Aku melihat suamiku yang baru saja pulang. Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Selalu saja begitu, dua tahun kami menikah Raka selalu saja menjadi pribadi yang berbeda dari yang dulu aku kenal.
"Mas, kamu mau makan dulu atau mandi?"
"Aku sudah makan di luar, lelah sekali rasanya. Ingin mandi kemudian tidur," balas Raka.
"Baiklah, aku siapkan dulu air mandinya, Mas," ucap Gendhis. dengan wajah tersenyum.
"Tidak perlu, aku bisa menyiapkan sendiri," ucap Raka dengan dingin.
Begitulah Raka, dia tidak ingin aku melakukan tugasnya dengan baik sebagai istri. Pernikahan kami terasa sangat hambar. Aki pun sampai sekarang tidak pernah di sentuh oleh sang suami hingga membuatnya bersedih.
Aku selalu merasa ada yang salah dengan diri ini. Mungkinkah aku kurang cantik hingga Raka tidak pernah melakukan hubungan denganku? Akan tetapi, Raka tidak pernah menyinggungnya sama sekali.
Pernah suatu kali, aku berusaha seperti wanita lain menggunakan lingerie. Namun, yang terjadi adalah Raka marah dan sempat memutuskan untuk tidur di luar kamar. Mulai hari itu aku tidak pernah mencoba untuk merayu suamiku lagi.
Aku sudah tidak kuat lagi menghadapi Raka yang tidak pernah melihatku sedikit pun. Di depan Bu Yeni —mertuaku— dia tidak dapat berkutik dan menjalankan peran sebagai suami yang menyayangi istri. Akan tetapi, di belakangnya aku adalah istri yang tidak pernah di anggap.
Wanita paruh baya itu terus menanyakan tentang kehadiran sang cucu yang tidak mungkin aku berikan. Bagaimana bisa aku memberikannya bila Raka tidak pernah menyentuhku sedikit pun.
"Kupikir kamu sudah tidur. Sudah malam, tidurlah!" ucap suamiku itu.
Aku menatap Raka dengan lamat. Sepertinya, aku harus mulai memutuskan sesuatu dalam hubungan kami.
"Ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucapku dengan penuh keyakinan.
"Apa?" tanya Raka yang merebahkan tubuhnya di ranjang kami.
"Lebih baik kita berpisah saja!" jawabku dengan menatap bola matanya.
Raka langsung mendudukan dirinya. Entah apa yang terjadi, biasanya dia hanya diam apa pun yang aku bicarakan. Namun, kali ini dia menatapku dengan tajam.
"Bila kamu ingin bekerja lagi silakan, tetapi jangan pernah bicarakan tentang perceraian. Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikanmu."
"Lalu, untuk apa kamu menikahiku? Kamu tidak mencintaiku, Raka. Seharusnya dulu kamu menolak ketika Ibu menginginkan perjodohan. Jangan karena kasihan aku sebatang kara di dunia, lalu kamu menikahiku," balasku tidak ingin hal ini hanya menjadi wacana.
Aku tahu ada seorang wanita yang berada dalam hati Raka. Dia adalah atasanku di toko roti tempatku dulu bekerja. Wanita yang sangat sempurna dan telah menjadi istri dari seorang pengusaha.
Raka kecewa ketika Silvia lebih memilih kembali pada James. Akan tetapi, semua itu tidak dapat dikendalikan olehnya. Nathan membutuhkan sosok seorang Ayah. Dan hal itu hanya didapatkan dari James. Walau selama ini Raka selalu menemani Silvia, tetap saja wanita itu tidak mencintainya.
"Aku tidak ingin mengecewakan Ibu. Kamu tahu, kan? Ibu sangat menyayangimu. Jadi, tolong jangan berpikiran aneh sampai kamu ingin berpisah dariku," ujar Raka.
"Aku sudah tidak sanggup lagi menjalani pernikahan ini. Tolong lepaskan saja aku," balasku tetap pada pendirianku.
"Selama dua tahun ini kamu tetap menerima hubungan ini. Apa kamu sudah memiliki pria lain hingga kamu ingin mengakhiri pernikahan ini?" tuduh Raka.
Mataku terbelalak ketika dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa kuterima. Menuduh istri sembarangan. Memiliki pria lain katanya? Hal itu tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Beraninya dia berpikir sampai seperti itu.
"Iya, aku sudah lelah menjadi wanita bodoh. Aku lelah dengan semua ini. Tolong mengertilah. Aku juga butuh cinta dari seorang pria," ujarku.
"Jadi, benar kamu telah memiliki pria lain?"
"Ya Tuhan! Bagaimana bisa aku mengkhianatimu? Bukankah kamu yang selama ini masih memiliki perasaan dengan wanita lain? Kamu yang selama ini tidak bisa melupakan Silvia!" Kekesalanku memuncak karena terus disudutkan oleh suamiku sendiri.
"Apa katamu?"
"Aku tahu, Mas. Aku tahu dengan jelas kamu selalu memandangi media sosial Silvia. Aku tahu kamu mencintainya. Jangan lagi menyeretku dalam hubungan ini. Kumohon, lepaskan saja aku!" ucapku dengan penuh keputusan asaan.
"Pasti bukan karena itu, kan? Apa yang kamu inginkan? Kamu ingin aku menyentuhmu, Kan? Aku akan melakukannya, tapi jangan pernah berharap bisa pergi dariku!" ujar Raka kemudian mendekatiku.
"Kamu mau apa?" tanyaku bingung dengan pemikiran Raka.
Pria itu membuka bajunya, kemudian memeluk tubuhku. Aku berusaha untuk memberontak ketika dia ingin melakukan hal yang sebenarnya sudah sejak lama aku inginkan.
"Aku ingin meminta hakku malam ini, Gendhis," jawab Raka kemudian memaksaku untuk melakukannya.
"Hentikan!" ucapku mencegah keinginannya.
Aku memang menginginkan melakukan hubungan suami istri dengan Raka. Namun, bukan seperti ini caranya. Dia menyentuhku dengan kasar tanpa perasaan sama sekali.
Rasa sakit menjalar ketika dia berada dalam tubuhku. Aku menangis ketika pria yang kucintai ini melakukannya tanpa kelembutan.
"Jangan menangis, Dhis. Aku..." ucap Raka yang terputus ketika dia melakukan pelepasannya.
***
Bersambung...baik
Terima kasih telah membaca.
Novel ini adalah spin off dari Novel Mengandung Benih Sang Presdir. Gendhis dan Raka muncul sekilas di novel tersebut. Bisa dibaca terpisah ya teman-teman. ❤️
Mohon dukungannya dengan memberikan like dan komentar. Jangan lupa untuk membaca tiap bab dengan baik ya tanpa lompat bab. Terima kasih. ❤️
Aku terus menangis tanpa mempedulikan ucapan Raka. Dia melakukannya dengan paksaan padaku. Apa yang harus kulakukan?
Awalnya aku memang ingin mempersembahkan kesucianku padanya. Akan tetapi, melihat dia terus menerus menghindariku selama pernikahan kami. Aku mengurungkannya.
"Sudahlah, bukankah ini yang kamu inginkan? Aku sudah memberikan nafkah batin padamu, Dhis! Tidak perlu kamu menangisinya," ujar Raka.
"Bukankah aku sudah bilang padamu kalau aku menginginkan perpisahan!" balasku kesal.
Perkataanku padanya bukan main-main. Aku memang ingin berpisah dari pria yang tidak pernah mencintaiku. Untuk apa mempertahankan pernikahan ini.
Raka menarikku dalam pelukannya. Dia mengecup keningku. Hal yang baru pertama kali dia lakukan padaku. Sesuatu yang kunantikan sejak lama, tetapi baru dia lakukan ketika aku menginginkan perpisahan.
"Tolong berikan aku kesempatan, Gendhis. Aku berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu. Aku akan melupakan dirinya yang tidak akan pernah bisa kugapai. Kamu tidak perlu cemburu lagi padanya," tukas Raka yang mengerti kegelisahanku.
Bagaimana aku tidak cemburu? Dia terang-terangan selalu merindukan Silvia. Aku tahu, kalau aku tidak ada apa-apanya dibandingkan mantan atasanku itu.
Namun, aku memiliki ego yang tinggi. Aku adalah istri yang menemaninya selama ini. Kubantu dia agar tidak terpuruk dengan masa lalu. Akan tetapi, yang aku dapatkan hanyalah penantian yang sia-sia.
Raka terus memelukku yang tidak menanggapi ucapannya. Aku masih terus menangis, tubuhku pun remuk karena Raka melakukannya tanpa cinta sama sekali. Dia hanya menyentuhku untuk menyalurkan nafs*nya.
Aku akan tetap berpisah darimu, Raka. Sudah cukup penderitaanku selama dua tahun ini, batinku dalam hati.
***
Pagi harinya, aku tetap menjalankan kewajiban ku sebagai seorang istri. Aku memasak kemudian membangunkan Raka untuk bersiap berangkat bekerja.
"Bangun, Mas!"
Pria itu bangun, lalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Dia meraih tanganku kemudian membuatku terjatuh dalam pelukannya.
"Apa masih sakit?" tanyanya membelai rambutku.
Aku mencoba bangkit dari tubuhnya. Tidak ingin terbuai dengan kelembutan semu yang diberikan olehnya. Ketika aku ingin pergi dari hadapannya, pria itu hendak menggendong tubuhku.
"Aku ingin kita mandi bersama," ujarnya yang secepat mungkin kutangkis tangannya.
"Hentikan! Aku tidak mau," balasku mendorong tubuhnya.
Dia menatapku dengan wajah penuh rasa bersalah. Kemudian tetap menggendongku. Aku yang semula ingin memberontak berhenti ketika dia mencium bibirku.
"Jangan menolak ajakan suami. Aku masih menginginkanmu, Dhis. Kamu tidak boleh menolak ajakan suami," ucapnya.
Sesampainya di kamar mandi, dia meletakkan tubuhku di bathup. Kemudian, menanggalkan pakaianku. Aku hanya diam tanpa ekspresi.
Jemarinya menyentuh beberapa titik tubuhku. Di bagian itu terlihat bekas merah yang dia tinggalkan semalam. Aku saja tidak menyadari hal itu.
"Kamu cantik, Dhis," ucapnya kemudian menyentuh titik sensitifku.
Aku mencoba menahan diri untuk tidak mende sah di setiap sentuhannya, tetapi tidak bisa.
"Ah... Kau akan terlambat bila tidak sege..."
Pria itu kemudian melakukannya lagi pada tubuhku. Aku memejamkan mata ketika tubuh kami menyatu. Kutatap wajahnya yang tampak menikmatinya.
"Aku tidak menyangka rasanya akan senikmat ini. Kamu milikku, Gendhis. Aku tidak akan membiarkan dirimu meninggalkanku. Tidak ketika kita telah menyatu," ucap pria itu terus melakukannya.
Tidak sampai situ saja, dia kembali melakukannya setelah kami selesai mandi. Aku seperti wanita bodoh yang tidak bisa menghindari setiap sentuhannya.
Jujur saja, inilah yang aku inginkan dari Raka. Sentuhannya yang lembut membuatku sejenak lupa dengan keinginanku untuk berpisah darinya. Sampai pada pelepasan akhir dia mengucapkan kata yang membuatku begitu marah.
"Aku mencintaimu, Silvia," ucap Raka membuat tubuhku kaku.
Aku yang berada di bawah kukungannya menangis. Ternyata, setelah aku memberikan hal yang paling berarti dalam diriku tetap saja yang dia ingat adalah Silvia.
Pria itu tidak bekerja dan kembali tertidur. Aku segera bangun dan kembali mandi. Kuhentikan tangisanku. Perlahan aku pindahkan beberapa helai pakaianku ke dalam koperku.
Aku sudah memutuskan untuk pergi dari hidup Raka selamanya, tidak peduli lagi apa pun yang terjadi, yang terpenting sekarang adalah aku harus menyelamatkan hatiku.
"Selamat tinggal, Raka," ucapku memandangi wajahnya yang tertidur.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca... ❤️
Aku meletakkan surat di atas nakas sebelah tempat tidur kami. Kutatap surat yang ditulis dengan terburu-buru. Tulisan tanganku terasa begitu ringkih di kertas itu, seolah menggambarkan perasaanku yang sudah hancur.
"Raka,
Maafkan aku karena pergi tanpa berpamitan. Aku tahu ini pengecut, tapi aku tidak punya cara lain. Aku lelah. Biarkan aku pergi, setidaknya untuk menemukan diriku sendiri."
-Gendhis-
Aku menatap surat itu lama, memastikan setiap kata yang tertulis cukup jelas. Tanganku gemetar, tapi aku tahu aku tidak bisa menarik keputusan ini. Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan ke arah Raka yang masih tertidur pulas di ranjang kami.
Langkah kakiku mendekat ke sisi tempat tidur. Wajahnya tenang, seperti tidak ada beban yang menggelayutinya. Betapa aku berharap aku bisa menyentuh pipinya untuk terakhir kali, tapi aku takut itu akan menghancurkan tekadku.
“Raka...” bisikku pelan, meski aku tahu dia tidak akan mendengarnya.
Aku memutar tubuh, meraih koper yang sudah kusiapkan di dekat pintu. Kuraih tas kecil yang akan kubawa juga. Tanpa suara, aku membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Di ruang tamu, aku berhenti. Pandanganku tertuju pada foto pernikahan kami yang tergantung di dinding. Aku hampir lupa kapan terakhir kali aku tersenyum seperti di foto itu.
Di sampingku, Raka juga tersenyum. Entah senyum kebahagiaan atau hanya pura-pura karena setelahnya tidak pernah kulihat lagi senyum di wajahnya.
“Ini keputusan terbaik, Gendhis,” gumamku, meyakinkan diri sendiri.
Aku membuka pintu depan dengan hati-hati, takut suaranya membangunkan Raka. Terik mentari menyergap wajahku. Panas, menusuk kulitku yang hanya berbalut jaket tipis. Langkahku semakin cepat, seperti mengejar keberanian yang tersisa. Aku takut bila Raka terbangun dan membuat diri ini kembali goyah.
Halte bus berada tidak jauh dari rumah kami. Beberapa kendaraan yang melintas di jalan. Aku duduk di bangku kayu halte, memeluk tas kecilku erat-erat.
Seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelahku memandangku dengan penuh rasa ingin tahu. “Mau ke mana, Nak?"
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupanku. “Ke luar kota, Bu. Ada urusan mendadak.”
Dia mengangguk pelan, tidak bertanya lebih jauh. Aku lega, karena aku tidak tahu bagaimana menjelaskan situasiku kepada orang asing.
Ketika bus yang kutunggu tiba, aku segera naik. Langkahku terasa berat, tapi aku tahu aku harus terus maju. Tidak mungkin aku terus terjebak dengan pernikahan palsu ini.
Aku memilih kursi di dekat jendela dan memandang ke luar. Kota ini akan segera kutinggalkan. Tempat yang penuh kenangan indah sekaligus menyakitkan.
“Permisi, Mbak. Tiketnya?” tanya kondektur yang tiba-tiba muncul di sampingku.
“Oh, iya.” Aku menyerahkan tiket yang sudah kubeli.
Dia mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Aku kembali memandang ke luar jendela, mencoba menikmati perjalanan yang baru saja dimulai.
“Ke mana, Mbak?” seorang perempuan muda di sebelahku tiba-tiba bertanya.
Aku menoleh, sedikit terkejut. “Ke kota Malang. Kamu sendiri?”
“Sama. Mau ke rumah kakak.” Dia tersenyum ramah, tapi aku tidak terlalu berminat melanjutkan percakapan.
Aku hanya mengangguk singkat, lalu kembali memandang ke luar jendela. Menatap pemandangan yang entah kapan akan kulihat lagi.
Aku sudah memikirkan dengan cepat. Tidak mungkin aku kembali ke panti asuhan tempatku bernaung. Pasti, Raka akan dengan cepat menemukanku.
Ingin meminta bantuan Silvia rasanya tidak mungkin. Hatiku masih sakit dengan cinta Raka padanya. Padahal, Silvia sama sekali tidak bersalah. Dia adalah atasanku yang paling baik. Mempercayakan semuanya padaku sebelum aku memutuskan untuk mengundurkan diri karena telah menikah dengan Raka.
"Mengapa semua jadi seperti ini?" gumamku menyesali semua yang telah terjadi.
Seharusnya, aku tidak menerima lamaran yang diajukan oleh Bu Yeni. Ya Tuhan, aku melupakan betapa baiknya ibu mertuaku itu. Entah bagaimana reaksinya bila mengetahui kepergianku. "Maafkan aku, Bu."
Bus melaju melewati jalanan yang mulai ramai. Udara dingin AC membuatku menggigil, tapi aku tidak mengeluh. Dalam keheningan, pikiranku kembali melayang pada Raka. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia membaca suratku?
Aku memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Tapi rasanya sulit. Setiap kenangan bersama Raka terus bermunculan, membuat hatiku semakin sakit.
“Kenapa aku harus mencintaimu sebanyak ini, Raka?” gumamku pelan.
***
Bus berhenti di terminal utama setelah perjalanan beberapa jam. Aku turun dengan langkah ragu, menatap keramaian di sekitarku. Kota ini terasa asing, tapi itu yang kubutuhkan sekarang.
Aku duduk di kursi tunggu terminal, merogoh ponselku dari dalam tas. Setelah ragu beberapa saat, akhirnya aku membuka aplikasi pesan dan mengetikkan sesuatu.
“Ayu, ini aku. Aku butuh bantuanmu. Bolehkah aku tinggal di tempatmu sementara waktu?”
Pesan itu terkirim, tapi aku tidak langsung mendapat balasan. Aku menatap layar ponsel dengan cemas, berharap Ayu tidak terlalu sibuk untuk menjawab.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul.
“Tentu saja, Gendhis. Kamu di mana sekarang?”
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit lega. Setidaknya, aku punya seseorang yang bisa kuandalkan.
“Aku di terminal utama. Aku akan ke tempatmu sekarang.”
"Baiklah, aku tunggu, Dhis. Hati-hati."
Aku memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, lalu berdiri. Ini adalah awal dari perjalanan yang baru. Meski berat, aku tahu aku harus terus melangkah dan melupakan cintaku.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca, ikuti terus novel ini, ya. ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!