum simpul. “Iya. Mulai hari ini aku boleh mengantar jemput kamu. Masih pakai supir, sih.”
“Emang Kakak enggak ada jadwal latihan atau kumpul OSIS?” tanya Maria, mencoba menyembunyikan kebahagiaannya.
“Enggak, hari ini free kok. Justru aku mau manfaatin waktu izin yang susah payah kudapatkan ini,” gurau Simon.
“Oh, baiklah,” Maria akhirnya tersenyum. “Setelah les, aku harus membeli beberapa buku di toko depan. Kakak bisa temani juga, kan?”
Simon mengangguk. “Tentu. Apapun untuk pacarku.” Ia mengulurkan tangan kanannya, mengacak pelan puncak kepala Maria.
Maria terdiam, merasakan kehangatan di ubun-ubunnya. Ia hanya mampu tersenyum kecil—senyum yang penuh rasa syukur dan kelegaan karena impian pacaran yang lugu, manis, dan resmi di mata orang tua, kini menjadi kenyataan.
Pacaran mereka? Jauh dari kata romantis ala sinetron.
Setiap kencan selalu didampingi oleh supir dari keluarga Hadinata. Tetapi bagi Simon dan Maria, ini adalah keuntungan, karena setidaknya mereka bisa bersama.
Simon membuktikan janjinya pada Briyan: ia tidak pernah mengajak Maria ke tempat yang melanggar batas, dan selalu memastikan Maria fokus pada sekolah.
Simon, yang pintar Matematika dan Fisika, dengan senang hati menjadi guru privat dadakan Maria.
Di meja belajar Maria, buku-buku berserakan.
"Mar, coba lihat soal yang ini," ujar Simon sambil menunjuk deretan angka di buku PR Maria.
"Kamu salah di sini."
Maria mendengus pelan, wajahnya memerah karena malu.
"Aku benci banget sama logaritma! Angka-angka ini bikin pusing!"
Simon menarik buku itu, menatap Maria dengan serius.
"Dengar. Kamu enggak benci logaritma. Kamu cuma takut tantangan."
Maria menunduk. Ia memang merasa canggung jika harus menghadapi hal yang sulit.
Simon melanjutkan, suaranya kini lebih meyakinkan, "Kamu pintar, Mar. Sangat pintar.
Aku tahu itu. Lihat caramu menyelesaikan aljabar tadi; itu bukan cuma hafalan, itu jalan pikiran yang cepat."
Ia menyentuh tangan Maria pelan.
"Aku nggak mau potensi kamu sia-sia. Janji kita ke Om Iyan itu termasuk janji untuk menemukan kemampuan terbaikmu."
Maria menatap Simon, matanya sedikit berbinar.
Tidak ada yang pernah bicara tentang potensi atau jalan pikirannya dengannya, hanya tentang nilai yang harus dicapai.
Simon bukan sekadar pacar; ia adalah orang yang menunjuk satu pintu yang tidak pernah Maria sadari keberadaannya. Ia adalah inspirasi yang membuka matanya.
"Baiklah," Maria menjawab pelan, mengambil kembali bukunya. "Ulang dari awal. Kali ini aku janji nggak akan benci lagi."
Simon tersenyum, senyum yang menunjukkan ia menang.
"Bagus. Aku tunggu."
Hubungan mereka memang lebih terasa seperti partnership akademis yang dibalut romansa malu-malu remaja.
Di ambang pintu, Briyan bersandar. Ia tidak berniat menguping, tetapi ia ingin memastikan bahwa perjanjiannya ditepati.
Ia melihat Simon yang tidak mengomel, tidak memarahi, melainkan memotivasi putrinya dengan kata-kata yang begitu mendalam.
Bibir Briyan sedikit terangkat.
Anak ini memang menjaga janjinya.
Briyan merasa lega. Dia telah mendapatkan bukan hanya pacar, tetapi mentor untuk putri kecilnya. Ia menarik diri perlahan, membiarkan dua remaja itu tenggelam dalam deretan angka yang kini tidak lagi dibenci Maria.
****
Waktu berjalan tanpa kompromi.
Simon kini berada di kelas IX dan kesibukannya sebagai Ketua OSIS angkatan akhir semakin memuncak, terutama menjelang acara-acara besar.
Maria, yang sekarang duduk di kelas VIII, merasakan dampaknya.
Hubungan mereka mulai diuji oleh jarak waktu.
Suatu sore, Maria sudah selesai dengan lesnya. Ia menunggu Simon di lobi sekolah, tepat di samping pot bunga besar.
Dari lantai dua koridor, ia melihat Simon.
Simon sedang berdiri bersama wakil ketua OSIS, seorang gadis cerdas bernama Tania, di depan papan pengumuman.
Mereka tampak akrab. Tawa Tania terdengar nyaring.
Simon tersenyum lebar, gesturnya terasa santai saat mereka berdua menunjuk-nunjuk banner acara yang sama.
Perut Maria tiba-tiba terasa dingin.
Itu bukan cemburu dewasa, tetapi cemburu lugu khas remaja yang merasa haknya sebagai pacar diabaikan.
Kenapa Kak Simon terlihat lebih rileks dan bahagia saat bicara dengannya daripada denganku? batin Maria. Ia selalu takut menjadi penghalang di antara kesibukan Simon.
Ketika Simon akhirnya turun dan menghampirinya, wajahnya terlihat lelah namun penuh semangat kerja.
"Maaf ya, Sayang. Lama banget. Banyak banget yang harus diselesaikan untuk Class Meeting,"
Simon berujar sambil mengacak rambut Maria.
Maria hanya mengangguk pelan.
Ia tidak mau menatap Simon.
"Iya, nggak apa-apa."
"Kamu kenapa? Ada masalah sama Fisika lagi?" tanya Simon, mencoba bercanda.
Maria menarik napas.
Ia seorang introvert, tapi Simon telah membuatnya berani. Protes ini harus keluar.
"Kakak terlalu sibuk." Ia berbicara dengan nada rendah, namun terdengar menusuk.
"Kakak selalu bareng Kak Tania. Aku di sini cuma jadi pajangan yang Kakak antar jemput, ya?"
Simon terkejut.
Ia tahu Maria tidak akan pernah berdebat tanpa alasan yang kuat. Ia tahu Maria tidak cerewet.
Ia meraih kedua tangan Maria.
"Astaga, Maria. Aku sama Tania cuma bahas budget dan perlengkapan, Mar. Dia cuma rekan kerja, partner OSIS. Kamu tahu kan, aku cuma sayang sama kamu."
Ia menatap mata Maria, tatapan yang selalu jujur.
"Jangan cemburu sama hal yang nggak penting. Tugas kamu sekarang adalah fokus di seleksi tim, dan percaya sama aku, ya?" Simon meyakinkan.
Maria terdiam. Ia merasa malu, menyadari protesnya didasari rasa cemburu kekanak-kanakan. Namun, ia juga merasa lega. Simon tidak marah, Simon mengerti.
Ia mengangguk.
"Aku percaya, Kak."
Konflik pertama itu berakhir dengan janji dan kepercayaan yang lebih kuat. Mereka berhasil melewatinya dengan kedewasaan yang melebihi usia mereka.
Simon baru saja menyelesaikan Ujian Nasional dan berhasil masuk SMA. Maria kini duduk di Kelas IX, menghadapi tahun terakhirnya di SMP.
Di taman kota, di kursi yang tersembunyi—kencan terakhir mereka sebelum tahun ajaran baru dimulai—Simon dan Maria berbagi es krim. Suasana terasa sunyi dan berat. Simon akan masuk Sekolah Islam Internasional milik pamannya, David, sebuah sekolah full day dengan disiplin yang ketat, meski ia tidak mengambil asrama.
"Kakak benar-benar akan ke sekolah Islam yang Om David itu?" tanya Maria pelan.
Ia sudah tahu jawabannya, tapi ia perlu mendengar Simon mengucapkannya.
"Iya, Sayang. SMA Al-Hikmah namanya. Sekolahnya sangat fokus pada kurikulum Islami dan Internasional," jawab Simon.
"Aku harus lebih disiplin di sana. Aku akan lebih jarang pegang ponsel."
Maria menatap tangannya yang memegang es krim. Ini adalah ketakutan terbesarnya: Simon akan berubah.
"Aku pasti usahakan masuk SMA yang sama tahun depan," kata Maria, suaranya tercekat.
"Tapi... nanti di SMA, Kakak pasti ketemu banyak cewek baru. Yang lebih pintar, yang lebih rajin ibadahnya, yang lebih seru dari aku. Aku takut, Kak." Maria akhirnya menyuarakan rasa takutnya yang paling mendasar.
Simon memajukan tubuhnya, meraih kedua tangan Maria di atas meja.
"Dengarkan aku, Maria Anastasya." Ia menggunakan nama lengkap Maria hanya saat ia sangat serius.
"Lingkunganku akan berubah. Tapi hatiku tidak. Aku ke sana bukan untuk mencari yang lain, tapi untuk menjaga janji yang aku buat di depan Ayahmu. Janji itu bukan hanya soal nilai, tapi soal menjadi pribadi yang lebih baik dan pantas menjagamu."
Ia menatap Maria dalam-dalam.
"Aku akan menunggumu di SMA Al-Hikmah, ya? Satu tahun itu sebentar, kalau kita sama-sama percaya."
Maria mengangguk, senyum tulusnya muncul di tengah kecemasannya.
Di bawah pohon rindang itu, janji mereka menjadi tumpuan bagi satu tahun penantian yang akan segera dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!