Cahaya matahari siang menerobos tirai yang tak sepenuhnya tertutup, menyilaukan pandangan Gus Syakil ketika ia membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan terang yang tiba-tiba menyergapnya. Sesaat, pikirannya masih kabur, mengingat dirinya berada di rumah sakit akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu.
Namun, keterkejutannya segera bertambah ketika ia menyadari sosok seorang gadis muda tengah duduk tegap di kursi di samping tempat tidurnya. Penampilannya begitu mencolok dan berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Gadis itu mengenakan crop top pastel dengan jeans sobek dan sneakers putih, rambutnya bergaya modern dengan highlight pirang yang memantulkan cahaya. Wajahnya dihiasi dengan makeup tipis, namun cukup untuk menonjolkan kecantikannya yang alami.
Gus Syakil merasa bingung sekaligus waspada. Ia mengerutkan kening, menatap gadis itu yang balas memandangnya dengan tatapan serius, seolah menyimpan suatu maksud yang sulit ditebak.
Sebelum Gus Syakil sempat mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu berbicara, suaranya tegas dan tanpa ragu.
"Mas, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil tercengang, matanya membesar sempurna, ia ingin sekali beranjak dari tempatnya tapi kakinya untuk saat itu belum mampu ia gerakkan,
"Apa?" Ia duduk lebih tegap, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Gadis itu menganggukan kepalanya pelan, kemudian menatap Gus Syakil dengan wajah serius. "Saya bilang, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil menelan ludah, merasa percakapan ini terlalu mendadak. "Tunggu... tunggu sebentar. mbak ini... siapa? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda, dan... apa yang membuat Anda berpikir saya akan setuju?"
Gadis itu tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap serius. "Nama saya Sifa. Saya bukan orang sembarangan, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Anda adalah Syakil, bukan? Anak dari Bu Chusna? Saya tahu siapa Anda."
Gus Syakil mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami situasi. "Baiklah, Sifa. Tapi menikah itu bukan perkara sederhana. Apa alasan Anda mengajukan permintaan ini? Apakah ini... semacam lelucon?"
Gadis itu menggeleng tegas. "Saya serius. Ini bukan lelucon. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya merasa cocok dengan anda."
Gus Syakil tertawa kecil meski gugup. "Cocok? Mbak Sifa, ini pertama kalinya kita bertemu. Bagaimana Anda bisa yakin tentang itu? Pernikahan membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan sepihak. Anda lihat kan bagaimana keadaan saya, saya tidak bisa berjalan, bahkan keluarga calon istri saya membatalkan pernikahan kami karena keadaan saya saat ini."
"Justru itu, saya ingin menikah dengan anda." ucap Gadis itu tegas.
Gus Syakil mengerutkan keningnya, "Jadi anda tahu soal ini? Atau jangan-jangan....,"
Gadis itu menatapnya tajam. "Jangan berpikir macam-macam. Saya sudah melakukan riset. Saya tahu banyak tentang Anda. Bahkan, saya tahu Anda tidak jadi menikah karena keluarga calon istri anda memutuskan secara sepihak. Saya tahu semuanya, dan saya pikir saya bisa menjadi bagian dari hidup Anda."
Gus Syakil terdiam, menatap gadis itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Ini tindakan bodoh, Sifa. Apakah keluarga Anda tahu tentang ini? Apa Anda yakin keputusan ini bukan karena... kasihan pada saya?"
Gadis itu menyilangkan tangan di dada, tetap teguh pada pendiriannya. "Keluarga saya akan mendukung apa pun yang saya putuskan. Dan ini bukan keputusan impulsif. Saya sudah mempertimbangkannya dengan hati-hati."
Gus Syakil menghela napas panjang, mencoba mengurai kebingungannya. "Saya menghargai keberanian Anda, tapi menikah bukan hanya tentang kesesuaian atau keputusan sepihak. Jadi lebih baik anda keluar dari kamar saya, karena saya ingin istirahat."
Gadis itu tersenyum untuk pertama kalinya, kali ini lebih lembut. "Baiklah, saya akan kembali besok. Tapi bukan hanya sendiri, saya akan membawa papa saya dan penghulu juga. Saya tidak suka menunda-nunda sesuatu yang penting."
Gus Syakil terdiam, mengamati gadis di hadapannya yang begitu berbeda dari gambaran calon istri yang selama ini ia bayangkan. Keberanian dan keseriusan gadis itu membuatnya tak bisa mengabaikan permintaan itu begitu saja. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa jawaban atas permintaan ini membutuhkan pemikiran yang jauh lebih mendalam.
Gadis itu berdiri dari kursinya setelah melontarkan kalimat mengejutkan itu. Ia melangkah menuju pintu dengan percaya diri, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Gus Syakil. Tatapannya lurus ke depan, seolah yakin pada apa yang baru saja ia katakan.
"Besok, saya akan datang lagi bersama wali dan penghulu," ujarnya tanpa ragu.
Gus Syakil masih duduk di tempat tidur, tertegun oleh sikap tegas gadis itu. Sebelum ia sempat menanggapi atau bahkan mencoba menghentikannya, gadis itu sudah menghilang melewati pintu, meninggalkan kamar tanpa ucapan salam.
Di depan pintu, gadis itu berpapasan dengan Ning Chusna, ibu Gus Syakil, yang baru saja kembali dari membeli makanan di kantin rumah sakit. Ning Chusna menghentikan langkahnya sejenak, memandangi gadis itu dengan alis sedikit terangkat. Penampilan gadis itu yang penuh gaya dan langkahnya yang terburu-buru langsung menarik perhatian. Namun, gaiss bernama Sifa tidak menoleh atau menyapa. Ia hanya melangkah melewati Ning Chusna begitu saja.
Di Dalam Kamar
Ning Chusna masuk ke kamar dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Wajahnya masih memancarkan kebingungan saat ia mendekati putranya.
Ning Chusna meletakkan kantong di meja kecil. "Syakil, tadi itu siapa? Penampilannya... berbeda sekali. Temanmu?"
Gus Syakil tersentak dari lamunannya, mencoba terlihat tenang meskipun hatinya masih bergolak. "Oh... dia? Mungkin salah satu pasien di sini, Bun. Sepertinya dia mabuk dan salah masuk kamar."
Ning Chusna mengernyit, duduk di kursi dekat tempat tidur. "Mabuk? Tapi cara dia berjalan tadi terlihat seperti orang sadar. Dan dia tidak kelihatan seperti pasien yang sakit."
Gus Syakil berusaha tersenyum santai. "Ya, mungkin dia sedang kebingungan saja. Siang-siang begini, orang kadang bisa bertindak aneh."
Ning Chusna menatap putranya dengan penuh curiga. "Syakil, jangan coba-coba bohong sama Ibu. Perempuan itu kelihatannya berbicara sesuatu yang serius. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Gus Syakil menghela napas panjang, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Baiklah, Bu. Dia memang datang ke sini untuk berbicara. Tapi saya yakin dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Tiba-tiba saja dia bilang mau menikah dengan Syakil. Syakil pikir, ini cuma omongan orang yang tidak dalam keadaan sadar."
Ning Chusna terkejut, meletakkan tangan di dadanya. "Menikah? Syakil, apa maksudmu dia datang tiba-tiba dan mengajukan hal seperti itu?"
Gus Syakil mengangguk perlahan, berusaha meredakan kekhawatiran ibunya. "Iya, Bu. Dia bahkan bilang mau kembali besok dengan wali dan penghulu. Tapi saya rasa ini hanya gurauan atau mungkin dia sedang tidak sehat mentalnya."
Ning Chusna terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan putranya. "Syakil, kalau memang dia serius, kamu harus berhati-hati. Jangan sampai ini menjadi masalah besar. Apa kamu tahu siapa dia atau dari mana asalnya?"
Gus Syakil menggeleng perlahan. "Tidak, Bu. Syakil sama sekali tidak mengenalnya. Penampilannya pun... jujur saja, tidak seperti orang yang biasa datang ke lingkungan kita. Itu sebabnya saya yakin ini hanya kesalahpahaman."
Ning Chusna menghela napas, menatap putranya penuh kekhawatiran. "Syakil, Ibu harap kamu tetap waspada. Kalau dia kembali besok, kita harus tahu lebih banyak tentang siapa dia dan apa maksud sebenarnya."
Gus Syakil mengangguk, tersenyum tipis untuk menenangkan ibunya. "Tentu, Bu. Jangan khawatir. Saya akan memastikan semuanya baik-baik saja."
Ning Chusna masih merasa ada sesuatu yang aneh dengan kejadian itu, tapi ia memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan. Ia mengambil makanan yang dibawanya, menyuapi putranya dengan penuh kasih sayang. Sementara itu, Gus Syakil hanya bisa berharap bahwa gadis misterius itu tidak benar-benar kembali seperti yang ia katakan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa kemungkinan besar ini belum selesai.
Bersambung
Happy reading
Pria paruh baya itu menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Raut wajahnya menunjukkan amarah bercampur kecewa. Di hadapannya, Sifa, putrinya yang berusia 24 tahun, berdiri dengan ekspresi keras kepala. Mereka baru saja selesai makan malam yang berubah menjadi ajang debat panas.
Pria itu masih tidak percaya atas keputusan putrinya. Bagi seorang pengusaha sukses seperti dirinya, reputasi adalah segalanya. Namun, apa yang dilakukan Sifa benar-benar di luar logika. Menikahi pria yang baru saja dia tabrak? Itu seperti memancing badai di tengah samudra.
Sifa, dengan tangan terlipat di dada, mencoba menenangkan diri. Ia tahu keputusannya tidak mudah diterima, tapi hatinya sudah bulat. Pria bernama Syakil yang ia tabrak minggu lalu adalah pria yang baru saja ditinggalkan calon istrinya karena insiden itu hingga membuat kakinya lumpuh. Setelah beberapa kali mengamatinya dari jauh, ia tahu jika pria itu tengah begitu terpuruk, meskipun begitu Sifa justru merasa ada sesuatu yang spesial dari Syakil—meskipun tengah terpuruk, ia selalu tanpa bahagia di depan orang lain. Tidak ada gurat kekecewaan atau kesedihan setiap kali bersama orang lain, berbeda sekali saat ia tengah sendiri.
"Papa, aku sudah bilang. Aku ingin menikah dengannya. Itu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini," Sifa memulai lagi dengan nada tegas.
Pria paruh baya itu menghela napas panjang, menekan emosi yang hampir meledak. "Sifa, ini bukan tentang menyelesaikan masalah. Kamu tidak bisa menikahi seseorang hanya karena merasa bersalah!"
"Papa, aku tahu apa yang aku lakukan. Aku sudah bicara dengan pemuda itu, dan dia setuju. Dan aku
berjanji akan datang lagi sama papa dan penghulu."
"Dengan penghulu? Kamu bahkan baru mengenalnya seminggu! Sifa, ini gila!"
"Memang, Papa, tapi aku yakin. Syakil bukan hanya korban yang aku tabrak. Dia... dia orang yang baik. Aku merasa cocok bersamanya." ucap Sifa beralibi.
Pria itu menatap tajam ke arah putrinya, "Sifa, Papa hanya ingin kamu bertanggung jawab sesuai logika. Berikan saja uang ganti rugi yang dia butuhkan. Tidak perlu menikah."
Sifa menggeleng keras, "Papa tidak tahu apa yang terjadi. Aku yang menawarkan solusi ini karena aku tidak mau ada rasa bersalah seumur hidup!"
Pria itu menghela napas panjang, "Dan kamu pikir menikahinya adalah solusi? Bagaimana dengan masa depanmu? Reputasi keluarga kita?"
Sifa mendekat ke arah sang papa, "Papa, aku tidak peduli lagi soal reputasi. Kalau Papa terus memaksa, aku akan bicara di media sosial. Aku akan meminta maaf secara terbuka dan mengungkapkan semua yang terjadi!"
Pria paruh baya itu terperangah, "Kamu gila, Sifa? Apa kamu ingin keluarga kita jadi bahan pembicaraan semua orang?"
"Papa, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bertanggung jawab. Papa selalu mengajarkan aku untuk tidak lari dari masalah. Inilah tanggung jawabku."
Pria itu terdiam lama, menundukkan kepala, "Sifa, kamu tahu apa risiko dari semua ini?"
"Aku tahu, Papa. Tapi aku yakin ini jalan yang benar. Aku sudah memikirkannya matang-matang."
Pria itu menghela napas berat, "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Tapi ingat, kamu harus siap dengan konsekuensi. Papa akan mendukungmu, tapi jangan pernah menyalahkan Papa jika sesuatu terjadi."
Sifa tersenyum tipis, "Terima kasih, Papa. Aku tahu ini berat untuk Papa, tapi aku benar-benar menghargainya."
Pria itu bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap keluar dengan pikiran berkecamuk. Sifa, di sisi lain, merasa lega meski tahu tantangan ke depannya tidak akan mudah. Ia yakin bahwa keputusannya adalah bentuk tanggung jawab sejati, bukan sekadar pelarian dari rasa bersalah.
****
Siang itu, suasana di rumah sakit yang biasanya tenang mendadak berubah. Gus Syakil, yang masih terbaring lemah di ruang rawat karena kecelakaan beberapa waktu lalu, tidak menyangka akan menghadapi kejutan besar. Di dalam ruangan, Ning Chusna—ibunda Syakil—sedang menemani sambil membacakan buku. Namun, ketenangan itu buyar ketika pintu kamar didorong terbuka.
Masuklah dua pria berjas rapi—yang satu sudah paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, sementara yang satu lagi lebih muda dan berpenampilan tegas. Bersama mereka, seorang pria bersorban lengkap membawa map cokelat. Wajah mereka serius, seperti tengah membawa kabar penting.
Sebelum Gus Syakil dan Ning Chusna sempat bertanya, langkah-langkah halus terdengar dari belakang. Semua kepala menoleh, dan di sana berdiri seorang wanita muda dengan gaun putih khas pengantin. Itu Sifa.
Dengan senyum tipis namun penuh tekad, Sifa melangkah masuk. "Mas Syakil," katanya dengan suara tegas dan jelas, "aku sudah menepati janjiku. Aku akan menikahimu hari ini, di sini, di rumah sakit ini juga."
Ning Chusna membelalakkan mata, terkejut hingga tak mampu berkata-kata. "Apa maksudnya ini?" gumamnya perlahan. Tapi sebelum sempat protes, Gus Syakil mengangkat tangan, meminta semua diam.
Pria bersorban itu, yang ternyata adalah penghulu, membuka map cokelatnya dan mengeluarkan dokumen berisi surat-surat yang dibutuhkan untuk pernikahan atas nama Sifa
Gus Syakil terdiam sejenak, lalu menatap Sifa dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Kalau ini yang terbaik," katanya pelan, "saya terima."
Ning Chusna berbisik tajam, "Syakil, apa-apaan ini? Kamu tidak bisa langsung setuju begitu saja!"
Gus Syakil tersenyum tipis, "Bunda, Syakil tidak tahu apa tujuan gadis ini menikah dengan ku, tapi untuk saat ini saya tidak punya alasan untuk menolak. Mungkin ini cara Allah buat tunjukin cara Syakil untuk berjihad di tengah keterbatasan yang Syakil miliki saat ini. Bunda terima ya."
Sifa mendekat, "Mas Syakil, aku tahu kamu punya keputusan bijak. Terimakasih ."
Ning Chusna menatap tajam ke arah Sifa, "Tapi menikah? Di rumah sakit? Bukankah ini terlalu tergesa-gesa?"
Pak Ahsan menengahi, "Bu, saya memahami kekhawatiran Anda. Tapi putri saya sudah mengambil keputusan ini dengan penuh kesadaran. Jadi saya harap anda tidak akan keberatan."
Gus Syakil menghela napas, "Bunda, aku sudah bilang, aku menerima ini. Kalau memang ini kehendak Allah, aku tidak akan menolaknya."
Penghulu membuka map, "Baiklah, kalau semua sudah setuju, kita bisa langsung melangsungkan akad nikah di sini."
Ning Chusna hanya bisa menatap dengan perasaan campur aduk. Sebagai seorang ibu, ia ingin melindungi putranya dari keputusan yang tergesa-gesa. Namun, melihat keteguhan hati Gus Syakil dan Sifa, ia memilih diam dan menyaksikan.
Penghulu mulai mempersiapkan dokumen, sementara Gus Syakil melepaskan cincin peraknya sebagai mahar dan uang lima ratus ribu dari dalam dompetnya sebagai mahar, karena terlalu mendadak bahkan ia tidak punya uang lebih do dompetnya selain itu.
Sifa berdiri di samping tempat tidur Gus Syakil, dengan tangan bergetar namun mata yang memancarkan keyakinan.
Akhirnya, momen itu tiba. Dengan suara lemah namun jelas, Gus Syakil mengucapkan ijab qabul:
"Aku terima nikahnya Sifa Eliana binti Ahsan Bahtiar dengan mahar tersebut, tunai."
Semua yang hadir terdiam sesaat, sebelum saksi mengiyakan dengan lantang. Pernikahan itu resmi. Dan penghulu pun membacakan doa untuk mereka, meskipun sederhana tapi terasa sakral ya. Pria muda yang ternyata asisten pribadi pak Ahsan tengah mengabadikan moment itu. Selain mereka ada dua perawat yang sengaja dipanggil untuk menjadi saksi.
Ning Chusna mendekati Gus Syakil, "Syakil, bunda masih belum paham kenapa kamu setuju begitu saja."
Gus Syakil tersenyum, "Bunda, aku percaya ini adalah takdir. Kadang kita tidak tahu rencana Allah, tapi aku yakin ini jalan yang benar."
Setelah semua urusan tanda tangan selesai, Gus Syakil pun menoleh pada Sifa dan pak Ahsan, sebelum pak Ahsan pergi.
"Maaf, ijinkan saya bicara sebentar." ucap gsi Syakil dan pak Ahsan tanpa menatap Gus Syakil dengan enggan, sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
"Saya tidak punya banyak waktu," ucap ya dingin.
"Saya hanya sebentar." ucap Gus Syakil dengan tenang, meskipun Ning Chusna tampak muali berapi-api melihat sikap papa Sifa.
"Katakan!" ucap pak Ahsan singkat.
"Putri anda sekarang sudah sah menjadi istri saya, jadi tanggung jawab atasnya sudah berpindah pada saya. Mulai saat ini, tolong ijinkan Sifa tinggal bersama kami."
Pak Ahsan menatap tajam pada Gus Syakil, kemudian beralih ke arah Sifa, "Kamu dengan sendiri kan buah dari keputusanmu!?" keluhnya pada sang putri.
"Mas, nggak gitu dong konsepnya. Lihat aku ke sini nggak bawa apa-apa, aku hanya bawa ponsel sama baju ini, yang aku pakek." protes Sifa.
"Baiklah, besok saya sudah diijinkan pulang, jadi silahkan datang kembali besok dan kita akan pulang ke rumah saya." ucap Gus Syakil dengan tegas. Meskipun tampak keberatan tapi Sifa tidak memberi protes apapun.
Bersambung
Happy reading
Pagi itu, suasana di rumah sewa Gus Syakil di Blitar dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Hari pernikahan semakin dekat, hanya tinggal hitungan hari. Gus Syakil, yang biasanya tenang dan penuh percaya diri, tampak berbeda. Wajahnya tampak tegang, dan langkahnya lebih lambat dari biasanya.
Di ruang keluarga, Ning Chusna, ibu Gus Syakil, tengah memeriksa daftar persiapan pernikahan. Ia memastikan setiap detail telah sesuai rencana. Dari katering hingga undangan, semuanya telah diperiksa berkali-kali. Namun, melihat putranya yang mondar-mandir tanpa arah, Ning Chusna merasa perlu berbicara dengannya.
Dengan senyum lembut, Ning Chusna memanggil Gus Syakil untuk duduk di sampingnya. "Syakil, sini, Nak. Kamu kelihatan gelisah sekali. Ada apa?" tanyanya sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Gus Syakil menghela napas, "Ibu, aku merasa aneh. Semua ini terasa cepat. Aku belum benar-benar siap."
Ning Chusna tersenyum bijak, "Syakil, pernikahan memang selalu membuat orang gugup, apalagi untuk pertama kalinya. Tapi ingat, ini adalah bagian dari perjalanan hidupmu."
Gus Syakil menundukkan kepala, "Farah gadis yang baik, Bu. Aku tahu itu. Tapi aku takut... aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik untuknya."
Ning Chusna mengusap bahu Gus Syakil, "Nak, tidak ada yang lahir langsung menjadi suami yang sempurna. Kamu akan belajar seiring waktu. Bunda yakin kamu bisa, dan Farah adalah gadis yang tepat untuk mendampingimu."
"Tapi bagaimana jika aku gagal memenuhi harapan keluarga kita? Aku tidak ingin mengecewakan kalian."
Ning Chusna tersenyum lembut, "Kamu tidak harus memenuhi harapan siapa pun selain Allah, Syakil. Jika niatmu baik, insyaAllah semuanya akan dimudahkan. Pernikahan ini bukan soal harapan keluarga, tapi soal menjalani sunnah Rasulullah."
Gus Syakil tersenyum kecil, "Bunda selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menghilangkan rasa gugup ini."
Ning Chusna tertawa kecil, "Itu wajar, Nak. Bahkan abimu dulu sama gugupnya menjelang menikahi bunda. Tapi lihatlah sekarang, alhamdulillah kami bahagia."
Setelah berbicara dengan Ning Chusna, Gus Syakil merasa sedikit lebih tenang. Namun, kegelisahannya masih tersisa. Ia memutuskan untuk pergi ke masjid pesantren untuk mencari ketenangan. Di dalam masjid, ia duduk di pojok ruangan, memejamkan mata, dan mencoba berdzikir.
Beberapa kerabat sudah mulai berdatangan, membawa hadiah dan doa untuknya. Gus Syakil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya di hadapan mereka.
Di tengah suasana itu, Ning Chusna kembali mendekati putranya, kali ini dengan membawa segelas teh hangat. "Syakil," katanya lembut, "percayalah, kamu akan menjadi suami yang baik. Farah adalah gadis yang tepat, dan Allah telah menakdirkan ini untukmu. Jangan terlalu banyak berpikir, cukup jalani dengan hati yang ikhlas."
Gus Syakil mengambil teh dari tangan bundanya, "Terima kasih, Bun. Aku akan berusaha."
"Itu yang bunda harapkan, Nak. Semua akan baik-baik saja. Sekarang, minumlah teh ini, dan istirahatlah. Besok akan menjadi hari yang sibuk."
Gus Syakil tersenyum, "Baik, Bun. Doakan aku."
Ning Chusna tersenyum lembut, "Doa bunda selalu menyertaimu, Syakil. Kamu adalah kebanggaan bunda dan Abi."
Malam itu, Gus Syakil mencoba memejamkan mata meski pikirannya masih dipenuhi berbagai kekhawatiran. Namun, suara lembut bundanya dan keyakinannya pada rencana Allah memberinya kekuatan. Ia tahu, perjalanan baru akan segera dimulai, dan ia harus siap menghadapinya dengan iman dan ketulusan.
****
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Gus Syakil bangun lebih awal dari biasanya, dengan niat kuat untuk mengambil tanggung jawab lebih dalam mempersiapkan pernikahannya. Hari itu, ia memutuskan untuk membeli sendiri barang-barang seserahan. Bagi Gus Syakil, ini adalah cara untuk menunjukkan keseriusan dan rasa hormatnya kepada Farah, calon istrinya.
Dengan baju koko putih bersih dan sarung sederhana, ia mengendarai motornya menuju pasar tradisional di kota. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi doa agar segala persiapan berjalan lancar. Ia memeriksa daftar di ponselnya—kain kebaya, alat salat, dan perhiasan sederhana adalah sebagian dari barang-barang yang harus dibelinya.
Setelah hampir dua jam berkeliling, Gus Syakil akhirnya menyelesaikan belanjaannya. Tas besar diikat rapi di bagian belakang motor. Senyumnya merekah saat membayangkan bagaimana Farah akan tersenyum bahagia menerima seserahan tersebut.
Namun, di perjalanan pulang, takdir berkata lain. Saat Gus Syakil melintas di jalan yang agak sepi, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Motor itu kehilangan kendali dan menabrak motor Gus Syakil dengan keras.
Tubuhnya terpental ke aspal, barang belanjaannya berserakan. Kesakitan menyelimuti tubuhnya, namun ia masih sadar. Dari motor yang menabraknya, seorang gadis muda turun tergopoh-gopoh. Wajahnya tertutup helm kerobong.
Gadis berteriak panik, "Pak! Saya tidak sengaja! Saya benar-benar tidak sengaja!"
Gus Syakil mengerang pelan, "Astaghfirullah... Apa yang terjadi?"
Tapi perlahan kesadaran nya menghilang dan ia semuanya gelap.
Bersambung
Happy reading
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!