Marva menutup mulut dengan tangan kiri tercengang melihat dua garis biru pertanda ia sedang hamil mengandung buah hati dari suaminya Handi, cairan bening mengalir di pipi mulus Marva betapa ia sangat terharu menghadapi kenyataan saat ini, tangannya mengelus perut yang masih rata penuh sayang "Sayang terima kasih sudah hadir dalam perut, Bunda." Marva bermonolog sendiri kepada perutnya.
Kabar bahagia ini akan di sampaikannya kepada Handi sang suami nanti saat ia sudah pulang dari bekerja.
Marva sudah duduk manis sambil tersenyum-senyum membayangkan bagaimana nanti respon Handi mengetahui kalau sekarang ini mereka akan kehadiran bayi mungil anak mereka.
Di meja ruang tamu sengaja Marva menyediakan air hangat untuk Handi menyambut pulang.
"Mas, sudah sampai rupanya," Marva berdiri begitu ia melihat Handi sudah berada di dekat pintu utama rumah, Marva berjalan menghampiri Handi lalu bergelayut manja di lengan suaminya "Aku ada kabar gembira untukmu Mas, mau dengar?" tanyanya "Tapi sebelumnya minum dulu teh ini, aku sudah menyiapkannya untukmu." memberi cangkir berisi teh hangat kepada Handi.
"Minum saja sendiri. Sekarang kabar gembira apa yang ingin kau sampaikan." Handi menjawab dingin, Marva meletakkan cangkir itu kembali keatas meja.
"Aku hamil, Mas." Marva antusias mengatakan itu wajahnya berseri seri penuh kebahagian, namun lain lagi dengan Handi.
"Kau hamil!" suara Handi meninggi mengema seluruh ruangan rumah. Seketika rona kebahagian Marva musnah berganti menjadi wajah ketakutan. Lalu menundukan wajah. "Kenapa bisa? kau tidak pernah meminum kontrasepsi penunda kehamilan, setelah kita selesai bercinta, iya 'kan!" sambung Handi sarkastik. Emosi pria itu meluap luap mengetahui istrinya tidak menuruti peraturan pernikahan yang di buatnya.
"Maaf Mas, a-aku ingin punya anak darimu." jawab Marva lambat lambat, air mata tumpah mengalir di pipi mulus nya.
"Tapi aku tidak butuh anak darimu, Kau mengerti!" Handi semakin menjadi jadi mendengar jawaban dari mulut kotor Marva. Ya, itulah anggapannya selama ini.
"Tapi, Mas," Marva memberanikan diri menatap wajah Handi. Dengan gerakan kilat Handi membuang muka ke sembarang arah, tetapi Marva tidak gentar "Bukankah setiap rumah tangga menginginkan anak, kita sudah menikah selama enam bulan, Mas. kita harus segera memberikan cucu untuk orang tuamu Mas."
Handi tertawa mencela, mendengar penuturan Marva. Kini mata mereka bertemu. Wajah mereka berjarak hanya beberapa centi meter, Handi menatap Marva penuh mencela seolah olah perempuan di depannya adalah sosok yang menjijikan. "Jadi kau tidak sabar mendapatkan anak dariku, tujuanmu agar bisa menguasai hartaku. Begitu!"
"Tidak, Mas." tubuh Marva bergetar ketakutan
"Kau tidak usah munafik Marva. Kau dan wanita di luar sana sama saja, sama sama mengincar hartaku, iya 'kan." Handi memalingkan wajah tidak peduli melihat Marva sudah menangis, "Kau harus ingat baik baik Marva. Aku sama sekali tidak pernah bahagia menikah dengan kamu, tidak pernah. Hanya kau yang bahagia disini."
Suara isakan Marva sudah keluar sedari tadi sudah coba ia tahan "Mas, aku sudah mengandung anakmu tapi kau tetap tidak menganggapku,"
"Iya. Bahkan anak dalam perutmu itu bukan anakku."
"Ini anakmu. Mas,"
"Tidak akan pernah kuanggap, baik kau maupun anakmu itu sama saja bagi ku. Mengerti!" Handi tidak tahan lagi akhirnya ia berjalan meninggalkan Marva begitu saja.
Sementara Marva terduduk lemah di sofa ruang tamu, tangisannya tumpah setumpah tumpahnya, mengambil bantal sofa meredam suara isakannya menelungkupkan kepala di dalam bantal.
"Kenapa sesakit ini, takdir apa yang kujalani setelah ini. Ayah Ibu aku butuh kalian, aku ingin bercerita pada kalian." Marva membatin mengeluarkan emosi dan perasaannya.
Marva memang hidup tanpa di dampingi kedua orang tua. Beberapa tahun silam mereka bertiga mengalami insiden mengerikan di dalam rumah. Kebakaran itu telah merenggut nyawa orang tuanya, sementara Marva masih bisa di selamatkan tubuhnya kembali cantik melalui operasi plastik perbaikan.
Di saat seperti inilah peran orang tua sangat di butuhkan, Marva ingin bercerita betapa menyedihkan kisah pernikahannya, Marva ingin bercerita betapa sulitnya hidup sendirian tanpa keluarga atau sekedar sepupu tinggal di kota besar. Marva ingin berlari ke pangkuan Ibunya saat terkadang ia ingin melarikan diri dari pernikahan ini, Marva ingin bertanya kepada Ayahnya tentang mencintai seorang suami yang benar. Marva membandingkan pernikahan yang baru berumur enam bulan dengan pernikahan kedua orang tuanya begitu bahagia dan romantis. Ahh ternyata pernikahan tidak sebahagia yang ia pikirkan selama ini. Marva mengira pernikahan akan menyenangkan sama seperti kedua orang tuanya saling mencintai. Marva salah sangat sangat salah.
"Kau tidak usah sok menangis seperti itu, pergilah tidur segera." tiba tiba Handi bersuara mengagetkan Marva. Sayangnya Handi tidak menyadari perhatian kecil pada istrinya Marva.
"Kau mau kemana malam begini, Mas?" suara Marva sudah serak karena menangis. Terlihat Handi sudah rapi, tetapi mencurigakan. Tentu Marva tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Bukan urusanmu." Handi berjalan keluar dari rumah.
Marva berdiri berjalan ke arah jendela membuka tirai gorden melihat mobil Handi perlahan menghilang di balik tembok gerbang "Aku tetap menunggumu, Mas."
🌹🌹🌹
Disinilah Handi sekarang, menatap sendu kepada seorang wanita terbujur kaku di brankas di lilit kabel kabel penyambung alat alat kehidupan dari rumah sakit. Layar EKG menampilkan garis melengkung pertanda wanita masih bernafas, walau di balik masker oksigen. Botol plastik menyerupai tabung sepertinya baru terisi oleh petugas perawat. Warna kulitnya begitu pucat seperti kehabisan darah, keadaan wanita itu begitu menyedihkan.
"Sayang, kapan kau bangun? aku sangat merindukanmu, tetapi,," suaranya tercekal berat mengatakan yang ingin di sampaikannya. Tetapi, Handi mencobanya "Sudah hampir setahun kau tak sadarlan diri
Sayang, apa yang akan kau katakan nanti, apakah kau membenci ku, apakah kau menjauhi ku. Aku sudah menikah dengan sahabatmu sendiri enam bulan yang lalu, sayang." Handi masih setia mengemgam tangan kaku kekasihnya.
Hanya dengan wanita ini Handi bisa menupahkan kelemahannya, melupakan semua kehidupan Handi yang begitu kaku dan formal. Didepan wanita ini Handi tidak perlu berpura pura menjaga nama baik keluarga, Handi begitu menyayangi wanita ini. Kekasih yang sudah di pacari selama 3 tahun kebelakang. Mimpinya ada pada wanita ini, hidup bersama dan melahirkan anak anak dari rahim wanita ini.
Namun apa kenyataan sekarang ini. Marva sahabat kekasihnya sudah menghancurkan mimpi mimpi Handi, bahkan saat ini Handi sangat membenci Marva yang sudah berani berani mengandung anak dari benihnya. Tetapi, Handi lebih membenci dirinya sendiri, karena kebodohannya satu malam. Ia sudah merusak masa depan Marva dan tentu saja masa depan cintanya.
Malam itu ia mabuk depresi memikirkan kekasihnya tidak kunjung bangun dari masa komanya. Entah bagaimana ceritanya, Handi menghabiskan malam panjang bersama gadis yang ia kira kekasihnya. Begitu pagi terjaga, Handi terbelalak melihat siapa orang yang di sampingnya.
Marva tidak hamil tetapi kasus ini entah kenapa bisa tersebar ke seluruh media, sanksi sosial mengharuslan mereka menikah secara paksa.
"Sayang, aku ingin memelukmu. Bangunlah, apa kau tidak bosan tidur terus menerus?"
Pada akhirnya Handi menghabiskan malam menemani kekasihnya di rumah sakit. Ia tidak peduli bagaimana perasaan istrinya sendiri.
👇👇👇
Handi terbangun dari tidur tidur ayamnya, melihat jam melingkar di pergelangan tangan pukul 06:15 wib, tanpa perlu ke jendela melihat warna langit tentu ia sudah tahu ini sudah pagi. Bangkit dari sofa tunggal fasilitas ruang rawat VIP, Handi berjalan menuju brankas Franda
"Selamat pagi, sayang." sapanya walaupun tidak ada jawaban. Handi melanjutkan "Aku pulang dulu ya, mau bersih bersih. Aku mau kerja lagi. Cepat bangun sayangku." mengecup kening penuh sayang.
Niat hati ingin beranjak tiba tiba pintu kamar terbuka. Tubuh Handi menegang, orang yang dulu sangat di hormati sebagai bakal calon martua kini sudah menjadi orang yang membenci Handi.
"Om Darwin. Selamat pagi," sapanya mencoba ramah. Namun yang di sapa justru tidak sebaliknya.
"Masih berani menampilkan wajah di hadapan saya. Setelah penghianatanmu kepada putriku. Sungguh tidak tau malu." jawaban om Darwin menusuk. Sementara wanita paru baya di samping om Darwin, hanya diam sambil mencuri pandang kepada Handi, pandangan kasihan.
"Om. Maafkan saya,"
"Maafmu tidak akan mengubah semuanya." balas om Darwin cuek.
"Pah, jangan terlalu kasar bicaranya, tenangkan pikiran Papah. Ini rumah sakit." Ibu Darwin mengelus pergelangan suami mencoba menenangkan.
Mulut Handi kaku tidak berani melawan atau membantah. Ia sadar, ini murni kesalahannya telah menghianati Franda di saat kekasihnya sedang dalam keadaan setengah bernyawa.
Suara ketukan pintu dari luar mengalihkan perhatian mereka bertiga. Suasana semakin mencekam, tak kala seorang wanita berjas putih datang membawa alat alat pemeriksa.
"Wah, pagi pagi sudah berkumpul semua disini, betapa beruntungnya Franda di kelilingi oleh orang tersayangnya. Boleh saya memeriksanya?" dokter Lisa sudah menangani Franda dari awal sampai sekarang ini. Jadi, wajar bila ia sangat tahu siapa siapa saja orang yang sering menjenguk Franda, tak terkecuali juga,,. Ahhhh sudahlah, dokter Lisa mengelengkan kepala, tetap mengingat ia harus merahasiakan siapa dia.
"Silahkan Dokter." Ibu Darwin menjawab ramah.
Tangan dokter Lisa ahli memeriksa seluruh kesehatan di tubuh Franda. Hati hati dokter Lisa menekan sebuah alat di atas alis mata Franda, membuka mata Franda perlahan, menyenter sesuatu di sana. Ia harus memberitahukan ini segera,
"Pak Darwin, boleh saya berbicara dengan Bapak? ada sesuatu yang ingin saya sampaikan tentang perkembangan Franda."
"Disini saja dokter. Biar anak ini juga tahu bagaimana kondisi wanita yang telah di hianatinya." Om Darwin menyindir. Suaranya penuh kedendaman. Yang di singgung pastilah merasa tidak enak.
"Baiklah jika itu mau, Bapak." dokter Lisa tidak bisa apa apa ini bukan urusannya.
'Kecelakaan itu menghantam bagian otak dalam Franda. Sehingga menyebabkan Franda sulit bangun. Memang, operasi kemarin berhasil menutupi luka parah itu, akan tetapi kepala tetaplah kepala, otak tetaplah otak. Yang tidak bisa di donorkan oleh apapun."
"Cepatlah Dokter. Jangan berputar putar." Handi tidak sabar.
"Iya baiklah. Saya memang belum bisa mengatakan efek samping operaai otak tersebut. Biasanya efek samping itu akan terlihat setelah Franda sadar nanti. Bisa saja Franda mengalami kanker otak, itu kemungkinan hal terbesar yang akan terjadi pada Franda." Dokter Lisa menghela nafas berat. Tentu saja seorang Dokter harus mengatakan keadaan pasien sejujur jujurnya, walau itu bisa saja menyakiti pasien dan keluarga pasien. "Kita lihat perkembangannya nanti Franda sampai saat ini belum bangun."
Hati Darwin seolah di hantam batu besar menimpa dirinya. Beliau merasa bersalah dan gagal menjadi ayah yang mampu menjaga putri satu-satunya. Darwin mengelus pucuk kepala Franda sambil menangis berbisik lirik di telinga Franda "Kami sudah melakukan semuanya untukmu Franda. Bangunlah, Papah akan menjadi penopangmu saat kau bangun nanti, walaupun kau sudah tidak sesempurna dulu."
Di sudut sana Handi mematung mendengar penjelasan dokter Lisa. Andai saja waktu itu Handi menuruti permintaan Franda, pastilah Franda tidak akan menyetir sendiri dalam keadaan marah. Pertengkaran waktu itu yang membuat mereka hampir berpisah, menjadi kenangan terakhir Handi sebelum Franda mengalami kecelakaan tunggal menabrak pembatas jalan. Handi tanpa sadar meneteskan air mata penuh penyesalan. Ingin sekali ia berjalan memeluk tubuh kaku Franda di brankas sana. Tetapi ia pun cukup tahu diri, ada Om Darwin yang sudah membenci dirinya semenjak pernikahannya dengan Marva.
Rasanya sesak sekali mengingat wanita itu bahkan menyebut nama Marva dalam hati.
"Saya permisi dulu semuanya." tanpa menunggu jawaban, dokter Lisa berlalu pergi dari dalam ruangan rawat Franda, meninggalkan ketegangan kesedihan disana.
Sepeninggalan dokter Lisa, semua tidak ada bersuara. Darwin masih mengelus pucuk kepala putrinya. Ibu Darwin menangis sendirian di samping suami, sedangkan Handi berdiri kaku di dekat pintu.
"Pulanglah Nak Handi. kami akan berganti menjaga Franda. Lihat penampilanmu sudah berantakan. Maafkan perkataan Papah Franda ya. Tante yakin, suatu saat nanti suami tante akan baik lagi padamu." tadi bu Darwin berjalan menghampiri Handi, mencoba menetralkan suasana hati Handi.
"Iya, Tante."
"Satu lagi, jangan sakiti putriku Marva. Ingat, dia sekarang sudah menjadi istrimu." Bu Darwin memang sama menyayangi Marva seperti menyayangi Franda anak kandungnya. Bahkan Ibu Darwin sendiri yang menjadi wali pernikahan Handi dan Marva.
🌹🌹🌹
Pagi ini Marva kembali tidak menemukan suaminya tidur bersama di kamar mereka. Ia mendesah kecewa. Mual mualnya sudah berkurang setidaknya tidak separah pagi pagi kemarin, tubuhnya kembali terasa lebih segar bertenaga.
Untuk mengalihkan pikiran mencamuknya. Marva kembali melaksanakan aktifitas penjualan kueh online buatan tangannya sendiri. Setelah terhenti sementara semenjak awal bulan kehamilannya.
Menjajahkan kue kueh cantik di forum sosial media miliknya. Tidak sia sia. Pelanggan lamanya langsung menyerbu kueh, Marva tersenyum senang. Lumayan mengisi rekening tabungannya.
Suara pintu utama terdengar terbanting, menghentak Marva yang sedang asik bermain laptop. Ia mengalihkan perhatian suaminya sudah pulang. "Mas. Sudah pulang. Aku menyediakan air hangat untuk, Mas. Ya?" Marva mengandeng tangan Handi manja. Sesungguhnya ia bisa melihat wajah tak bersahabat Handi saat ini. Namun ia masih sanggup menutup mata akan hal itu.
"Hahh." sengaja Handi menegangkan tubuh menolak rangkulan Marva secara halus. Seketika tangan Marva tersingkir. "Saya masih menghargai mamah Franda. Itu makanya saya masih bisa bertindak sewajarnya kepadamu Marva."
Wajar. Inikah yang di maksud Handi memperlakukan Marva sebagai istri sah. Dan apa lagi? itu kata panggilan 'Saya', bukan kah kemarin Handi menamai dirinya 'Aku'. Marva semakin kecewa "Mas, menjenguk Franda lagi ya?"
"Iya. kmKau cemburu?"
"Bagaimana keadaan Franda?" salahkah Marva bertanya keadaan temannya yang sedang sakit.
"Hung,,kenapa tidak bertanya langsung pada orang tua Franda. Kau takut. Iya kan. Kita sama sama penghianat di mata Om Darwin. Dan itu semua karena kebodohanmu." Handi selalu menempatkan dirinya benar di depan Marva agar wanita yang di hadapannya ini semakin merasa bersalah.
Handi menutupi kesalahan dengan kesalahan orang lain.
"Mas. Apa aku boleh egois meminta cintamu?" Marva menatap lekat wajah tampan suaminya.
"Tidak, cintaku hanya untuk Franda. Franda dan Franda. Mengerti!"
Lagi lagi Marva di tinggal sepihak oleh Handi.
Apakah pernikahan mereka memang salah. Handi yang memulai malam itu bukan Marva. Niatnya murni menolong Handi memapah tubuh Handi yang lunglai karena mabuk, rela menjemput tengah malam. Tapi apa yang di perbuat Handi, justru sudah membuat hidup mereka berubah.
Tidak tahukah Handi disini pihak perempuan selalu salah. Marva kehilangan pekerjaan sebagai disainer roti hias di sebuah toko roti terbesar di kota ini, di juluki sebagai wanita penggoda oleh tetangga, di juluki wanita penghancur hubungan orang lain. Kenapa sanksi sosial lebih merugikan kepada pihak perempuan saja?, percuma Marva bertanya, toh orang orang sudah tidak peduli lagi scandal mereka.
"Auhh,," Marva mengusap perut yang sedikit terasa keram, "Baik baik didalam ya sayang," Marva mencoba bangkit berjalan hendak ke dalam kamar tamu, ingin membaringkan badan. Ia masih takut masuk ke dalam kamar mereka. Di dalam ada Handi. Namun kedua kakinya terasa tidak seimbang untuk menopang tubuh Marva. Ia hampir jatuh ke lantai jika saja bibi pelayan tidak segera datang membantu Marva berjalan.
👇👇👇
Pengalaman kehamilan pertama akan menjadi cerita setiap wanita bila sudah menikah. Bermacam macam perasaan ngidam berbeda beda setiap wanita. Berbelanja perlengkapan persiapan persalinan maupun persiapan bayi, menerapkan hidup sehat ketika masa kehamilan dan yang paling penting adalah, perhatian antusias orang orang tersayang baik suami dan martua orang tua. Semua itu akan menjadi cerita indah untuk di ceritakan.
Tetapi berbeda dengan pengalama Marva di kehamilan pertamanya, Marva melakukan semua itu seorang diri. Mengandalkan informasi yang ia baca dari internet, sesekali bibi pekerja turut membantu Nyonya mereka menemani Marva. Martuanya sudah kembali kerumah asal beberapa bulan lalu. Marva masih merasa enggan untuk sekedar bertukar pikiran dengan mamah martua. Menyiapkan susu ibu hamil setiap hari seorang diri, juga memekriska perkembangan janin seorang diri tanpa Handi. Layaknya wanita tanpa bersuami, Marva dengan sabar menerima perlakuan Handi, yang terpenting selama Handi tidak bermain fisik dan berselingkuh di depan mata. Setidaknya tidak menambah beban pikiran.
Seolah tidak memperdulikan sekitar, Marva berjalan penuh percaya diri kedalam rumah sakit membawa perut membuncit untuk menemui dokter yang selama ini menangani Marva dan calon bayi.
Marva membuka pintu setelah mendengar suara jawaban lelaki dari dalam sana.
Tersenyum, duduk didepan dokter itu. Memperhatikan wajah bersahabat Dokter Lefrando "Selamat siang, Dokter,"
"Sendirian lagi?"
Marva diam, dokter ini memang sangat perhatian padanya. Pernah sekali ada ibu hamil yang juga menjadi pasien dokter Lefrando mengatakan pada Marva, bahwa ibu itu bisa merasakan Dokter Lefrando memberi perhatian melebihi pasien pasien yang lain. Tetapi Marva menyangkal dan tidak terlalu di masukan ke dalam hati.
"Iya, Dokter."
"Hah, baiklah. Jadwal hari ini kau akan USG kan. Berbaringlah ke tempat tidur disana," tangan Dokter Lef menunjuk brankas yang cukup satu orang, tanpa banyak bantahan Marva menurutinya.
Awalnya Marva merasa risih mengetahui Dokter kandungannya adalah seorang pria. Tapi seiring berjalannya waktu, Marva mulai terbiasa dengan Dokter Lefrando bahkan akhir akhir ini mereka berdua sudah bertukar nomor telepon. Bisa di bilang Marva mulai menganggap Dokter Lef sebagai seorang sahabat baik, itu saja.
"Jangan menatapku seperti itu Dokter. Cepat lakujan USGnya." Marva salah tingkah sendiri ketika menyadari Dokter Lef menatapnya aneh. Terlalu fokus saat melamun sehingga tidak menyadari ada pria asing yang sedang mengagumi Marva.
"Uhm ok ok. Ibu hamil kalau cemberut makin cantik ya," Dokter Lef sebenarnya memuji kecantikan Marva semakin bersinar saja semenjak kehamilan Marva. Tetapi ia sadar sangat salah memulai perasaan dengan wanita yang sudah milik orang lain.
"Dokter. Aku sudah tak sabar melihat anakku nanti." ucap Marga mengelus perutnya.
Sebagai Dokter yang baik, Lefrando sangat menjaga sumpah yang ia ucapkan saat hatinya memilih dokter cita citanya.
Memeriksa setiap pasien dengan baik dan tetap dalam taraf kesopanan agar pasien tetap aman saat di periksa.
Membuka sedikit baju, lalu mengoleskan gel cairan, mengeser-geser sesuatu disana.
Layar USG menampikan manusia hampir jadi didalam berenang mengarungi air hidupnya.
"Kandungakku sudah tujuh bulan, bayiku perempuan. Astagaa aku bahagia sekali, Dokter," Marva terlihat bahagia mengusap hasil foto cetakan USG di tangannya.
"Aku lebih bahagia lagi." mulut Dokter Lef memang susah sekali di ajak. berkompromi bila berhadapan dengan wanita ini.
"Apa maksud, Dokter?"
Dokter Lef bepikir kilat mencari jawaban "Iya tentu seorang Dokter akan ikut merasa bahagia bila melihat pasiennya juga bahagia." ucap Dokter Lef terbata bata buang muka menutupi wajah meronanya.
"Oh iya, yah." jawaban Marva sungguh singkat.
"Oh iya. Kapan kau mulai memanggilku tanpa embel embel Dokter. Bukankah kita sudah berteman dekat, jadi mulai sekarang panggil namaku saja Lefrando atau,,," Dokter Lef menggantung ucapan mencondongkan badan di depan wajah Marva, meja kaca itu tidak menjadi penghalang baginya. "Kau ada panggilan spesial untukku?" tanyanya penuh maksud.
Sekarang giliran Marva yang merona, memalingkan wajah ke sembarang arah. Ini. sudah mulai tidak seperti biasanya "Tidak Baiklah aku akan memanggilmu Lefrando saja."
"Hum baiklah." jawab dokter Lef sedikit kecewa, mengubah posisi duduknya seperti semula. "Pastikan kau benar benar menjaga kandunganmu. Minum pil kehamilan yang ku berikan kemarin, jangan berpikir yang terlalu membebakanmu nanti kau bisa setres, minum susu hamil secara teratur dan jangan beraktifitas yang berat berat dulu ya. Ingat itu." jelas Dokter lef panjang lebar.
"Iya, Dokter,, ehh iya, Lefrando. Kalau begitu sudah saatnya aku pulang dulu." Marva betdiri hati hati dari kursi pasien.
Sungguh ingin sekali Lefrando menghentikan waktu di dalam ruangan agar bisa berlama lama menatap wajah itu.
🌹🌹🌹
Rumah sakit ini begitu luas dan berliku liku, Marva menyusuri lorong demi lorong menuju ruangan sesorang yang hendak ia temui. Tadi ia sudah mendapat persetujuan dari Dokter yang merawat orang itu untuk kesana. Kali ini Marva harus menyempatkan sedikit waktu untuk sekedar melihat keadaan temannya.
Pintu terkunci, Marva ternyata tidak bisa menelusup ke dalam. Satu-satunya harapan ada pada jendela kaca transparan didekat pintu. Tangan bergetar Marva menyentuh kaca itu seolah menyentuh orang yang sedang terbaring didalam.
"Franda, ini aku," Marva berlinang "Aku jahat telah merebut kekasihmu. Sengaja atau tidak aku sudah menghianatimu, Franda Maafkan aku." Marva menenggelamkan wajahnya di kaca memejamkan mata dengan isakan tangisnya "Bahkan aku sudah berani mencintai kekasihmu. Entah aku atau anak ini yang mencintai aku tidak tahu. Franda maafkan aku maafkan aku maafkan aku," Marva mengangkat wajah kembali melihat tubuh Franda tidak bereaksi sama sekali. "Tapi sunggu, Mas Handi sangat mencintai kamu. Aku hanya dapat raganya tetapi tidak dengah hatinya. Aku tersiksa Franda. Aku tersiksa karena rasa penghianatanku kepadamu, aku tersiksa karena Handi tidak menganggapku bahkan anakku sama sekali. Bangunlah Franda. Aku siap menerima apa pun yang akan terjadi saat kau akan mengetahui semua ini."
Dulu Marva dan Franda pun sering saling bercerita seperti ini, berbagi kisah bertukar pendapat, bahkan tak sering mereka menumpahkan air mata di bahu masing masing. Sayang sekali bukan persahabatan mereka akan berakhir semengenaskan ini hanya karena masalah cinta.
Apakah Marva bisa di katakan perebut kekasih sahabatnya sendiri?
Tubuh Marva menegang saat ia merasakan ada sentuhan tangan di bahunya. Dengan ragu ia berbalik ke belakang, siapa orang yang bisa mengetahui kedatangannya.
"Hapus air matamu, Nak." ibu Darwin mengusap pipi Marva penuh sayang "Takdir sudah berkata."
"Ibu," lirih Marva. Ketakutan berganti tangisan rindu kepada wanita yang sudah di anggap seperti ibu kandung sendiri.
Mereka berpelukan penuh kerinduan.
"Mungkin Tuhan lebih tahu siapa yang terbaik untuk Handi. mungkin Franda tidak akan bisa seperti dulu lagi. Dia sakit. Tuhan baik pada Handi mengirimkan wanita sepertimu, tinggal waktu yang menjawab kapan Handi menyadarinya."
"Jadi, Tuhan jahat pada Franda, makanya Franda menjadi seperti ini?"
"Tidak Nak. Kita tidak tahu alasan Tuhan menakdirkan Franda harus seperti ini. Berdoa saja agar Franda bisa menerima kehidupannya saat dia bangun nanti. Ya."
Pelukan merenggang, tangan ibu Darwin turun mengelus perut buncit Marva, "Cucu Nenek baik baik didalam ya sayang, jangan nakal nakal."
"Iya, Nenek" Marva meniru suara anak kecil. .
Mereka menghabiskan sisa waktu mengobrol seputar kehamilan Marva. Sampai waktunya pulang Marva pamit undur diri.
Sementara di dunia lain Franda sedang duduk tersenyum di bangku taman. Wewangian dari bunga bunga itu membuat Franda betah berlama lama tinggal sampai lupa pulang, ia ingin selamanya disini, tanpa ada orang yang menganggu. Rasanya begitu teduh.
"Hay gadis, kau tidak ingin pulang ke rumahmu?"
"Tidak. Taman ini akan jadi rumah baruku."
"Tetapi, masih ada orang yang ingin kau pulang. Mereka menunggumu, jangan egois seperti ini Franda. Kau masih harus merasakan hidup sebenarnya di dunia,"
"Aku takut pulang, aku akan merasakan kesakitan kalau aku pulang. Aku tidak mau membuat mereka kerepotan karenaku."
"Tidak akan. Percaya padaku."
Wanita yang bersamanya tadi pergi menghilang bersama sinar cemerlang dan angin. Apakah ia akan pulang merasakan kesakitan dua kali lipat, tetapi wanita tadi adalah mahluk yang bisa di percaya di dunianya saat ini.
👇👇👇
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!