NovelToon NovelToon

Di Nafkahi Berondong Ku.

Devina Maestari

Devina Maestari, seorang mahasiswi semester 4 di salah satu kampus terkenal di Ibu kota.

Devina adalah seorang gadis miskin dari desa yang punya cita-cita tinggi. Dia ingin memiliki pendidikan tinggi, kerja di perusahaan besar dan memiliki penghasilan tetap agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan yang menyelubunginya sejak kecil.

Saat duduk di bangku SMP, Ibu yang sangat dia andalkan untuk bertahan hidup, meninggal dunia. Tinggallah Devina hidup dengan ayahnya yang suka mabuk dan main judi. Setiap hari Devina selalu hidup dengan penuh rasa keakutan, bahkan ayahnya tak mau membayar uang sekolahnya dan memerintahkan Devina agar berhenti sekolah lalu bekerja.

Namun Devina tak mau, dia belajar dengan giat sambil bekerja membantu tetangganya mencuci atau membersihkan kebun. Apapun Devina lakukan demi mendapatkan uang, sehingga ayahnya tak mengomelinya karena tetap bersikeras untuk sekolah. Untungnya, Devina sangat pintar dan mendapatkan beasiswa sehingga dia tak perlu mencari tambahan uang untuk biaya sekolahnya.

Bertahun-tahun Devina lalui dengan kerja keras, hingga akhirnya dia mendapatkan undangan untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas ternama, beasiswa penuh. Tentu saja dia sangat gembira, namun yang menjadi kendala buatnya adalah, universitas tujuannya itu ada di luar kota, sangat jauh.

Namun Devina tak menyerah. Dia selalu menyimpan separuh dari penghasilannya untuk modal biaya hidup di Ibu kota, walaupun ayahnya terus mengamuk karena setoran anak perempuannya menjadi berkurang, Devina tak perduli. Dia rela di pukuli dan di maki-maki demi bisa keluar dari rumah ini, dan hidup mandiri sambil kuliah di luar kota, karena Devina benar-benar muak dengan sikap ayahnya.

Kini sudah hampir dua tahun Devina hidup merantau, sendirian sambil berkuliah. Dia tinggal di sebuah kamar kos berukuran 3x2 meter yang sangat kecil dan pengap.

Hanya ada satu kasur busa ukuran single yang sangat tipis, meja kecil untuk belajar dan lemari plastik untuk tempat baju. Tak ada kamar mandi, sehingga Devina harus keluar dari kamar untuk mandi dan memcuci.

Devina tak merasa kesulitan, sedih atau nelangsa. Dia justru merasa sangat tenang dan bahagia, karena bisa hidup sendiri menjauh dari ayah yang sangat kasar.

Kehidupan seperti inilah yang dia inginkan, tenang dan damai. Yah, walaupun setiap bulan dia harus bekerja keras demi bisa membayar uang kos dan biaya makannya setiap hari.

Devina bekerja part-time di sebuah mini market dekat kampusnya dan jika sore hingga malam dia bekerja di sebuah tempat laundry. Dia bertugas mengantarkan pakaian yang sudah bersih ke konsumen dan juga mengambil baju-baju kotor dari rumah pelanggannya.

Lelah? tentu saja. Di pagi hari dia harus kuliah, siang hari dia harus kerja di supermarket dan malam harinya dia harus jadi kurir pengantar pakaian. Tapi pilihan apa yang bisa Devina punya? saat ini dia memang harus berjuang, semuanya pasti akan indah saat kuliahnya selesai dan dia mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar. Membayangkan semua itu, membuat Devina bahagia dan melupakan rasa lelah nya.

"Dev! lu mau ke mana?" tanya salah seorang teman kuliah Devina saat melihat Devina berlari kecil keluar dari kelas.

"Mau kerja, ada apaan?" tanya Devina.

"Lu di panggil Pak Sudiro, tuh!"

"Pak Sudiro? ada apaan ya?" Devina bingung.

Temannya hanya mengangkat kedua bahunya lalu nyelonong pergi.

Pak Sudiro adalah dosen pembimbing Devina. Beliau berumur sekitar 65tahun namun masih sangat aktif mengajar dan menjadi salah satu Dosen yang paling Devina hormati karena beliau begitu baik padanya.

"Mau minta jatah kali!"

Devina menyipitkan mata sambil menatap seorang perempuan berambut pirang yang sedang meliriknya sambil bicara dengan sangat tidak sopan.

"Jaga mulut kamu ya, Nik!" kesal Devina.

Devina tak peduli jika dia di hina, namun Pak Sudiro adalah seorang Dosen yang terhormat, seorang guru besar, tidak sepantasnya mendapatkan ucapan tidak sopan, apalagi dari mahasiswi nggak jelas kaya si Anik. Yang jarang masuk kelas, dan datang ke kampus hanya untuk pacaran.

"Kenapa? Lu nggak Terima? dasar sugar babby! mau-maunya sama aki-aki!" ejek Anik.

Devina melotot, lalu dengan mengeratkan rahangnya dia berjalan cepat ke arah Anik dan menarik rambut Anik dengan kekuatan penuh.

"Aaahhhhkk! tolong!!!" teriak Anik dengan panik.

"Lu, boleh hina gue sepuasnya! tapi jangan hina Guru yang sudah memberi ilmu buat Lu! dasar perempuan tol*l!" geram Devina sambil lalu melepaskan cengkraman tangannya di rambut pirang Anik.

"Oh iya, Lu kan memang datang bukan buat belajar! tapi buat pacaran! pantesan nggak tau adab!" ucap Devina sambil menyeringai lalu berjalan menjauh.

"Dasar sialan Lu! cewek preman!" kesal Anik sambil mengusap kepalanya yang terasa perih.

Devina menoleh lalu menunjukkan mimik mengejek, kemudian kembali berjalan menuju ruangan Pak Sudiro.

Devina masuk ke ruang kerja dosennya setelah mengetuk pintu tiga kali.

"Siang Pak, ada apa ya?" tanya Devina sambil menatap lelaki ramping dengan rambut yang sudah memutih.

"Eh, Dev. Sini duduk. Saya mau ngomong sesuatu," ucap Pak Sudiro.

Devina menurut, dia pun duduk di kursi yang ada di seberang meja kerja Pak Sudiro.

"Kamu masih kerja part time?"

"Masih Pak, ada apa ya?"

"Begini Dev, Saya punya kenalan yang anaknya mau masuk SMA, tapi nilai dia kurang bagus. Kira-kira kamu bisa nggak, jadi guru privat nya?"

"Bisa Pak! bisa banget!" ucap Devina bersemangat. Mengajar private pastilah tidak melelahkan, dia hanya perlu duduk dan memperhatikan muridnya kan?

Pak Sudiro tersenyum, "Ini alamat rumah Pak Aldrich Mahendra, dan anak yang mau les denganmu namanya Devano Mahendra."

Devina mengambil secarik kertas yang di berikan Pak Sudiro lalu membacanya beberapa kali.

"Namanya seperti nggak asing?" gumam Devina.

"Devano? mirip nama artis ya Pak?" ungkap Devina sambil nyengir.

Pak Sudiro hanya tersenyum simpul, "Pak Aldrich dan istrinya butuh orang yang baik, dan mereka juga menjanjikan bonus yang besar jika anaknya berhasil lulus dengan nilai yang bagus. Maka dari itu, bersemangatlah Dev! Saya tau kamu mampu, karena kamu mahasiswa terbaik Saya!" Pak Sudiro menyemangati murid kesayangannya itu.

"Siap, Pak! Nanti sore Saya akan datang ke rumah ini dan ngobrol dengan orang tua Devano, kebetulan hari ini kerjaan di laundry sedang sepi nggak terlalu banyak."

Pak Sudiro tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, Saya permisi." Devina beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Dosennya.

Devina berjalan sambil menatap secarik kertas pemberian Pak Sudiro, dia berpikir, jika pekerjaan ini gajinya menjanjikan, sepertinya Devina harus melepaskan salah satu pekerjaan part time nya. "Ck!itu masalah gampang! yang penting -aduh!-" Devina terdorong ke belakang saat tanpa sengaja bertubrukan dengan orang yang berjalan berlawanan arah dengan dirinya.

"Ups! sorry!" ucap cewek yang bertabrakan dengannya.

"Nggak apa-apa, aku juga lagi meleng, tadi."

"Lu sih! terlalu fokus memandangi Devano!" goda orang yang berjalan di samping penabrak Devina.

"Habisnya, Devano ganteng banget! demi apa gue mau jadi pacarnya! aaaahhh!"

Devina menatap heran cewek yang tadi bertabrakan dengannya.

"Devano ya? oohh iya bener, namanya sama dengan artis itu," gumam Devina.

"Lihat dong, fotonya?" Devina ikut nimbrung di obrolan cewek yang belum dia kenal itu.

"Ini, ini fotonya! ganteng banget kan?!"

Devina menatap foto lelaki muda dengan paras super tampan, terpampang di majalah yang di baca cewek tadi.

"Masih muda banget! inget umur kita woy!" kelakar Devina sambil terkekeh.

"Dia baru 15 tahun, tapi mana tahan sama wajah ganteng ini! aaah so kiyut!!!"

Devina terkekeh sambil menatap dua cewek yang menjerit-jerit karena sebuah foto. Lalu dengan perlahan dia berjalan menjauh, berusaha tetap waras nggak terbawa suasana.

"Hmmm, iya sih. Memang ganteng banget! aahhh ntar cari fotonya di google ah, di save buat wallpaper! biar semangat hidup gue!" gumam Devina sambil berjalan riang menuju supermarket tempat dia menghabiskan waktu untuk kerja part time.

Terkejut.

"Dev, tolong atur rak sabun dong, sudah banyak yang kosong tuh!"

Devina menoleh ke arah Dimas, sambil mengacungkan jempolnya lalu bergegas menuju gudang untuk mengambil stok sabun yang kosong. Kemudian dengan telaten Devina menatanya di rak, serapi mungkin.

"Ada yang lain lagi nggak, kak?" tanya Devina sambil menatap rak display di mini market tempatnya bekerja.

"Sudah kok, thanks ya. Kamu bisa balik ke kasir," jawab Dimas masih sambil memegang pulpennya. Rupanya dia sedang menghitung stok barang.

Dimas adalah mahasiswa semester akhir di kampusnya sekaligus pemilik mini market tempat Devina bekerja.

Mereka berkenalan saat Devina masih menjadi mahasiswa baru, lalu setelah itu mereka sering berpapasan di mini market ini. Devina tentu saja penasaran, awalnya dia mengira Dimas adalah lelaki mesum yang mengikutinya, namun ternyata baru dia tau jika Dimas adalah pemilik mini market ini.

Akhirnya tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas itu, Devina menawarkan diri untuk membantu Dimas mengelola toko. Dimas pun setuju, dan Devina bekerja di mini market Dimas hingga sekarang.

Devina sangat kagum pada Dimas, yang anak orang kaya tapi mau mandiri. Dia bahkan sudah memiliki mini marketnya sendiri di usia muda.

Dimas sebenarnya sangat ramah, dan tampan, tapi Devina sangat takut dengan pacarnya. Sampai sekarang pun dia tak habis pikir, bagaimana mungkin orang sebaik Dimas memiliki pacar kayak barongsai!

"Lagi ngapain?"

Devina terkejut dan hampir saja menjatuhkan ponsel murahnya.

"Huft! untung nggak jatuh!" ucap Devina lega sambil mengusap ponselnya hati-hati. Layar ponselnya ini sudah retak, jadi jika sampai terjatuh maka Devina harus hidup tanpa ponsel entah sampai kapan karena dia belum mampu membeli ponsel baru.

"Ih! ponselmu udah ketinggalan jaman, Dev! memangnya kamu nggak pengen beli baru?" tanya Dimas sambil memandangi ponsel Devina yang tampak sekarat.

Devina nyengir, "ini masih bisa di pakai, kok."

Dimas menggelengkan kepalanya, heran. Bukankah dia sudah memberikan upah yang lumayan untuk Devina, kenapa dia gak bisa membeli ponsel baru, sih?

"Kamu bisa membeli dengan kredit, Dev. Nanti tiap bulan aku potong dari gajimu," ucap Dimas lagi.

"Ah, nggak perlu, Kak. Beneran!" Devina gugup.

"Nih lihat, ponsel ini bagus, cicilan perbulan nya cuma 300ribu." Dimas menunjukkan brosur ponsel yang sering di titipkan di mini marketnya.

Devina tersenyum sambil memandangi gambar ponsel yang sangat bagus. Tak bisa dipungkiri, Devina memang menginginkan ponsel baru, dengan teknologi terbaru. Tapi bagaimana mungkin, gaji dari mini market dan laundry benar-benar hanya cukup untuk membayar kos dan makan nya setiap hari.

"Sedang apa kalian!" Devina melonjak kaget dengan suara wanita yang menggelegar bagai petir yang menyambar di siang bolong.

"Eh, kak Sita," Devina berusaha tersenyum pada seorang wanita berwajah galak yang berdiri di ambang pintu mini market.

"Ngapain kalian duduk mepet-mepet, gitu!" ucapnya jutek sambil berjalan mendekati Devina dan Dimas.

"Ini loh, aku lagi ngomong ke dia supaya ganti HP. HP nya udah jadul banget, retak pula," jawab Dimas dengan santai sambil menunjukkan brosur ponsel pada Sita.

Sita melirik sinis ke arah Devina. Sejak awal Devina bekerja di sini, Sita memang sudah menunjukkan sikap ke-tidak suka-an nya. Dia menganggap Devina berpura-pura bekerja di sini hanya untuk mendekati Dimas - pacarnya.

"Sayang, kita jalan yuk, aku pengen makan bakso..." rayu Sita dengan manja sambil melingkarkan tangannya di lengan Dimas.

"Oh, ayo," Dimas menoleh ke arah Devina.

"Kamu mau juga? ntar ku bungkusin?" tanya Dimas.

Devina ingin sekali menjawab mau, siapa sih yang nggak mau di belikan bakso gratis, apalagi Devina belum makan sama sekali dari pagi. Namun melihat ekspresi membunuh dari mata Sita, Devina memilih menolak agar selamat.

"Nggak, nggak usah. Udah kalian pergi aja, nikmati waktu berduaan," Devina tersenyum sambil mempersilahkan Dimas dan Sita untuk segera angkat kaki dari minimal market. Engap juga ngelihat muka jutek Sita.

"Ya udah, aku pergi dulu, paling satu jam-an. Kalau toko ramai, telpon ya! nanti aku langsung datang."

"Siap, bos!" jawab Devina sambil tersenyum ceria.

Sita melirik sinis sambil mencebikkan bibirnya, lalu dia pun berjalan sambil memeluk manja pacarnya.

Devina bergidik ngeri. Bisa-bisanya orang seperti Dimas, pacaran dengan cewek kayak gitu. Padahal Dimas itu ganteng, kaya, pinter, sempurna! dapetin cewek yang lebih baik dari Sita pasti gampang banget! kenapa harus Sita!

Devina menghela napas sambil kembali duduk di kursinya yang ada di meja kasir. Dia memainkan ponsel kunonya, karena merasa bosan.

"Oh iya! aku mau cari Devano," Devina mengetik nama Devano di google search dan muncullah sosok lelaki muda super tampan menghiasi layar ponselnya.

"Ck, ck, ck, bahkan di ponsel retak pun dia terlihat tampan sekali! padahal baru 15 tahun, tapi badannya sudah tinggi menjulang begini. Makan apa sih, ni orang kok bisa ganteng?"

Devina memandangi wajah Artis itu dengan seksama, hidungnya mancung, bibirnya pun seksi, dan yang paling luar biasa adalah tatapan matanya.

"Kalau aku di tatap begini, pasti meleyot jantungku," gumam Devi sambil tersenyum senyum persis orang gila.

Devina membaca profil artis muda itu dan berdecak kagum, "ck! ck! ck! masih muda tapi sudah jadi model dan actor. Hobi nya basket!" Devina kembali menatap foto si artis saat bermain basket.

"Ya ampun! kok ada mahluk sempurna seperti ini, Tuhan! ini nggak adil!" geram Devina sambil men -screenshoot- foto artis itu dan langsung menjadikannya wallpaper di ponsel jadulnya

Devina tersenyum sambil memandangi foto itu, "Hai, penyemangat hidupku, walaupun nggak bisa memilikimu, paling tidak aku bisa menyimpan fotomu di ponselku," gumam Devina sambil nyengir persis kuda.

***

Devina terdiam, membeku di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Di sekitarnya di pasangi pagar supper tinggi hingga Devina tak bisa melihat keadaan di dalam, tapi yang pasti, rumah ini benar-benar milik orang kaya!

Devina menelan salivanya, sambil bergumam. "Ya Tuhan, bisakah aku memiliki rumah sebagus ini?"

"Oh iya, aku harus bertemu Pak Aldrich dan istrinya," Devina berusaha bangun dari lamunan dan bergegas mendekati pintu pagar rumah mewah itu lalu menekan tombol bel, dua kali.

"Siapa?" terdengar suara dari interkom.

"Sa-saya Devina. Pak Sudiro bilang, Pak Aldrich sedang mencari guru les untuk anaknya?" jawab Devina berusaha tak terlalu gugup.

"Oh, dari kampusnya Pak Sudiro, silahkan masuk."

Ceklek! pintu pagar tiba-tiba terbuka, dan dengan perlahan Devina berjalan masuk. Devina berusaha tenang dan tak menunjukkan kekagumannya, dia terus berjalan menuju pintu utama yang jaraknya tak terlalu jauh dari gerbang tadi.

Tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah seorang wanita cantik dan sangat anggun. Dia tersenyum pada Devina.

Devina segera berjalan cepat untuk menemui wanita itu, "Sa-saya Devina, mahasiswi Pak Sudiro," ucapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Saya Lucia, ayo masuk."

"Ba-baik, Nyonya."

Baru saja melangkahkan kakinya di ruang tamu, Devina di sambut suara baritone yang cukup khas.

"Kamu yang namanya Devina?"

Devi membola saat bertatapan dengan lelaki paruh baya yang menyapanya. Lelaki tampan dan sudah sangat matang, berdiri tegap menyapanya dengan sangat ramah.

'Ada di mana aku? apa ini surga? kenapa isi rumah ini semuanya spek malaikat?' batin Devina.

"Saya Aldrich, silahkan duduk."

"Ba-baik Tuan," jawab Devina gugup sambil berjalan pelan dan duduk di sofa.

"Jangan panggil Tuan! memangnya kamu pelayanan! panggil Om saja."

Devina nyengir sambil mengangguk.

"Mah, Devano mana?" Aldrich meraih pinggang istrinya sambil tersenyum. Tatapannya benar-benar penuh cinta, membuat jantung Devina berdebar-debar.

Yang di tatap siapa? yang deg-degan siapa!

"Devan! sayang! sini turun," panggil Nyonya Lucia.

Tak lama terdengar suara derap kaki menuruni tangga, dan muncullah sosok Devan, anak Pak Aldrich dan Nyonya Lucia, dan sontak membuat Devina terbelalak dan menganga lebar.

"Ini guru lesnya?" tanya Devan, si artis yang tadi siang sudah menghiasi layar ponsel Devina.

#bersambung....

Salting Brutal.

Devina membeku di kursinya. Dia duduk dengan merapatkan kedua kakinya, kaku. Dia bingung harus bagaimana, semua indranya seperti mati rasa. Mimpi apa Devi semalam, bisa duduk berhadapan dengan artis super ganteng, di dalam kamarnya pulak!

Di depannya, Devan duduk dengan santai sambil sesekali berputar di kursi gamingnya. Dia terus menatap Devina, penasaran.

"Kamu beneran mahasiswi?" tanyanya dengan santai, sambil memandangi Devi dari ujung kaki ke ujung kepala.

Astaga, cuma di tatap bocah 15 tahun yang kebetulan aja ganteng, Devi langsung gugup.

Devi menekuk kakinya, mencoba menutupi kaos kakinya yang bolong di dekat jempol.

Malu? iyalah! udah muka kucel, baju juga kumal, kaya gelandangan banget bersanding dengan Devano.

"Badan kamu kecil banget? nggak pernah makan, ya?" ucapnya to the point.

Devi menatap Devano sambil nyengir.

Dengan tinggi 155 cm dan berat badan 45 kilo, Devi memang terlihat mungil di mata Devan yang walaupun baru berumur 15 tahun tapi tingginya sudah mencapai 175cm.

"Hehe.. aku memang kekurangan gizi sejak kecil, puas?" jawabku sedikit kesal.

Bagaimana mungkin, si ganteng ini ngomong kata-kata yang sangat menyakiti hati dengan begitu santainya!

Ya, dia memang orang kaya, dari kecil pasti nggak pernah bingung tentang makanan. Berbeda dengan Devi yang sudah berjuang untuk hidupnya sendiri sedari masih bocah.

Devano mengangguk-anggukkan kepalanya, "sekarang sudah makan?" tanyanya sambil mengambil ponsel dan memainkannya.

Sungguh pertanyaan yang tak terduga! Hampir saja Devina menjawab sudah, tapi kalah start dengan suara cacing di perutnya. Wajah Devina spontan nge blush.

Devano menarik sedikit bibirnya ke atas, berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Mati aja Devi! malu-maluin banget sih!!!" batin Devi.

"Awas ya lu cacing! nggak gue kasih makan sampai besok, tau rasa, Lu!"

Devano bangun dari duduknya, meletakkan buku pelajarannya di atas meja.

"Sebentar ya, sambil menunggu, tolong dong buatkan aku kisi-kisi soal buat belajar nanti malam."

Devi mengangguk sambil melihat buku yang di berikan Devan.

"Kamu sudah belajar sampai mana?"

Yaelah 'kamu'??? mesra banget kitah! Otak Devina benar-benar ngelag karena si artis tampan ini.

"Sudah sampai sini," tunjuk Devan, kemudian berlalu pergi.

Devi menatap buku pelajaran Devan, membuka tiap lembarnya sambil memahami isinya. Lalu dia mulai mengambil kertas dan pulpennya dan tak lama dia mulai tenggelam dalam pekerjaannya membuatkan kuis untuk Devan.

"Buat permulaan, lima soal dulu aja kali ya?" gumam Devi sambil memeriksa kembali soal yang dia buat.

"Ngomong-ngomong, kemana gerangan si artis itu? kok perginya lama banget? Jangan-jangan kabur, lagi!" ucap Devi bermonolog sambil celingukan menatap keluar kamar dari pintu yang terbuka.

Tiba-tiba saja, Devan muncul di ambang pintu sambil membawa nampan. Dia berjalan pelan, lalu meletakkan nampan tadi tepat di depan Devi.

Devi bengong, antara bingung dan kaget. Matanya bolak balik memandangi Devan dan makanan yang ada di depannya.

"Mama belum masak makan malam, jadi aku buatkan seadanya aja. Nggak apa-apa, kan?" ucap Devan sambil tersenyum manis.

Tuhan... mungkinkah waktu Engkau menciptakan makhluk ini, Kau campur gula terlalu banyak?! kenapa dia begitu manis, baik sikap dan senyumnya.

"Aku harus ottoke? chagiya..." sorak Devi dalam hati.

Devi berusaha mengontrol dirinya agar tidak melonjak kegirangan. "I-ini apa?" maklumlah Devi kan orang kampung, nggak tau makanan enak.

"Spageti, memangnya kamu nggak pernah makan?"

Devi nyengir, "mirip mi tayel..."

Devan melongo mendengar ucapan Devi, lalu mengangkat tangannya untuk menutupi mulut yang hampir tergelak.

"Makanlah, aku buat sendiri, semoga rasanya enak," Devan melipat bibirnya untuk menahan senyum lalu mengambil kertas yang tadi sudah diisi soal- soal oleh Devi.

"Ini buat aku, kan?" tanyanya sambil duduk dan memperhatikan soal itu.

"I-iya," jawab Devi sambil mengambil garpu dan mulai melahap spageti buatan Devan.

Kapan lagi coba, bisa makan di masakin langsung sama artis terkenal.

"Wooohh..." Devi membelalakan matanya sambil menatap spageti di depannya setelah mencicipi satu suap.

"Enak banget!" ucapnya kagum pada Devan.

"Enak? syukurlah!" Devan tersenyum manis sambil kembali melanjutkan belajarnya.

Duh, ni anak sempurna bet sih! Tuhan benar-benar nggak adil! keluh Devi sambil menikmati Spageti nya.

Setelah menghabiskan makanannya, bersih hingga piringnya berkilau seperti habis di cuci, Devi segera menyeruput jus jeruk yang sangat segar.

"Aaahhh, enaknya..." gumamnya sambil merem melek saking nikmatnya.

Saat Devi membuka matanya, dia tersentak kaget karena ternyata Devan sedang memperhatikan dirinya sambil nyengir-nyengir.

"Kenapa?" tanya Devi, antara malu dan sebal.

Devan melipat bibir sambil menunjuk pipinya.

Devi mengerutkan alis, ' apa maksudnya? dia ingin aku menciumnya? sebagai ucapan Terima kasih karena sudah membuatkan mi tayel ini? ih! enak saja! memangnya aku se murah itu!'

Devi melengos sambil menunjukkan wajah kesal.

"Nggak usah macam-macam! cepat selesaikan tugasmu!" ucap Devi sambil melipat kedua tangannya di dada.

Devan mengangkat satu alisnya dengan heran, lalu mencabut selembar tisu dan mengusap pipi Devi sedikit kasar.

"Ada saus di pipimu! memangnya kamu mikir apa, sih!" kesalnya.

Aiyaa, malu-maluin aja lu, Devi!

"Oh, iya, makasih," ucap Devi malu.

Bisa-bisanya dia berpikir, lelaki setampan dan sesempurna Devan minta di sosor itik buruk rupa macam dirinya! jangan halu Devi!

"Ini, sudah selesai," ucap Devan sambil menyerahkan lembar tugasnya tepat di depan Devi.

Devi langsung memasang wajah serius sambil memeriksa. Dia mencoret soal nomer satu, dua, tiga dan lima. Lalu mendesah.

'Ternyata ada kurangnya juga nih malaikat, nggak sempurna-sempurna amat!'

"Cuma bener satu soal? kamu nggak pernah belajar, ya?"

Devan mengangkat bahunya, "makanya aku pake guru les," ucapnya santai.

'Iya juga? kalau dia pintar, ngapain pakai jasa ku!' Devi mengiyakan dalam hati.

"Oke, kita pelajari soal ini satu persatu," Devi menarik kursinya agar lebih dekat dengan Devan, sambil berdoa semoga bau keteknya nggak terlalu menyengat.

"Oh iya, mulai sekarang panggil aku 'Bu Guru!'! ucap Devi tegas.

***

"Sudah jam lima, kita sudahi dulu, ya," ucap Devi sambil membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja.

Devan tampak lelah, dia merebahkan kepalanya di atas meja sambil memejamkan mata.

"Capek?" tanya Devi.

"Heem... aku mending di suruh syuting 20 jam dari pada belajar dua jam!" gerutu Devan sambil mencebikkan bibirnya.

Devi tersenyum, "belajar itu juga merupakan investasi masa depan, jadi mau tidak mau, kamu harus melakukannya! semangat!" ucap Devi sambil menepuk pundak Devan.

Devi terdiam, tangannya membeku di udara. Berani sekali dia menepuk tubuh sempurna artis terkenal ini!

"Ma-maaf, Aku pulang dulu." Devi bergegas keluar dari kamar Devano sambil tak lupa membawa nampan berisi piring dan gelas kosong.

Devi turun ke lantai satu, dan berjalan menuju dapur. Dia ingin mencuci piring kotornya sendiri. Dia sempat celingukan, niatnya mau minta ijin ke nyonya rumah, tapi ternyata tidak ada seorang pun di lantai satu.

"Kemana orang-orang?" gumamnya sambil mencuci piringnya.

Saat sedang asik mencuci piring, terdengar langkah kaki menuruni tangga, Devi pun menoleh dan dia melihat Devan menghampirinya.

"Ngapain di cuci, sih?"

"Nggak apa-apa, sekalian aja," jawab Devi nyengir.

"Aku minta nomer HP kamu dong, biar kalau ada yang nggak ngerti bisa langsung telpon," Devan mengambil ponselnya, bersiap mengetik nomer Devi.

"088.... "

Setelah selesai menyimpan nomer Devi, Devan segera menelpon nomer tadi.

Tak lama, terdengar dering telpon dari dalam tas Devi.

"Itu nomerku, di save, ya!"

"Oke!" jawab Devi sambil meletakkan piring dan gelas yang sudah bersih di rak pengering.

"Aku pulang dulu," ucapnya sambil tersenyum dan mengusap tangan basahnya di celana jeansnya yang belel.

Devan mengangguk, "pulang naik apa?"

"Ojol palingan, atau bis," jawab Devi sambil berjalan meninggalkan dapur, menuju ruang utama.

Devan mengekorinya dari belakang, "mau ku antar?"

"Eh? nggak! nggak perlu! Terima kasih!" ucap Devi sambil melambaikan tangannya.

"Oh iya, kapan aku ke sini lagi?"

"Sepertinya besok aku ada syuting, tapi jam 7 malam sudah free. Kamu bisa datang jam 7?"

Devi berpikir sejenak, "aku usahakan, ya. Sampai jumpa besok!" ucapnya sambil berlari kecil meninggalkan Devan yang masih berdiri sambil bersandar di pintu, gayanya kaya lagi pemotretan di majalah aja!

"Oh iya, sampaikan salamku untuk mama Papa mu ya, dan Terima kasih!"

Devan mengangguk sambil tersenyum.

So swiiit....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!