Semua orang menginginkan hubungan yang sehat bukan? Sama halnya denganku yang ingin mendapatkan perhatian dan tidak pernah mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dari pasangannya.
Tapi nyatanya aku selalu mendapatkan perlakuan kasar darinya. Inginku akhiri hubungan yang tak sehat ini, tapi rasa sayangku begitu besar padanya. Entah rasanya begitu dalam perasaanku ini, hingga aku sangat menyayangkan untuk hubungan ini diakhiri.
Dan satu lagi, aku selalu nggak bisa habis pikir dengan tingkah Nino cowokku, lebih tepatnya calon masa depanku.
Gara-gara malam ini aku sibuk dengan tugas kuliah yang bejibun dan dia hampir seharian belum sempat kuberi kabar. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumahku, dia mengomeliku tanpa henti. Sementara aku sendiri hanya diam saja sembari mendengarkannya menceramahiku lagi.
“Kena serangan lagi deh, karena masalah sepele” omelku dalam hati tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.
“Veli, aku tuh capek kalau kamu terus-terusan begini sama aku. Harusnya kamu ngertiin aku dong calon suamimu kelak, masa belajar jadi calon istri saja nggak becus sih. Kasih kabar kek, atau setidaknya membalas pesanku” cerocos Nino yang masih saja mengomeliku.
Aku cuek, tak mendengarkannya mengomeliku. Sengaja. Karena aku sendiri juga capek dengan tingkahnya yang overprotektif dan ringan tangan. Kini, ku keluarkan headset dari tas dan menancapkan di ponselku untuk mendengarkan lagu-lagu kesayanganku disana dan tak lupa volume ku kencangkan karena tak ingin mendengarkannya mengomel.
“Kerjaanku juga banyak Vel, aku berusaha untuk memantaumu. Gini balasannya” dengus Nino kesal dan mulai berhenti mengomel.
Hampir 20 lagu sudah kudengarkan dari ponselku bersamaan dengan berakhirnya lagu terakhir berhenti, sekarang lagu tersebut kumatikan dan aku mulai melepaskan satu kabel headset dari telingaku sebelah kiri, kulihat Nino sudah berhenti mengomeliku. Dia tampak diam dan semakin fokus menyetir mobilnya. Aku mendesah sembari menghembuskan nafas pelan-pelan.
“Capek kan, kalau ngomel nggak diperhatikan?” ucapku akhirnya membuka suara. “kamu baru ngalamin kayak gini saja sudah ngomelnya panjang banget, gimana aku yang tiap minta perhatian nggak pernah di respon” tambahku sembari menyindirnya.
“Mulai lagi, bahas kejadian yang kemarin-kemarin? Nggak akan ada habisnya kalau kamu nengok ke belakang terus. Bisanya cari kesalahan orang lain. Bisa introspeksi diri kan?” balas Nino tak kalah ketus merespon sindiranku.
Aku terkejut mendengarkan Nino seakan playing victim padaku,“Kok bisa aku?” protesku sembari menunjuk diri sendiri,”padahal yang mulai duluan kan kamu, aku dari tadi diam saja. Kamu yang sepanjang jalan mengomel terus-terusan, masa udah pacaran hampir 3 tahun nggak ngerti juga kalau aku pantang diganggu kalau lagi sibuk tugas kuliah” lanjutku merasa tak terima.
“Dan satu lagi, untuk intropeksi. Aku selalu merenungi semuanya Nino, bahkan tentang hubungan kita. Masih kurang cukup buat kamu?” tambahku yang akhirnya tersulut emosi juga.
Beruntungnya perjalanan menuju rumahku tak jauh sekali dan hampir saja sampai. Tiba-tiba Nino memberhentikan mobilnya, dan....
”PLAKKK!!!!!!!!”
Tamparan dari tangan Nino mendarat mulus kearah pipiku, aku terkejut mendapati Nino menamparku lagi kali ini. Rasa panas di pipi karena tamparannya merasuk sampai dadaku. Sakit sekali. Entah, kesabaran yang ke berapa kalinya lagi untuk menghadapi tingkah kasarnya.
Aku yang masih memegangi pipiku karena terkena tamparannya, hanya bisa menahan sakit sembari menatapnya dengan tatapan sengit. Kulihat Nino membalas menatapku dengan tatapan yang tak kalah menyakitkan.
“Lancang kamu Vel!!” bentak Nino sembari menatapku tajam.
Aku terdiam lagi sembari menahan airmata yang ingin tumpah di pipi. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk mengemasi barang-barang yang sempat tertinggal di mobil Nino dan memasukkannya di tas tanpa bersuara. Nino yang akan membunyikan mobilnya lagi tiba-tiba terhenti saat melihatku yang tengah berkemas dan siap-siap turun dari mobil.
“Vel, kamu mau kemana? Jangan gila! Malam begini kamu mau turun di tengah jalan, kan sebentar lagi sampai rumahmu” omel Nino terlihat sangat terkejut sekali.
Aku tak menggubrisnya dan langsung bersiap untuk turun dari mobil.
Nino memanggilku sekali lagi tapi aku masih saja tidak menggubrisnya dan langsung bersiap untuk membuka pintu mobil Nino. Sadar bahwa aku meninggalkannya di mobil, Nino berusaha menahanku. Tapi aku langsung menepisnya dan segera turun dari mobil untuk menghindari Nino karena jarak rumahku tak jauh dari mobil Nino berhenti.
Tak lupa pintu mobil itu aku tutup kembali dengan kencang. Nino mematikan mesin mobil dan membuka pintu mobil untuk menyusulku tanpa aku menyadarinya.
“Masuk Vel, di luar dingin!!” perintah Nino sembari mengejarku.
Aku tak merespon panggilannya dan melanjutkan berjalan yang sebentar lagi sampai depan rumahku.
“Veeeel.....” teriak Nino sangat kencang.
Aku masih tak mempedulikannya. Nino memanggilku sekali lagi, lalu aku menoleh kearahnya.
“Diam Nino!!!!! Ini sudah malam. Kamu lupa kalo ini sudah di depan rumahku!!” hardikku sembari menatap sinis kearah Nino.
Belum sempat Nino membalas, aku potong pembicaraannya.”Aku nggak ingin Papa mendengar keributan konyol ini di luar. Aku sangat lelah Nino. Maaf. Dan selamat malam!!” ucapku mengakhiri pembicaraanku dengannya malam ini.
Sementara tak jauh dari kejadian itu, ada yang memantau saat seseorang tengah menampar kekasihnya.
"Nggak bisa dibiarkan dia membuat tangisan pada putriku!!" geram seseorang tersebut saat melihat sang putri terlihat sangat sedih saat memasuki gerbang rumah.
Nino terdiam melihatku tak biasanya berbicara seketus ini.
Nino yang masih di depan rumah Veli hanya bisa terdiam dan tanpa bergeming apapun. “Maaf Sayang, aku melukaimu untuk sekian kali” sesal Nino sembari mengusap wajahnya dengan frustasi.
Langkah Nino gontai berjalan menuju mobilnya dan dengan malas dia menaiki mobilnya kemudian menyalakan mesin lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah Veli.
...****************...
"Papa tidak akan pernah memaafkan Nino kalau sekali lagi dia berbuat kasar padamu Veli!!!" ucap Papa malam ini saat melihatku dengan kondisi tidak baik-baik saja.
Awalnya aku yang mendengar itu hanya bisa menghembuskan nafas berat, tapi ternyata ekspresiku malam itu tidak bisa dibohongi. Aku langsung menangis sesenggukan saat membaur dalam pelukan Papa.
"Papa sudah melihat semuanya Vel, tapi kenapa kamu tidak menceritakan ini pada Papa Nak...." bisik Papa dengan suara serak sembari mengusap punggungku.
Aku yang sedang menangis saat itu belum berani menjawab.
"Vel, kenapa kamu mempertahankan hubunganmu dengan Pria ringan tangan itu Nak. Kalau kamu merasa hubungan kalian sudah tidak sehat lagi, kamu boleh memutuskannya kok..." ucap Papa lagi,"hati Papa sakit melihat Nino selalu kasar denganmu..." sambung Papa berkata jujur.
Papa menuntunku untuk duduk di kursi, kemudian dengan cekatan memberiku air putih bersamaan dengan tangisanku mereda.
"Terima kasih Pa..." balasku sembari menerima air putih yang diberikan oleh Papa.
Aku terdiam sembari mengatur perasaanku yang berantakan ini,"Pa, beri waktu Veli untuk menyendiri ya..." izinku pada Papa sembari bangkit dari sofa ruang keluarga.
Papa mengangguk dan tersenyum padaku,"Semoga besok pagi harimu lebih baik ya..." kata Papa.
Aku tersenyum,"Aamiin, terima kasih Pa...maaf kalau malam ini Veli belum bisa menemani Papa melihat acara favorit Papa di televisi" balasku merasa tidak enak hati.
"Tenangkan pikiranmu dan hatimu Vel, Papa tidak ingin melihat kamu besok dengan perasaan yang sama seperti malam ini" kata Papa mengerti.
Aku mengangguk,"Veli akan jauh lebih kuat dari hari ini..." balasku yang membuat Papa tertawa.
Aku refleks ikut tertawa saat melihat Papa tertawa juga.
...****************...
Entah terbuat dari apa hatiku ini, bisa-bisanya perlakuannya yang kemarin selalu memberi maaf untuk Nino, padahal tingkahnya yang kelewat itu selalu menguras air mataku. Tapi aku semakin menyayanginya.
Aku tahu itu sangat menyakitkan dan teman-teman terdekatku Fika, Arum, Rika selalu menyarankan untuk menyudahi hubungan ini. Tetapi aku tak bisa setega itu melakukan pada Nino. Perasaanku pada Nino terlalu dalam.
Kejadian semalam beberapa hari yang lalu, bahkan aku melupakannya dan seolah tak merasa terjadi apa-apa di antara aku dan Nino.
Pagi ini, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di kamarku terdengar suara ponselku berbunyi. Setelah kulihat ponsel, ternyata ada notif pesan masuk dari Rika yang mengatakan bahwa kuliah nanti sore kosong karena sang Dosen prepare untuk luar kota. Aku tersenyum girang saat membaca pesan Whatsapps dari Rika. “Akhirnya sore ini aku bisa menemani Nino cari kado untuk Mama Helen yang minggu depan berulang tahun” batinku senang dan segera kuberitahu Nino tentang kabar ini.
Tak butuh waktu lama, ternyata pesanku langsung centang dua warna biru tertera di chat Nino. Aku berharap Nino segera membalasnya, tapi aku salah duga, ternyata hanya di-read saja pesanku pagi ini.
Sedikit kecewa mendapati Nino mengabaikan pesanku pagi ini, tapi aku berusaha bepikir positif karena mungkin dia sudah mulai berangkat kerja. Iya, calon suamiku bekerja di kantor animasi pembuatan kartun dan Nino menjabat sebagai animatornya.
Sampai sore hari tiba, Nino masih belum memberiku kabar tentang ajakannya untuk mencari kado. Aku menunggu dan terus menunggu sampai Nino memberiku kabar. Hingga waktu Maghrib tiba, ternyata Nino tak ada kabar. Aku menyerah menunggu kabar darinya dan aku memutuskan untuk menghapus make up-ku dengan perasaan kecewa. Tak ingin berlarut dalam kekecewaan yang cukup panjang, aku segera mengambil air wudhu untuk menunaikan Solat Maghrib.
Setelah menunaikan Solat Maghrib, hatiku lebih tenang dan lega.
Lagi dan lagi, aku hanya bisa mengelus dada dan berkata”Sabar Veli, sabar..... Mungkin project Nino hari ini banyak sekali, jadi masih sibuk di kantor” tenangku kemudian sembari berpikir positif.
Setelah dirasa tenang, aku segera beranjak keluar kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur untuk mengolah makanan. Sebelumnya aku menuju dapur dan melihat bahan makanan yang ada di kulkas. “Masak apa ya?” pikirku sembari mencari ide masakan malam ini.
Setelah bergulat hampir 15 menit dengan ide masakan, akhirnya aku memutuskan untuk membuat sop dan perkedel kentang kornet. Ku olah masakanku untuk malam ini, dengan cekatan aku meracik makan malam. Porsinya tidak banyak sih, hanya berdua. Aku dan Papa. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul hampir 18.30
“Mungkin sebentar lagi Papa pulang dari kantor” gumamku yang masih mengolah menu perkedel kornet malam ini, karena sop sudah jadi.
Baru mulai menggoreng perkedel kornet, kudengar Papa masuk ke rumah dan melihatku sedang memasak.
“Hay Pa...” senyumku menyapa beliau.
Papa menghampiriku di dapur, lalu melihatku sedang mengolah masakan untuk malam ini. “Bakat memasak dari Mama nurun ke kamu Vel...” puji Papa saat aku sedang memasukkan adonan selanjutnya.
“Iya dong Pa, sebentar lagi kan Veli akan menjadi seorang istri juga seperti Mama” senyumku tersipu.
Papa tampak terharu saat melihat anak gadisnya akan menjadi istri orang,“Papa yakin pasti kamu akan jadi seorang istri yang terbaik untuk Nino” ucap Papa meyakinkanku.
Aku mengangguk haru saat beliau mengatakan demikian, rasanya Papa benar-benar mendukungku berhubungan dengan Nino. “Terima kasih Pa, untuk support nya. Veli pasti bisa” ucapku yang masih tak bisa berkata apa-apa. “Entah kenapa aku masih saja mempertahankan hubungan yang sudah termasuk toxic ini, padahal Papa dan para sahabatku sudah memberi peringatan jika harus disudahi. Tapi dalam hati kecilku berkata Nino akan berubah menjadi lebih baik lagi” ucapku dalam hati sembari menahan rasa perih di dada.
Setelah itu Papa membersihkan diri dan aku melanjutkan mengolah masakanku. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini, berdua dengan Papa di rumah sebesar ini.
Kenapa berdua dengan Papa? Karena Mama ku sudah meninggal beberapa tahun lalu saat aku menginjak masa SMA. Hancur sudah hatiku saat mengetahui Mama menghembuskan nafas terakhir nya di rumah sakit karena kanker rahim yang beliau derita sejak aku masih kecil. Berangan-angan ingin merasakan punya adik, ternyata Mama sudah mempunyai penyakit kanker rahim. Dari situlah aku merasakan kesedihan mendalam, kesedihan yang tentunya dirasakan Mama dan Papa. Sejak Mama meninggal, aku memutuskan untuk hidup mandiri. Mulai dari urusan bersih-bersih rumah, memasak, mencuci dan semua pekerjaan yang lain. Kadang Papa membantuku mengurusi ini semua, atau kadang juga ada pembantu yang setengah hari bekerja di rumahku untuk membereskan semua. Tetapi saat kantor Papa sesibuk ini, aku mengambil alih karena nyatanya aku hanya tinggal skripsi dan beberapa mengulang mata kuliah di semester ini. Kadang aku membantu pekerjaan calon suamiku untuk menerima order sebagai pembuat gambar animasi, hasilnya kusisihkan untuk menabung sebagai biaya pernikahanku kelak.
Malam ini aku tengah melepas lelahku. Aku yang hendak memejamkan mata terhenti karena teringat ponselku belum mengecek kabar Nino malam ini. Ku buka sosmed di ponsel dan ternyata Nino mengirim pesan untukku. Segera kubaca pesan darinya dengan perasaan lega.
Sayangggg.... maaf, aku hari ini benar2 sibuk hari ini. Malam minggu saja ya kita hunting kado untuk Mama. Love you Veli 😘🤗
Setelah ku baca pesan darinya, aku sedikit terkejut karena tak biasanya Nino memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’.
Kini aku membalas pesan di WhatApps nya dengan perasaan senang bercampur salah tingkah. Walau hanya sebentar, karena saking tak bisa menahan rasa kantukku malam ini, aku tertidur juga malam ini tanpa mengetahui Nino membalasnya lagi.
...****************...
Suasana kampus siang ini ramai sekali, apalagi di ruang kuliahku yang ku tempati ini setelah dosen pengampu keluar dari ruang kuliah bersamaan dengan teman-teman kelasku juga keluar ruangan kuliah juga.
Kini, setelah mengikuti kuliah di ruang 1.a1 lanjut menuju ruang kuliah yang berada tak jauh dari ruang kuliah tadi. Aku dan ketiga temanku segera melangkahkan kaki menuju ruang 1.a4. Di penghujung akhir semester, jadwal kuliah semakin padat apalagi akhir bulan ini akan menyibukkan dengan skripsi.
“Gimana tuh hubunganmu dengan Nino? Masih betah kamu pacaran sama pria yang suka ringan tangan dengan cewek?” tanya Arum membuka pembicaraan.
Aku yang sedari tadi mendengarkan Fika bercerita terhenti dan kemudian menoleh kearah Arum. “Masih kok, kami baik-baik saja” jawabku santai.
“Yakin? Baik-baik saja? Sepertinya kamu beberapa hari yang lalu cerita sama kita-kita kalau kamu habis ditampar lagi sama dia” timpal Rika yang mengingat ceritaku beberapa hari yang lalu.
Kini aku menoleh kearah Rika dan hanya merespon dengan tersenyum getir.
“Terus mau sampai kapan kamu dapat perlakuan kasar dari calon suamimu itu Veli......” geram Arum sembari menggoncangkan tubuhku, “aku merasa kasihan aja masa kamu selalu dapat perlakuan kasar darinya terus” lanjut Arum dengan suara lirih.
Saat Arum berkata demikian, aku memandangi cincin tunanganku yang beberapa bulan lalu Nino sematkan di jari manisku sewaktu moment pertunanganku dengannya.
Awalnya, ekspresiku tersenyum sembari mengenang sweet moment itu. Tapi tak lama setelah itu aku langsung terdiam begitu saja dan perasaan sedih langsung bergemuruh sakit sekali di dadaku mengingat sifat Nino yang ringan tangan.
Tanpa sadar, aku mengatakan”Entahlah, Guys. Aku sendiri juga nggak tahu bisa bertahan sampai kapan kalau begini terus. Padahal awal aku pacaran dengannya sampai aku bercerita sama nisan Mama kalau aku sudah mempunyai seseorang special yaitu Nino.......”
Ceritaku terhenti karena mereka langsung memelukku dan tanpa sadar aku menitikkan air mata. “Sabar ya Vel, semua pasti ada jalan keluarnya. Tetaplah tegar kawan. Allah akan selalu bersamamu” bisik Arum sembari menenangkan perasaanku.
"Aku akan berusaha kuat untuk semua ini" balasku disela-sela isakan tangisku.
Mereka tampak mempererat pelukannya untukku.
"Sudah...sudah...cewek sepertimu tidak pantas menangis untuk urusan cinta Veliiii" celetuk Rika yang membuat kami tertawa serentak.
...****************...
Malam minggu tiba, aku yang sudah siap pergi dengan Nino untuk mencarikan kado ulang tahun si Calon Mama Mertua sekalian ber-quality time. Aku yang hendak keluar kamar, karena Nino sudah menantiku di ruang tamu, tiba-tiba aku merasa penyakit maag-ku kambuh. Rasa sakit tak terkira membuatku langsung merasa lemas sekali. Tapi aku tak peduli, kuusahan untuk bangun dari ranjang walau sakit lambungku karena maag kambuh semakin menjadi.
“Vel, kamu mau kemana?” tanya Papa saat berpapasan denganku di depan kamarku.
Aku menghentikan langkah dengan posisi masih berdiri di depan ambang pintu kamar.”Mau pergi sama Nino, Pa...” senyumku tersipu. “lagian sudah di tunggu di ruang tamu Pa. Veli pergi dulu ya” ucapku sembari mencium punggung tangan Papa dengan hormat.
Mendadak Papa menatapku lekat-lekat. “Vel, kenapa wajahmu pucat?” tanya Papa cemas karena melihatku dengan wajah yang pucat.
Aku terkejut saat beliau menanyai tentang kondisi pucatku.”Ah, Veli nggak apa kok Pa. Perasaan Papa saja kali” ujarku sembari menahan rasa perih dilambung.
Ekspresi Papa langsung manggut-manggut lalu mengindahkan permintaanku untuk pergi bersama Nino malam ini.” Ya sudah, kamu hati-hati Nak, jangan pulang terlalu malam ya” pesan Papa sembari membalai rambutku dengan sayang.
Aku mengangguk patuh dengan seulas senyum sembari menuruni anak tangga.
Saat menuruni anak tangga, rasa sakitku semakin tak tertahan. Tapi aku berusaha untuk menahan rasa sakitku.
Sementara di ruang tamu, Nino dari tadi duduk dengan memasang ekspresi tak sabar dan seperti biasa dia seperti menahan emosinya untuk memarahiku. Aku yang baru saja menemui Nino di ruang tamu, tampak ekspresi wajah Nino sudah tidak menyenangkan.
Aku tersenyum saat menyambutnya di ruang tamu, tapi yang kuterima ternyata tarikan tangan Nino yang rasanya ingin aku menjerit karena kesakitan. Aku yang akan meronta kesakitan tak membuat Nino peduli dengan rasa sakit di pergelangan tanganku.
Nino langsung menyuruhku untuk lekas memasuki mobil, sementara Nino juga segera masuk mobil. Lalu mesin mobil dinyalakan dan mobil meninggalkan pekarangan rumahku.
Lagi dan lagi Nino mengomeliku karena keterlambatanku atas rencana malam ini. Aku hanya diam saja seperti biasa sembari menahan rasa sakit maag yang sudah kurasa sangat sakit dan memegangi pergelangan tanganku yang masih sakit karena Nino tadi meremasnya.
“Nggak bisa apa, kamu bersiap-siap lebih ontime lagi dari tadi?” cerocos Nino kesal.
“Maaf Nino, sebenarnya aku sudah siap dari tadi, tapi maag ku kambuh. Dan rasa sakit ini semakin sakit sekali. Itu yang membuatku lama untuk menemuimu di ruang tamu” ucapku tapi dari dalam hati sembari menundukkan kepala dan tidak berani menatap wajah Nino yang terlihat marah sekali.
Kemarahan Nino membuat sakit maag-ku semakin menjadi, segera ku keluarkan obat maag dari tasku lalu meminum air putih yang sengaja kubawa dan kumasukkan di botol minum.
Saat aku menutup botol minum, Nino tampak menoleh.”Kenapa kamu? Maagnya kambuh lagi?” tanya Nino saat melihatku tengah meminum obat maag sembari mengemudi mobilnya.
Aku hanya mengangguk pelan tanpa menoleh kearah Nino yang menanyaiku sembari memasukkan botol minum di tasku lagi.
“Aaaarrrggghhhh!!!!.......” teriak Nino semakin kesal. “kenapa kamu nggak cerita padaku dari tadi kalau maag-mu kambuh?” tanya Nino sembari menoleh kearahku lagi dengan tatapan menusuk.
Kemarahannya malam ini, membuatku masih tidak berani untuk membalas menoleh kearahnya sedikitpun. Aku semakin takut karena kemarahannya. Padahal kedua orangtuaku tak pernah memarahiku sedikitpun, mereka sangat menyayangiku.
Tapi entah kenapa, aku memberanikan diri untuk memberi alasan sembari bergumam pelan.”Maaf Sayang, tadi aku mau bilang begitu sama kamu. Tapi kamu malah keburu marah sama aku sampai menarik tanganku ini” ucapku pada Nino sembari menunjukkan bekas cengkeraman tangan Nino yang membekas merah.
Ekspresi Nino tampak acuh saat kuperlihatkan tanganku memerah karena bekas cengkeraman tangan Nino yang kuat tadi.
“Ck, manja banget. Baru segitunya kamu udah protes” respon Nino cuek.
Mendengar respon Nino yang semakin tak mempedulikanku, rasanya air mataku ingin menetes lagi. Iya, menahan tangisanku yang ingin tumpah karena responnya lagi-lagi terdengar tak menyenangkan.
Setelah pertengkaran tadi, kami memilih untuk diam. Aku menikmati pemandangan di jalan dari kaca mobil, sementara Nino fokus untuk menyetir mobilnya.
Malam ini, rasanya ingin cepat pulang saja dan langsung tidur karena aku seperti diacuhkan olehnya dari tadi di mobil dan saat tengah menyantap makan malam di cafe setelah mencari kado untuk calon Mama mertua sembari memainkan ponselnya. Saat Nino melihatku tidak menyantap makanan di hadapanku, tampak langsung memelototiku.
“Makan!!!” bentak Nino menyuruhku untuk makan.
Aku membalas dengan meliriknya singkat, lalu mengaduk-aduk nasi goreng yang masih utuh di piring sembari menjawab dengan santai.”Nggak nafsu makan...”
“Makan Vel! Maag mu lagi kambuh!!!” bentak Nino lagi.
Aku menggeleng pertanda menolak permintaannya kali ini. “Peduli apa kamu dengan penyakit maag ku ini?” ketusku tanpa sadar, “biarin saja sampai kambuh yang parah, supaya aku lekas mati. Itu kan yang kamu mau!!!” lanjutku yang tak bisa menahan emosiku malam ini.
Tampak Nino langsung tersulut emosi juga dan hendak menamparku tapi tidak jadi.
“Tampar saja aku, lagian aku juga sudah kebal dengan tamparanmu” tantangku benar-benar marah.
Nino langsung terdiam dan tidak jadi menamparku saat aku terlihat sangat emosi darinya.
“Kenapa diam Nino? Memang selama ini aku nggak bisa terlihat marah begitu. aku lemah gitu di depanmu???” marahku tak tertahankan tanpa mempedulikan sekeliling yang melihat pertengkaranku dengan Nino.
Kulihat Nino terdiam tak membalas memarahiku. Dia tampak kehabisan kata-kata saat melihatku tak biasanya semarah ini.
“Aku selama ini menahan semua amarahku. Aku selama ini mengalah sama kamu. Karena aku nggak ingin kita bertengkar Nino!!!! Kamu selalu mencari masalah terlebih dahulu. Mana janjimu dulu sebelum kamu melamarku” lanjutku yang masih memarahi Nino sembari menunjukkan cincin tunangan darinya yang dulu Nino sematkan di jari manisku sebelah kiri.
“Kalau kamu masih kasar padaku, lebih baik cincin ini aku lepas Nino. Aku lelah kalau kita pacaran seperti ini terus” tambahku dengan nada ketus sembari melonggarkan cincin di jari manis sebelah kiri.
Nino terkejut mendapatiku ingin melepaskan cincin tunangannya.”Vel, aku mohon kamu jangan lakukan ini ya...” bujuk Nino menyuruhku untuk merapatkan kembali cincin yang tadi aku longgarkan.”Malu Sayang, di lihat banyak orang begini” lanjut Nino merapatkan cincin di jari manisku.
Tapi aku menampik tangan Nino yang ingin merapatkan cincin di jari manisku. Kutatap Nino dengan tatapan dingin yang membuat Nino menjadi serbasalah, kemudian aku mendiamkannya tapi Nino semakin terdiam. Setelah itu tak ada respon dari Nino, aku berdecak sebal lalu segera mengemasi barang-barang di depanku untuk segera kumasukkan dalam tas. Saat aku akan meninggalkan Nino seorang diri, tiba-tiba tanganku tertahan olehnya.
Langkahku terhenti lalu menoleh malas kearahnya,”Kenapa lagi?” responku terdengar ketus.
“Jangan tinggalkan aku Sayang. Aku minta maaf” ucap Nino serak yang tangannya masih menahan tanganku.
Mendengarkannya meminta maaf, aku yang bergantian dibuat tertegun. Saat mendengar ucapannya hatiku semakin bimbang untuk segera memaafkannya atau sebaliknya.
“Oh, aku belum sepenuhnya mempercayai ucapanmu baru saja” responku masih ketus.
Aku lihat, Nino sedang memohon.”Janji Veli, aku janji” ucap Nino meyakinkanku sembari mengacungkan kelingking kanannya untuk disatukan pada kelingking jari tanganku.
Awalnya aku masih saja merasa sebal karena kejadian memalukan yang baru saja terjadi membuatku CUKUP TAU untuk hubungan ini.
Rasa kesal, emosi, dan bodo amat langsung sepenuhnya merasuk ke dadaku. Cukup kali ini amarahku terlampiaskan begitu saja. Aku memilih untuk diam dan mengalah.
Melihat ekspresi itu, Nino membujukku untuk berbaikan lagi padaku. Memohon dan memohon di depanku seperti biasa dia lakukan. Perlahan emosi itu hilang dan entah kenapa aku kembali mempercayainya, kembali memaafkan sifat ringan tangannya lalu tergantikan oleh seulas senyuman saat Nino masih memintaku untuk mengaitkan kelingkingnya di kelingking jariku.
Aku mengangguk setuju sembari mengaitkan kelingkingku ke kelingking Nino. Kulihat Nino tersenyum juga kearahku. Setelah itu Nino memelukku dan mengecup keningku dengan lembut lalu membisikkan.”Maafkan aku ya, selama ini tak mempedulikanmu dan kasar padamu. Kali ini yang terakhir aku melakukan semua padamu.”
Aku mengangguk sembari menitikkan air mata haru saat Nino membisikkan hal tersebut padaku.”Iya Sayang, aku selalu memaafkanmu. Jangan ulangi lagi ya” balasku sembari meyakinkan hati.
Nino melepaskan pelukannya dan mengangguk sembari tersenyum manis di hadapanku. Rasanya sejuk melihatnya tersenyum seperti ini, ada energi berbeda saat Nino tersenyum padaku.
Tak lama setelah itu, aku dan Nino pulang dengan perasaan tenang. Sementara di dalam mobil kami hanya saling diam.
...****************...
Ternyata kejadian malam minggu itu tak bertahan lama. Aku dan Nino bertengkar lagi karena masalah sepele, yakni aku tidak tahu kalau Nino meneleponku saat aku tengah keluar rumah untuk membeli sesuatu di minimarket dekat perumahanku. Lagian dari tadi dia tengah sibuk kerja, mana berani aku mengganggunya. Akhirnya ponsel sengaja ku tinggal sebentar, karena pikirku hanya sebentar. Tapi ternyata sepulangku dari minimarket dan saat mengangkat telepon darinya, tampak dari telepon Nino langsung marah-marah panjang lebar. Sementara, aku sendiri hanya bisa mendengarkannya memarahiku lagi lewat telepon.
Setelah Nino berhenti memarahiku, aku langsung berkomentar.”Masih saja suka memarahiku, mana janjimu seminggu yang lalu kalau berhenti untuk marah-marah Sayang. Aku minta untuk kamu berubah” balasku dengan nada lembut dari dalam telepon. “Aku percaya Sayang, kamu yang terbaik untukku” tambahku meyakinkan calon suamiku.
Kudengar dari dalam telepon, Nino masih saja belum mengeluarkan suaranya. “Ya sudah Sayang, kalau kamu masih ragu, kamu masih bisa dipikirkan baik-baik. Atau aku ambil jalan tengahnya saja, kita jangan ketemuan dulu sebelum kamu benar-benar berubah. Love you Nino” ucapku sembari mematikan telepon dari Nino karena tak ada respon darinya lagi.
Setelah aku menutup telepon darinya, rasa sesak langsung bergemuruh di dadaku dan tak lama setelah itu aku menitikkan air mata.”Maaf Nino, tak seharusnya aku mengatakan itu padamu. Aku menyayangimu, sangat.... tapi aku selalu tak tahan dengan perlakuanmu. Semoga ini keputusan terbaik Sayang untuk kamu dan aku” ucapku sembari memejamkan mata dan langsung menghapus airmata.
...****************...
Sementara di rumah Nino, tepat di kamar pribadi Nino. Tampak Nino masih belum percaya dengan apa yang Veli katakan untuknya. Sebenarnya Nino juga menyayangi Veli, tapi kadang Nino selalu diluar batas untuk menghadapi calon istrinya yang Nino anggap kalau Veli itu cerewet. Padahal perlakuan Veli yang satu ini menandakan bahwa Veli sangat mempedulikannya.
“Tak bertemu dengan Veli sebelum aku berubah sikap? Tapi aku tak bisa melakukannya, aku tak sanggup Vel” gumam Nino larut dalam keputusasaannya.
Nino langsung mengingat saat dirinya memperlakukan Veli dengan kasar. Veli yang tengah menjerit atau meronta kesakitan tak membuat Nino peduli, malah Nino menganggapnya itu adalah cengeng.
Sebenarnya Nino tahu bahwa perlakuannya terhadap Veli di luar batas. Malam ini Nino seperti larut dalam kesedihan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Menyesali perbuatan kasarnya, “Kenapa aku lagi-lagi tak bisa mengontrol emosi lagi sih?” ucapnya sembari meruntukki diri sendiri, “Aku ini calon suaminya yang seharusnya melindungi, menyayangi dan setidaknya bersikap romantis terhadapnya. Tapi apa aku bisa melakukan untuknya” pikir Nino sembari mondar-mandir di dalam kamarnya. “Aku bertahan dengan hubungan ini karena sosoknya yang dewasa. Jujur saja, aku menyayanginya. Maaf Sayang” gumam Nino menyesali perbuatan kasarnya.
Lagi dan lagi, Nino terbawa suasana saat teringat sesuatu yang menyakitkan.
...****************...
Pagi ini aku bangun pagi pukul 04.30. Rasa capekku kemarin tergantikan oleh rasa segar di badanku. Segera aku menunaikan Solat Subuh sebelum memulai aktivitas pagi ini.
Setelah selesai solat, aku merasa mataku seperti sembab, saat menyadari hal itu aku langsung terkejut karena semalam aku habis menangis. “Seharusnya, kemarin malam aku tak mengatakan seperti itu pada Nino” gumamku menyesali ucapanku semalam untuk Nino.
Aku mendudukkan diri di tepi ranjang sembari melipat alat solat dan merenungkan sesuatu, rasanya terbawa pada kenangan saat pertama kali bertemu Nino di kampus yang sama. Tapi, saat aku tengah menempuh semester ke 4, sedangkan Nino sudah berada di semester paling akhir dan tengah mempersiapkan untuk wisudanya. Pertemuan tak sengaja membuatku dan Nino langsung melakukan pendekatan. Penampilan Nino saat itu seperti dosen muda, entahlah dia membuatku terpesona.
Beberapa bulan setelah pertemuanku dengan Nino, dia mengatakan cintanya padaku.
Dua setengah tahun aku berpacaran dengannya, akhirnya Nino melamarku untuk dijadikan calon istrinya kelak. Tepat 3 bulan lalu dimana aku bertambah usiaku menjadi 22 tahun. Sangat-sangat bahagia sekali saat hari pertunangan Nino menyematkan cincin di jari manisku sebelah kiri.
"Velincia Viona Crisanty, maukah kamu menjadi Istriku?" ucap Nino di hadapan semua dan terlihat gugup.
Aku membalas dengan tersenyum malu-malu sambil mengangguk kearahnya.
Nino yang tadinya terlihat tegang, kini ekspresi wajahnya berubah lega dan tak lupa menyunggingkan senyuman.
Setelah itu, Nino segera menyematkan cincin pertunangan yang dipegang oleh Mama Helen, Mama Nino.
"Tenang, aku memang ingin mengikat hubungan kita ini sembari menunggu kamu selesai kuliah dan juga sembari menabung untuk acara pernikahan kita nantinya" ucap Nino.
Aku mengangguk,"Iya Sayang, aku nggak keberatan kok. Terima kasih ya" balasku yang ternyata sudah menitikkan airmata haru.
Nino reflek memelukku di depan semua tamu yang hadir diacara pertunangan kami.
Tiba-tiba terdengar lagu ulang tahun yang ternyata sudah dipersiapkan oleh Papa, Tante Rachel, dan Calon Mertuaku.
Aku tersenyum sangat bahagia saat itu. Bahagia itu aku rasakan sesaat setelah mengetahui bahwa Calon Suamiku ternyata tempramen dan ringan tangan.
Lamunanku buyar saat teringat perlakuan kasarnya, aku cepat-cepat menghapus bayangannya dan sadar bahwa jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 06.30. Aku langsung terperanjat karena pagi ini ada janji dengan dosen untuk bimbingan skripsi. Segera aku bergegas untuk persiapan menuju kampus pagi ini.
...****************...
Sesampainya kantor, Nino langsung bergegas masuk ke ruang animasinya. Di dalam ruangannya, banyak kumpulan gambar-gambar yang belum Nino selesaikan lewat komputer. Belum lagi gambar-gambar yang sudah di komputer, masih menumpuk beberapa.
Ekspresi Nino pagi ini saat mengamati sketsa gambarnya yang masih menggunakan pensil tampak tersenyum puas. Dari kumpulan gambar yang Nino pajang, ada satu gambar Nino yang menurut Nino sangat special. Yakni gambar Veli dengan ekspresi tersenyum, gambar itu diamati Nino tanpa henti. Tak lama setelah itu hati Nino sangat gusar karena sampai jam segini Veli tak ada kabar. Nino langsung gelisah, padahal Nino biasanya tak se gelisah ini. Tapi hari ini Nino tampak gelisah sekali dan sesekali menunggu chat via WhatApps dari Veli tak kunjung muncul.
“Apa sebaiknya aku lebih dulu memberi kabar untuk Veli?” gumam Nino bimbang sembari mengamati layar ponselnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Nino langsung mengetik chat via WhatApps untuk Veli. Jempolnya lincah saat menyentuh keyboard ponselnya untuk mengetik pesan pada Veli. Tak lama setelah itu, chat WhatApps terkirim dengan tanda centang dua berwarna abu-abu. Mendapati itu, Nino langsung tersenyum lega, berharap chat-nya langsung dibalas Veli.
Nino memang begitu, kadang dia bisa menjadi kasar. Kadang pula dia bisa menjadi lemah lembut.
"NINOOO!! HARI INI HARUS SELESAI YAAA" teriak Pak Surya yang membuat Nino terperanjat kaget.
Ponsel yang dibawa Nino hampir saja terjatuh. Kemudian dia melirik kesal kearah atasannya yang super rese itu.
"Baik Pak, hampir sedikit lagi selesai" balas Nino dengan memasang ekspresi senyum terpaksa pada atasannya walau dalam hatinya, masih sangat kesal.
Baru beberapa tahap penyelesaian, terdengar suara kunyahan kerupuk yang menurut Nino itu mengganggu konsentrasinya.
"Berisik...." omel Nino tertahan karena Faris menjejalkan keripik kentang yang ia bawa.
Mau tak mau, Nino segera mengunyah keripik tersebut dengan perasaan kesal.
Melihat pemandangan itu, Roni terkekeh geli."Udah, lanjutin aja ngerjain Nino. Sepertinya seru..." sambung Roni yang membuat satu ruangan tertawa.
"Seneng kan, temennya diginiin..." protes Nino sembari melirik kesal kearah Roni.
Roni meringis kearah Nino sembari melempar tanda V kearah Nino,"Udah, nggak usah protes ya. Kita ini kerja team. Jadi jangan merasa sok jadi makhluk INDIVIDU!" ucap Roni penuh penekanan.
"Ck!" decak Nino kesal,"iya...iya...ini lagi kejar date line siang ini" omel Nino lagi yang mulai berkutat dengan pekerjaannya di PC kantor.
Roni semakin tergelak saat mendengarkan Nino mengomel, lalu dengan iseng melempar kulit kuaci yang dia cemil sembari berlari untuk menyelamatkan diri.
"RONIIIIII......" dengus Nino semakin kesal.
...****************...
Pagi ini, seperti biasa aku sedang melakukan konsultasi untuk skripsiku. Tak butuh waktu lama untuk menunggu Bu Bela datang, beliau langsung mengoreksi berkas skripsiku dengan serius.
“Veli, BAB 3 mu sudah sempurna. Mungkin ada beberapa yang harus kamu perbaiki. Kalau bisa kamu melihat contoh skripsi kakak kelas yang tahun kemarin, sepertinya ada judul yang berkaitan dengan skripsi yang kamu buat sekarang” terang Bu Bela Dosen Pembimbing skripsiku saat beliau menjelaskan tentang perkembangan skripsi yang sudah maju di BAB selanjutnya.
Ekspresiku tersenyum senang saat beliau memberiku arahan tentang konsultasi skripsi yang kukerjakan dua hari yang lalu. Semangatku terpacu untuk melanjutkan BAB berikutnya. Saat konsultasi skripsiku selesai, segera aku mengemasi berkas skripsi yang Bu Bela koreksi pagi ini. Yups, tanpa terasa aku kini sudah menginjak semester akhir. Skripsi adalah menu sehari-hariku untuk menyandang gelar Sarjana. Waktu begitu terasa cepat, aku tak sabar memakai jubah Toga saat wisudaan nanti.
“Kamu bisa melanjutkan skripsimu ke BAB selanjutnya Veli” senyum Bu Bela sembari menyodorkan berkas skripsi padaku.
“Baik Bu, nanti Saya lanjutkan pada Bab berikutnya. Terima kasih atas waktunya Ibu untuk mengoreksi Skripsi Saya. Kalau begitu Saya permisi dulu” pamitku yang masih menyunggingkan senyum lega untuk Dosen Pembimbingku pagi ini.
Tampak Bu Bela mengangguk penuh senyum ramah padaku. Saat aku akan meninggalkan ruangan beliau terhenti karena,”Kamu pulang bawa mobil sendiri atau sama calonmu itu?” tanya Bu Bela tiba-tiba.
Langkahku terhenti saat beliau bertanya demikian.”Bawa mobil sendiri Bu, biasa sama teman-teman” jawabku sembari menyunggingkan senyuman, walau pahit dihati karena Bu Bela menanyakan hal tersebut padaku.
Langsung ekspresi Bu Bela hanya manggut-manggut mengerti. Lalu Beliau segera menyilakanku untuk keluar dari ruangannya.
Setelah berkonsultasi skripsi pagi ini, aku tersenyum lega karena mengingat skripsiku hampir saja terselesaikan pada semester ini. Aku semakin semangat untuk mengetik Bab berikutnya yang telah kurangkum jauh-jauh hari.
Terdengar suara notifikasi di Aplikasi WhatApps berkali-kali membuatku segera mengecek ponsel yang ku masukkan ke dalam tas dari tadi.
Rika : Vel, kamu dimana? Aku tunggu di tempat biasa sama Fika dan Arum yaaa.....
Nino❤️ : Pagi Sayangku.... kok tumben banget kamu nggak WA aku duluan. Aku kangen kamu Sayanggg. Love you..... jangan lupa makan yang tepat waktu yaa.......
Maya : Veli.... Bu Bela masih ada di ruangan kan? Kamu ada dimana? Aku mau lihat skripsimu dong, katanya udah bimbingan pagi ini.
Dan masih ada lima pesan WhatApps lagi dari teman-temanku. Ekspresiku makin tersenyum melihat banyak pesan dari teman-teman. Tapi tidak buat Nino waktu mengetahui mengirim pesan untukku pagi ini. Setelah membuka pesan dari Nino, aku hanya membacanya saja tanpa membalas pesannya.”Sok peduli banget ini orang. Buang-buang waktu saja” sebalku langsung menghapus pesan darinya.
Aku kembali fokus untuk membalas pesan dari teman-teman, tapi teriakan seseorang langsung membuatku refleks mendongak dan mencari sumber suara yang memanggilku.
“Veli..........” panggil seseorang itu yang tak lain Maya.
Aku menyambut Maya dengan senyuman senang.”Hay May, maaf ya aku baru saja selesai konsultasi ini. Ada beliau kok di ruangan. Hari ini beliau nggak kemana-mana” terangku pada Maya
Ekspresi Maya langsung berbinar-binar dan tampaknya dia semangat sekali untuk bertemu sang Dosen Pembimbing yang sama denganku. “Thanks Veli...” ucap Maya senang sembari memelukku. “Yasudah, aku keburu nih mau segera ketemu beliau” pamit Maya segera melepaskan pelukannya dan meninggalkanku seorang diri.
“Oke deh kalau begitu. Semangat yaaa” support-ku untuk Maya.
Maya menoleh dan membalas dengan mengacungkan jempolnya, aku tersenyum. Langkah Maya dilanjutkan untuk masuk ke dalam ruangan Bu Bela dan aku sendiri segera mencari Fika, Rika, dan Arum di kantin Express.
...****************...
Pagi menjelang siang ini, Nino baru saja selesai meeting dengan beberapa teman-teman dari kantor cabang lain karena membahas tentang persiapan konsep gambar pembuatan animasi untuk spanduk produk kantornya. Biasanya, Nino menyukai konsep spanduk yang cerah dan pastinya supaya menarik konsumen. Berbagai pesanan seperti dekorasi ulang tahun, pembuatan MMT, dekorasi kamar anak, spanduk, brosur, bahkan Undangan Pernikahan dan ulang tahun yang berkonsep unik siap Nino buat sesuai pesanan pelanggan.
Sembari Nino menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya, di keluarkannya ponsel yang dari tadi ia simpan di saku celana kain berwarna biru donker. Jempol kanannya dengan lincah menggeser setiap aplikasi yang ia buka, saat jempol menyentuh aplikasi WhatApps, segera membuka balasan chat dari Veli. Tapi ternyata di hapus, mendapati itu Nino berdecak kecewa. Nino berpikir bahwa Veli sebelumnya tak pernah melakukan seperti ini, tapi ini malah menghapusnya. Di ketik ulang untuk menyapa sang pujaan hati lewat WhatApps tapi ternyata sampai malam pun tak di respon.
"Kenapa, tiba-tiba muka langsung kusut habis meeting?" tanya Faris sembari menyikut Nino.
Belum sempat Nino membalas, Roni berceletuk"pasti pesannya belum di balas sama Ayang Veli..."
Nino melirik kesal kearah Roni, lalu melempar gulungan tisu kearahnya. Tanpa merasa berdosa, Roni semakin terpingkal-pingkal.
Sementara Faris langsung menggelengkan kepala, setelah itu dia menanyakan Nino."Memang benar apa yang dikatakan Roni tadi?"
Nino menggangguk cepat,"Iya, dia belum balas pesanku" balas Nino dengan ekspresi cemberut.
Faris langsung mengangguk mengerti,"Yasudah ditunggu saja balasannya" kata Faris.
Nino membalas dengan tersenyum tipis kearah Faris, setelah itu mereka kembali melakukan aktivitas seperti biasa.
...****************...
Setelah mengakhiri pertemuanku dengan ketiga sahabatku, aku masih terdiam sembari sesekali menyeruput minumanku yang sisa sedikit lagi di Kantin Express.
Menimbang-nimbang apakah aku harus membalas pesannya Nino atau tidak, sejujurnya aku masih sakit hati karena dia tidak mau berubah. Aku saat ini sedang membuka pesan darinya dan masih kubaca, tiba-tiba aku merasa ada aliran hangat yang menetes di pipi. Aku menangis mengingat perlakuan kasarnya itu, disisi lain Papa juga tidak akan merestui hubungan ini jikalau Nino masih berbuat kasar padaku.
Aku terdiam sesaat, lalu pelan-pelan menghapus airmata yang tersisa dipipi. Aku kembali membaca pesannya yang dari tadi aku abaikan.
"Rasanya hatiku sakit sekali mengingat perlakuan ringan tangannya" gumamku pelan sembari melihat pesannya tanpa aku balas.
Aku kembali terdiam cukup lama hingga memikirkan letak kesalahanku ada dimana.
Setelah perasaanku jauh lebih baik, aku segera beranjak dari Kantin Expres kemudian pergi entah kemana.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!