Suara decitan terdengar saat mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang dengan karat yang mulai terlihat di sana. Seorang pria dengan surai hitam legam keluar dari dalam mobil, dibantu oleh sang supir yang mengeluarkan barang pemuda itu.
"Ma, serius ini aku tinggal disini? Serem, ma," Wanita paruh baya itu menghela nafas, sedari tadi putranya itu terus saja mengeluh.
"Mama harus apa Hanif? Ini juga salah kamu yang terus mencari masalah. Ini hukuman sementara dari Papa, oke? Hanya 1 tahun, Mama yakin kamu bisa." Pria bernama Hanif itu mengangguk. Memberi pelukan kepada Mama nya.
Mobil itu pergi meninggalkannya sendirian. ia berputar, menghadap asrama yang menurutnya memiliki kesan seram. Tapi mau bagaimana lagi? Ia terpaksa harus tinggal disini karena hukuman dari Papanya.
"Asrama serem kaya gini ada yang tinggal? Semuanya udah berkarat, serius nih gue tinggal disini? Mama, mau pulang. Takut anjir!" batin Hanif
Dengan langkah pelan ia memasuki asrama ini. Awalnya ia merasa biasa saja, namun saat mulai menaiki tangga ia merasa semua orang yang berada di lantai bawah melihat ke arahnya.
Hanif memilih acuh, mungkin ia tampan sehingga banyak orang yang iri akan ketampanannya. Ia menaiki tangga, cukup melelahkan karena ia akan tinggal di asrama lantai 13. Pria itu kembali merutuki nasibnya, kenapa ia harus tinggal di asrama yang memiliki banyak lantai namun tidak memiliki lift?
Sesampainya di depan pintu, Hanif mengetuk pintu tersebut terlebih dahulu. Pintu dibuka, menampilkan pria berwajah tampan yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Halo, gue Hanif. Gue juga tinggal di asrama ini." Pria itu mengangguk, mempersilahkan Hanif untuk memasuki ruangan yang ternyata cukup luas dan rapi.
Hanif mengernyit, ia pikir dalam satu lantai asrama hanya terisi empat sampai lima anak ternyata cukup ramai. Disini terdapat tujuh anak termasuk dirinya.
Hanif tersenyum canggung, ia tak kenal siapapun disini. Ia bukan asli warga sini, ia hanyalah anak merantau karena mendapatkan hukuman dari Papanya. Tak ada satu orang pun yang ia kenali di sini.
"Oke, gue pikir dia yang terakhir. Sekarang mungkin waktunya kita untuk saling kenalin diri? Gausah terlalu formal, gapapa." Pria yang tadi membukakan pintu untuk Hanif itu berbicara.
"Oke, I'm first! Kenalin nama gue Nando Putra Kusuma, gue dipindahin sama bokap kesini karena gue bandel." ujar pria dengan leather jacket yang melekat ditubuhnya.
"Kenalin nama gue Reihan Sanjaya, gue nggak tahu alasan gue dipindahin kesini. Tapi seinget gue, bokap maksa katanya ada konflik keluarga yang gue nggak harus tahu." sambung pria yang lebih pendek. Entahlah bahkan Hanif lebih tinggi dari pria ini.
"Kenalin nama gue Cakra Albara Nandara. Gue dipindahin kesini karena dapet nilai jelek. Yah, sesimpel itu."
"Kenalin nama gue Marvelino Geopatra. Gue pindah kesini karena tuntutan bokap, gue masih kelas dua belas." Kini Hanif tahu, pria yang membukakan pintu untuknya tadi bernama, Marvelino.
"Kenalin nama gue Noah Elga Kusuma. Gue dipindahin kesini tanpa alasan, gue gabisa nolak karena bokap ngancam bakal potong uang jajan kalo gue ngelawan." ujar pria dengan wajahnya yang sedikit ... Seram? Yah, menurut Hanif begitu.
"Kenalin gue Andika Aji Darmawan. Gue dipindahin kesini karena gue baru pindah di ibu kota dan nggak ketemu rumah yang jaraknya deket sama sekolah. Jadinya, Mama masukin ke asrama ini. Panggil aja gue Aji, jangan Andika." jelas pria yang terlihat lebih muda diantara mereka semua.
Saat dirasa kini waktu untuknya mengenalkan diri Hanif menarik napas, ia tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang baru. Rasanya seperti sangat canggung.
"Kenalin nama gue Hanif Januar Wijaya. Gue dipindahin kesini karena dapet hukuman dari bokap. Gue akan menetap di sini selama satu tahun. So, I hope we can be friends."
Semuanya tersenyum hangat, mereka juga berharap jika dapat berteman dengan baik. Waktu yang mereka habiskan di sini tidaklah singkat, sebisa mungkin mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang pastinya sangat berbeda dari sebelumnya.
"Udah SMA semua kan? Yang masih kelas sepuluh disini siapa aja?" tanya Marvelino. Dua orang pria mengangkat tangan mereka, itu adalah Cakra dan Aji.
"Cakra, Aji? Oke, sekarang siapa yang kelas sebelas?" Kini empat pria mengangkat tangan mereka. Ada Noah, Nando, Hanif dan Reihan. Itu artinya disini hanya Marvel yang paling tua
"Pembagian kamar mau gimana? Kalau satu kamar isinya dua sampai tiga orang setuju gak? Soalnya di kamar ini memang ada satu kamar yang ranjangnya tingkat sama ada satu ranjang lagi" usul Reihan.
Pembagian kamar dimulai, Marvel menjadi orang yang mengusulkan teman sekamar yang cocok untuk setiap anak agar nanti tidak ada kata canggung.
Kamar satu diisi oleh Nanda dan Hanif. Tak ada alasan yang pasti, hanya saja Marvel merasa jika sepertinya mereka cocok menjadi teman sekamar. Keduanya terlihat seperti anak yang sangat aktif.
Kamar dua diisi oleh Noah, Marvel dan Aji. Awalnya terjadi perdebatan kecil antara Noah dan Aji. Karena keduanya tidak ingin tidur di ranjang tingkat, lebih tepatnya tidak suka berada di bagian atas. Ranjang tunggal sudah pasti akan di tempati oleh Marvel. Cukup lama perdebatan itu terjadi sampaii akhirnya ada Reihan yang menengahi dan berakhir Noah mengalah dan ia akan tidur di bagian atas.
Kamar tiga diisi oleh Cakra dan Reihan. Keduanya nampak cocok menjadi teman sekamar, sama - sama bisa memasak memiliki bakat di bidang itu. Sehingga pasti akan memudahkan mereka untuk kenal dan akrab.
"Sekarang mending kita tata barang kita dulu di kamar masing - masing, baru nanti kumpul lagi disini. Buat bicarakan juga besok kita berangkat sekolah tuh pakai transportasi apa." ujar Nando. Sontak semuanya mengangguk, bergegas pergi ke kamar masing - masing untuk menata barang bawaan mereka.
****
Karena merasa badannya lengket pasca membersihkan barang bawaannya sendiri, Nando memutuskan untuk mandi menggunakan air dingin. Badannya terasa gerah sekali.
"pembunuh"
Suara gemericik air dari pancuran kamar mandi dimatikan oleh Nando. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapapun tapi ia yakin jika tadi ada seseorang dengan suara berat yang mengatakan sesuatu tepat di telinganya.
Ia berusaha acuh dengan kembali menyalakan pancuran kamar mandi dan mulai melaksanakan kegiatan mandinya. Kegiatannya terhenti saat tiba tiba ia merasa ada seseorang yang memegang pundaknya.
Ia berbalik badan, lagi - lagi tak ada seorang pun yang ia temukan. Kegiatan mandinya sengaja ia percepat karena merasa situasi mulai semakin aneh. Ia mengambil pakaian yang sengaja ia letakkan di gantungan kamar mandi.
Saat keluar pria itu justru membuat Hanif bingung, karena langkahnya yang gontai dan tak fokus membuat Hanif yang awalnya masih fokus pada ponselnya kini menatapnya aneh.
"Lo kenapa? Duduk sana." perintah Hanif.
"Nif, tahu ga sih? Tadi waktu mandi gue ngerasa kaya ada yang bilang 'pembunuh' gitu. Terus gue juga ngerasa kaya ada yang megang pundak gue, awalnya gue mikir mungkin gue halusinasi tapi enggak! Semuanya kerasa nyata!" ucap Nando tiba tiba yang membuat Hanif sedikit terkejut.
"Nyata gimana? Gue ga dengar atau ngeliat apapun kok. Beneran halusinasi lo kali, cape abis pindahan jadinya halu begini. Mending istirahat dulu deh ya. baru ikut kumpul, Oke?"
Pria itu berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil handuk. Meninggalkan Nando yang masih dengan kebingungannya. Ia tak yakin jika itu halusinasi, karena semuanya terasa sangat nyata.
"apa emang halusinasi gue? Tapi semuanya kerasa nyata banget! Apalagi waktu tangan itu nyentuh pundak gue, rasanya dingin banget. Tapi bener kata Hanif kali ya? Gue terlalu cape maybe jadinya nge halu." batin pria itu berusaha berpikir positif.
Nando membaringkan tubuhnya, memejamkan sebentar matanya sampai nanti Hanif kembali dan mereka akan pergi bersama sama menuju ruang tamu.
Seluruh penghuni kini tengah berkumpul di ruang tamu, terkecuali Reihan yang membawa barang cukup banyak. Sehingga proses membersihkan menjadi lebih lambat dari pada yang lain.
"Tadi, waktu beres -beres. Gue telepon orang yang punya asrama, nanyain besok kita sekolahnya gimana. Terus katanya kita harus jalan, jaraknya juga ga terlalu jauh." jelas Marvel di tengah keheningan.
"Jalan? Yah, cape dong?" balas Aji. Marvel mengangguk singkat.
"Mau gimana lagi? Masih mending cuma waktu sekolah kita jalan. Di bawah gue liat ada minimarket, jadinya gampang kalau kita mau masak," ungkap Hanif.
"Ini Reihan kemana? Dia bawa semua barang dirumahnya apa gimana? Perasaan lama banget beresinnya. Tadi bilang mau masak bareng." gerutu Nando yang kesal karena Reihan tak kunjung keluar dari kamarnya.
"Sabar, emang tadi barangnya dia paling banyak. Kopernya tiga." sontak semuanya tertawa mendengar ucapan Noah. Memang dari semuanya, hanya Reihan yang membawa koper paling banyak.
"Disini yang bisa masak siapa aja selain Reihan sama Cakra, Kalo gue jelas nggak bisa, masak telur aja gosong."
"Bang Marv? Lo serius? Masak telur segampang itu nggak bisa? Gue bisa masak sih tapi ya kalau rasa tergantung menurut kalian gimana. Gue sih ngerasa masakan gue selalu enak." puji Nando kepada dirinya sendiri.
"Pede buset, gue bisa masak. Ga semua masakan bisa tapi, ya beberapa." cibir Hanif.
****
Di sisi Reihan, pria itu kini masih sibuk menata pakaian yang ia bawa ke lemari. Ia menolehkan pandangannya saat Cakra, memasuki kamar dan duduk di ranjangnya sendiri.
"Loh Cak? Udah pada masuk? Di luar masih ramai itu gue denger." tanya Reihan heran, yang ditanya justru menatap ke arahnya. Ia nampak kebingungan.
"Rei, percaya apa enggak tapi gue liat diri gue sendiri lagi ngumpul sama yang lain di ruang tamu." Reihan mengernyit.
"Ngaco! Halu lo. Dari mana sih lo emangnya?"
"Gue dari kamar mandi yang di samping kamar bang Hanif sama bang Nando. Waktu mau masuk kesini justru ngeliat diri gue sendiri lagi nimbrung sama yang lain, gue beneran bang! Ga halusinasi!" tegas Cakra.
Reihan menggaruk rambutnya yang tidak gatal, bingung harus menanggapi bagaimana kepada teman sekamarnya ini.
"Yaudah, gini aja. Kita keluar bareng, oke? Gue mau liat di ruang tamu." ajak Reihan.
"Takut." lirih Cakra.
Reihan menghela napas. "Yaudah, lo di belakang gue, ya" Cakra mengangguk.
Saat membuka pintu, Reihan mematung melihat Cakra yang ada disana. Bahkan tersenyum melihatnya saat ia baru saja keluar dari kamar. Tatapannya tajam mengarah pada Cakra yang tengah duduk bersama teman - temannya.
"Rei? Ngapain berdiri disana?" tanya Cakra yang tengah duduk di samping Hanif.
Reihan menghampiri mereka. "Lo, siapa?" tanyanya. semuanya mengerutkan kening, ada apa dengan teman mereka yang satu ini?
"Maksud lo apa? Ini Cakra." tanya Noah bingung. Kini justru Reihan yang nampak mengerutkan keningnya.
"Gausah bohong! Lo setan yang nyamar jadi Cakra kan? Ini anaknya di belakang gu-" Reihan melotot saat mendapati tak ada seorang pun di belakangnya. Ia mengerutkan keningnya.
"Apaan anjir? Gue beneran ngeliat ada Cakra di belakang, bahkan tadi dia ngadu kalo liat dirinya sendiri di ruang tamu. Kok sekarang jadi dia yang ga ada? Ini gimana sih? Yang asli tuh Cakra yang mana?" batin Reihan kebingungan.
"Nah kan bingung, lo lihat apa bang? Dari tadi si Cakra ya di sini. Nggak ada pergi kemana - mana." tanya Aji yang ikut kebingungan saat melihat Reihan.
"Gini, tadi waktu beres beres Cakra masuk ke kamar. Bilang kalo dia habis dari toilet, terus pas masuk ke kamar dia bilang kalo ngelihat dirinya sendiri lagi nimbrung sama kalian. Awalnya gue ga percaya, tapi dia ceritanya serius banget. Bener - bener kata Cakra, tapi ini? Anaknya malah di sini bukan di belakang gue." jelas Reihan.
"Mana ada gue bilang gitu ke lo bang? Dari tadi gue disini bareng yang lain, lo halu ya."
"Rei, dari tadi Cakra di sini. Lo kayanya lagi cape, jadinya ngelantur. Istirahat bentar di sini baru lanjut beresin barang lo. Oke?" Pria itu mengangguk lalu duduk di samping Aji.
"Bang, gue mau bilang yang ngalamin hal itu bukan cuma Reihan. Gue juga. Ta-"
"Yang tadi? Na, kan gue udah bilang lo halusinasi." potong Hanif.
"Nif, kalo gue halusinasi masa Reihan juga ngalamin hal aneh? Ini bukan halusinasi! Gue yakin ada yang ga bener sama asrama ini. lo nggak ngerti, soalnya ga ngalamin!" seru Nando.
"Na, kalau emang ada yang salah sama asrama ini, pastinya yang ngalamin keanehan bukan cuma lo sama Reihan doang. Harusnya yang lain juga!"
"Hei! Udah jangan berantem, oke? Lo ngalamin apa emang, Na?" tanya Marvel berusaha menghindari pertengkaran antara Nando dan Hanif.
"Waktu mandi, gue ngerasa ada orang yang ngomong 'pembunuh' gue nggak tahu siapa. Tapi habis itu gue ngerasa ada yang megang pundak gue dan gue yakin kalau itu bukan halusinasi gue! Karena emang semuanya kerasa nyata!" jelas Nando.
"Gini, kita emang nggak tahu kebenarannya karena kita nggak ngalamin. Tapi kita juga nggak bisa bilang mereka bohong, Nif. Mereka yang ngalamin dan pasti mereka tahu jelas kronologi nya gimana. Tapi kita juga nggak bisa percaya gitu aja karena bener kata Hanif, bisa aja ini halusinasi." ujar Marvel.
"Intinya, nggak ada yang salah disini. Untuk omongan Hanif ada benarnya, kalau emang asrama ini nggak bener harusnya kita juga dapet gangguan. Tapi gue nggak mau bilang kalau Reihan sama Nando halusinasi, karena mereka yang ngalamin." lanjutnya.
"Kalian satu kamar, jangan sampe ribut karena hal sepele. Kalian bakal jadi teman sekamar nggak dalam satu sampai dua hari. Tapi ada yang tinggal disini sampai satu tahun lebih, jadi tolong jaga pertemanan. Ya?" tambah Marvel, keduanya mengangguk.
"Yaudah mending sekarang kita masuk kamar nggak sih bang? Biarin istirahat dulu, nanti waktu jam makan malam aja baru ngumpul lagi." usul Noah. Mendengar itu Marvel mengangguk lalu mengajak para anggotanya untuk memasuki kamar masing - masing.
****
Di kamar Hanif dan Nando keduanya masih sama - sama diam. Tak ada niat sama sekali untuk saling berbicara, keduanya masih meninggikan ego.
Hanif yang merasa dirinya perlu meminta maaf pun menghampiri Nando yang masih asik bermain ponselnya diatas ranjang. "Sorry, gue nyadar gue salah."
Nando mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia genggam. "Gue juga minta maaf udah marah bahkan sampe teriak ke lo tadi. Tapi beneran, Nif. Gue ga bohong, gue ngalamin itu semua."
"Yaudah, untuk kali ini gue percaya. Tapi kalau sampe gue nggak ngalamin apapun selama disini berarti kita anggap kalau lo, cuma halusinasi. Deal?" Hanif menjulurkan tangannya.
"Deal!"
Hari sudah berganti, posisi sang bulan terganti dengan matahari yang bersedia kembali menempati singgasananya. Ketujuhnya bangun untuk bersiap pergi menuju sekolah.
"Bang, jalan dari sini ke sekolah jauh? Masa ga di sediakan alat transportasi atau apa gitu?" celetuk Cakra ketika mereka tengah mengenakan sepatu.
"Kalau dibilang jauh banget sih engga, tapi ya nggak bisa dibilang deket. Jalanin aja dulu, nanti juga kebiasa." jawab Marvel sebab sebenarnya ia juga bingung, mengapa mereka disuruh berjalan?
Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit, akhirnya mereka sampai di sekolah dengan tampilan yang cukup kotor dan bangunan yang sedikit retak.
"Serius kita sekolah disini? Kok retak gini? Keliatannya udah kotor juga. Kaya bangunan ga keurus." celetuk Hanif begitu ia melihat kondisi bangunan yang tidak bisa dikatakan layak.
"Nif! Jangan ngomong gitu, liat banyak yang nengok ke kita. Muka mereka pada serem lagi, kita baru anjir, jangan buat ulah dulu." bisik Noah yang merasa geram dengan tingkah temannya ini.
"Guys, sadar ga sih? Mereka mukanya pucat banget? Malahan kaya mayat hi-"
"Na! Omongan lo nggak ada bedanya sama si Hanif." potong Reihan dengan tangan yang ia tempelkan di mulut pemuda itu.
"Jangan suka ngomong begitu deh, serem." tegur Aji, yang merasa jika di sini terasa tidak aman. Apalagi banyak anak yang melihat ke arah mereka dengan tatapan aneh.
Meskipun dengan perasaan takut, ketujuhnya memutuskan untuk masuk ke dalam gedung. Terlihat jika banyak sekali retakan di dalam gedung, cat yang memudar, jendela dan lantai yang penuh akan debu.
"Beneran ada yang sekolah di sini? Tempatnya kaya ga keurus gini. Nyesel gue ga nolak hukuman, papa." batin Hanif
"Selamat pagi semua, anak - anak baru dari asrama Dreamer ya," Ketujuhnya sontak menoleh saat mendengar suara seseorang di belakang mereka.
Seorang wanita dengan seragam, tersenyum hangat ke arah mereka. wajah nya nampak pucat. Sontak ketujuhnya memberikan salam kepada sang guru.
"Ini daftar kelas kalian, maaf kemarin saya tidak sempat memberikan. Silahkan diterima dan pergi ke kelas masing - masing ya. Terima kasih" Mereka tersenyum, kemudian mengerutkan kening saya langkah guru tersebut nampak tertatih.
"Gue ga bisa bohong kalau gue ngerasa sekolah ini emang aneh, dari tadi waktu lewatin koridor juga banyan yang ngeliatin. Tatapan mereka juga penuh kebencian ke gue sama yang lain, kenapa sih? Ada yang aneh ya sama kita?" batin pria yang lebih tua.
"Bang, malah ngelamun ini daftarnya. Gue sama Noah satu kelas di 11 IPA 2, Reihan sama Hanif di 11 IPS 1. Cakra sama Aji di 10-7, Lo di 12 IPA 1." tunjuk Nando pada kertas yang guru tadi berikan.
"Yaudah, daripada lama - lama di sini." ucap Marvel, semuanya mengangguk berjalan menuju kelas masing masing melalui panduan mading. Karena awalnya mereka sudah bertanya pada murid di sini namun tidak dijawab.
****
Setelah menghabiskan kurang lebih delapan jam di sekolah, bel pulang berbunyi. dan keanehan kembali terjadi, saat bel berbunyi dan guru juga keluar dari dalam para murid tidak langsung pergi. Justru malah melihat ke mereka dengan tatapan yang mengintimidasi.
Ketujuhnya sudah berjanji akan bertemu di lapangan agar dapat pulang bersama. Karena posisi kelas Noah dan Nando cukup dari lapangan, berbeda dengan yang lain. Alhasil keduanya datang paling terlambat.
"No, gue mau ke toilet deh. Di sebelah mana ya?" tanya Nando saat keduanya tengah berjalan.
"nggak tau juga gue, tanya dia gimana? Tuh ada orang." tunjuk Noah pada seseorang yang sedang berdiri di dekat tangga. Nando mengangguk lalu keduanya pun menghampiri laki laki itu.
"Permisi, toilet dimana ya? Kita murid baru di sini." tanya Nando sopan. Pria itu berbalik membuat Noah dan Nando terkejut karena wajahnya benar benar pucat dan pakaiannya sedikit lusuh.
Bukannya menjawab pria itu justru pergi meninggalkan keduanya. Merasa kebingungan, secara kompak keduanya menggaruk rambut yang tidak gatal.
"Gue salah nanya ya? Kok di cuekin begitu?" tanya Nando.
"Gue juga kagak tau, nyari sendiri gimana? Jalan ke asrama sekitar lima belas menit. Gue kabarin yang lain dulu." jawab Noah sembari mulai menyalakan ponselnya.
Kening pria itu mengerut saat pesan yang kemarin malam ia kirim pada ibunya tidak terkirim, padahal ia memiliki kuota internet pemberian sang ibu agar dapat mengabari beliau setiap hari.
"Kenapa?" tanya Nando saya merasa gerak gerik temannya sedikit aneh.
"Gue ngirim pesan ke Mama gue kemarin malem, gue pikir udah centang eh ternyata belum. Padahal ada kok kuota gue, kemaren sempet nanya ke Hanif, masih ribut kaga sama lu, ke kirim kok. Tapi ke Mama gue kok nggak ya?" tanya Noah kebingungan.
"Error itu, udah buruan bilang. Terus cari tuh toilet biar kita juga cepet pulang." Noah mengangguk, setelah sekitar 5 menit berkutat dengan ponsel akhirnya keduanya berjalan untuk mencari letak kamar mandi.
Setelah menemukan, Nando memasuki bilik kamar mandi sementara Noah menunggu di depan wastafel sembari sedikit berkaca untuk membersihkan rambutnya yang sedikit berantakan.
Tak lama seseorang keluar dari salah satu bilik dan berjalan menuju wastafel, Noah tersenyum ramah namun hanya tatapan datar yang ditujukan padanya.
"Orang - orang di sini pada kenapa sih? Ga ramah banget, di kasih senyum malah sok cuek. Najis." batin Noah yang merasa kesal terus - terusan bertemu dengan pria yang merasa keren dan cuek pada mereka.
"Maksudmu, kami?" Noah sontak terkejut, pria ini mengetahui apa yang tengah ia batin? Bagaimana bisa?
"Ma ... Maksud lo apaan?" tanyanya.
Bukannya menjawab pria itu pergi setelah menatap Noah dengan tatapan tajamnya. Tak lama suara bilik terbuka membuat pria itu terperanjat, Nando yang baru saja keluar nampak kebingungan melihat temannya yang bertingkah aneh.
"Napa lo? Kaya orang gila aje." ketus Nando, wajahnya nampak mengejek ke arah pria itu.
"Udah selesai kan? Ayo buruan keluar, ntar gue ceritain. Dari tadi gue ngerasa aneh di sini." Dengan tergesa Noah, menarik tangan Nando berjalan cepat menuju lapangan.
Tak lama keduanya keluar dan melihat kelima teman baru yang tengah menunggu. "Lama banget sih? Ngapain aja coba." omel Reihan begitu keduanya sampai.
"Ya, maaf. Tadi nyari kamar mandi dulu, soalnya pas nanya ke orang malah ga di jawab." jawab Nando.
"Lo kenapa No? Bengong doang, mana tuh pegangan tangan ga di lepasin lagi. Kaya mempelai." ejek Hanif, membuat Noah sontak menghempas tangan Nando.
"Gue normal ya njing!" pekik Noah.
"Udah, jangan ribut di sini. Pulang ayo, takut diusir satpam." Akhirnya semua menuruti ucapan Marvel, dan berjalan pulang menuju asrama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!