NovelToon NovelToon

I Love You, Bestie!

Bab 1.

Waktu istirahat adalah waktu yang sangat dinantikan oleh seluruh murid. Mereka akan langsung menyerbu kantin untuk memenuhi perut mereka yang sudah keroncongan. Belajar itu sangat menguras energi membuat perut lapar. Seperti empat sekawan yang sekarang sedang menikmati makanan yang mereka beli di kantin sekolah.

"Tolong, ambilin sambal!" pinta seorang gadis bernama Riana Anjani atau sering dipanggil Ana.

"Nih, satu sendok aja!" teman lelakinya bernama Erlangga Yudistira atau biasa dipanggil Angga, memberikannya seraya mengingatkannya.

"Iya," balas Ana. Setelah dimasukkan satu sendok sambal ke dalam mangkuk ia mulai menyantap mie ayam favoritnya.

Mereka duduk berdampingan. Tak lama minuman pesanan mereka datang. Ana kemudian mengambilkan segelas ice lemon tea lalu ditaruh di depan Angga.

"Terima kasih," ucap Angga diiringi dengan senyuman manis.

"Sama-sama," balas Ana. Angga tiba-tiba menyeka saos yang belepotan di sekitar bibir Ana dengan jari jempolnya.

"Kebiasaan, makan kayak anak kecil!" Angga lalu mengambil tisu dan membersihkan tangannya. Ana hanya tertawa saja, ia sudah biasa dengan sikap Angga, tidak ada rasa canggung atau baper.

Semua yang dilakukan oleh dua orang berbeda jenis kelamin itu disaksikan oleh Senopati atau biasa dipanggil Seno dan Erlina Mutiara, dipanggil Elin. Mereka duduk di depan Angga dan Ana yang terhalang oleh meja. Mereka berempat adalah sahabat.

Angga, Ana dan Elin satu kelas, Seno berbeda kelas, tetapi kelas mereka bersebelahan. Angga dan Ana bersahabat sejak kecil, rumah mereka berdampingan dan mereka selalu satu sekolah juga satu kelas. Sedangkan Elin dan Seno mereka kenal di awal masuk SMA. Karena suatu kejadian mereka akhirnya bisa dekat dan bersahabat hingga sekarang.

Elin melirik Seno, lelaki itu terlihat mengeratkan rahangnya. Matanya menatap nyalang pada Angga. Namun, hanya beberapa detik saja, setelah itu raut wajahnya berubah tersenyum ceria. "Kalian itu udah kayak orang pacaran aja, yang tidak kenal dengan kalian pasti akan salah paham," sindirnya sambil menyuapkan satu bakso ke dalam mulutnya.

"Iya, ih. Gue kadang suka baper lihat kalian. Udah kalian jadian aja, sih! Cocok banget, couple goals!" tambah Elin.

"Jadian? Nggak mungkin, lah! Kita ini sahabatan. Aneh banget kalau jadi pacar, iya nggak, An?"

"Bener! Kita nggak cocok jadi pacar. Dia bukan tipe gue dan gue bukan tipe Angga. Kita malah kayak kakak-adik."

Angga mengangguk membenarkan pernyataan Ana. Elin kembali melirik Seno yang kini tersenyum lebar. "Iya juga, kalau emang ada rasa udah dari dulu kalian jadian," ucap Seno.

"Kalian kayak baru kenal kita aja," celetuk Ana.

Mereka terus berbincang hal yang random sambil menikmati santapan makan siang hingga bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Mereka langsung pergi ke kelas.

"Guys, gue mau ke toilet dulu sebentar, kalian duluan aja." Ana memisahkan diri hendak ke toilet.

"Gue anter!"

"Bareng gue!"

Angga dan Seno mengucapkan secara bersamaan. Seno berniat mengantar Ana sedangkan Angga ingin ke toilet juga. Mereka saling tatap. Ana melihat mereka bergantian.

"Sen, gue udah gede, nggak perlu diantar. Lo duluan aja ke kelas. Ayo, Ga, cepat, gue udah nggak tahan!"

Ana berlari ke toilet, Angga mengikuti Ana dengan berjalan cepat, langkah kakinya yang panjang membuatnya dengan mudah menyusul Ana. Sebenarnya Angga tidak berniat ke toilet, ia hanya tidak ingin membiarkan Ana pergi sendiri. Ia sudah tahu Ana tidak akan mau diantar karena itu ia bilang kalau ia mau toilet.

Ana sudah masuk ke dalam toilet, Angga juga masuk ke toilet samping toilet perempuan. Ia hanya cuci tangan saja, tak lama ia keluar menunggu Ana di depan pintu toilet. Lima menit menunggu akhirnya Ana keluar. Ia lalu tersenyum pada Angga. "Ayo, nanti kita dihukum Pak Sobari kalau telat masuk kelas."

Ana berlari di lorong sekolah. Angga mengikuti di belakang, ia tersenyum melihat Ana. Hatinya bahagia hanya dengan melihat tingkah sahabatnya tersebut. Gadis itu sangat menggemaskan baginya. Tanpa Ana, harinya akan terasa sepi dan membosankan.

Sampailah mereka di kelas, kebetulan guru belum masuk, selamatlah mereka dari hukuman pak Sobari. Ana duduk di tempatnya, Angga duduk di samping Ana. Di belakang Ana tempat duduk Elin, gadis itu menatap Ana dan Angga.

“An!” Elin memanggil Ana.

Ana menoleh dan tersenyum pada Elin. “Pak Sobari nggak masuk, tapi dia ngasih tugas. Mengerjakan soal halaman 20 sampai 30.” Elin memberi tahu Ana.

“Hah, banyak banget soalnya! Nggak kira-kira tuh guru ngasih tugas.” Ana mengeluarkan buku tulis juga buku paket dan LKS nya.

“Nggak apa-apa yang penting kita kan nggak kena hukuman,” ucap Angga. Ia juga mengeluarkan buku dari tasnya.

“Iya, benar, Alhamdulillah.” Ana tertawa bersama Angga.

Mereka mulai mengerjakan tugas yang diberikan. Kadang terdengar suara ribut di kelas, tetapi mereka mengerjakan soalnya sampai selesai lalu dikumpulkan pada ketua kelas.

“Ana, udah belum? Cepat nanti keburu dikumpulin ke kantor,” ucap Elin.

“Sedikit lagi, aduh tangan gue pegel.”

Tanpa banyak kata Angga merebut pena dari tangan Ana. Ia menggantikan Ana menulis. Gadis itu tersenyum, Angga memang sangat pengertian, sahabatnya itu selalu bertindak tanpa diminta, paling tahu apa yang dibutuhkan oleh Ana, sangat perhatian sekali. Entah bagaimana jika tak ada Angga dalam hidupnya?

***

Hari ini Ana dan Angga tidak ada kegiatan ekskul di sekolah, mereka langsung pulang ke rumah. Angga membonceng Ana di motornya. Selain Ana, Angga tak pernah membonceng siapa pun.

Sampailah mereka di rumah Angga. Ana turun lalu membuka helmnya. “Makasih, Angga. Aku pulang dulu, ya.” Ana berjalan menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Angga.

“Ana!” Seorang wanita memanggil Ana. Mendengar namanya dipanggil Ana menoleh begitu juga Angga.

“Apa, Ma?” tanya Ana pada ibunya Angga. Ia memang memanggil ibunya Angga dengan sebutan mama, atas permintaan ibu Angga sendiri. Saking dekatnya mereka, orang tua Angga sudah menganggap Ana seperti putrinya, pun demikian dengan Angga yang memanggil orang tua Ana dengan ayah-bunda.

“Sini! Bunda sama Ayah sedang pergi. Kamu di sini aja dulu.” Ibunya Angga yang bernama Rita melarang Ana pulang.

“Oh, oke,” jawab Ana. Ia lalu melangkah menghampiri Rita yang menyambutnya dengan senyuman tak lupa mencium tangan Rita.

Angga juga senang, ia lalu menaruh helm di dalam garasi. Angga bergegas ke dalam menyusul dua orang wanita yang paling berarti dalam hidupnya.

“Mama, sudah masak makanan kesukaan kamu. Ayo dimakan, harus habis!” ujar Rita. Ia senang ada Ana. Rumah menjadi lebih hidup jika ada gadis itu, mengingat ia hanya punya anak tunggal membuat rumah sepi. Rita sudah menganggap Ana seperti anak perempuannya sendiri.

“Wah! Terima kasih, Ma. Banyak banget makanannya.” Ana takjub melihat banyak makanan di meja, terlebih semua kesukaannya. Mata cantik itu berbinar menatap semua hidangan yang tersaji, perutnya langsung terasa lapar.

“Wah! Ada acara apa, ini? Makanannya banyak banget!” Angga mengambil satu buah bakwan udang lalu menggigitnya.

“Kebiasaan! Cuci tangan dulu, baru makan, jorok!” Rita menggeplak tangan Angga sambil melotot.

“Iya, Ma. Lupa, abis kelihatannya enak banget!”

“Udah sana, ganti baju dulu terus cuci tangan, ajak Ana sekalian!”

                             

...----------------...

Bab 2

Ana masuk ke kamar Angga. Sudah biasa Ana masuk ke kamar sahabatnya itu. Dulu saat SD orang tuanya sering menitipkan Ana di rumah Angga, ia selalu tidur siang bareng dengan Angga. Kebiasaan itu hilang sejak SMP. Jika Ana tidur di kamar Angga maka Angga akan tidur di ruang keluarga, mereka juga tidak pernah menutup pintu saat berada di dalam kamar, agar tidak mengundang fitnah.

Angga memberikan kaos dan celana milik Ana yang memang sengaja di taruh di rumahnya. Ini bukan pertama kali orang tua Ana tidak ada di rumah ketika Ana pulang sekolah, karena itu Rita menyuruh Ana menaruh beberapa pakaian di rumahnya. Gadis itu lalu pergi ke kamar mandi untuk berganti baju.

Angga mengambil kaos dan celana santai selutut lalu keluar dari kamar. Ia akan berganti pakaian di kamar mandi dapur. Ana keluar dari kamar mandi, ia tak mendapati Angga di kamar. Ana bergegas turun ke ruang makan.

Angga sudah duduk di sana dengan pakaian santai.

“Mama, mana?” tanya Ana.

“Di kamar,” jawab Angga.

“Oh, ayo, kita makan," ucap Ana bersemangat.

Angga tersenyum melihat Ana yang semangat ingin makan, seperti orang kelaparan saja.

“Selamat makan, jangan lupa baca doa dulu!” ucap Angga.

“Iya," sahut Ana.

Ana mengambil nasi juga beberapa lauk pauk. Jangan harap ia akan mengambilkan makan untuk Angga, lelaki itu bisa mengambilnya sendiri. Ana membaca doa lalu mulai menyantap hidangan buatan Rita.

“Hm, enak banget. Masakan nyokap lo, emang the best!” puji Ana. Ia memang selalu menyukai masakan Rita, makanan restoran mah lewat, tidak ada yang bisa mengalahkan masakan mama Angga.

“Kalau enak, makannya abisin! Nyokap sengaja masak buat lo!” Angga senang melihat Ana makan begitu lahap.

“Nanti aku bawa pulang, boleh?” tanya Ana sambil terus mengunyah. Ia tak mungkin menghabiskan semua dalam satu kali santap.

“Bawa sono!” ucap Angga terkekeh. Mereka lalu fokus menikmati makanan yang lebih enak dari restoran itu menurut Ana.

Selesai makan, Ana membereskan meja. Ia tahu diri sebagai orang yang numpang makan, ia mencuci semua peralatan makan bekas ia dan Angga makan.

“Lo, ngapain? Nggak usah dicuci, ada Bibi yang nyuci nanti.” Angga melarang Ana.

“Nggak apa-apa, cuma cuci piring doang. Sebentar juga beres. Kalau bisa gue kerjain kenapa harus nunggu Bibi?” Ana tetap mencuci piring. Angga akhirnya membantu Ana mencuci piring.

“Lo mau ngapain? Udah sana! Cuci sedikit doang pakai dibantuin," hardik Ana.

“Biar cepat!” Angga membilas piring yang sudah disabuni oleh Ana.

Ia melirik gadis di sampingnya yang fokus pada gelas yang sedang disabuninya. Angga tersenyum miring, terbersit ide untuk menjahili Ana. Ia lalu menyipratkan air ke wajah Ana. Sontak Ana berteriak kaget.

“Angga! Awas ya!” Ana melindungi wajahnya dengan mengangkat lengannya menutupi wajah, tetapi ia mencolek wajah Angga dengan jari tangan yang penuh busa sabun cuci piring. Angga terus menyipratkan air ke wajah Ana sambil tertawa tak peduli di wajahnya juga ada busa.

“Angga! Basah, ih!” Ana akhirnya juga membalas Angga dengan menyipratkan air ke wajah Angga. Ia tidak mau basah sendirian. Rita yang baru saja menuruni tangga mendengar suara ribut dari dapur. Ia melangkahkan kakinya ke dapur.

“Ana, Angga! Kalian sedang apa? Lihat jadi becek begini!” Suara teriakan Rita menghentikan kegiatan Ana dan Angga. Kedua insan manusia itu menoleh pada Rita dengan wajah takut karena tahu mereka telah berbuat salah. Rita menggelengkan kepala.

“Kalian, seperti anak kecil. Cepat bereskan semuanya, terus ganti baju lagi!” wanita paruh baya itu lalu pergi ke ruang keluarga meninggalkan Ana dan Angga yang sekarang sedang saling lirik kemudian tersenyum lalu tertawa.

Mereka membereskan kekacauan di dapur. Ana menyelesaikan cuci piringnya sedangkan Angga mengepel lantai. Selesai membereskan semuanya mereka pergi ke kamar untuk berganti pakaian.

***

Kini Ana sudah berada di kamarnya, orang tua Ana sudah pulang saat sore hari. Ia sedang mengerjakan tugas. Terdengar suara lemparan batu mengenai jendela kaca kamarnya. Ana tahu itu ulah siapa. Si penghuni rumah sebelah yang balkon kamarnya berhadapan dengan balkon kamar Ana.

Ana membuka jendela kamar, angin dingin langsung menerpa kulitnya. Benar saja, Angga sedang tersenyum jahil berdiri di balkon kamar. “Apa sih? Nimpuk jendela orang sembarangan, ganggu orang lagi belajar, tahu nggak?” gerutu Ana kesal.

“Gue bosan di rumah, keluar, yuk! Kita beli martabak.” Angga yakin Ana tidak akan menolak kue kesukaannya itu.

“Tapi, gue belum selesai ngerjain PR,” ucap Ana.

“Alah, itu mah gampang, nanti gue bantuin," ucap Angga merayu Ana.

Ana berpikir sambil mengetuk dagu dengan telunjuknya. “Oke, deh! Tapi, lo yang izin sama Bunda, ya?” Jika Ana yang izin pasti Bunda melarang karena ini sudah malam.

“Sip, beres. Cepat, gue tunggu di bawah!" Angga segera menutup jendela kamarnya. Ana juga menutup jendela kamar lalu menguncinya. Ia memakai hoodie lalu bercermin sebentar kemudian keluar dari kamar.

Di bawah tepatnya di ruang keluarga sudah ada Angga sedang duduk santai bersama kedua orang tuanya. “Cepat banget, udah sampai sini aja, lari atau teleportasi tuh orang?” tanya Ana dalam hati.

“Tuh, Anaknya. Kalian jangan lama-lama, langsung pulang kalau udah beli martabak. Ingat besok sekolah!" ucap Arin, bundanya Ana mengingatkan.

“Iya, Bunda. Lagian kayak ke mana aja? Tempatnya kan dekat di depan kompleks,” protes Ana.

“Biarpun di depan kompleks, kalian itu kalau udah keluar rumah suka lupa waktu!” sindir sang bunda. Ayah Ana, Bayu yang duduk di samping Arin hanya fokus pada acara yang ditontonnya.

“Iya, Bunda, nanti Angga seret Ana pulang kalau dia masih mau main di luar,” ujar Angga.

Ana langsung melirik sinis pada Angga. Apa maksudnya? Kesannya ia yang mau main keluar padahal Angga yang mengajaknya, dasar sahabat laknat menjadikan dirinya tumbal!

“Eh, Ayah titip martabak coklat kacang, ya! Ini uangnya, pakai semua aja!” ucap Bayu.

Ana tersenyum lebar, ayahnya memang the best. Ia segera mengambil selembar uang berwarna merah dari tangan ayahnya sebelum sang ayah berubah pikiran. “Terima kasih, Ayah ganteng!” ucap Ana riang.

“Nggak usah muji-muji suami Bunda, ya. Udah sana pergi keburu malam!” Arin memeluk lengan Bayu.

“Dih, lebay! Ama anak sendiri cemburu, udah ah, kita pergi aja, bye, assalamualaikum!” teriak Ana sambil menyeret Angga keluar.

“Ayah, Bunda, Angga pergi dulu, Assalamualaikum!” teriak Angga yang diseret Ana. Ia tak enak jika pergi tanpa pamit.

Karena jarak penjual martabak dekat di depan kompleks mereka pergi dengan berjalan kaki. Sambil mengobrol di payungi langit malam yang bertabur bintang. “Ga, nanti jangan lama-lama, ya, gue belum ngerjain PR.” Ana benar-benar tidak tenang. Pasalnya guru pelajaran matematika sangat galak.

“Iya, kan gue udah bilang nanti gue bantuin,” ucap Angga menenangkan.

“Benar, lo, ya?” Awas kalau bohong!” Mata Ana melotot pada Angga.

“Iya, bestie. Kayak gue pernah bohong aja ama lo!” ucap Angga meyakinkan sahabatnya. Ana hanya nyengir kuda karena Angga memang tak pernah berbohong, selalu menepati janjinya pada Ana.

\*\*\*\*\*

Bab 3

Sampailah mereka di tempat penjual martabak. “Kamu mau yang mana An?” tanya Angga.

“Kamu yang mana?” Ana justru balik bertanya.

“Aku, sih ikut kamu aja,” jawab Angga.

“Lho, maksudnya seporsi bagi dua?” tanya Ana dengan alis yang berkerut.

“Emang, kamu bisa habisin semua?” jawab Angga dengan pertanyaan.

“Bisalah! Kenapa? Nggak boleh?” tanya Ana ketus.

Angga terkekeh, ia tahu Ana suka sekali dengan martabak dan bisa menghabiskan satu porsi seorang diri. “Boleh, mau dua porsi juga boleh. Ya udah, aku mau martabak telor aja.” Angga senang menggoda Ana.

“Bener, aku beli dua, ya? Tapi mau beda rasa." Ana menatap Angga dengan mata berbinar berharap Angga mengiyakan.

“Sok, beli aja. Aku tunggu di sana.” Angga tentu tidak akan menolak apalagi di beri tatapan seperti itu. Ia lalu pergi ke tempat duduk yang kosong. Ana pergi memesan martabak dengan empat jenis rasa berbeda, untuknya dua porsi, untuk Angga satu dan pesanan ayahnya satu. Setelah memesan Ana duduk di samping Angga.

“Untung belum begitu ramai, jadi bisa langsung dibikinin abangnya. Kita nggak perlu nunggu lama,” ucap Ana seraya duduk di samping Angga.

“Iya, kalau lama nanti Bunda marah.”

“Ga, ada angin apa, nih? Tiba-tiba pengen beliin martabak. Dapat lotre, lo?” tanya Ana.

“Lotre apa, sih? Gue lagi jenuh aja di rumah pengen keluar ama lo.” Angga terkekeh.

“Oh, ada apa? Pasti ada yang mau lo omongin, ya?” Ana kenal betul sifat Angga, ia tahu Angga sedang banyak pikiran.

Angga terlihat sedang ragu, mulutnya sudah terbuka ingin bicara, tetapi diurungkannya. Ia merasa belum saatnya Ana tahu. “Ngomong apa? Gue cuma pengen jajanin lo aja.” Angga berkilah.

“Oke, kalau lo belum mau ngomong nggak apa-apa, gue nggak maksa. Ingat aja, kalau lo butuh gue, gue siap anytime.” Ana tersenyum hangat pada Angga. Ia tahu kadang memang berat untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi pada orang lain.

“Eh iya, pesenan Ayah udah belum?” tanya Angga mengalihkan pembicaraan.

“Udah,” jawab Ana.

"Eh, iya. Gue lupa, tadi kan Ayah kasih uang buat beli martabak. Duit lo selamat Ga!" Ana menepuk dahinya sendiri.

"Duit dari Ayah, lo simpan aja. Buat beli pulsa. Gue kan emang udah niat mau traktir lo."

"Benaran, Ga?" tanya Ana memastikan.

"Iya!" jawab Angga tegas.

"Ah, Angga baik banget, deh! Makasih Angga, my bestie!" Ana berteriak kegirangan, ia lalu memeluk Angga sebentar.

Angga terkekeh, melihat respon Ana. Suasana menjadi hening. Terdengar bisik-bisik dari belakang mereka, “Lucu, ya. Bajunya couple, cocok! Cowoknya ganteng, ceweknya juga cantik.”

Ana dan Angga melirik baju masing-masing, benar, hoodie yang mereka pakai sama hanya beda warna. Ana ingat ia beli ini memang bersama Angga. Waktu itu ada diskon beli dua harganya dipotong 50%. Ana tak sadar jika mereka memakai baju yang sama.

Angga dan Ana saling tatap lalu mereka tertawa.

“Masa kita dibilang couple, kalau bajunya sih iya, tapi kita kan bukan pasangan,” ucap Angga.

“Mereka nggak tahu aja kalau kita sahabatan.” Ana menambahkan sambil tertawa.

“Kenapa, ya? Banyak yang salah paham dengan kita? Di sekolah aja, banyak yang mikir kita pacaran,” ucap Ana.

“Ya, mungkin memang menurut mereka nggak ada namanya persahabatan yang murni antara lelaki dan perempuan, salah satunya pasti akan jatuh cinta atau bisa aja keduanya diam-diam jatuh cinta,” jawab Angga.

Ana tersenyum miring pada Angga. “Kalau lo, diam-diam jatuh cinta nggak ama gue?” tanya Ana dengan wajah tengilnya.

“Enggak lah! Ngebayangin aja nggak pernah. Aneh nggak, sih, kalau kita saling jatuh cinta? Geli aja, gitu!” Angga langsung menyanggahnya.

“Iya, sih. Gue udah pernah lihat lo naked, gue udah tahu lo luar dalam, nggak mungkin gue jatuh cinta ama lo!” Ana lalu tertawa begitu juga dengan Angga.

Mereka bersahabat sejak kecil sebelum sekolah TK, pernah dimandikan bareng sama mamanya Angga. Sering tidur satu kamar kalau mereka dititipkan waktu SD. Jadi mereka menganggap seperti saudara.

Pesanan mereka akhirnya jadi, Angga membayar martabak yang dibeli tersebut lalu pulang. Angga melirik Ana yang berjalan bersisian dengannya. Ia merekam wajah manis yang selalu membuat harinya bahagia. Ia akan selalu ingat cerianya seorang Ana, meskipun mereka berjauhan nanti.

“Kenapa lihatin terus, ih?” Ana yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah.

Angga tersenyum, “Nggak, gue cuma lagi mikir, cowok sial mana yang nanti jadi pacar lo? Kasihan banget,” ucapnya menggoda Ana.

“Sembarangan! Cowok gue nanti itu bakal jadi cowok paling bahagia karena gue bakal melimpahkan cinta dan kasih sayang seratus persen. Pokoknya dia bakal merasa beruntung karena jadiin gue pacarnya!” ucap Ana menggebu-gebu. Ia tidak terima karena dibilang pacarnya itu akan sial bersamanya.

“Iya, iya, dia bakal jadi cowok paling beruntung dan bahagia, tapi An, ingat ya, jangan beri hati lo seratus persen karena jika dia pergi meninggalkan lo, maka lo yang akan terluka karena tidak ada cinta yang tersisa. Cukup sewajarnya aja, kecuali suami lo, cintai dia sepenuh hati.” Ada kesedihan di dalamnya karena ia tidak akan terus bersama Ana.

Ana mengernyit, “Sejak kapan, lo jadi bijak gini? Tenang aja Angga Teguh, bagi gue cinta itu nggak penting. Yang penting gue harus bisa kuliah dan mewujudkan cita-cita gue!” Ana mengepalkan tangannya ke udara.

“Pintar, gue yakin lo bisa wujudin semua mimpi, lo. Gue akan selalu dukung lo di mana pun berada.” Angga menepuk puncak kepala Ana. Gadis itu tidak menyadari kejanggalan di balik kata-kata Angga.

Mereka akhirnya sampai di rumah Ana. “Nih, martabaknya, yang ini kasih sama Ayah. Terima kasih, udah temenin gue ngobrol.” Angga memberikan kantong plastik berisi pesanan Ana.

“Justru gue yang harus terima kasih, udah dibeliin martabak banyak banget, makasih ya, Angga. Jangan kapok traktir gue. Eh ini buat Mama aja.” Ana menerima kantong plastik itu, tetapi ia ingin mengambil satu dus martabak untuk mamanya Angga.

“Nggak usah, ini aja udah cukup. Mama sukanya martabak telur. Udah masuk, gih! Udah malam, jangan lupa kerjain PR!” Angga menolak. Ia mendorong tubuh Ana agar masuk ke pekarangan rumahnya.

“Eh, iya. PR gue. Katanya lo mau bantuin?” Ana berbalik menatap Angga.

“Iya, gue bantuin, nanti video call aja.” Angga kembali membalikkan badan Ana. Ia mendorong bahu Ana hingga melewati pagar.

“Ya udah, bye!” Ana menoleh sekilas lalu melambaikan tangan. Ia kemudian berjalan menuju pintu tanpa menoleh lagi.

Angga membalas lambaian tangan Ana. Ia lalu melangkah menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh kedua orang tuanya yang duduk di ruang keluarga, sengaja menunggu Angga sambil menonton TV. Untung saja Angga membeli martabak telur tadi. Ia bisa menikmatinya bersama mereka.

Angga duduk di depan orang tuanya. “Gimana, udah ngomong sama Ana?” tanya Rita.

Angga menghela napas. “Kayaknya belum,” ucap Samuel, papa Angga.

“Aku bingung gimana ngomongnya Ma, Pa?”

“Papa tahu pasti berat buat kamu, kalian selalu bersama, tiba-tiba kalian akan berpisah dan dalam waktu yang lama. Saran Papa kamu lebih baik ngomong secepatnya, jangan sampai Ana tahu dari orang lain atau Ana pasti akan kecewa sama kamu. Jangan sampai kamu menyesal.” Samuel menasihati Angga.

“Tapi, aku nggak tega. Dia pasti akan sedih.”

“Mama tahu, mungkin awalnya sulit bagi Ana menerima, tapi dia pasti akan sadar kalau itu yang terbaik buat kamu dia pasti juga akan bahagia dan mendukungmu. Ana bukan orang yang egois, dia menyayangimu seperti kakaknya sendiri. Yakin sama Mama, Ana pasti akan baik-baik aja. Jika dia sedih, dia hanya butuh waktu untuk menerima semuanya.” Rita juga menasihati Angga.

“Apa perlu Papa yang bilang?” tanya Samuel.

“Jangan! Biar Angga aja, tapi bukan sekarang, nanti aja kalau abis ujian. Biar Ana bisa konsentrasi belajar.” Angga langsung melarang, ia tidak ingin Ana mendengarnya dari orang lain.

“Iya, terserah kamu aja,” ucap Samuel.

“Papa sama Mama juga jangan ngomong masalah ini sama Ayah dan Bunda.”

“Iya. Kami usahakan tutup mulut,” ucap Rita.

“Aku ke atas dulu. Mau ngerjain PR sama Ana.” Angga berlalu. Ia pergi ke kamarnya di lantai dua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!