NovelToon NovelToon

Agent UnMasked

Bab 1: Di Antara Dua Dunia

“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter terdengar jelas di saluran komunikasi.

Aiden Blake menghentikan langkahnya di tengah ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya layar monitor di depannya. Di layar itu, sebuah foto dirinya terpampang dengan tulisan besar berwarna merah: TARGET: 'Exterminate' – Membasmi atau memusnahkan sepenuhnya..

“Carter, ini lelucon, kan?” suara Aiden rendah, nyaris seperti bisikan, namun jelas menunjukkan ketegangan yang berusaha ia sembunyikan.

“Sayangnya tidak,” Carter menjawab dengan nada serius. “Kau tidak bisa mempercayai siapa pun sekarang. Bahkan aku.”

Aiden mengepalkan tangannya di sisi meja. Seluruh pikirannya berputar, mencoba memahami bagaimana situasi bisa berubah secepat ini. Hanya beberapa jam yang lalu, ia baru saja menyelesaikan misi mencuri data penting dari markas musuh. Sekarang, ia menjadi target.

“Siapa dalangnya?” tanya Aiden akhirnya.

“Aku tidak tahu,” Carter menjawab, lalu melanjutkan dengan desahan berat, “Tapi mereka punya akses penuh ke Shadow Protocol.”

Aiden mengernyit. “Shadow Protocol? Itu tidak mungkin. Sistem itu hanya bisa diakses dari—”

“Dari dalam,” potong Carter. “Itu artinya seseorang di tim kita yang melakukannya.”

Jantung Aiden berdegup kencang. Shadow Protocol adalah sistem yang mampu menghapus eksistensi seseorang dari dunia—identitas, catatan medis, rekening bank, bahkan riwayat digital. Jika sistem itu diaktifkan terhadapnya, ia akan benar-benar hilang.

“Aiden,” suara Carter kembali, lebih mendesak kali ini. “Kau harus pergi sekarang. Mereka sudah tahu lokasimu.”

Aiden mendengar bunyi langkah kaki mendekat dari lorong di belakangnya. Ia segera mematikan komunikator di telinganya, mengambil pistol dari pinggangnya, dan bergerak ke bayangan di pojok ruangan.

“Klik.”

Pintu di belakangnya terbuka perlahan. Sosok seorang pria berseragam hitam dengan senapan di tangan masuk dengan langkah hati-hati, matanya menyapu ruangan. Aiden menahan napas, menunggu saat yang tepat.

“Blake, kami tahu kau di sini,” suara pria itu menggema di ruangan. “Kau tak punya tempat untuk lari.”

Aiden tersenyum tipis dalam kegelapan. “Kau pasti bercanda.”

Dalam satu gerakan cepat, Aiden keluar dari bayangan, menendang senapan dari tangan pria itu, lalu menghantamkan pistolnya ke kepala musuh sebelum tubuhnya jatuh ke lantai tanpa suara.

Namun, sebelum Aiden sempat bergerak lebih jauh, sebuah suara lain terdengar di komunikator pria yang tergeletak di lantai.

“Target sudah terkunci. Semua unit, serbu sekarang.”

Aiden meraih senapan musuhnya dan melangkah mundur ke pintu belakang ruangan. Saat ia membuka pintu, suara alarm tiba-tiba menggema di seluruh gedung.

“Ini jebakan,” gumam Aiden, matanya menyapu lorong yang sekarang dipenuhi cahaya merah dari lampu darurat.

Langkahnya cepat, berusaha menuju jalan keluar sebelum pasukan lainnya tiba. Tapi di tengah perjalanan, sebuah suara yang tak asing terdengar di komunikatornya yang baru saja aktif kembali.

“Aiden.”

Ia berhenti, matanya menyipit. “Tasha?”

Suara di seberang terdengar bergetar. “Aiden, kau harus dengar aku. Jangan kembali ke markas. Mereka menunggumu di sana.”

“Siapa ‘mereka’, Tasha?” Aiden bertanya dengan nada dingin.

Ada jeda panjang sebelum Tasha akhirnya menjawab, “Aku tidak bisa memberitahumu… tapi kau tahu siapa mereka.”

Aiden mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, aku akan menemukannya sendiri.”

Sebelum Tasha sempat menjawab, suara tembakan terdengar dari ujung lorong. Aiden berlari ke arah tangga darurat, meninggalkan gedung itu di tengah hujan peluru.

Saat ia berhasil keluar dari gedung melalui pintu belakang, hujan deras menyambutnya. Namun, yang membuatnya terpaku adalah pemandangan di depannya—puluhan pasukan bersenjata lengkap telah mengepung area itu. Lampu sorot menyilaukan matanya, sementara suara pengeras menggema di udara.

“Aiden Blake,” suara tegas terdengar. “Letakkan senjata dan menyerah lah. Tidak ada jalan keluar untukmu.”

Aiden memandang sekelilingnya, otaknya bekerja cepat mencari celah. Tangan kanannya tetap menggenggam senapan, sementara tangan kirinya bergerak perlahan ke saku jaketnya, meraih perangkat kecil berbentuk lingkaran.

Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih siap.”

Tanpa peringatan, Aiden melemparkan perangkat itu ke udara, menciptakan ledakan cahaya yang membutakan semua orang di sekitarnya.

Namun, belum sempat ia melangkah jauh, sebuah suara dingin yang familiar terdengar dari balik asap.

“Aiden… kau benar-benar sulit untuk ditangkap, ya?”

Ia menoleh. Sosok itu muncul perlahan, wajahnya diterangi oleh kilatan petir di langit. Mata Aiden melebar seketika.

“Tidak mungkin… Kau?”

Sosok itu tersenyum licik sambil mengarahkan pistolnya ke kepala Aiden.

“Game over, Aiden.”

Namun, Aiden tidak menyerah begitu saja. Ia memiringkan kepalanya sedikit, mencoba membaca setiap gerakan dari sosok misterius di depannya. Mata pria itu penuh percaya diri, seperti seorang pemburu yang yakin mangsanya tak punya peluang melarikan diri.

“Jadi, kau akhirnya muncul,” ujar Aiden dengan nada dingin, sembari melemparkan senyuman tipis yang penuh arti. “Aku hampir mengira kau akan terus bermain petak umpet.”

Pria itu tidak bergeming. “Kau selalu tahu kapan harus melawan, Aiden. Tapi kali ini, tidak ada jalan keluar. Aku sudah menunggumu selama ini.”

Aiden tertawa kecil, suaranya terdengar seperti ejekan. “Menungguku? Kau punya banyak waktu untuk menunggu, sementara aku sibuk menghancurkan rencana busukmu.”

Terdengar suara decitan logam di belakang Aiden. Ia menyadari pasukan lain mulai bergerak maju, mengepungnya dari segala arah. Mata Aiden bergerak cepat, menganalisis situasi. Tidak ada ruang untuk kesalahan.

“Aiden,” pria itu berbicara lagi. “Kau tahu siapa yang mengatur semua ini, bukan? Kau tidak pernah menjadi ancaman bagiku. Kau hanya bidak kecil dalam permainan besar.”

“Aku bidak kecil?” Aiden menyeringai. “Mungkin, tapi bidak ini tahu cara menggulingkan raja.”

Sebelum pria itu sempat menjawab, Aiden dengan cepat melemparkan granat asap dari kantongnya. Kepulan asap tebal segera menyelimuti area itu, membuat pandangan musuhnya terganggu. Dalam kekacauan tersebut, Aiden melesat ke belakang kontainer yang berada di dekatnya.

Suara tembakan menggelegar, menggema di malam yang penuh hujan. Peluru-peluru menghantam permukaan logam di sekelilingnya, menciptakan percikan api kecil di setiap benturan.

“Blake!” suara pria itu terdengar dari balik asap. “Kau hanya memperpanjang penderitaanmu. Tidak ada tempat bagimu untuk lari.”

Namun, Aiden tidak mendengarkan. Ia terus bergerak, tubuhnya menyelinap di antara bayangan, setiap langkahnya terukur dengan presisi.

Di kejauhan, sebuah helikopter terdengar mendekat. Cahaya lampunya menyapu area tersebut, menciptakan siluet aneh di tengah kabut dan hujan.

“Ini akan menjadi akhir yang indah,” gumam Aiden pelan, mengaktifkan perangkat kecil di pergelangan tangannya.

Sebuah ledakan besar terdengar, memecah keheningan malam. Sebuah api besar menyembur dari sudut bangunan tempat mereka berada, menciptakan kekacauan di antara pasukan yang mengepungnya.

Dari balik asap dan reruntuhan, pria misterius itu berjalan perlahan, wajahnya tetap tenang meski situasi di sekitarnya berubah menjadi medan perang kecil. “Kau mungkin pintar, Aiden. Tapi aku lebih pintar.”

Saat Aiden mencoba melarikan diri, langkahnya terhenti tiba-tiba. Sebuah laser merah menyapu tubuhnya, lalu terkunci tepat di dadanya.

“Sekarang apa, Blake?” suara pria itu menggema, diikuti tawa dinginnya.

Aiden memandang sekelilingnya, mencari opsi terakhir. Lalu, ia mendongak ke arah helikopter yang semakin mendekat. “Jika aku harus jatuh, aku akan membawa seseorang bersamaku.”

Sebelum pria itu sempat merespons, Aiden melompat keluar dari perlindungannya, mengarahkan senapan ke helikopter, dan menarik pelatuknya.

Helikopter itu bergetar hebat, percikan api keluar dari mesinnya. Namun, sebelum jatuh, ia berhasil menembakkan peluru besar ke arah tempat Aiden berdiri.

Ledakan kedua menghancurkan tanah di bawah kaki Aiden, membuatnya terlempar jauh ke belakang.

Semua menjadi gelap.

Sebuah suara samar terdengar di kejauhan, di antara dentuman hujan yang terus turun:

“Aiden, jika kau masih hidup… kita belum selesai.”

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, mampir ya di cerita baru mommy ya

Terima kasih, jangan lupa like, komentar, hadiahnya ya.

Bab 2: Pelarian

Hujan belum reda sejak ledakan besar yang mengguncang malam itu. Bau mesiu dan asap masih memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah basah. Di tengah reruntuhan, tubuh Aiden tergeletak, tak bergerak. Luka di bahunya mengucurkan darah, meninggalkan jejak merah yang memudar di bawah derasnya hujan.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita dengan mantel panjang dan payung yang melindungi wajahnya dari hujan berjalan cepat ke arah tubuh itu. Ia berjongkok, menyentuh leher Aiden untuk memastikan nadinya masih terasa.

“Masih hidup,” gumamnya dengan napas lega. “Tapi tidak akan lama kalau tetap di sini.”

Wanita itu, Aliyah, mengangkat tubuh Aiden yang berat dengan susah payah. Ia tak tahu siapa pria ini atau apa yang terjadi, tapi intuisi kuatnya mengatakan dia harus menyelamatkannya.

Beberapa jam kemudian

Aiden terbangun di sebuah ruangan kecil yang diterangi cahaya redup. Kepalanya berdenyut hebat, dan bahunya terasa seperti terbakar. Ia mencoba bangkit, tapi rasa sakit menghentikannya.

“Jangan bergerak terlalu banyak.”

Aiden menoleh. Di sudut ruangan, seorang wanita sedang menuangkan air ke dalam cangkir. Ia berjalan mendekat dan menyodorkan cangkir itu ke tangan Aiden.

“Minum ini. Itu akan membantu,” katanya singkat.

Aiden menatapnya curiga, tapi akhirnya menerima cangkir itu. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak.

“Aliyah,” jawab wanita itu sambil duduk di kursi kecil di sebelah tempat tidur. “Dan kau?”

Aiden terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Blake,” katanya akhirnya, menggunakan nama samarannya.

Aliyah mengangguk tanpa menunjukkan minat lebih jauh. “Baiklah, Blake. Kau beruntung aku menemukanku. Kalau tidak, kau mungkin sudah menjadi mayat di luar sana.”

“Kenapa kau menyelamatkanku?”

Aliyah mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin karena aku tidak suka melihat orang mati begitu saja di tengah hujan.”

Aiden mencoba membaca wajahnya, mencari tanda-tanda bahwa wanita ini tahu lebih banyak dari yang ia katakan. Tapi tatapan Aliyah tetap netral, tanpa rasa takut atau curiga.

“Apa yang terjadi padamu?” tanyanya lagi.

Aiden mengalihkan pandangan. “Hanya… urusan yang rumit.”

“Cukup jelas,” jawab Aliyah sambil tersenyum tipis. “Tapi sepertinya ‘urusan rumit’-mu melibatkan ledakan besar dan peluru. Itu cukup menarik.”

Aiden tidak menjawab. Ia tahu semakin sedikit yang ia katakan, semakin aman bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian

Aliyah kembali ke dapur kecil di pojok ruangan, meninggalkan Aiden sendirian. Ia memanfaatkan momen itu untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Ia melihat pintu utama yang tampaknya terbuat dari kayu tua, sebuah jendela kecil yang ditutupi kain tebal, dan tas medis yang tergeletak di lantai.

“Tidak buruk untuk tempat persembunyian,” gumamnya pelan.

“Apa kau bicara sendiri di sana?” suara Aliyah terdengar dari dapur.

Aiden tersenyum tipis. “Kebiasaan buruk.”

Aliyah kembali dengan semangkuk sup panas. Ia meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Makan ini. Kau butuh tenaga untuk sembuh.”

“Terima kasih,” ujar Aiden sambil mulai menyeruput sup itu.

Aliyah memperhatikan pria itu dengan saksama. Meski wajahnya tampak tenang, ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. “Blake, kau ini siapa sebenarnya?”

Aiden berhenti makan sejenak, lalu menatapnya. “Hanya seseorang yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.”

Aliyah mendengus. “Kalau itu yang kau sebut ‘waktu yang salah’, aku penasaran seperti apa waktu yang benar bagimu.”

Aiden hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.

Tengah malam

Aiden terbangun oleh suara ketukan keras di pintu. Ia meraih senjata kecil yang disembunyikan di bawah bantalnya—senjata yang ia simpan sejak sebelum ledakan. Langkah kaki terdengar di depan pintu.

“Aliyah!” suara pria asing memanggil dari luar. “Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya!”

Aliyah yang terbangun dengan panik menatap ke arah pintu. “Siapa itu?” bisiknya pada dirinya sendiri, lalu menoleh ke arah Aiden. “Kau mendengar itu?”

Aiden mengangguk, dengan wajah penuh siaga. “Apa kau mengenalnya?”

Aliyah menggeleng. “Tapi… itu mungkin…” Ia mendekat ke jendela dan mengintip keluar, lalu mendesah dengan wajah lelah. “Rentenir.”

“Rentenir?” Aiden mengangkat alis.

“Ya, mereka sering datang menagih utang. Aku sudah bilang akan membayarnya nanti, tapi mereka tidak peduli.” Aliyah menunduk, menggigit bibirnya dengan cemas.

Ketukan itu semakin keras, disusul dengan suara ancaman. “Kalau kau tidak buka, kami akan dobrak pintunya!”

Aiden berdiri perlahan, meski bahunya masih terasa sakit. “Biarkan aku yang mengurus mereka.”

“Tidak!” Aliyah menahan lengannya. “Aku tidak mau mereka curiga. Kalau mereka tahu kau ada di sini, mereka akan bertanya-tanya lebih jauh.”

Aiden terdiam, menatap Aliyah dengan mata yang menyiratkan ketidakpercayaan. “Jadi, apa rencanamu?”

“Berpura-pura tidak ada siapa-siapa,” bisik Aliyah. Tapi langkah berat di luar menunjukkan itu tidak akan mudah.

“Kalau mereka masuk, kita dalam masalah,” bisik Aiden tegas.

Ketukan itu berubah menjadi gebrakan keras, pintu mulai retak. Aliyah menatap Aiden dengan wajah cemas, sementara pria itu bersiap dengan senjatanya.

Dan saat pintu hampir roboh, satu suara keras menghentikan semua gerakan. “Aliyah! Aku tahu kau ada di sana! Jangan bermain-main denganku!”

Aliyah menelan ludah, wajahnya memucat. “Itu suara… bos rentenirnya.”

Aiden menoleh, wajahnya penuh tanya. “Siapa dia sebenarnya?”

Ketukan di pintu berubah menjadi hantaman keras. Suara kayu yang hampir patah terdengar jelas, membuat ruangan kecil itu dipenuhi ketegangan. Aiden bersandar ke dinding, mengangkat senjatanya dengan hati-hati.

“Apa kau yakin kita harus tetap diam?” bisiknya pelan pada Aliyah, yang kini duduk dengan napas tertahan.

Aliyah menggigit bibirnya, matanya menatap pintu yang berguncang. "Aku tidak punya pilihan. Jika kita buka pintu, mereka mungkin hanya ingin uang. Tapi jika mereka tahu ada kau di sini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Aiden mendengus pendek. "Itu jika kau beruntung. Orang-orang seperti mereka tidak akan berhenti hanya dengan ancaman kecil."

Dentuman terakhir menghancurkan engsel pintu, dan pintu itu terbuka dengan suara keras. Tiga pria bertubuh besar masuk, wajah mereka penuh dengan amarah. Pemimpin mereka, seorang pria dengan jaket kulit hitam dan wajah penuh bekas luka, berdiri di tengah, matanya langsung menangkap Aliyah yang membeku di sudut ruangan.

"Akhirnya," katanya dengan nada dingin. "Berapa lama lagi kau mau menghindar, Aliyah?"

Aliyah berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba terlihat tegar. "Aku bilang akan membayarnya! Beri aku waktu beberapa hari lagi."

Pria itu tertawa sinis, melangkah mendekat. "Beberapa hari? Kau sudah berbulan-bulan berjanji. Aku muak mendengar omong kosongmu."

Aiden menahan napas, jari-jarinya siap menarik pelatuk. Tapi ia tahu, jika ia menyerang sekarang, itu akan mengungkap keberadaannya.

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah pisau kecil yang terlihat tajam. Ia memainkannya dengan santai sambil menatap Aliyah. "Kau tahu, aku bisa mengambil sesuatu yang lain sebagai gantinya."

Aliyah mundur, matanya membelalak. "Jangan... aku akan bayar. Aku hanya butuh waktu."

Namun pria itu tidak peduli. Ia mendekat dengan langkah perlahan, mengancam. "Waktu sudah habis, sayang. Dan sekarang aku ingin—"

Sebuah suara keras memecah suasana.

"Berhenti di situ."

Pria itu berbalik dengan cepat, matanya menyipit saat melihat Aiden berdiri dengan senjata mengarah padanya. Wajahnya berubah dari sombong menjadi waspada.

"Siapa kau?" tanyanya tajam.

"Orang yang kau tidak ingin main-main," jawab Aiden dingin, suaranya rendah namun penuh ancaman.

Ketiga pria itu saling berpandangan, ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Tapi pemimpin mereka mendengus, mencoba menunjukkan keberaniannya. "Kau pikir senjata itu membuatmu aman? Ini urusan kami dengan wanita itu. Jangan ikut campur."

Aiden mengangkat alis, senjatanya tetap terarah. "Urusanmu dengan dia selesai. Pergi sekarang, sebelum aku kehilangan kesabaran."

Ketegangan di ruangan itu memuncak. Aliyah menahan napas, matanya berpindah-pindah antara Aiden dan pria-pria itu. Pemimpin mereka tampak mempertimbangkan opsinya, tapi sebelum ia bisa membuat keputusan, sebuah sirine terdengar dari kejauhan.

Polisi.

"Kurang ajar," gumam pria itu, wajahnya berubah panik. Ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk pergi. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah Aliyah dengan tatapan penuh ancaman. "Kita belum selesai."

Setelah mereka pergi, Aliyah jatuh terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Aiden menurunkan senjatanya, matanya tetap tertuju pada pintu yang kini terbuka lebar.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Aliyah mengangguk, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. "Terima kasih," bisiknya.

Aiden tidak menjawab, tapi tatapannya mengeras. Ia tahu ini bukan akhir dari masalah mereka. Jika pria-pria itu kembali, keadaan bisa jauh lebih buruk.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Aiden akhirnya.

Aliyah menghapus air matanya, menatap lantai dengan tatapan kosong. "Mereka... rentenir. Aku berhutang banyak pada mereka setelah... semuanya berantakan."

Aiden tidak mendesaknya untuk menjelaskan lebih lanjut. Tapi dalam hatinya, ia tahu wanita ini terjebak dalam masalah yang lebih besar dari yang terlihat.

"Mulai sekarang, kau tidak akan menghadapi mereka sendirian," katanya tegas.

Aliyah menatapnya, kebingungan. "Kenapa kau peduli? Aku bahkan tidak tahu siapa kau sebenarnya."

Aiden hanya tersenyum tipis, menyembunyikan kebenaran di balik tatapannya. "Mungkin aku hanya membayar utang budi. Tapi percayalah, aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.

Terima kasih.

Bab 3: Tawaran Aliyah

Hari ketiga sejak Aiden dirawat di rumah Aliyah, tubuhnya mulai pulih. Luka-lukanya sudah tidak lagi terlihat mengkhawatirkan, meskipun bekas rasa sakit masih terasa di beberapa bagian. Aliyah, yang setiap hari mengurusinya, mulai melihat bahwa pria ini tidak hanya misterius, tapi juga membawa aura bahaya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Pintu rumah diketuk keras, dan kali ini Aliyah sudah menduga siapa yang datang. Wajahnya pucat ketika ia melangkah ke pintu, sementara Aiden yang sedang duduk di sofa menatapnya dengan mata tajam.

"Siapa itu?" tanya Aiden, meskipun ia sepertinya sudah tahu jawabannya.

Aliyah menelan ludah, suaranya gemetar. "Rentenir... mereka kembali."

Aiden berdiri perlahan, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya kuat. "Buka pintunya. Aku akan bicara dengan mereka."

"Tidak, jangan!" Aliyah memegang lengannya, matanya memohon. "Mereka tidak akan peduli. Mereka hanya ingin uang. Jika aku tidak membayar, mereka akan menghancurkan rumah ini."

Ketukan di pintu semakin keras, diiringi suara teriakan. "Aliyah! Kau pikir bisa sembunyi dari kami? Bukakan pintunya, atau kami masuk!"

Aliyah akhirnya menyerah. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu. Tiga pria masuk, wajah mereka dipenuhi amarah. Pemimpin mereka, pria berjaket kulit hitam yang sama seperti sebelumnya, menatap Aliyah dengan tatapan dingin.

"Kau tahu kenapa kami di sini," katanya singkat.

Aliyah mengangguk, mencoba terlihat tegar meskipun tubuhnya gemetar. "Aku butuh waktu sedikit lagi. Tolong beri aku kesempatan."

Pria itu tertawa pendek, sinis. "Kesempatan? Kau pikir aku ini bank? Kami sudah menunggu terlalu lama, Aliyah. Jika besok kau tidak membayar, kami akan menghancurkan rumah ini, mengerti?"

Aliyah menunduk, air matanya mulai mengalir. "Berapa... berapa jumlahnya sekarang?"

"Setelah bunga berjalan? Lima ratus juta."

Aliyah tertegun. Angka itu seperti palu yang menghantamnya langsung. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dijual, apalagi membayar jumlah sebesar itu dalam waktu sehari.

Namun sebelum ia bisa menjawab, suara Aiden terdengar dari belakangnya. "Besok, aku akan membayarnya."

Semua orang di ruangan itu menoleh, termasuk Aliyah yang menatap Aiden dengan ekspresi kaget. Pemimpin rentenir itu menyipitkan mata, menilai pria yang baru saja bicara.

"Dan siapa kau?" tanyanya tajam.

"Aku yang akan menyelesaikan masalah ini," jawab Aiden tegas. "Datang lagi besok pagi, dan kau akan mendapatkan uangmu."

Pria itu tertawa, meskipun ada sedikit ragu di matanya. "Baiklah. Tapi jika kau berbohong, kami tidak hanya akan menghancurkan rumah ini. Kau juga akan kami cari."

Setelah memberikan ancaman terakhirnya, mereka pergi meninggalkan rumah itu dalam keheningan. Aliyah menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menoleh ke arah Aiden.

"Kau... apa yang kau lakukan?" tanyanya, hampir menangis. "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Mereka tidak main-main."

Aiden tidak menjawab. Sebaliknya, ia berjalan ke arah tas yang sejak awal ia bawa. Dengan tenang, ia membuka tas itu dan mengeluarkan sesuatu yang membuat Aliyah tertegun.

Beberapa batang emas batangan, berkilauan di bawah cahaya lampu, tergeletak di atas meja.

"Ini..." Aliyah menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak. "Dari mana kau mendapat semua ini?"

"Jangan tanya," jawab Aiden singkat. "Bawa ini ke bank atau tempat pencairan lain. Uangnya akan lebih dari cukup untuk melunasi hutangmu."

Aliyah masih tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, ia mengambil emas itu dan mengangguk. "Aku akan pergi sekarang juga."

***

Malam itu, hutang lima ratus juta rupiah akhirnya lunas. Rumah Aliyah selamat, tapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang siapa sebenarnya Aiden.

Namun keesokan harinya, saat Aiden sedang bersiap-siap untuk pergi, Aliyah menghentikannya.

"Kau mau ke mana?" tanyanya dengan nada panik.

"Pergi," jawab Aiden tanpa basa-basi. "Aku sudah terlalu lama di sini. Tidak aman bagimu jika aku tetap tinggal."

"Tidak!" Aliyah berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. "Kau tidak bisa pergi. Aku... aku ingin kau tetap di sini."

Aiden mengerutkan kening. "Kenapa? Aku sudah membantumu. Hidupku penuh bahaya, Aliyah. Kau tidak tahu siapa aku."

Aliyah menggigit bibirnya, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Kalau begitu, menikahlah denganku."

Kata-kata itu membuat Aiden membeku di tempat. Ia menatap Aliyah dengan ekspresi tidak percaya. "Apa yang kau katakan?"

"Menikahlah denganku," ulang Aliyah dengan suara gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Aku tidak punya cara lain untuk membalas semua yang kau lakukan. Setidaknya, dengan menikah, aku bisa merasa aku sudah membayar hutangku."

Aiden tertawa pendek, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Aliyah, kau tidak mengerti. Aku bukan orang yang bisa kau ajak hidup bersama. Hidupku sudah hancur. Aku bahkan bukan siapa-siapa."

"Tidak masalah," jawab Aliyah tegas. "Aku tidak peduli siapa kau atau apa yang kau sembunyikan. Kau menyelamatkanku, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."

Aiden menghela napas panjang, menatap wanita itu dengan campuran frustrasi dan kekaguman. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti dengan ketukan di pintu.

Aiden menatap pintu dengan sorot mata tajam, tubuhnya kembali siaga meskipun masih belum sepenuhnya pulih. Aliyah berdiri di sampingnya, memegang lengan Aiden dengan erat. Rasa takut mulai merayapi wajahnya.

"Kau... kau pikir mereka kembali?" bisik Aliyah dengan suara gemetar.

Aiden tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Aliyah menjauh dari pintu. Namun, Aliyah tetap berdiri di tempat, terlalu takut untuk bergerak.

Ketukan di pintu semakin keras, kali ini diiringi suara kasar. "Aliyah, buka pintunya sekarang! Kami tahu kau ada di dalam!"

Aliyah memejamkan mata, air matanya hampir tumpah. "Aiden, apa yang harus kita lakukan? Kalau itu rentenir lagi, mereka pasti datang untuk menghancurkan rumahku."

Aiden melangkah maju, melepaskan pegangan Aliyah. "Biarkan aku yang menghadapinya."

"Tapi—"

"Tidak ada tapi." Suara Aiden tegas, nyaris seperti perintah. "Kau sudah cukup menderita karena mereka. Sekarang giliran aku yang menangani ini."

Aliyah tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa melihat Aiden membuka pintu dengan gerakan cepat, memperlihatkan sosok di baliknya.

Namun, yang muncul di depan mereka bukan rentenir seperti yang mereka duga. Seorang pria dengan setelan gelap berdiri di sana, wajahnya dingin dan penuh ketegasan. Di belakangnya, dua pria lain tampak berjaga-jaga, masing-masing membawa tas kecil yang terlihat mencurigakan.

Pria itu tersenyum tipis, tatapannya langsung tertuju pada Aiden. "Ternyata kau di sini."

Aiden membeku. Wajahnya yang sebelumnya tenang berubah menjadi tegang dalam sekejap. Aliyah, yang berdiri di belakangnya, merasakan perubahan suasana yang begitu mendadak hingga ia tidak berani bergerak.

"Siapa kau?" tanya Aiden dengan nada rendah, namun penuh ancaman.

Pria itu tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa diundang, lalu memandang sekeliling rumah dengan ekspresi sinis. "Aku tidak menyangka kau akan bersembunyi di tempat seperti ini, Aiden. Sangat jauh dari gaya hidupmu yang biasa."

Aliyah akhirnya memberanikan diri berbicara. "Maaf, siapa Anda? Apa yang Anda inginkan?"

Pria itu meliriknya sekilas, senyumnya semakin lebar. "Aku tidak berbicara denganmu, nona. Aku di sini untuk Aiden. Dia tahu kenapa aku datang."

Aiden mengepalkan tangan, tatapannya tajam seperti pisau. "Jika kau ingin sesuatu, katakan langsung. Jangan bawa orang lain ke dalam masalah ini."

Pria itu terkekeh, lalu mengeluarkan amplop dari saku jasnya. Ia meletakkannya di atas meja dengan gerakan santai, seolah tidak ada tekanan apa pun. "Ini hanya peringatan, Aiden. Kau tahu apa yang terjadi jika kau terus mencoba kabur."

Aliyah menatap amplop itu dengan bingung, lalu beralih ke Aiden yang wajahnya tampak semakin gelap. "Apa maksudnya ini, Aiden?"

"Aliyah, masuk ke kamar. Sekarang," perintah Aiden tiba-tiba, suaranya lebih tegas dari sebelumnya.

Aliyah menggeleng, matanya dipenuhi kecemasan. "Tidak! Aku tidak akan pergi ke mana-mana sampai kau menjelaskan apa yang terjadi. Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan darimu?"

Aiden tidak menjawab. Ia hanya menatap pria di depannya dengan sorot mata penuh kebencian. Pria itu, di sisi lain, terlihat menikmati ketegangan yang ia ciptakan.

"Aiden," kata pria itu akhirnya. "Kau bisa terus bermain peran sebagai pria baik di depan wanita ini, tapi pada akhirnya, kebenaran akan terungkap. Kau tidak bisa lari selamanya."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, pria tersebut melangkah keluar bersama anak buahnya. Namun, sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi dan memberikan senyuman dingin. "Kami akan bertemu lagi, lebih cepat dari yang kau kira."

Keheningan meliputi ruangan setelah mereka pergi. Aliyah memandang Aiden dengan penuh pertanyaan, tetapi pria itu hanya berdiri di tempat, seperti sedang berusaha menenangkan diri.

"Aiden," panggil Aliyah pelan. "Apa... apa yang sebenarnya terjadi?"

Aiden akhirnya menoleh, tetapi tidak ada jawaban di matanya. Ia hanya menatap Aliyah dengan tatapan penuh beban, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi menahannya.

"Aliyah," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Aku harus pergi. Semakin lama aku tinggal di sini, semakin besar bahaya yang akan datang padamu."

"Tidak!" Aliyah menggeleng keras. "Aku tidak peduli bahaya apa yang kau bawa. Kau sudah menyelamatkanku. Jika kau pergi sekarang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku."

"Aku tidak punya pilihan," jawab Aiden, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. "Hidupku sudah berakhir sejak lama. Jangan ikut terjebak dalam kekacauan ini."

Namun sebelum ia bisa melangkah pergi, Aliyah berdiri di depannya dengan tatapan penuh tekad. "Kau tidak akan pergi, Aiden. Kau pikir hidupmu sudah berakhir? Kalau begitu, biarkan aku menjadi alasanmu untuk memulainya lagi."

Aiden terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal: kepergiannya tidak akan semudah yang ia bayangkan.

Di luar rumah, bayangan pria berjas itu masih melayang di benaknya, mengingatkannya bahwa ancaman belum berakhir.

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya jangan lupa like dan komentarnya ya.

Terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!