Anja
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Ia berteriak sekeras mungkin melalui microphone clip on, yang bahkan telah terpasang sejak menit pertama pertandingan dimulai.
Namun suaranya tenggelam di antara hiruk pikuk teriakan gembira para penonton, official dan pemain yang memadati GOR Grogol di laga pamungkas HSBL (Highschool Basketball League) DKI Jakarta West Region musim ini.
Dengan peraih juara dan runner-up, yang berhak mengikuti Championship Series. Fase paling bergengsi dalam kompetisi basket pelajar terbesar se ibukota di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, tiga bulan ke depan.
"Kurang keras, Ja!"
"Elah, letoy amat. Yang keras dong biar ke notice!"
Ia mencibir ke arah Hanum dan Bening, yang mendadak cerewet seperti emak-emak kompleks. Ini juga ia sudah berusaha maksimal, menahan malu dan ego di hadapan ribuan manusia lain. Yang sebagian besar tak dikenalnya. Mengutarakan isi hati terdalam yang harusnya dilakukan dalam suasana paling privat, namun kini justru sebaliknya.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Ia kembali berteriak setengah menjerit. Berharap Dipa notice lalu menengok ke arahnya. Seperti selama pertandingan berlangsung tadi. Acapkali usai mencetak poin, Dipa selalu mengerling ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Namun harapan seringkali tak seindah kenyataan. Disaat asa terlalu melambung tinggi ke angkasa, dalam sekejap terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Menyakitkan.
"Lho, kok malah pelukan sama Tiara sih?"
"Lho ... lho ... kissing segala?!?"
Telinganya mendengar dengan baik kalimat yang diucapkan oleh Hanum dan Bening. Begitupun kedua matanya. Menangkap dengan jelas adegan paling menghancurkan hati yang terjadi di tengah lapangan, dimana Dipa tengah memeluk dan mencium Tiara.
"ANJA!"
Ia masih bisa mendengar Hanum dan Bening berteriak kaget. Ketika ia dengan kasar mencopot clip on, lalu melemparnya begitu saja ke bangku penonton.
"Lo mau ngapain?!?"
Ia pun masih bisa merasakan Hanum dan Bening berusaha menahan langkahnya. Namun gelegak kemarahan campur cemburu yang membabi buta, telah menguasai keseluruhan diri dan jiwa. Membuatnya memiliki kekuatan penuh untuk melepaskan diri. Dan kini, berlari kesetanan menuruni tribun penonton menuju ke dalam lapangan.
"ANJA!"
"NO ANJA!"
Sekeras apapun Hanum dan Bening mencegah, ia tetap tak peduli. Terus berlari menuruni tribun penonton dengan langkah panjang. Berusaha sekuat tenaga menyeruak di antara tubuh dan peluh yang berdesakan ingin merangsek ke tengah lapangan. Merayakan kemenangan fenomenal bersama para pemain favorit.
"Minggir!" teriaknya penuh amarah. "Gue mau lewat!"
"Aduh!"
"Dasar cewek gila!"
"Apa-apaan sih?!"
"WOI! KAKI GUA LU INJEK AN YING!"
Puluhan orang menggerutu dan memaki kesal. Karena ulah membabi butanya merangsek ke tengah lapangan. Namun ia tak peduli. Terus berlari dan berlari. Ingin secepat mungkin sampai di hadapan Dipa, yang hingga kini masih memeluk Tiara.
Sialan!
"ANJAAAA!"
"JANGAAAN!"
Sayup-sayup telinganya masih sempat mendengar teriakan panik Hanum dan Bening, sesaat sebelum ia menghampiri Dipa dan ....
"Hai, Ja?"
Dipa melepas pelukan dari tubuh Tiara dan tersenyum menyambutnya. Namun gerakan refleks akibat kemarahan memuncaknya, ternyata lebih mendominasi.
BUG!
Ia mendorong sekaligus memukul dada Dipa dalam satu waktu.
"Anja, apa-apaan nih?!"
Ketika Dipa masih memerlukan waktu untuk memproses kelakuan abnormalnya, ia telah lebih dulu menampar pipi Dipa. Twice!
"ANJAAAA!?!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan panik penuh ketakutan Hanum dan Bening. Dalam sepersekian detik aktivitas gemuruh orang-orang di sekitar mendadak berhenti, bertepatan dengan tamparan keduanya.
Untuk kemudian semua mata memandang ke arahnya. Dengan tatapan menuduh dan penuh selidik.
"Lo jahat, Dip! Jahat!" teriaknya dengan mata memanas.
"Anja?" Dipa masih memegangi pipi yang baru saja ditamparnya dengan wajah tak mengerti. Namun sedetik kemudian tatapan Dipa berubah lembut penuh rasa ingin tahu.
"Lo tahu nggak sih, selama ini gue tuh suka sama lo! Cinta sama lo!" ia kembali berteriak. Namun kali ini sambil menangis. Deraian air mata tak terbendung lagi mengalir membasahi pipi.
"Anja?" kedua bola mata Dipa semakin melembut dengan tangan terulur berusaha meraihnya.
Tapi ia tak akan tertipu lagi kali ini. Dengan gerakan cepat, tangannya justru mendorong dada Dipa hingga terjengkang ke belakang.
"Anja?!" mata Dipa berubah menuntut. Tapi ia sudah tak peduli.
Sambil menangis, ia pun membalikkan badan dan berusaha berlari secepat mungkin. Menyeruak lautan manusia. Yang memperhatikannya dengan pandangan penuh penghakiman sekaligus mencemooh.
"HUUUUUUUUUUU!"
"Cewek gila!"
"Dih, pede banget!"
"Kegatelan!"
Suara sorakan dan cacian para penonton seisi GOR, seolah menjadi musik pengiring langkah cepatnya menuju pintu keluar. Telinganya bahkan langsung memanas. Demi mendengar ragam komentar yang hampir semua menyudutkannya.
Akhirnya, setelah berusaha keras dengan kepala hampir meledak. Juga dada yang penuh sesak oleh perasaan marah, cemburu, sekaligus hampir gila. Ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar GOR. Yang justru semakin membuat suasana hatinya mengharu biru. Karena keadaan di luar sedang hujan deras. Lengkap dengan petir yang menyambar-nyambar.
Dengan tanpa berpikir, ia menerobos derasnya air hujan. Telinganya bahkan masih sempat mendengar teriakan Hanum, Bening, juga Dipa yang memanggil-manggil namanya. Namun tak dihiraukan.
Ia terus saja berlari, berlari, dan berlari. Berharap derasnya air hujan, mampu menyembuhkan luka hati dalam sekejap.
DIIN! DIIN! DIIIIIINNNNNNN!
Jantungnya hampir copot. Akibat suara klakson, yang begitu keras dari mobil di belakangnya.
"MINGGIR LO! MAU MATI?!"
Teriak pengemudi mobil dengan mata melotot marah. Namun ia tetap tak peduli, terus saja berlari. Meski air hujan telah membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan hingga sisi terdalam.
Ia basah, dingin, marah, sakit hati, dan merasa ingin mati saja.
Kakinya terus melangkah. Seolah berkejaran dengan derasnya air hujan. Yang bagai ditumpahkan dari langit.
Dengan setengah berlari melewati RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak). Yang bagian lobbynya terang benderang dihiasi oleh lampu bervoltase besar.
Melalui Gereja yang dipadati oleh antrian kendaraan. Yang hendak masuk dan keluar dari kompleks Gereja. Melewati sebuah SMP yang gelap dan sepi. Dengan hanya terdapat sebuah lampu penerang di pintu gerbangnya.
Lalu menyusuri deretan toko kelontong, kedai, warung makan, angkringan, warung kopi. Yang kesemuanya ramai dengan gelak tawa meski hujan mengguyur.
Lihatlah, semua orang ceria, tertawa, dan bahagia.
Kecuali dirinya.
Ia pun mengusap pipi yang basah kuyup melalui punggung tangan. Akibat campuran dari air mata dan guyuran hujan.
Lalu menyusut hidung yang juga berair. Dengan kaki tak berhenti melangkah. Sama sekali tak mempedulikan orang-orang di sekitar. Yang sesekali memanggilnya dengan penuh rasa iba.
"Neng, mau ke mana hujan-hujanan?!"
"Nanti sakit, cantik!"
"Berteduh dulu, Neng!"
Namun ia justru mempercepat langkah. Berharap bisa sampai ke rumah.
My God Anja, dengan berjalan kaki sejauh 10 Km di malam hari saat hujan lebat?! Crazy, stupid the hell done. Alias tak mungkin.
Akhirnya, setelah berjalan melewati puluhan toko, ruko, sekolah, dan keramaian lain. Kini kemampuan dirinya tak bisa dipaksakan lagi.
Kakinya mulai melemah, terasa berat saat melangkah. Tubuhnya juga menggigil kedinginan akibat didera air hujan sepanjang perjalanannya melarikan diri.
Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Berusaha mencari tahu. Di mana kah ia kini berada. Semoga sudah dekat dengan rumah.
Karena sekarang yang diinginkannya hanyalah tenggelam di atas kasur, sambil menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohan paling nyata yang baru saja dilakukan. Yaitu menyatakan cintanya kepada Dipa di depan umum.
Sungguh mengerikan dan memalukan. Memalukan dan mengerikan.
Damned!
Ia akhirnya memutuskan, untuk memasuki sebuah cafe paling menarik perhatian yang terletak di ujung jalan. Cafe berdesain industrial minimalis ini terlihat hangat. Dengan jendela besar setinggi langit-langit. Yang mengelilingi keseluruhan bangunan.
Ditambah sorot lampu jernih yang menerangi isi ruangan, membuat cafe ini terlihat bagai hangatnya sinar mentari di tengah pegunungan bersalju. Perfect.
Sekilas sebelum masuk ke dalam, ia sempat membaca nama cafe yang terpasang di depan pintu masuk, Retrouvailles.
Dan thanks God, suasana cafe tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk berjauhan. Kesempurnaan yang nyata.
Ia pun sengaja memilih sofa tepat di samping jendela paling besar. Agar Dipa yang sedang mengejar dan mencarinya, langsung mengetahui keberadaannya di sini.
Sungguh Dipa sekarang sedang mencarinya? Don't think so.
"Mau pesan apa?" seorang pegawai wanita mendekati mejanya sambil membawa buku menu.
Sejenak pegawai wanita itu tertegun. Seolah sedang melihat setan. Pasti karena riasan wajahnya yang hancur berantakan akibat terkena air hujan.
"Sandwich tuna dan teh chamomile hangat, tolong," suaranya terdengar mencicit. Pasti karena dingin dan sisa isakan.
"Akan datang," ujar pegawai wanita itu segera pergi.
Entah apa yang dipikirkan pegawai wanita itu tentangnya Mungkin, semakin cepat memberinya makanan, akan semakin baik. Semacam itu.
Sambil menunggu, ia memandangi kaca yang menjadi buram terkena air hujan. Semakin lama bahkan semakin deras.
Rupanya karena hujan bertambah besar. Sesekali diselingi oleh suara petir yang menggelegar membelah angkasa.
Seakan berlomba dengan air matanya. Yang kembali mengucur deras. Sebab teringat kejadian beberapa menit yang lalu.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Namun balasan yang diperolehnya adalah adegan paling tidak diinginkan. Yaitu Dipa yang memeluk dan mencium Tiara.
Tiara, bukan dirinya.
Sungguh miris bukan? Ia yang telah bertahun-tahun berada di samping Dipa terlebih dahulu. Justru tereliminasi oleh gadis yang baru muncul kemarin sore.
Worst thing ever!
Ia bahkan tak peduli. Meski sekarang, kakek yang duduk di seberang meja tengah menatapnya tajam. Saat isakan yang keluar dari mulutnya semakin keras. Beradu dengan derai suara hujan.
Ia hanya ingin meluapkan seluruh kesedihan. Berharap semua turut larut dalam derasnya hujan. Lalu mengalir sampai jauh.
"Ini pesanannya. Sandwich tuna dan teh chamomile hangat."
Pikiran yang kacau, pasti membuat pendengarannya terganggu. Hingga suara pegawai wanita yang tadi, mendadak berubah menjadi suara berat dan dalam. Khas seorang cowok. Sontak membuat isakannya terhenti. Untuk kemudian mendongak ke arah suara.
Tapi ia justru menyesali keputusannya. Dan buru-buru menunduk begitu melihat wajah si pemilik suara.
Membuat satu tangan kokoh dengan jemari panjang, seakan bergerak slow motion. Meletakkan piring berisi sandwich tuna. Yang masih mengeluarkan asap dan wangi bawang ke hadapannya.
Oh ya ampun, kenapa justru bertemu jenis makhluk seperti dia di saat seperti ini?
"Lo, kenapa basah kuyup begini? Kehujanan?"
Ia terpaksa menarik sedikit ujung bibir yang kaku karena kebanyakan menangis. Berusaha memberi tanda, jika semua baik-baik saja. Sekaligus mengusir cowok itu agar segera pergi dan menjauh.
Dunianya sedang runtuh, dengan cowok itu berdiri di sini, justru akan membuat kiamat menjadi kenyataan.
"Keberatan, kalau gue duduk di sini?"
Tanpa permisi, cowok itu menarik bangku di hadapannya dan langsung mendudukinya.
Jujur, ia sangat keberatan. Tapi entah mengapa, yang ia lakukan hanya diam.
Pasti kesedihan tingkat tinggi yang baru saja dialami, membuat kinerja otaknya menjadi kacau balau.
"Lo perlu ini."
Cowok itu mengangsurkan selembar kain berwarna hitam.
Namun ia enggan untuk mengambilnya. Justru ingin berteriak, menyuruhnya untuk segera pergi.
"Wajah lo ... berantakan," ucap cowok itu hati-hati. Seolah sedang berhadapan dengan singa yang marah.
Tanpa diberitahu ia mengerti. Jika yang dimaksud adalah make upnya yang luntur, dan lelehan maskara di pipi.
Entah seperti apa rupanya sekarang. Jendela kaca di samping, bahkan tak mampu menampakkan raut wajahnya dengan jelas. Tentu karena guyuran air hujan.
Pasti wajahnya terlihat menakutkan dan menyedihkan. Menyedihkan dan menakutkan. Dua kata itu saja cukup. Untuk menggambarkan kekacauan dirinya saat ini.
Cowok itu masih mengangsurkan selembar kain hitam ke arahnya. Namun ia menggeleng keras.
"Cakra!"
Teriak seseorang dari arah kasir.
"Ada pesenan nih!"
Cowok yang sedang duduk di depannya itu. Iya, yang dipanggil Cakra. Buru-buru berdiri sambil berkata, "Lo tunggu di sini."
Cih! Ia mendecih tak sudi.
Sejak kapan cowok paling berandal di sekolah bisa mengatur dirinya. Never ever. Ia tentu akan segera pulang. Usai menghabiskan sepiring sandwich tuna. Yang sedari tadi melambai-lambai dengan aroma begitu menggoda.
Namun, makan dalam suasana hati yang pedih dan terluka. Pastilah menjadi pekerjaan yang teramat berat.
Bahkan meski perut kosongnya lapar bukan main dan berteriak-teriak minta diisi. Tapi mulut, faring, dan esofagusnya, mendadak tak dapat berfungsi dengan semestinya. Sama sekali tak mau bekerja sama, dengan perut yang melolong-lolong minta diisi. Sialan!
Dan ketika ia masih berusaha keras mengunyah sandwich, yang sebenarnya lezat namun begitu menyentuh lidahnya, mendadak berubah menjadi pahit itu. Lagi-lagi tanpa permisi, Cakra telah kembali mendudukkan diri di hadapannya.
"Kenapa? Baru putus?"
Pertanyaan tanpa basa-basi -ya tentu saja, mana mungkin mengharapkan basa-basi dari berandal- dan straight to the point membuat egonya kembali terluka.
"Bukan urusan lo!" desisnya -masih- penuh amarah.
Cakra tertawa kecil.
Dan mulut Cakra yang sudah setengah terbuka, kini mendadak menutup kembali. Demi mendengar getaran ponsel di saku.
Ia memilih tak mempedulikan Cakra. Yang mengernyit melihat ponsel, sambil tertawa sumbang.
Hah, paling dari teman berandalnya. Atau cewek-cewek be go, yang sering menyodorkan diri pada cowok random macam Cakra.
Ia jelas tak peduli.
Lebih memilih untuk mengunyah sandwich, yang kali ini terasa bagai kerja rodi. Berat dan menyesakkan.
"Lebih parah dari putus ternyata," gumam Cakra dengan senyum -yang jelas-jelas mengejek- sambil memperlihatkan layar ponsel.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Begitu suara nyaring yang terdengar dari ponsel Cakra. Lengkap dengan tayangan gambar dirinya, yang sedang berteriak di tribun penonton. Lalu berlari kesetanan menuju ke tengah lapangan.
Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak bukan? Saat ia dengan impulsif mendorong dan menampar Dipa. Twice!
Ia hanya mendecih sebal. Lalu buru-buru menunduk. Berpura-pura menekuri piring sandwich, yang masih terisi setengahnya.
Tak ingin meladeni Cakra. Lebih tepatnya, sudah tak memiliki daya untuk sekedar beradu argumen, dengan cowok berandal yang sangat menyebalkan ini.
Tapi tanpa diduga, Cakra tak melanjutkan ejekannya. Justru berdiri. Kemudian menghilang di balik pintu bertuliskan office, yang terletak di sisi dapur terbuka cafe.
Ya, pergilah selamanya. Dan jangan pernah kembali, batinnya lega.
Namun, ketika ia mulai menikmati kesendirian. Mengunyah sandwich tuna sepelan mungkin. Sambil sesekali menyesap teh chamomile hangat. Cakra kembali muncul di hadapannya.
"Nih," ucap Cakra seraya meletakkan sebuah facial foam khusus wanita.
"Bersihin muka lo pakai ini di toilet," lanjut Cakra sambil menunjuk gambar toilet yang terletak di salah satu sudut cafe.
Ia tetap bergeming, terus saja -berusaha- asyik sendiri mengunyah sandwich.
"Sebentar lagi jam kerja gua habis," lanjut Cakra. Yang sepertinya sama sekali tak terganggu, dengan sikap abai yang sengaja ia perlihatkan secara terang-terangan.
"Gua bisa sekalian jalan, terus antar lo pulang. Belum pindah rumah kan?"
Diantar pulang ke rumah oleh hellboy? Oh, no way!
"Ini handuk buat lap habis cuci muka," imbuh Cakra lagi. Sambil menyorongkan selembar handuk warna biru ke hadapannya. Berdampingan dengan facial foam.
"Bukan handuk baru dari toko memang," Cakra terkekeh. "Cuma masih baru, habis dicuci. Seharian belum gua pakai. Serius."
"Sama baju," kini Cakra kembali menyorongkan sebuah kaos oblong dan celana.
"Lo mesti ganti baju. Kalau nggak, bisa sakit."
"Rejeki lo lumayan juga," sambung Cakra sembari tertawa sumbang. "Karena tumben-tumbenan hari ini gua bawa baju ganti."
"Mungkin kegedean sedikit, nggak apa-apa. Yang penting, lo nggak kedinginan lagi."
Ia hanya memutar bola mata. Tetap tak mempedulikan serentet kalimat penuh solusi, yang tak pernah disangkanya bisa keluar dari mulut seorang berandal.
Lebih memilih untuk terus berusaha keras mengabaikan keberadaan Cakra. Sambil terus berpura-pura menikmati sandwich. Padahal tidak.
Namun tanpa sengaja, sudut matanya yang terlalu tajam, justru menangkap seulas senyum di wajah Cakra.
"Kalau lo udah beres dan siap pulang, kasih tahu. Gua ada di dapur," pungkas Cakra sambil menunjuk dapur terbuka cafe. Untuk kemudian melangkah pergi.
***
Keterangan :
Retrouvailles. : dari bahasa Perancis, secara harfiah diartikan sebagai kepulangan atau reuni atau kebahagiaan yang dirasakan saat bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama tak dijumpai
Anja
"Lumayan," Cakra tertawa melihat ke arahnya.
Sebab, kini ia telah mengganti dress yang basah, dengan kaos oblong dan celana panjang pemberian Cakra.
Kebesaran? Pastinya. Tapi daripada kedinginan. Ia tentu tak punya pilihan lain bukan?
Dan tanpa seorang pun tahu, ia tak mengenakan apapun di dalamnya.
Hei, dengar dulu.
Ini lebih karena, baju dalam an nya basah kuyup hingga bisa diperas. Percuma saja ganti baju. Kalau masih memakai dalaman, yang seperti cucian baru diambil dari ember. Belum diperas langsung dipakai. Alias basah sebasah-basahnya.
Karena, Cakra sebenarnya tak sesolutif yang ia pikirkan. Terbukti, Cakra hanya menyediakan baju pengganti luar, tanpa dalaman. Well the hell done.
"Pakai jaket."
Ia masih sibuk mengencangkan sabuk di pinggang, agar celana yang kebesaran tak terlalu melorot. Ketika Cakra menyampirkan jaket warna navy ke atas bahunya.
Oke, jadi begini. Sebagai cewek mandiri, ia tentu bisa menolak permintaan Cakra untuk bla bla bla. Toh ia bisa langsung pergi dari Cafe, tanpa menghiraukan Cakra. Memesan Taxi Online untuk pulang ke rumah. Dan the end.
Tapi oh tapi, terkhusus malam ini. Ia sedang tak ingin menjadi cewek mandiri.
Ia sedang marah pada diri sendiri, juga seisi dunia.
Jadi, satu hal yang jelas sangat diinginkannya saat ini adalah : pergi kemanapun yang jauh sekalian. Asal bukan pulang ke rumah. Run all night.
Dan semua pemikiran ajaib teranehnya ini, menuntun dirinya untuk memakai jaket navy pemberian Cakra dengan benar, lalu mengancingnya.
Well, this is a very bad idea, but i like bad idea now.
"Masih gerimis," gumam Cakra sambil menengadahkan tangan ke atas. Membuat rintik hujan membasahi tangan lebar dan besar itu.
Hell, persetan dengan ukuran tangan berandal itu. Kenapa ia jadi sebodoh ini sih?
"Hujan-hujanan nggak apa-apa? Gua nggak bawa jas hujan soalnya."
Dengan gelisah ia menelan ludah. Sembari mencengkeram erat kantong kresek, yang berisi dress basah dan baju dalamnya. Lalu dengan leher tercekik berkata, "Gue nggak pulang."
"Hah?"
Ya ya ya, ia sudah tahu pasti. Cakra bukanlah golongan cowok cerdas yang auranya dipenuhi oleh energi positif seperti Dipa.
Oh, no Dipa again.
Tapi ia tak menyangka, kalau selain bo doh, Cakra juga kurang pendengaran.
"Gue nggak pulang! Antar ke mana pun. Asal bukan ke rumah!" ulangnya setengah membentak.
Namun Cakra justru tertawa. "Udah hampir jam sebelas malam lho ini."
"Tahu!"
"Ck!" Cakra mendecak. "Lo kalau patah hati, jangan kayak anak kecil begini dong."
"Siapa patah hati?!?" semburnya marah.
"Elo lah! Siapa lagi?!" Cakra tertawa sumbang.
Saat itu juga, ia ingin memaki sambil memukuli Cakra. Yang mulutnya tak memiliki filter apalagi empati. Namun pada kenyataannya, ia hanya bisa melotot marah.
"Ya udah, kalau lo nggak mau ngantar! Gue bisa pergi sendiri!" ujarnya sengit. Lalu melangkah lebar-lebar. Menembus rintik sisa hujan.
Tuh kan, benar perkiraannya. Kalau Cakra itu sejenis makhluk yang less emphaty.
Masa, sampai ia berjalan sejauh ini, Cakra tak menghiraukannya sama sekali.
Tak perlu muluk-muluk Cakra akan menyejajari langkah. Lalu membujuknya agar berubah pikiran. Seperti adegan yang wajib ada di film-film roman.
Minimal memanggil namanya untuk sekedar mencegah. Tapi ini tidak. Sama sekali. Dasar!
Tadi, ia sebenarnya sedikit penasaran akan reaksi Cakra. Begitu mengetahui dirinya nekat pergi.
Namun, ia tentu tak mau terjebak. Dalam permainan cowok, tentang hitung 1, 2, 3 then si cewek nengok. Karena berharap si cowok peka, lalu menyusul. Seperti yang dibicarakan oleh Koh Limbong dan Rangga, dalam salah satu adegan film AADC. Saat Rangga dan Cinta berada di Kwitang.
Tapi, kesombongannya justru berbuah sial. Karena kini, ia tak tahu sedang berjalan ke arah mana.
Apakah semakin mendekat ke rumahnya, atau justru menjauh. Hih! Mana jalanan lumayan gelap dan sepi lagi. Melewati deretan toko, warung, dan ruko yang sebagian besar telah tutup.
Haduh, kesialan macam apa lagi ini!
Ia pun terpaksa mengambil ponsel. Untuk mengecek location demi mengetahui posisi di mana ia berada.
Saat itulah, tanpa sadar, saking seriusnya mata melihat ke arah layar ponsel. Karena sinyal yang timbul tenggelam. Membuat proses pencarian location membutuhkan waktu yang lebih lama. Kakinya mulai melewati jalanan yang lebih terang dengan keramaian.
Rupanya, ia tengah melewati warung kopi yang cukup ramai. Oh, salah, sangat ramai malah. Karena motor para pengunjung sampai parkir memenuhi sisi bahu jalan.
Menghabiskan area untuk para pejalan kaki. Membuatnya terpaksa harus berjalan agak ke tengah agar bisa lewat. Untuk kemudian memilih menyeberangi jalan karena tak ingin menarik perhatian.
Namun pergerakannya sedikit terlambat. Karena kini, semua orang yang tengah duduk di bagian depan warung kopi, telah menyadari kehadirannya.
"Eh, Neng cantik mau ke mana?"
"Sendirian aja, Neng?"
"Suit! Suit!"
"Cetak! Cetak!"
"Abang antar ya, Neng?"
"Kok hujan-hujanan, Neng? Sini biar Abang antar."
Ia berusaha memasang wajah sedatar dan setakpeduli mungkin. Saat berjalan melewati puluhan cowok usia tanggung, yang sedang duduk bergerombol di bagian depan warung kopi sambil merokok.
Sembari salah satu tangannya memegang erat-erat kantong kresek, berisi baju basah miliknya. Sementara tangan yang lain, mencengkeram jaket navy dengan sedikit gemetar. Demi menyadari ia tak mengenakan apapun di dalamnya.
Saat ia sedang berusaha memacu langkah secepat mungkin, dua orang cowok berpenampilan paling menarik di antara mereka, tiba-tiba berdiri dan menghalangi jalannya.
"Eit! Eit! Mau kemana? Mampir sini dulu lah!"
"Kuantar ya, cantik? Rumahnya di mana?"
Dengan menahan kesal, ia masih tetap menutup mulut. Sambil berusaha meloloskan diri dari hadangan dua cowok tersebut.
Namun tanpa diduga, salah satu dari mereka mencekal tangannya. Membuat mulutnya hampir meneriakkan kalimat penuh kekesalan. Namun urung. Sebab, telinganya lebih dulu mendengar suara yang sepertinya tak asing.
"Ya ampun, kamu udah sampai sini, sayang?"
Dengan dada penuh amarah, ia menengok ke arah suara. Tepat di mana Cakra tiba-tiba telah berada di sana. Sedang duduk menaiki motor, yang menurutnya sangat butut.
"Eh, Cak, cewek lu?" tanya salah seorang dari puluhan cowok yang ada di sana.
Sementara, begitu melihat kemunculan Cakra. Cowok yang mencekal tangannya buru-buru melepaskan dengan gerakan tergesa. Untuk kemudian berjalan menjauh. Memasang tampang seolah tak pernah terjadi apapun.
"Iyalah. Baru tahu?" ujar Cakra sambil menyeringai.
Enak aja cewek lu pala lu peang! makinya dalam hati.
"Lu bukannya lagi jalan sama si Michelle?"
"Bukan. Udah ganti, sekarang sama Tania kan?"
"Kok Tania sih? Tania bukan ceweknya si Emon!"
"Yah, elu sih Cak, main cewek udah kayak ganti baju aja!"
Diikuti tawa serempak dari semua orang yang berada di sana. Kecuali dirinya tentu saja. Tawa paling menjijikkan yang baru kali ini didengarnya.
"Pulang yuk, Yang," ujar Cakra sambil memasang senyum manis ke arahnya. Cuih!
"Ngapa Cak, cewek mulus begini lu biarin keluyuran sendiri malem-malem?!"
"Diembat wewe gombel tahu rasa lu!"
"Wewe gombel yang pakai motor Ninja!"
"HAHAHAHAHAHA!!!!"
"Biasa lah, cewek kalau lagi ngambek kan begini," jawab Cakra tenang. Seolah mereka berdua benar-benar pasangan yang sedang bertengkar.
"Yuk pulang yuk," kali ini Cakra turun dari motor hanya untuk meraih tangannya.
"Lepas!" bentaknya sengit. Begitu Cakra menyentuh tangannya. "Gue bisa jalan sendiri!"
"Adoooohhh! Ngambek beneran bini lu Cak!"
"HAHAHAHA!!!"
"Mam pus lu Cak!"
APA? BINI?!?! Go to the hell!
Cakra hanya tersenyum miring. Seraya kembali berusaha meraih tangannya. Dan mengisyaratkan dengan kedua mata agar ia tak berulah lagi.
"Pulang," begitu isyarat dari bibir Cakra yang tak mengeluarkan suara.
Karena ia tak mau lebih lama berada di antara cowok-cowok paling gaje di depan warung kopi ini. Ia akhirnya -dengan terpaksa- bersedia menuruti perintah Cakra. Dengan mendudukkan diri di boncengan motor.
"Pakai helm dulu," ujar Cakra sembari mengangsurkan sebuah helm ke arahnya. Yang ia terima dengan gerakan kasar.
"Duluan bro!" begitu kata Cakra. Setelah memastikan ia memakai helm dengan benar. Untuk kemudian menstater motor.
"Yo ati-ati!"
"Pulang kemana nih?!"
"Malam masih panjang meeeen ...."
"Enjoy enjoy dulu laaaah ...."
"Mampir dulu Cak, puas-puasin!"
"HAHAHAHAHAHA!!"
Kalimat paling menjijikkan yang baru kali ini ia dengar, membuatnya memukul punggung Cakra sambil membentak, "Buruan jalan!"
Sekitar beberapa menit kemudian, ia baru sadar. Jika Cakra mengendarai motor hanya berputar-putar di daerah Mall Taman Anggrek dan sekitarnya. Tanpa tujuan berarti.
"Lo dari tadi kok muter-muter sih?!" sungutnya kesal.
"Tadi lo bilang mau pergi ke mana aja asal bukan pulang ke rumah."
"Ya tapi nggak muter-muter kayak gini. Pusing tahu!"
"Gua milih muter di sini karena jalannya enak, ramai, lampunya banyak. Kalau ke daerah sono noh," sambil tangan Cakra menunjuk ke sebelah barat dan utara.
"Gelap, sepi."
"Banyak yang lagi balap liar."
"Belum lagi yang pada nongkrong."
"Ntar salah-salah, kita kena ciduk polisi dikira anggota geng motor."
Ia hanya mendecih berlagak tak peduli. "Ya udah terserah elo!"
"Tapi ngomong-ngomong, gua cape nih. Belum tidur seharian," lanjut Cakra setengah berteriak di antara deru suara mesin motor.
"Besok ada kerjaan pagi lagi."
"Dih!" ia mendesis sebal. "Trus mau lo apa?!?!" nada suaranya masih saja menghentak-hentak. Bicara dengan cowok paling berandal di sekolah, memang harus begini. Tegas. Nggak boleh menye-menye.
"Gua antar pulang ya."
"Ogah!"
"Jangan keras kepala! Pasti orangtua lo lagi kelimpungan nyariin elo."
"Bukan urusan lo!" rutuknya kesal walau keseluruhan dirinya membenarkan ucapan Cakra. Papa dan Mama mungkin sekarang sedang menelepon Hanum, Bening, atau bahkan bertanya langsung pada Dipa.
Ah, Dipa. Mengingat nama itu lagi membuat hatinya kembali mengharu biru.
"Kalau lo nggak mau pulang ke rumah, biar gua antar ke rumah teman, gimana? Siapa aja teman lo?"
"Mikir dong!" ia kembali membentak. "Ini udah jam berapa. Masa mau bertamu ke rumah orang! Yang ada langsung diusir!"
"Terus ke mana?"
Namun ia tak langsung menjawab. Selain karena tak memiliki ide dan bingung hendak pergi ke mana. Ia juga kesal setengah mati. Karena ternyata mereka, ia dan Cakra, bisa bercakap-cakap dengan normal seperti layaknya orang pada umumnya.
Padahal selama hampir tiga tahun bersekolah di tempat yang sama, mereka tak pernah saling menyapa. Cukup sekedar tahu sama satu. Ya, ia tahu siapa Cakra. Dan Cakra juga pasti tahu siapa dirinya. Namun cukup sebatas itu, titik.
"Kok berhenti?!" salaknya ketika Cakra menghentikan motor di pinggir trotoar yang terdapat lampu jalan.
"Lo putusin sekarang, mau ke mana? Gua udah nggak sanggup keliling lagi. Cape."
Ia mendecak campur mengkerut. Untuk kemudian mengatakan hal paling mengerikan yang pernah ada yaitu, "Rumah lo aja deh."
"Hah?" Cakra terbelalak. Namun sedetik kemudian langsung terbahak.
"Lo ngetawain gue?!" salaknya semakin sebal. Yaiyalah Anja, lagian elo be go atau gila sih mau pulang ke rumah cowok berandal macam Cakra. Mikirrrr!!!
"Bisa digorok Mamak gua kalau bawa lo ke rumah tengah malam begini," desis Cakra sambil terus tergelak.
Membuat pipinya menghangat karena mengira itu adalah pujian.
"Penampilan lo sekarang udah mirip kayak cabe-cabean abis kecebur got. Ancur parah. Ntar Mak gua bisa jantungan lihat selera cewek gua menurun dras....ADOW!! Lo kok mukul kepala gua sih?!?!" Cakra melotot marah.
"Harusnya lebih dari dipukul!" geramnya tak kalah marah. "Nih!" ia kembali memukul kepala Cakra yang masih terlindung helm. "Masih mo lagi?!?"
"Haish!" dengan gerakan cepat Cakra menahan tangannya agar tak lagi memukuli kepala.
"Pusing woy! Gua masih pakai helm!"
"Lepas dulu kalau gitu!"
Cakra hanya mendengus kesal. Sementara ia langsung melepaskan diri dari cengkeraman tangan Cakra yang terasa cukup menyakitkan.
"Kasar banget sih jadi orang!" ia menggeram marah. Sembari memegangi pergelangan tangannya, yang kini terdapat bekas lingkaran berwarna merah. Akibat dari cengkeraman erat Cakra barusan.
"Woy! Nggak kebalik tuh!" Cakra mendesis sebal sambil melepas helm. Untuk kemudian mengibas-ngibaskan rambut yang setengah gondrong itu.
"Gua bisa aja sih ninggalin lo di sini," gumam Cakra sambil menyisir rambut menggunakan jari.
"Trus kenapa sekarang lo masih di sini?!" semburnya galak. "Lo pergi aja sono! Gue nggak peduli!"
Cakra mengembuskan napas dengan kasar dan cepat. Lalu berkata, "Atau lo pulang ke rumah saudara gimana? Om, tante, kakek, nenek? Ntar bilang aja kemalaman di jalan. Terus diantar sama Ojol. Beres."
"Emang lo mau nganter ke rumah Om gue?" cibirnya tak percaya.
"Gas lah. Di mana?" dengan cepat Cakra memakai helm kembali dan bersiap menstater motor.
"Rumahnya di Dago," jawabnya sambil mencibir penuh kemenangan.
"Bandung?!?" Cakra melotot.
"Atau mau yang lebih dekat juga ada," lanjutnya lagi sambil terus mencibir.
"Di mana?"
"Sentul."
"Eh, Maemunah!" maki Cakra sambil melepas helm yang baru saja dipakai dengan kesal. "Lo main-mainin gua?!?"
"Tadi bukannya lo nanya rumah Om sama Tante gue?" salaknya balas bertanya.
"Ya tapi bukan di Bandung sama Sentul Oneng!" Cakra memandangnya sebal. "Yang di Jakarta. Ja kar ta!"
Ia tertawa sumbang. Tawa pertamanya malam ini. Meski bukan tawa sungguhan. Lebih ke tawa kesedihan malah.
Aneh ya, sedih tapi masih bisa tertawa. Pasti sekarang emosinya sedang tidak stabil, hatinya terguncang, dan perasaannya terluka hingga bisa semaniak ini.
Beberapa menit kemudian, mereka sama-sama saling berdiam diri. Cakra menekuri layar ponsel dengan wajah mengantuk. Sementara ia lebih memilih untuk memperhatikan sekeliling.
Saat ini mereka tengah berdiri di kawasan yang lumayan padat. Terdiri dari deretan toko, warung, yang kesemuanya sudah tutup. Juga ada satu dua rumah tinggal. Dan ... hotel.
Hotel? Mendadak kepalanya dihiasi lampu pijar buatan Thomas Alva Edison karena mendapat ide cemerlang.
"Sekarang jam berapa?!" tanyanya ketus. Ia sedang tak memakai jam tangan dan malas untuk mengambil ponsel. Yang telah berulangkali dimatidayakan lalu dinyalakan lagi sejak berada di cafe sampai ia berjalan kaki tadi. Dan kini tersimpan rapi di dalam sling bag yang juga basah.
"Setengah satu," jawab Cakra dengan nada malas.
"Antar gue ke hotel."
Anja
Ia merengut kesal memandangi punggung Cakra, yang kini sedang mendaftar di resepsionis hotel.
Oh ralat, bukan hotel. Tapi lebih tepatnya motel, hotel melati, hotel kecil yang terselip di antara bangunan megah di sekitarnya, penginapan kumuh, whatever you name it!
"Nih, kuncinya," Cakra mengangsurkan sebuah kunci pintu yang sangat sangat biasa. Menggantung di sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna merah menyala. Dengan tulisan angka 27 yang hampir memudar.
Ia yang awalnya membayangkan akan menerima cardlock, kartu magnetic stripe, kartu chip, atau apapun sebutannya. Yang pasti berbentuk sangat modern. Seperti yang biasa ia peroleh ketika liburan keluarga. Kini mendadak ilfeel mendapati bentuk kunci, yang lebih pantas disebut sebagai kunci gudang itu.
"Malah bengong," sungut Cakra demi melihatnya hanya mematung sambil memasang wajah kesal. Membuat Cakra akhirnya menyimpan kunci tersebut di tangannya.
"Nih, udah," ujar Cakra sambil menarik resleting jaket yang sedang dipakai. "Gua balik dulu."
"Tunggu!" decihnya sambil masih merengut.
"Apa lagi sih?!" Cakra memandangnya sebal.
"Gue lapar."
Kini, mereka telah berada di warung kelontong yang buka 24 jam. Milik seorang warga setempat yang terletak tak jauh dari hotel. Ia sudah memilih roti sobek, kacang atom, wafer, permen alpenliebe, teh kotak dan air mineral. Ketika Cakra meletakkan sebotol Kratingdaeng ke meja kasir.
"Gua bayar sendiri," ujar Cakra cepat Mungkin menyadari, jika ia sedang melirik melalui sudut mata.
"Yang ini pisah, Bah," lanjut Cakra lagi kepada pemilik toko. Sambil mengangkat botol minuman tersebut.
Ia pun hanya mencibir. Dih, ge er banget, desisnya sebal dalam hati. Karena ia sebenarnya tengah melirik rak paling bawah showcase cooler (jenis lemari pendingin yang biasanya terdapat di minimarket dan toko lain sejenisnya). Di mana terdapat barisan minuman kaleng berwarna putih, merah, kuning, yang sangat menarik perhatiannya.
Dan ketika Cakra tengah menenggak minuman pilihannya sendiri, ia pun memutuskan untuk membuka showcase cooler. Lalu berjongkok memperhatikan barisan kaleng minuman warna warni tersebut.
"Enak yang mana?" tanyanya tanpa menoleh. Sambil mempertimbangkan akan mengambil kaleng warna merah dengan logo dua jangkar saling bersilangan, atau mengambil kaleng kombinasi warna putih dan merah dengan gambar bintang besar di tengahnya.
"Semua enak, Neng," jawab pemilik toko sambil terkekeh. "Neneng biasa minum yang mana?"
Dengan tanpa permisi, Cakra mengulurkan tangan tepat di atas kepalanya. Untuk mengambil kaleng minuman bersoda, "Sprite atau Cola?"
Ia mencibir, tak memedulikan Cakra.
"Yang bisa bikin tidur pulas yang mana, Bah?" ia justru kembali bertanya kepada pemilik toko.
"Anak-anak muda biasanya suka yang merah," jawab pemilik toko sambil menunjuk kaleng berlogo dua jangkar bersilangan.
"Dibanding yang satunya," lanjut pemilik toko. Kali ini sembari menunjuk kaleng berwarna kombinasi merah dan putih.
"Yang merah lebih kuat rasanya, tapi lebih murah," pungkas pemilik toko.
Yang disambut dengan cepat oleh Cakra. "Ini aja Bah, ambil dua-duanya," sambil meletakkan sekaleng Sprite dan Coca Cola ke meja kasir.
"Gua yang bayar!" sambung Cakra setengah menggerutu ke arahnya.
"Orang gue mau beli yang ini," ia memutuskan untuk mengambil kaleng berwarna merah dengan logo dua jangkar bersilangan.
Namun, baru saja ia berdiri hendak menutup pintu showcase cooler. Tiba-tiba Cakra telah merebut kaleng yang sedang dipegangnya. Untuk kemudian kembali menyimpannya ke dalam showcase cooler.
"Heh!" ia membentak Cakra kesal. "Gue mau beli yang itu!"
Cakra tak menjawab, tapi memasang posisi tubuh sedemikian rupa. Agar ia tak bisa membuka showcase cooler.
"Minggir!" gerutunya kesal.
Namun Cakra bergeming.
"Aduh, Neng, jangan berantem di warung orang," tegur pemilik toko seraya terkekeh.
"Kalau pacar Neneng nggak suka kaleng merah, mending coba yang ini, lebih lembut," lanjut pemilik toko. Sambil mengangsurkan barang yang baru diambil dari bagian dalam toko. Yaitu sebuah botol berwarna hijau, dengan logo dua jangkar bersilangan.
"Kadar alkoholnya lebih rendah, cocok lah buat berdua," sambung pemilik toko lagi seraya terus terkekeh.
Dengan penuh rasa ingin tahu, ia pun mengambil botol tersebut dari tangan pemilik toko. Kemudian membaca tulisan yang terpasang di sana, "Lychee?"
Pemilik toko mengangguk, "Rasa leci. Manis, segar, nggak terlalu pahit."
"Maaf, Bah, kami ambil Sprite sama Cola aja," potong Cakra cepat.
Namun ia hanya mencibir, berusaha tak memedulikan Cakra.
Lebih memilih bertanya lagi kepada pemilik toko, "Tapi kok kemasannya botol, Bah? Jadi kayak minum miras beneran," selorohnya.
Bertepatan dengan Cakra yang melotot ke arahnya.
"Ini aja Bah, jadi berapa semua?" ujar Cakra cepat. "Gua bayarin dulu, ntar lo bayar ke gua habis ini," sambung Cakra tanpa melihat ke arahnya.
"Ada yang kaleng," pemilik toko jelas berada di pihaknya karena mengabaikan Cakra. Haha rasain!
"Mana?" tanyanya antusias.
"Itu di paling bawah kiri," tunjuk pemilik toko ke arah showcase cooler. "Yang kalengnya putih perak."
"I see," ia tersenyum senang. Untuk kemudian mengambil dua kaleng yang dimaksud oleh pemilik toko.
"Lo nggak boleh minum itu!" kali ini suara Cakra membentaknya. Jelas telah kehilangan kesabaran.
"Bukan urusan lo!" decihnya tak peduli. Tetap meletakkan dua kaleng minuman tersebut ke atas meja kasir.
"Udah Bah, ini aja. Jadi berapa semuanya?" sambungnya cepat sebelum Cakra kembali menyuarakan protes.
"Oya, kecuali Kratingdaeng, Sprite, sama Cola," lanjutnya lagi. "Dia bayar sendiri," sambil menunjuk ke arah Cakra yang sedang mendesis sebal.
"Ya udah, kita pisah disini!" sembur Cakra begitu mereka keluar dari warung kelontong. "Berani jalan ke hotel sendiri?!"
"Hotel ... hotel apaan," ia malah mengomel sendiri. "Tempat kumuh begitu dibilang hotel."
"Heh, Maemunah!" Cakra kembali membentaknya kesal. "Duit di ATM gue cuma cukup buat nginep di tempat kayak gini. Jangan ngarep nginep di hotel bintang lima!"
"Lagian elo, mau kabur dari rumah nggak bawa duit! Mau tidur di jalanan?!?" lanjut Cakra makin bernafsu mengomelinya.
"Udah untung gue mau berbaik hati bayarin hotel buat lo!"
"Bukannya berterima kasih, malah ngomel-ngomel kayak emak-emak belum dapat jatah!"
Namun ia justru menirukan ungkapan kekesalan Cakra dengan gerak mulut tanpa suara. Membuat Cakra memasang ekspresi ingin mencekiknya.
"Ape lo?! Berani?!" tantangnya sembari menggeram marah.
"Credit card gue ketinggalan di rumah!" tambahnya setengah membentak.
"Yakali mau nonton basket mesti bawa credit card segala!" imbuhnya lagi seraya memelototi Cakra.
"Jadi orang nggak ikhlas banget sih! Ntar gue ganti duit lo yang barusan kepakai!!" sambil memberengut dan memungkasinya dengan, "Udah sono pergi! Ngapain masih di sini?!"
Tapi Cakra memilih untuk mengendur, tak lagi membentak seperti sebelumnya, "Gua antar sampai lobby."
"Nggak perlu!" tolaknya cepat. Gengsi dong.
"Cuma buat mastiin, lo bener-bener nginap di hotel ini. Kalau besok tiba-tiba muncul di berita pagi 'Seorang gadis ditemukan tewas bersimbah darah di dalam kamar hotel melati, belum diketahui apakah korban pembunuhan atau tindak bunuh diri.' "
"Eh, jaga mulut lo, ya!" ia menunjuk muka Cakra dengan jari telunjuk secara berapi-api.
"Nanti pasti polisi nginterogasi gua, nah kalau gua tahu el ...."
"Udah berisik!" potongnya cepat. "Tinggal jalan doang nggak usah banyak bacot kayak emak-emak kompleks!" sambungnya lagi sambil berjalan menghentak-hentakkan kaki ke atas aspal karena kesal.
"Lo barbar juga ternyata," desis Cakra yang setengah berlari berusaha menyejajarkan langkah dengannya.
"Kirain tipe cewek manis yang ...."
"Makasih," sahutnya cepat. "Gue memang manis pakai banget," tanpa menoleh kearah Cakra. Yang ia tahu pasti, cowok berandal itu sedang kesal setengah mati dengan tingkahnya. Dan kini benar-benar ingin mencekik lehernya.
Namun begitu langkahnya hampir mendekati lobby, ia justru tertegun. Saat melihat pemandangan yang tersaji. Sekelompok orang berusia dewasa yang saling berpasangan, menempel, dengan tanpa rasa malu mempertontonkan kemesraan menjijikkan. Yang kesemuanya tengah berdiri mengantri di depan meja resepsionis. Lengkap dengan kepulan putih asap rokok dan suara gelak tawa.
Sambil menggaruk kepala yang tak gatal, ia menoleh ke arah Cakra yang telah bersiap mengeluarkan kunci motor.
"Mm ...." Ia harus menelan ludah berkali-kali sebelum akhirnya berkata, "Bisa anterin gue ke kamar nggak?"
"Lo ngelunjak tahu nggak sih!" sungut Cakra kesal. Namun tetap menuruti permintaannya. Dengan ikut berjalan masuk ke dalam lobby hotel.
Ia tentu lebih merasa aman berada dekat dengan Cakra. Meski julukan cowok jangkung ini adalah berandal sekolah. Daripada harus berjalan seorang diri. Membelah lobby yang dipenuhi oleh puluhan pasang manusia yang sedang bermesraan.
Terus terang, kondisi yang baru pertama kali dialaminya ini, benar-benar membuatnya takut. Jadi, ketika akhirnya mereka berdua berjalan melewati lobby menuju lift, tanpa sadar ia mencengkeram erat lengan Cakra.
"Udah nggak ada orang juga masih nempel kayak perangko. Demen?" seloroh Cakra saat mereka berjalan menyusuri lorong lantai tiga mencari posisi kamar nomor 27.
Dengan sekali sentakan ia menghempas lengan Cakra sedikit kasar. "Amit amit!" desisnya sebal.
"Nah, udah, ini kamarnya," Cakra menunjuk pintu berwarna cokelat di hadapan mereka yang bertuliskan angka 27.
"Udah ya, gua pulang," ujar Cakra dengan wajah lega. "Jangan bundir loh. Bikin repot orang ntar!"
Namun ia justru memukul lengan Cakra dengan sekuat tenaga.
"ADOWW!! Kok mukul, sih?! Bener-bener ya, lo jadi cewek ngeselin banget!!"
"Diam!" bentaknya sambil melotot. Ketika dua pasang orang dewasa melewati mereka sambil berjalan sempoyongan.
"Hai, cowok ganteng," ujar salah seorang wanita yang sepertinya sedang memakai baju milik anak TK. Saking tak mampu mengakomodir apapun.
Sementara wanita satunya, yang memakai baju bling-bling ke tat seperti lepet. Tak berkata apapun. Tapi justru langsung membelai dagu Cakra.
"Ganteng ih kamyu," ujar wanita berbaju bling-bling ke tat sambil mengedipkan sebelah mata, ke arah Cakra yang tersenyum lebar.
"Heh! Jangan keganjenan sama bocah!" tegur sang pria yang sepertinya sudah mabuk berat.
"Lo punya gue malam ini. Jangan macem-macem!" desis pria satunya lagi sambil menarik si bling-bling ke tat ke dalam pelukan.
"Dah, nagaaa," ujar wanita berbaju anak TK sambil memberi kode kiss bye kepada Cakra yang masih saja tersenyum lebar.
"Naga?" desisnya sambil mencibir.
Dalam waktu bersamaan, dirinya merasa aneh sekaligus kian takut. Saat melihat adegan barusan. Yang hanya pernah dilihatnya di layar televisi. Orang mabuk, sempoyongan, berpasangan dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya. Mengerikan.
"aNAk GAnteng," jawab Cakra yang masih tersenyum lebar. "Gitu doang masa nggak ngerti sih."
"Gila! Seksi bats," lanjut Cakra masih tetap tersenyum lebar. Dengan mata yang tak lepas memandangi dua wanita berpakaian seronok. Yang kini sedang kesulitan membuka pintu kamar tepat di sebelah kamar nomor 27.
Karena ia yakin, kini Cakra sedang meneteskan air liur tanpa henti, bahkan sampai banjir merendam mereka berdua. Demi melihat wanita seksi. Spontan ia memukul kepala Cakra sekeras mungkin.
Membuatnya harus sedikit berjinjit. Karena selisih tinggi mereka yang lumayan jauh. Namun demi mendengar Cakra mengaduh, ia pun tersenyum dengan penuh kepuasan. Berarti pukulannya tepat sasaran.
"Lo hobi banget mukul gua sih?!" gerutu Cakra kesal. Sambil mengelus bagian belakang kepala yang barusan ia pukul.
"Ini asset penting!" Cakra masih menggerutu sambil terus mengelus bagian belakang kepala. "Malah seenaknya dipukul. Gua bisa minta ganti ru ...."
Namun ia tak memedulikan gerutuan Cakra. Lebih memilih untuk membuka pintu kamar hotel. Kemudian memasukinya.
"Dasar cewek gila!" desis Cakra sebal. Begitu mengetahui ia telah lebih dulu masuk ke dalam kamar.
"Eh, nyaman juga," tapi Cakra langsung berubah takjub. Demi melihat seisi kamar.
"No pek ceng (dua ratus ribu) bisa dapat kasur empuk, AC, breakfast ...." Cakra kemudian memeriksa keseluruhan isi kamar dengan wajah puas.
"Tapi di tempat kumuh," desisnya sambil mencibir. Lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Usai melepas jaket karena kegerahan.
Namun Cakra tak membalas cibirannya. Justru ikut mendudukkan diri di atas tempat tidur.
"Kayaknya nyaman juga ya tidur di sini," gumam Cakra.
"Ya udah, lo tidur di sini aja," sahutnya dengan tanpa berpikir.
Membuat tawa Cakra langsung meledak.
"Kenapa ketawa?!" semburnya marah. Sebab, ia paling tak suka ditertawakan.
"Lo nggak takut sama gua?" cibir Cakra sambil mengerling ke arahnya. "Tiap hari di sekolah nggak pernah saling sapa. Kenapa tiba-tiba sekarang nyuruh gua tidur di sini?"
"NYURUH ELO?!" ia meradang. "Siapa nyuruh elo tidur di sini?! Elo sendiri yang tadi bilang 'kayaknya enak tidur di sini'. Gue cuma jawab 'ya udah tidur aja di sini' !!"
"Sama aja," seloroh Cakra sambil terus mengerling ke arahnya.
"Sama aja gimana?! Beda lah!"
"Ya udah, terserah elo dah," pungkas Cakra akhirnya mengalah. Kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi.
"Karena lo udah sampai di kamar, sekarang waktunya gua pu ...."
Namun sebelum Cakra menyelesaikan kalimat, tiba-tiba terdengar suara tempat tidur yang berderak-derak. Lalu diikuti suara-suara aneh, yang pastinya keluar dari mulut sepasang manusia. Suara paling menjijikkan yang baru pernah didengarnya.
"Ya ampun," ia langsung bergidik ngeri. "Itu ... suara apa?"
Namun Cakra justru terbahak. "Mereka lagi bikin project."
"Project apaan di tengah hotel kumuh begini?!?"
"Menurut lo?" Cakra tersenyum penuh arti. "Masa harus gua terangin secara detai ...."
Lagi-lagi terdengar raungan menjijikkan yang membuat bulu kuduknya meremang. Sekaligus membuat keseluruhan wajahnya terasa panas dan memerah karena malu.
"Ya ampun ...." Ia buru-buru bersembunyi di balik bantal. "Mereka lagi ngapain sih kok teriak-teriak gaje gitu?"
Cakra terus saja terkekeh-kekeh melihat reaksinya.
"Emang dindingnya terbuat dari triplek apa gimana sih, kok bisa sampai kedengeran begini?!" Ia semakin mengeratkan bantal di kedua telinga. Demi tak mau mendengar suara rin tihan dan e ra ngan yang membuat jantungnya mendadak bertalu-talu.
"Ya udah deh, lo tidur di sini aja," lanjutnya cepat. "Gue nggak mau sendirian di kamar menjijikkan kayak begini ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!