Alvin menatap foto keluarga yang terpajang di ruang tamu rumahnya. Dalam bingkai kayu sederhana itu, mereka tampak bahagia: Alvin tersenyum sambil memeluk bahu Sarah, istrinya, sementara Rey dan Rheana berdiri di depan mereka dengan senyum lebar, dan Chessa duduk manis di pangkuan Sarah. Jika orang lain melihat foto itu, mereka akan mengira bahwa keluarga Alvin adalah gambaran kebahagiaan sempurna. Namun, bagi Alvin, foto itu hanyalah cangkang kosong yang menyembunyikan realitas pahit yang selama ini ia pendam.
Selama 15 tahun pernikahan, Alvin telah mencoba menjadi suami dan ayah yang baik. Ia bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang nyaman bagi keluarganya. Sarah, wanita yang dulu ia cintai tanpa syarat, adalah seorang istri yang cantik dan cerdas, tetapi belakangan ia merasa semakin jauh dari Alvin. Mereka pernah berbagi mimpi, rencana, dan harapan untuk masa depan, namun perlahan semuanya memudar. Hubungan mereka mulai retak lima tahun lalu, ketika Sarah mengaku bahwa ia berselingkuh dan bahwa Chessa bukan anak Alvin.
Saat mendengar pengakuan itu, Alvin merasa seperti dunia di sekelilingnya runtuh. Ia tidak bisa berkata apa-apa; hanya rasa sakit yang mengguncang jiwanya. Malam itu, ia mengurung diri di kamar kerja, menatap kosong ke dinding. Satu pertanyaan terus menghantuinya: Haruskah aku pergi? Tetapi, ketika ia memikirkan Rey dan Rheana, serta Chessa yang baru saja lahir, ia tahu bahwa jawabannya adalah tidak.
Keputusan Alvin untuk tetap tinggal bukan karena ia memaafkan Sarah. Sebaliknya, ia merasa tak akan pernah bisa memaafkan wanita itu sepenuhnya. Tetapi anak-anak adalah alasan yang lebih besar. Rey dan Rheana sangat mencintai ibunya, dan Chessa, meski bukan darah dagingnya, adalah anak yang polos dan penuh kasih sayang. Alvin tidak ingin menghancurkan keluarga mereka dengan meninggalkan rumah. Ia memilih untuk diam, menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyum yang dipaksakan.
Sarah, di sisi lain, tampaknya merasa bersalah, tetapi tidak cukup untuk mengubah perilakunya. Ia mulai sering bepergian ke luar negeri, mengklaim bahwa itu untuk "bisnis" atau "urusan pribadi." Alvin tahu bahwa di setiap perjalanan itu, Sarah mengejar kehidupan yang penuh kebebasan dan mungkin, kembali berselingkuh. Ia memilih untuk membiarkannya. Alvin merasa lelah untuk terus bertengkar atau mempertanyakan kesetiaan Sarah. Dalam pikirannya, hubungan mereka sudah hancur sejak lama.
Sebagai gantinya, Alvin mulai mencari pelarian dari rasa sakitnya. Ia membenamkan diri dalam pekerjaan, menghabiskan waktu lebih lama di kantor. Sesekali, ia terlibat dalam hubungan singkat dengan wanita lain, bukan karena cinta, tetapi karena keinginannya untuk merasa dihargai, walau hanya sementara. Namun, setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat anak-anaknya, rasa bersalah menyeruak di dalam hatinya.
Rey, putra sulung Alvin, mulai menyadari ada yang salah dalam hubungan kedua orang tuanya. Anak itu tidak pernah mengatakan apa-apa secara langsung, tetapi sikapnya berubah. Rey menjadi lebih pendiam, lebih sering mengurung diri di kamar, dan kadang-kadang melontarkan komentar sinis ketika melihat Alvin dan Sarah bersama. Rheana, yang lebih muda dan ceria, tampaknya tidak menyadari ketegangan di antara kedua orang tuanya. Ia lebih fokus pada hobinya menggambar dan bermain dengan adiknya, Chessa.
Chessa, gadis kecil berusia lima tahun, adalah sumber kebahagiaan yang tidak pernah Alvin duga. Setiap kali ia memandang anak itu, hatinya diliputi oleh perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Tetapi di sisi lain, Alvin tidak bisa menahan rasa sayang yang tulus pada anak itu. Chessa memanggilnya "Papa" dengan begitu manis, memeluknya dengan tangan kecilnya, dan selalu mencari Alvin ketika ia membutuhkan perlindungan. Bagi Chessa, Alvin adalah dunia, dan itu membuat Alvin merasa bahwa keputusannya untuk tetap tinggal adalah hal yang benar.
Meskipun begitu, ada malam-malam di mana Alvin terjaga, merenungkan keputusannya. Ia bertanya-tanya apakah ia melakukan hal yang benar dengan mempertahankan rumah tangga ini. Hidup bersama Sarah adalah beban yang terus membesar. Setiap kali ia melihat Sarah berbicara di telepon dengan suara pelan atau membaca pesan di ponselnya dengan senyum samar, Alvin merasakan gelombang kemarahan dan kekecewaan. Namun, ia menahan diri. Ia tidak ingin pertengkaran di antara mereka melukai anak-anak.
Suatu malam, saat Alvin sedang duduk di ruang kerja dengan segelas kopi di tangannya, Rey mengetuk pintu. Anak itu masuk tanpa menunggu izin dan berdiri di depan ayahnya dengan ekspresi serius.
"Papa," kata Rey, suaranya pelan tapi tegas, "apa Papa dan Mama baik-baik saja?"
Pertanyaan itu menusuk Alvin seperti pisau. Ia mencoba tersenyum, tetapi gagal. "Kenapa kamu tanya begitu?" ia balik bertanya, mencoba mengulur waktu.
Rey menatapnya dengan tatapan tajam, seperti sedang mencoba membaca pikiran ayahnya. "Aku bukan anak kecil lagi, Pa. Aku bisa lihat ada sesuatu yang salah."
Alvin menarik napas dalam-dalam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia hanya menjawab, "Kadang, dalam hidup, ada hal-hal yang tidak berjalan seperti yang kita harapkan, Rey. Tapi Papa dan Mama selalu berusaha yang terbaik untuk kalian."
Rey tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Anak itu hanya mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Alvin dengan pikirannya sendiri.
Malam itu, Alvin menyadari bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura selamanya. Rey tumbuh semakin dewasa, dan cepat atau lambat, anak itu akan mengetahui kebenarannya. Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak bisa terima?
Hari-hari berlalu, dan hubungan Alvin dan Sarah tetap berada di jurang yang sama. Sarah semakin sering bepergian, dan Alvin semakin tenggelam dalam rutinitasnya. Mereka jarang berbicara, kecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak. Rumah mereka yang dulu dipenuhi canda tawa kini terasa seperti dua dunia yang terpisah.
Namun, meski dihantui oleh luka dan pengkhianatan, Alvin tetap bertahan. Bukan untuk Sarah, tetapi untuk Rey, Rheana, dan Chessa. Ia percaya bahwa selama anak-anaknya merasa dicintai, ia bisa menanggung semua rasa sakit ini. Tetapi di dalam hatinya, Alvin tahu bahwa suatu saat, kebenaran akan terungkap, dan saat itu tiba, ia tidak tahu apakah ia masih memiliki kekuatan untuk tetap bertahan.
Kesedihan yang sedang dirasakan oleh Alvin tidak perlu ada satupun yang tau karena dia merasa bahwa apa yang dia rasakan belum tentu orang- orang akan mengerti dan memahaminya.
Hidup bukan tentang apa yang perlu orang ketahui tapi hidup merupakan perjalanan yang cukup hanya dia yang tau dan rasakan .
Cukup untuk bab 1 nya ya teman-teman. Semoga kalian suka dengan novel saya ini ya .
Selamat membaca dan menikmatinya
Sarah duduk di ruang makan, matanya terpaku pada tiket pesawat yang baru saja dicetak. Tujuannya kali ini adalah Paris, kota yang sering ia sebut sebagai "tempat bisnis," meskipun Alvin tahu bahwa alasan itu hanyalah kebohongan. Sarah meneguk teh hangatnya dan melirik Alvin yang sedang membaca koran di seberang meja.
“Alvin, aku akan pergi minggu depan,” katanya dengan nada datar.
Alvin menurunkan korannya perlahan. Ia menatap Sarah tanpa emosi, tetapi matanya menyimpan luka yang telah lama terpendam. “Berapa lama kali ini?” tanyanya singkat.
“Dua minggu, mungkin lebih,” jawab Sarah sambil mengangkat bahu, seolah-olah itu bukan masalah besar.
“Urusan apa kali ini?” Alvin bertanya lagi, meskipun ia tahu jawabannya hanya akan membuatnya semakin marah.
“Pertemuan klien. Kau tahu, hal-hal biasa,” Sarah menjawab tanpa melihat Alvin. Ia sibuk memeriksa ponselnya, mengetik pesan yang terlihat sangat mendesak.
Alvin menghela napas panjang, menekan emosi yang ingin meledak. Selama bertahun-tahun, Sarah terus menggunakan "perjalanan bisnis" sebagai alasan untuk pergi dari rumah. Pada awalnya, Alvin mempercayainya. Namun, setelah kebenaran tentang perselingkuhan Sarah terungkap lima tahun lalu, ia berhenti mempercayai apa pun yang keluar dari mulut istrinya.
“Ya, tentu saja. Pertemuan klien di Paris,” Alvin bergumam, suaranya sarat dengan sarkasme.
Sarah menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Alvin menatap balik dengan tajam. “Tidak ada, hanya saja... aku penasaran, apakah klienmu tahu betapa seringnya kau bepergian untuk 'urusan bisnis' ini?”
Sarah mengetukkan jari-jarinya di meja, ekspresi kesal mulai terlihat di wajahnya. “Alvin, aku tidak ingin membahas ini lagi. Aku bekerja keras untuk keluarga kita. Jika kau tidak mengerti itu, maka aku tidak tahu harus berkata apa.”
Alvin tertawa kecil, meski tak ada keceriaan dalam suara itu. “Bekerja keras? Untuk keluarga kita? Jangan bercanda, Sarah. Kau bekerja keras untuk dirimu sendiri, untuk kebebasanmu. Aku tahu persis apa yang kau lakukan di luar sana.”
Sarah terdiam, tetapi bukan karena rasa bersalah. Ia tahu Alvin tahu, tetapi ia juga tahu bahwa Alvin tidak akan meninggalkannya. Baginya, Alvin adalah pria yang terlalu terikat pada anak-anak mereka untuk mengambil langkah ekstrem.
“Percayalah atau tidak, itu urusanmu,” kata Sarah akhirnya, suaranya tenang tetapi penuh tantangan. “Aku tidak perlu menjelaskan semuanya padamu.”
Alvin mendengus dan kembali menatap korannya, meskipun kata-kata di atas kertas itu tidak lagi terbaca olehnya. Kepalanya penuh dengan kemarahan yang membara. Ia merasa seperti boneka dalam permainan Sarah, tetap bertahan di rumah ini demi anak-anak mereka yang tidak tahu apa-apa tentang kehancuran pernikahan orang tua mereka.
Setelah beberapa menit keheningan yang penuh ketegangan, Alvin berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dingin. “Lakukan apa yang kau mau, Sarah. Seperti biasanya.”
Sarah berdiri tanpa berkata apa-apa lagi dan pergi ke kamar, meninggalkan Alvin sendirian di ruang makan.
Beberapa hari kemudian, Sarah pergi seperti yang direncanakan. Alvin mengantar anak-anak ke sekolah sebelum menuju kantor. Di perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan pembicaraan terakhir mereka. Hatinya terasa seperti dihantam berkali-kali. Ia ingin melupakan semuanya, tetapi luka itu terlalu dalam untuk diabaikan.
Hari itu di kantor, Alvin mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Saat istirahat makan siang, ia menerima pesan dari seorang wanita bernama Lita, seseorang yang ia temui beberapa bulan lalu di sebuah acara bisnis. Lita adalah pelarian Alvin—sebuah cara untuk melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh Sarah.
“Bagaimana harimu, Al?” tulis Lita.
Alvin menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum membalas. “Tidak terlalu buruk. Kau?”
Pesan itu memulai percakapan panjang yang berakhir dengan janji untuk bertemu malam itu. Alvin tahu apa yang ia lakukan salah, tetapi ia tidak peduli. Dalam pikirannya, ini adalah bentuk pembalasan terhadap Sarah—cara untuk mengambil kendali atas hidupnya yang terasa semakin hampa.
Malam itu, Alvin bertemu Lita di sebuah restoran kecil di sudut kota. Wanita itu menyambutnya dengan senyum hangat, sesuatu yang sudah lama tidak ia dapatkan dari Sarah.
“Kau terlihat lelah,” kata Lita sambil menyentuh tangan Alvin.
Alvin menghela napas. “Hidupku selalu seperti ini sekarang. Lelah adalah bagian dari rutinitas.”
Lita tertawa kecil. “Yah, setidaknya kau punya waktu untukku malam ini.”
Percakapan mereka mengalir lancar, seperti biasanya. Alvin merasa nyaman bersama Lita, meskipun ia tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah memiliki masa depan. Di balik senyum dan tawa, ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti dirinya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman dekat restoran. Lita berhenti sejenak, menatap Alvin dengan penuh perhatian.
“Alvin, apa yang sebenarnya kau cari dari semua ini?” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat Alvin terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia tahu bahwa ia tidak mencintai Lita seperti ia pernah mencintai Sarah. Tetapi cinta itu sudah lama mati, digantikan oleh rasa sakit dan kebencian.
“Aku hanya... aku ingin merasa dihargai,” jawab Alvin akhirnya. “Aku ingin merasa bahwa aku masih berarti bagi seseorang.”
Lita mengangguk pelan, seolah mengerti. “Aku mengerti perasaan itu, Alvin. Tapi kau tahu, ini tidak akan memperbaiki apa pun.”
Alvin tahu bahwa Lita benar, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Mereka melanjutkan berjalan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Ketika Alvin pulang malam itu, rumah terasa sunyi seperti biasanya. Anak-anak sudah tidur, dan hanya suara jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Alvin duduk di sofa, menatap kosong ke arah TV yang tidak menyala.
Di saat seperti ini, rasa bersalahnya selalu muncul. Ia tahu bahwa dengan berselingkuh, ia tidak lebih baik dari Sarah. Tetapi ia juga merasa bahwa hidupnya telah terlalu jauh dari apa yang pernah ia bayangkan.
Pikirannya kembali ke masa-masa awal pernikahannya dengan Sarah. Dulu, mereka saling mencintai tanpa syarat. Sarah adalah segalanya baginya, dan Alvin yakin bahwa mereka bisa menghadapi apa pun bersama. Tetapi cinta itu perlahan terkikis oleh waktu dan pengkhianatan.
Malam itu, Alvin memutuskan sesuatu. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin menemukan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Bukan untuk Sarah, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anak-anak mereka. Mereka pantas mendapatkan keluarga yang lebih baik, meskipun itu berarti Alvin harus melepaskan segalanya.
Alvin menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Esok hari, ia akan mencoba lagi—mencari cara untuk memperbaiki hidupnya yang telah hancur. Tetapi untuk malam ini, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan, menunggu hari baru yang mungkin membawa harapan. Harapan yang mungkin dia inginkan dan impikan lagi yakni kehidupan untuk dia dan keluarganya.
Hari itu, sinar matahari menerangi halaman TK tempat Chessa bersekolah. Chessa anak ketiga Alvin yang bukan merupakan anak perselingkuhan Sarah dengan lelaki lain. Di sekolah Chessa ada acara dan Alvin menghadiri acara tersebut karena guru Chessa menghubungi Alvin lebih dari satu kali untuk memastikan bahwa Alvin akan datang pada acara itu. Bendera-bendera kecil warna-warni berkibar di sepanjang pagar, dan tawa anak-anak terdengar riuh memenuhi udara. Acara tahunan TK diadakan untuk mempererat hubungan antara orang tua, anak-anak, dan guru. Alvin, dengan kemeja biru dan celana panjang rapi, melangkah ke halaman dengan tangan menggenggam tangan kecil Chessa.
“Papa, nanti lihat aku ya. Aku mau nyanyi di panggung,” kata Chessa dengan senyumnya yang cerah.
“Tentu saja, sayang. Papa akan duduk di barisan depan,” jawab Alvin sambil tersenyum lembut pada putrinya.
Saat Chessa berlari bergabung dengan teman-temannya, Alvin duduk di deretan kursi yang telah disiapkan untuk para orang tua. Ia mengamati anak-anak yang sibuk bersiap-siap di panggung kecil, lalu matanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di dekat mereka. Wanita itu mengenakan blus sederhana berwarna peach dan rok hitam, rambutnya dikuncir rendah. Wajahnya memancarkan ketenangan dan kelembutan, terutama saat ia berbicara dengan anak-anak.
“Itu pasti gurunya Chessa,” pikir Alvin dalam hati.
Alvin sering menerima telepon dari guru Chessa tetapi baru kali ini mereka bertemu. Guru yang selalu memberi kabar mengenai prestasi- prestasi Chessa di sekolahnya.
Wanita itu beralih ke arah Alvin, dan mata mereka bertemu sesaat. Wanita itu tersenyum hangat dan melangkah mendekatinya.
“Selamat pagi, Pak Alvin,” sapanya dengan suara lembut. “Saya Meyra, guru Chessa.”
Alvin berdiri dan mengulurkan tangan. “Selamat pagi, Bu Meyra. Senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda. Chessa sering bercerita tentang betapa ia menyukai kelas Anda.”
Meyra tersenyum lebih lebar, tampak tulus. “Chessa anak yang manis dan pintar. Ia selalu membawa energi positif ke dalam kelas dan saya sering memberi kabar mengenai prestasi yang Chessa dapatkan di sekolah. Semoga dengan hadirnya Bapak pada acara ini Chessa semakin bersemangat untuk tampil”
Percakapan mereka berlangsung singkat karena acara segera dimulai. Alvin duduk kembali di kursinya, tetapi matanya terus memperhatikan Meyra yang memandu anak-anak dengan sabar di atas panggung. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuat Alvin merasa nyaman dan tertarik.
Setelah acara selesai, para orang tua diberi waktu untuk berbincang dengan guru-guru. Alvin memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Meyra.
“Bu Meyra, acara hari ini sangat menyenangkan,” ujar Alvin membuka percakapan.
“Terima kasih, Pak Alvin. Kami semua bekerja keras untuk membuatnya berkesan bagi anak-anak dan orang tua,” jawab Meyra.
“Dan Anda melakukannya dengan baik,” Alvin memuji. “Ngomong-ngomong, saya selalu penasaran, bagaimana Anda bisa sabar menghadapi anak-anak kecil setiap hari?”
Meyra tertawa kecil. “Ini memang pekerjaan yang menuntut kesabaran, tapi saya mencintai anak-anak. Mereka selalu punya cara untuk membuat hari saya terasa bermakna.”
Alvin mengangguk, terkesan dengan jawaban itu. “Chessa sangat beruntung punya guru seperti Anda.”
Di tengah percakapan itu, seorang pria mendekati mereka. Pria itu terlihat berantakan dengan kaus lusuh dan mata yang agak merah. Ia melirik Alvin dengan curiga sebelum memandang Meyra.
“Mey, ayo pulang,” katanya singkat.
Meyra tampak sedikit tegang. “Ini suami saya, Baim,” katanya memperkenalkan pria itu kepada Alvin.
Alvin mengulurkan tangan, tetapi Baim hanya menatapnya dengan dingin dan tidak membalas salamnya. “Aku tunggu di luar,” katanya sebelum berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.
Setelah Baim pergi, suasana menjadi canggung. Meyra mencoba tersenyum, tetapi ada kesedihan di matanya yang tidak bisa disembunyikan. Alvin merasa tidak enak hati, tetapi ia juga penasaran.
“Sepertinya suami Anda tidak terlalu suka berada di keramaian,” ujar Alvin dengan hati-hati.
Meyra mengangguk pelan. “Dia... lebih suka menyendiri.”
Alvin ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia menahan diri. Ia merasa tidak pantas mencampuri urusan rumah tangga orang lain, terutama seseorang yang baru saja ia temui. Namun, dari cara Meyra berbicara dan ekspresinya, Alvin bisa merasakan bahwa ada masalah di balik pernikahan wanita itu.
Setelah berpamitan, Alvin mengantar Chessa pulang. Dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Meyra. Ia tidak tahu mengapa, tetapi wanita itu meninggalkan kesan yang mendalam. Ada sesuatu tentang kelembutannya yang membuat Alvin merasa tenang, sesuatu yang sudah lama ia rindukan di rumahnya sendiri.
________________________________________
Malam itu, Alvin duduk sendirian di ruang tamu. Ia memikirkan pertemuannya dengan Meyra, dan tanpa sadar ia membandingkannya dengan Sarah. Istrinya yang glamor dan ambisius adalah kebalikan dari Meyra yang sederhana dan rendah hati.
Di sisi lain kota, Meyra sedang membersihkan meja makan di rumah kecilnya. Baim duduk di sofa dengan botol bir di tangannya, menonton televisi tanpa memperhatikan Meyra.
“Mey, uang bulan ini mana?” tanya Baim tiba-tiba, suaranya kasar.
“Aku baru dibayar minggu depan, Baim. Uang yang ada sekarang untuk kebutuhan rumah tangga,” jawab Meyra dengan lembut.
“Aku butuh uang, Mey! Aku nggak bisa terus-terusan hidup begini. Kau kan kerja di dua tempat, masa nggak cukup?”
Meyra terdiam, mencoba menahan air mata. Ia tahu bahwa apa pun alasannya, Baim tidak akan peduli. Pria itu akan terus menuntut lebih, meskipun ia sendiri tidak memberikan apa-apa untuk rumah tangga mereka.
“Kalau kau nggak mau kasih, ya sudah. Jangan salahkan aku kalau aku cari tempat lain buat tinggal,” ancam Baim sebelum berjalan keluar, membanting pintu di belakangnya.
Meyra terduduk di kursi, merasa hancur. Hidupnya bersama Baim telah menjadi neraka kecil yang terus ia jalani karena ia masih berharap suaminya akan berubah. Namun, semakin hari, harapan itu semakin pudar.
________________________________________
Hari-hari berikutnya, Alvin tidak bisa mengabaikan pikirannya tentang Meyra. Ia mencoba mencari tahu lebih banyak tentang wanita itu dari obrolan singkat dengan Chessa.
“Papa, Bu Meyra bilang aku pintar nyanyi tadi,” cerita Chessa suatu malam.
“Ya? Bu Meyra baik, ya?” Alvin mencoba menggali lebih jauh.
“Iya, Bu Meyra selalu senyum. Tapi kadang-kadang dia sedih, Papa,” jawab Chessa polos.
“Sedih? Kenapa, sayang?” Alvin bertanya, meskipun ia tahu Chessa mungkin tidak punya jawaban.
“Nggak tahu Pa. Tapi aku pernah lihat matanya merah, kayak habis nangis.”
Kata-kata Chessa membuat hati Alvin semakin gelisah. Ia ingin membantu Meyra, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya tanpa terlihat mencampuri urusan pribadi wanita itu.
Namun, satu hal yang pasti: Meyra telah meninggalkan jejak di hati Alvin, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alvin merasa ada harapan baru di tengah kehidupannya yang suram.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!