“Eve…” suara lembutnya menyapa telingaku.
“Hmm?”
Rambut blondenya tersapu oleh angin yang bertiup dengan sangat lembut. Di pertengahan musim semi, kami berbaring di hamparan rumput hijau beralaskan karpet piknik berwarna kuning.
Mentari di atas jam 2 siang tidak terlalu menyengat. Di tengah taman di bawah pohon trembesi. Aku berbaring di dadanya, memperhatikan dia yang memejamkan mata dan kulit pucatnya tertumpah cahaya dari sela-sela rimbun pohon yang menaungi, menonjolkan ketampanan yang begitu halus. Tangannya yang selalu lembut padaku kini bermain di ujung rambutku membuat gerakan melingkar.
Aku tersenyum melihat pria tampan ini. Suamiku, Mason Zanela pria berdarah Italia-Amerika yang dipahat dengan indah. Pria yang sudah menemani hidupku selama 2 tahun. Pria yang tidak akan kusangka akan kusebut sebagai rumah. Aku ingat bagaimana Mason seperti setitik keindahan di hidupku yang penuh kekacauan. Menarikku dari dunia yang kupikir akan selamanya suram. Melingkarkan cincin dengan mata berlian kecil yang manis di jemariku, sambil mengucapkan sumpah untuk terus bersama, pria ini sudah menjadi pusat duniaku sepenuhnya, tempatku bergantung dan bersandar. Meski ia pernah membuat kesalahan, aku bersedia untuk menerimanya. Toh, tidak ada manusia yang tidak pernah salah. Terlebih aku hanya punya dia.
“Akankah kau terus mencintaiku?”
Aku mengangkat kepalaku, menatapnya yang masih memejamkan mata indahnya.
“Pertanyaan macam apa itu?” aku mengerutkan keningku.
“Meski hidup bersamaku sangat sulit. Apakah kau akan tetap mencintaiku?” tanya nya lagi kini tatapannya tertumpah padaku.
Aku mengerti kekhawatirannya. Menikah di usia muda, dengan masa depan yang belum pasti adalah tantangan yang kami hadapi saat ini. Bermodalkan cinta, kami berdua nekat untuk membangun rumah tangga. Mengumpulkan semuanya satu demi satu. Namun, yang terbaik adalah di tengah seluruh keterbatasan ini kami saling menguatkan satu sama lain.
“Bukankah aku masih disini bersamamu.”
“Aku lelaki yang banyak kekurangan.”
“Apakah aku pernah mengeluh?”
“Aku sungguh ingin membuatmu bahagia Eve,”
Iya, Aku tahu dia punya harga diri sebagai lelaki yang ingin membuat pasangannya nyaman bersama dengannya.
“Kalau begitu teruslah hujani aku dengan cintamu, seperti yang kau lakukan selama ini, hmm.”
Mason menatapku dengan mata olivenya yang cemerlang. Tangannya bergerak ke pipiku, membawa wajahku untuk lebih dekat dengan wajahnya. Mengelus pipiku dengan lembut, mengantarkan perasaan sayang di setiap elusannya.
apalagi yang kuminta? Mason seperti musim semi yang indah setelah musim dingin yang memenuhi perjalanan hidupku. Pria yang tidak pernah suka melihatku sibuk sendiri dengan pekerjaan rumah. Pria yang sudah menyediakan air panas setiap pagi sebelum dia berangkat bekerja untuk aku mandi. Yang selalu pulang dengan tersenyum bersama setangkai mawar tiap makan malam spesial kami. Yang selalu memuji dan memakan apapun yang kusediakan meski kutahu rasanya tak karuan. Selalu memujiku cantik meski yang kupakai hanya kaus lusuh. Selalu menjadi tempatku bersandar ketika mimpi-mimpi buruk itu kembali, ketika kecemasan dan hal-hal traumatis itu kembali menghantuiku, dia selalu menenangkan tanpa protes Cinta nya lah yang mengobatiku. Dan aku selalu bersyukur berkatnya.
Setidaknya sebelum kemudian semuanya berubah, dan menamparku dengan keras.
“Cintai aku dengan brutal hingga tak ada cela untuk aku merasa sedih.”
“Brutal?” dia mengangkat satu alisnya. “Mau sebrutal apa?” katanya mengerling nakal padaku.
Aku terkekeh. berbisik di depan bibirnya. “Kau yang tahu aku suka yang bagaimana?”
Dia menyeringai, lalu menyatukan bibir kami dengan dalam. Lumatan-lumatan yang penuh cinta. Lembut namun menuntut disaat yang bersamaan. Bibir hangatnya melumatku, lidahnya bersentuhan dengan milikku. Sementara tangannya bergerak nakal ke bokongku.
“Eumh, Mason tidak disini.”
“Kenapa?” tanya nya ditengah kesibukannya di leherku, memberi kecupan-kecupan yang menghantarkan sengatan-sengatan menggelitik ke perutku.
“Terlalu terbuka.”
“Tidak ada yang melihat kita.”
“Mason…euh please…”
“Kau yang memancingku terlebih dahulu.”
“Otakmu yang terlalu kotor.”
“Itu karena kau sangat indah, sayang.” Katanya kembali menghisap kulit di atas dadaku. Kemudian naik ke tengah leherku, dagu, hingga berakhir di bibirku kembali.
“Aku mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu,” bisikku penuh suka cita. Merasa hidup akan terus bahagia seperti ini.
Hanya dengan memiliki Mason yang mencintaiku, aku pikir semua sudah cukup untuk aku menikmati hidup meski dengan segala ujiannya. Namun ternyata tidak, aku tidak sekuat yang kupikirkan. Selama ini aku hanya berpura-pura tegar, nyatanya aku semakin hancur dari dalam.
Semuanya berubah ketika kami pindah dari Pittsburg ke Harissburg, Penssylvania, ketika Mason mulai serius menggeluti pekerjaannya di bidang politik.
Di musim yang sama 11 tahun kemudian. Tepat di perayaan pernikahan kami yang telah seringkali ia lupakan. Mason mengatakan padaku sesuatu yang terasa seperti sambaran petir di siang hari. Membuatku merasakan dejavu, tetapi kali ini sakitnya berkali lipat.
“Apa?” Tanyaku tak percaya pada pria berambut blonde yang selalu kusuka.
“Perceraian ini hanya sementara, Eve. Setidaknya sampai aku berhasil menjadi Gubernur Penssylvania.” Dia berkata begitu dengan wajah dan suara penuh keputusasaan seolah ini adalah pilihan yang berat untuk membeberkannya padaku.
“Mereka akan terus mencari kelemahanku, Eve. Mengorek semua masa lalu dan informasi pribadiku mencabiknya untuk menjatuhkanku. Kau paham kan?”
Aku terpaku. Tubuhku sepenuhnya masih membeku. Apa-apaan ini?
“Jadi maksudmu aku ini kelemahanmu?!” Aku ingin meneriakan kata-kata itu padanya. Tetapi bukannya kata-kata malah rasa sakit yang kumuntahkan dari tatapanku. Aku menyembunyikan rasa panas yang menyergap mataku. Berusaha tersenyum namun aku tau bibirku gemetar halus.
“Everly?” panggilnya lagi. “Hei, honey.” Dia berdiri dari duduknya, menggapaiku yang masih tertunduk kebingungan.
“Honey, Look at me!” katanya lembut, jemarinya membawaku beradu tatap dengan mata olivenya.
“Kau tau aku selalu mencintaimu kan? Bukankah selama ini sudah banyak yang kita lewati? Ini bukan apa-apa sayang, hanya sementara, ketika aku sudah menjabat dan stabil, kita akan kembali bersama. Aku akan mencari cara untuk memperbaiki latar belakangmu.”
“Kau yang paling tahu aku bagaimana. Bagaimana cintanya aku kepadamu. Dan sekarang, aku hanya meminta satu hal ini padamu,” ujarnya lagi, berusaha meyakinkan dan terdengar membujuk. Aku masih bingung merespon apa. Aku ingin memaksa diriku tersenyum, tapi di sudut hatiku rasanya ada yang tersayat
Seharusnya hari itu aku juga balik bertanya padamu.
“Apakah kau masih akan mencintaiku, ketika kau telah memiliki segalanya?”
"Aku rasa ini bukan ide bagus," ujar Everly. Matanya menyapu pemandangan di depannya, dengan penuh keraguan. Suara dentuman musik yang memekakkan telinga berpadu dengan kerlip lampu neon yang memantul di dinding ruangan remang-remang. Di lantai dansa, orang-orang bergerak dengan liar, tubuh mereka meliuk-liuk mengikuti irama yang menghentak. Di atas panggung, seorang DJ tampak melompat-lompat penuh semangat, seolah mengalirkan energi yang menguasai seluruh ruangan.
“Oh, come on, Eve. Berhentilah memikirkan Mason untuk saat ini, nikmati waktumu, ini pelepasan stres yang terbaik, kau tau?” pekik Anaya yang suaranya hampir tertelan riuh musik.
“No, aku pikir aku pulang saja.” Everly kikuk, ingin melarikan diri dari tempat itu. Namun Anaya menahannya.
“Where do you think you’re going? Eve, kau bilang pada kami kau ingin di hibur. Dan ini cara terbaik untuk menghibur diri.”
Everly menggeleng. “Mason akan membunuhku.”
“Fuck Mason. Kau bahkan akan diceraikan. Jika dia memang peduli padamu dia tidak akan mengatakan itu sejak awal.” Rosemary, si teman paling mungil di antara mereka menamparnya dengan kata-kata.
“Rose, itu hanya pura-pura,” cicit Eve masih membela.
“Eve, sadarlah. Cinta itu tidak bersyarat, kalau bersyarat namanya lamaran kerja.” celetuk Rosemary garing, membuat Everly dan Anaya memutar bola mata mereka.
“Setelah menikah selama 11 tahun, apa kau tidak rindu masa-masa ini?” kali ini Anaya bertanya dengan wajah serius. Mereka sudah saling mengenal sejak di bangku High School. Menghabiskan waktu dengan pesta yang atau sekedar kongko-kongko bersama. Namun semenjak Mason datang, Everly berubah.
“Y-ya …. se-sedikit.” Everly mengakuinya.
“Satu malam saja, jadilah dirimu sendiri. Anggap saja kau bukan Everly Zanela, bukan istri siapa-siapa, bukan ibu siapa-siapa.”
“Dan lagi kau akan menyia-nyiakan dandananmu ini, Eve. look at you! Kau bahkan terlihat lebih muda tidak seperti istri yang tertekan.”
Everly menjitak kepala Rosemary. Eve akui malam ini pakaiannya memang seksi. Bra hitam berenda dilapisi kaus hitam dengan bahan seperti stocking tipis di padu rok hitam pendek model high waist menampakan kaki jenjangnya dengan luwes. Pakaian yang akan membuat jantung Mason copot jika melihatnya seperti ini. Thanks to Rosemary yang memilihkannya outfit yang sebenarnya sangat tak nyaman ini.
“Pokoknya untuk malam ini kau bukan Everly Zanela, kau Everly Collins yang single and free, kau paham!” Anaya berteriak di depan wajahnya. Menyodorkan minuman di tangan Everly.
“Who the hell are you?”
“Everly.”
“What? We can't hear you?!” Rosemary menjerit sekali lagi diikuti anggukan semangat Anaya.
“EVERLY FUCKING COLLINS!” Teriak Everly semangat sambil mengangkat tinggi-tinggi gelasnya, lalu meneguk alkohol itu dalam satu tarikan napas, lantas turun ke lantai dansa. Melupakan dunianya yang mulai berantakan oleh suami italia-nya yang tampan dan bersahaja, namun menyakitinya.
Untuk pertama kalinya selama menjadi istri seseorang, ia turun ke lantai dansa. Menjadi dirinya sendiri. Seperti kembali ke setumpuk kecil masa remajanya yang menyenangkan di luar kekacauan keluarganya. Dimana Mason mengambil bagian dalam kenangan indah itu.
Mason menariknya dari berbagai penderitaan dan trauma yang diciptakan sang ibu. Membawanya keluar dari neraka kecilnya bak pahlawan dengan kelembutan dan pengertiannya. Membuatnya— yang sejak kecil kehilangan sosok ayah—untuk pertama kali merasa dicintai sepenuh hati.
Dirinya yang penuh keputusasaan untuk meneruskan hidup, dibuat kembali merasakan gairah ketika sosok itu menawarkan cinta dan perlindungan untuknya, hingga disaat ia mengalami depresi ketika sang ibu menolak untuk melanjutkan pendidikan yang Everly dambakan, Mason datang menawari pernikahan.
Malam itu di club semuanya berjalan dengan menyenangkan. Minum, berbincang dan berdansa dengan teman-temanya cukup membuat tekanan yang disebabkan Mason agak mengendur, hingga semuanya jadi tak terkendali sesaat setelah Eve membuka mata dan mendapati seorang lelaki asing, telanjang, terlelap di sisinya.
Everly merasakan kepalanya seperti dihantam palu gada ketika secara reflek mendudukan dirinya di ranjang.
“Ouh… fuck, kepalaku.” Ringis Everly mengurut kepalanya perlahan. Efek alkohol semalam tampaknya sangat brutal.
Everly memalingkan wajah pada pria yang terlelap di sampingnya.
“Kau gila, Everly," ringis wanita itu. seketika penyesalan mengerubunginya. Tidak seharusnya ia mengikuti kata-kata teman-temannya semalam.
Dia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi padanya dan pria di sisinya ini semalam. Tetapi ketika ia menemukan dirinya tidak mengenakan apapun, Everly sudah menebak apa yang telah terjadi.
“Fuck! gila. ini gila! Oh my god!” maki Eve dengan suara tertahan. Tidak hanya memaki diri sendiri, Eve merasa harus memaki dua temannya juga yang membiarkan dirinya dibawa oleh laki-laki yang entah siapa.
Jika dilihat dari sela hordeng, matahari sepertinya baru akan terbangun. Jadi, Everly segera beranjak dari ranjangnya dengan sangat perlahan. Memeriksa ruangan untuk mencari barang-barangnya dan bajunya.
“Dimana bajuku?” Eve panik ketika tidak menemukannya dimanapun. Namun, ketika ia membuka pintu kamar mandi ia lega melihat atasan dan roknya tergantung di tempat itu.
“Sial…Aku tidak bisa pulang hanya dengan Ini.” Everly memandangi bra berenda hitam dan seonggok kain tipis yang telah robek sana-sini.
"apa yang sebenarnya kulakukan semalam?" ringis Everly dalam hati.
Kini hanya tersisa Bra hitam yang layak untuk dipakai, Jika Mason melihat dirinya memakai ini sudah pasti pria itu akan membunuhnya. Jadi, Everly segera menyambar mantel hitam yang ada di sofa yang tentu saja bukan miliknya.
“Aku akan mengembalikannya kapan-kapan,” gumam Everly kepada pria yang masih tertidur. Pria yang ternyata memiliki fitur maskulin, perut kencang terlatih, dan rambut hitam gondrong, serta tato yang memenuhi tangan hingga jemari lentiknya. Setidaknya pasangan ONS nya tampan juga.
Setelah memastikan penampilannya rapi, Everly keluar dari kamar itu dengan mengendap-ngendap meninggalkan pria di ranjang yang masih terlelap. Sama sekali tidak mau berdebat dengan orang itu. Menghindari drama aneh-aneh.
...(***)...
“Kau kemana saja?” Mata olive sang suami menyambutnya dengan tajam sesaat setelah pintu rumah terbuka. Wajah khas orang Italia itu berkerut muram pada Everly.
“Pesta Anaya. Aku sudah memberitahu padamu sebelumnya, kan.”
sebenarnya tidak, Anaya tidak pernah mengadakan pesta apapun. Ia hanya melarikan diri dari rasa sakit luar biasa yang diciptakan suaminya satu hari yang lalu. setelah mulut lancang pria itu mengutarakan niatnya dengan surat pengajuan cerai tanpa berdiskusi dengannya terlebih dahulu. Sial, melihatnya lagi pagi ini membuat mood Everly kembali memburuk.
“Kau tidak bilang akan menginap?!”
“Ada beberapa hal terjadi, makanya aku menginap.”
“Lalu mengapa kau menonaktifkan ponselmu?” Mason menatapnya penuh selidik. Selama menikah wanita itu tidak pernah tidak meminta izinnya atau keluar tidak seizin darinya.
“Bisakah aku masuk terlebih dahulu baru bicara?” tukas Everly dingin. Sama sekali menolak peduli reaksi pria di hadapannya. Mason mengeratkan rahang. Ketika netra biru wanita itu membalasnya tanpa gentar, dan Mason tidak suka itu, wanita ini biasanya begitu patuh padanya. Selalu menatapnya penuh cinta. Tidak ada pilihan lain, pria itu sedikit menggeser tubuhnya agar Everly dapat masuk ke dalam rumah.
“Mommy!”suara gadis kecil yang baru saja keluar dari ruang makan menyambut Everly. Gadis yang memiliki fitur Mason yang sempurna, tersenyum cerah padanya, senyum yang membuat Everly semakin menghargai hidup sejak gadis itu lahir.
“Hi sweetheart, i’m sorry i —
“Stop Lilly! Ibumu habis minum-minum dan dia … bau.” baru saja Everly merentangkan tangan, suara sang suami menginterupsi.
Eve mengendus dirinya sendiri, dan apa yang Mason bilang benar. Saat ini ia berbau seperti muntah.
“Lanjutkan sarapanmu, Lilly Anne !” Titah Mason pada anaknya.
Eve mengelus kepala anak itu. Sambil tersenyum lembut ia berkata, “Ayahmu benar Lilly, ibu akan mandi dengan cepat, lalu bergabung denganmu, hmm?” dan si kecil Lilly Anne hanya bisa menggembungkan pipinya sebal lalu kembali ke meja makan.
Everly berbalik melewati Mason yang berdiri di belakangnya begitu saja. Mengabaikan pria itu, lantas Menaiki tangga menuju lantai dua.
“Eve, kau belum jawab pertanyaanku.” Pria itu ternyata belum selesai dengannya. Mengejarnya sampai ke kamar.
“Eve kenapa kau matikan ponselmu?” Tanyanya lagi, dan mulai menyebalkan di telinga Everly. Dia tidak ingin membahas apapun saat ini.
“Karena aku butuh waktu untuk sendiri, puas?!” katanya berbalik pada Mason.
“Tapi tidak harus mematikan ponsel juga, kan? Lilly mencarimu dari semalam dan aku khawatir.”
Urat di kepala Everly mulai menegang. “Jadi, kau mau aku diam disini, menangis sendirian, menelan semua kata-katamu dan menerimanya dengan patuh?” suara Everly mulai meninggi.
“Maksudku...kenapa kau harus sampai bersikap seperti itu? Kenapa harus menangis? Kan sudah kubilang ini hanya pura-pura.”
Everly nyaris tidak percaya melihat pria itu berkata seolah itu bukanlah hal besar yang harus dipermasalahkan.
“Oh, Jadi menurutmu aku harus tertawa senang dan berterima kasih padamu atas ide gila yang tidak masuk akal seperti itu?! Tidak sekalian kau menuntut penghargaan sebagai suami dengan langkah penyelesaian terbaik di dunia?”
Everly membanting pintu kamar mandi di depan wajah Mason. Pria itu mengurut pangkal hidungnya yang berdenyut. Bagaimana caranya membuat Everly mengerti bahwa opsi yang ia ambil itu hanya sementara terlebih ia tidak lagi punya cara lain yang lebih baik.
Pria keturunan Italia-Amerika itu beralih duduk di ranjang, sambil berharap kalau-kalau kepala istrinya bisa mendingin setelah terkena air. Lalu pembicaraan mereka bisa dilanjutkan dengan lebih lembut.
Namun, setelah beberapa menit berlalu, wanita itu keluar masih dengan wajah kaku yang bahkan lebih muram dari pada wajah ngambeknya selama ini.
“Eve, kumohon, kali ini saja mengerti aku. Tentu saja aku tidak benar-benar ingin berpisah denganmu. Kau tau aku sangat mencintaimu, Everly.”
“Cinta apanya, faktanya kau meminta cerai, kan? Mason, beritahu aku wanita mana didunia ini yang akan tenang ketika suaminya secara tiba-tiba menceraikannya?!”
“For god sake, Everly, itu hanya pura-pura, percayalah padaku!” suara Mason sedikit meninggi. Hingga urat lehernya terlihat. Hal itu membuat Everly kaget.
“Tapi surat itu asli, Mason! Bukan palsu!” pekik Everly tak mau kalah.
“Eve itu sebagai bukti agar orang-orang percaya! Setelah aku menjadi gubernur dan jabatanku stabil, aku akan mencari cara untuk memperbaiki situasimu, aku akan menikahimu kembali. Hanya sampai saat itu! Setelahnya kita akan bersama seperti seharusnya.”
Sebuah ketukan di pintu menginterupsi pembicaraan keduanya. Mason masih akan membuka mulutnya, tetapi ketukan itu kembali terdengar, kali ini lebih kencang. dengan berat hati pria itu beranjak dari Everly, segera membukakan pintu dan menemukan wanita tua dengan rambut disanggul rapi dan berpenampilan elegan.
Itu adalah Rosaline, Ibu dari Mason.
“Apa yang terjadi dengan kalian berdua? Suara kalian menakuti Lilly Anne. Dia mengira ayah dan ibunya bertengkar.”
“Ibu, bisakah nanti saja, aku sedang berbicara dengan Everly.”
“Mason jangan bertengkar saat ada anak dirumah.” Rosaline mengatakannya dengan tegas.
“Ibu aku—
“Lebih baik kau tenangkan Lilly, dia hampir menangis di bawah. Lagipula bukankah Lilly harus sekolah dan kau harus kerja?”
Mason masih akan protes, tetapi Rosaline menatapnya tajam tak ingin di bantah.
“Pergilah, Mason.” ucap sang ibu sekali lagi, membuat pria itu mau tak mau menurutinya.
“Eve, bisakah kita minum teh bersama?” Rosaline beralih pada Everly yang masih terduduk di ranjang.
“Aku sedang tidak ingin minum teh, ibu.” sahut Everly.
“Kalau begitu aku akan menunggumu di ruanganku, sekarang!” ucapnya dengan senyum ramah yang dibuat-buat, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar respon menantunya.
Everly mendengus kesal, namun akhirnya pergi menyusul ibu mertuanya.
Saat ia tiba di ruangan yang dihiasi dengan perabotan mewah dan berbau lavender, Rosaline sudah duduk di sofa dengan posisi anggun, memandang Everly seperti hakim yang siap mengadili.
Seketika wangi chamomile yang menenangkan semerbak memenuhi ruangan ketika rosaline mengisi cangkir teh di hadapan Everly yang akhirnya duduk di seberang Rosaline.
Tangannya tetap terlipat di pangkuan, tidak menunjukkan minat untuk menyentuh teh yang telah disiapkan. Ia tahu, percakapan ini tidak akan berakhir dengan ramah.
Rosaline mengangkat cangkir tehnya dengan gerakan anggun, meniup permukaannya perlahan sebelum menyesap sedikit.
“Kau tahu, Everly?” Rosaline memulai, suaranya rendah dan penuh perasaan.
“Saat Mason lahir, itu bukan perjalanan yang mudah. Aku dan suamiku menantinya selama delapan tahun. Kami mencoba segala cara—berpindah dari satu dokter ke dokter lain, menjalani perawatan ini dan itu. Aku bahkan sempat hampir kehilangan harapan. Tapi Tuhan akhirnya mendengar doa kami. Aku hamil."
Ia berhenti sejenak, menghela napas panjang. Matanya yang tajam melunak, kembali mengingat masa itu. "Namun ternyata kebahagiaan itu datang dengan ujian besar. Karena komplikasi, aku harus melahirkan lebih awal, jauh sebelum waktunya. Mason kecil lahir dengan ukuran yang bahkan lebih kecil dari sejengkal tangan suamiku. Ia begitu rapuh, begitu kecil… dan harus menghabiskan bulan-bulan pertama hidupnya di inkubator."
Rosaline menatap Everly dengan intens, suaranya mulai bergetar. "Apa kau bisa bayangkan, Everly, melahirkan seorang anak tetapi tak bisa mendekapnya? Tidak bisa menyusuinya? Hanya bisa berdiri di balik kaca, melihat tubuh mungilnya dipenuhi kabel dan selang? Duniaku seakan runtuh saat itu. Dan saat dokter memberitahu bahwa Mason sempat mengalami henti jantung dua kali…"
Ia menggeleng pelan, menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. "Kami berdoa, memohon kepada Tuhan. Berjanji, jika Tuhan menyelamatkan Mason, kami akan memberikan segalanya untuknya. Dan Tuhan, sekali lagi mengabulkan doa kami. Mason berhasil melewati masa kritisnya.” tambah Rosaline, sementara Everly masih diam, bertanya-tanya mengapa mertuanya tiba-tiba menceritakan kisah hidupnya. Mertua yang hanya bicara dengannya jika ada perlu, meskipun mereka satu rumah.
Dulu Everly sempat merasa keberatan untuk tinggal bersama dengan Rosaline yang nampak sekali tidak menyukainya, namun Everly tidak dapat berbuat banyak, karena tidak mungkin juga Mason menyuruh ibunya keluar dari rumah.
“Hari demi hari, ia tumbuh menjadi anak yang sehat dan anak yang luar biasa pengertian. Tidak pernah meminta apapun, tidak pernah menyusahkan kami, bahkan ketika hidup kami penuh dengan keterbatasan."
Matanya berkabut saat mengenang masa lalu. "Ketika suamiku meninggal, Mason yang masih kecil justru menjadi penguatku. Ia tidak menangis, tidak menuntut apa-apa, meski perekonomian kami carut-marut. Hingga suatu saat, untuk pertama kali akhirnya dia memohon sesuatu padaku….”
Rosaline berhenti, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. “Yaitu menikahimu.” Lanjutnya, kembali menyesap tehnya sambil mengawasi reaksi Everly yang tetap datar menunggu kemana arah pembicaraan ini sebenarnya.
“Saat itu, aku tidak tahu harus bagaimana," Rosaline melanjutkan. "Mason masih terlalu belia, terlalu polos untuk memahami apa yang ia inginkan. Tetapi ia memohon. Bahkan mengancam akan pergi jika aku tidak merestuinya. Anak yang selama ini tidak pernah membantahku… akhirnya menentangku demi dirimu. Apa yang bisa kulakukan, Everly? Aku memilih mengalah, karena itu janjiku kepada Tuhan—mengabulkan keinginan anakku."
Rosaline menatap Everly dalam-dalam, suaranya berubah menjadi lebih dingin dan tegas. "Dan sekarang, aku ingin kau tahu satu hal. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk kau, menghalangi kebahagiaan Mason. Aku telah menyerahkan harapanku untuknya saat ia memilihmu. Itu adalah pengorbananku sebagai seorang ibu. Jadi, jika kau tidak bisa memberi apa yang Mason butuhkan, mungkin sudah waktunya kau belajar berkorban juga."
Everly menggigit bagian dalam bibirnya, berusaha mempertahankan ketenangannya, meski rasa panas mulai berkumpul di dadanya. "Apa maksud Ibu?"
Rosaline tersenyum tipis, penuh arti. "Maksudku, kau sudah seharusnya merasa bersyukur. Keluargamu, dengan semua kekacauan dan tragedinya, adalah noda dalam kehidupan Mason. Ayahmu seorang pembunuh, ibumu pecandu narkoba… Apa kau pikir aku tidak tahu?"
Everly membeku. Tidak mungkin Mason yang memberitahu Rosaline, karena bahkan sejak awal Mason lah yang melarangnya untuk menceritakan latar belakang keluarganya pada sang mertua. Pada hari dimana untuk pertama kalinya Everly bertemu Rosaline, ia dan sang suami sepakat untuk mengatakan bahwa Everly adalah anak yatim piatu.
Rosaline menarik sudut bibirnya ketika Everly tertegun. “Sebagaimana aku mengetahui latar belakangmu dengan mudah, meski kalian menyembunyikannya sedemikian rupa. Bisa kau bayangkan bagaimana mudahnya fakta itu akan ditemukan orang-orang yang berniat menjatuhkan anakku bukan?”
“Pikirkanlah, jangan hanya dirimu, tapi juga Mason, Lilly, dan aku.”
Everly meremas jemarinya. Rasa besi menyebar ke dalam mulutnya ketika ia terlalu kuat menggigit bibirnya karena menahan perasaan sakit. Ia pikir setelah 11 tahun ini, Rosaline sudah sedikit menerimanya sebagai menantu, pada kenyataannya posisinya di rumah ini hanya stuck di satu tempat. Hanya sebatas istri dari Mason dan tak pernah diakui sebagai menantu.
“Aku mengerti … ibu.”
...(To be continue)...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!