NovelToon NovelToon

CERMIN UNTUK BERKACA

Koleksi Cermin

Mentari pagi menelisik masuk, membuat Reca mengucek matanya beberapa saat. Tangannya berusaha mencari benda pipih yang ia simpan di bawah bantal. Perlahan matanya dibuka untuk melihat benda tersebut.

"Astaga, jam 7?" teriak Reca.

Leo yang berada di samping Reca ikut terkejut.

"Apa? Jam 7?" tanya Leo panik.

"Mas, kesiangan." Reca menatap Leo dengan rasa bersalah.

Leo tidak menjawab. Ia hanya menyibakkan selimutnya dan segera ke kamar mandi. Tanpa ada ucapan apapun, Leo bersiap. Hari ini adalah hari pertamanya kerja di perusahaan impiannya.

"Sayang maaf," lirih Reca.

"Gak apa-apa sayang. Aku berangkat ya!" ucap Leo.

Kecupan singkat di dahi Reca mengakhiri pertemuan mereka pagi itu. Leo segera pergi dengan motor kesayangannya sambil melambaikan tangannya.

"Astaga! Kamu kenapa sih?" gerutu Reca sambil menepuk ponselnya berkali-kali.

Setelah tiga bulan menikah, ini adalah hari bahagia bagi keduanya. Penantian tiga bulan tidak sebentar. Setelah mencoba melamar kerja ke sana ke sini, akhirnya Leo mendapatkan pekerjaan sesuai impiannya.

Sebelumnya, Leo tidak pengangguran. Ia memang sudah bekerja di perusahaan kecil. Walaupun begitu, hasil kerjanya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Tinggal berdua di rumah kontrakan membuat mereka mandiri meskipun orang tua menawarkan untuk tinggal bersama.

Hari-hari Reca tidak berubah semenjak menikah dengan Leo. Ia hanya bangun, beres-beres rumah, masak, tidur. Berbeda dengan Leo yang setiap siang ia akan bekerja dan kembali ke rumah sore hari. Hal itu terjadi sampai hari ini.

Disela waktu membereskan rumah, Reca menyempatkan diri untuk menatap wajahnya di depan cermin. Ia mengusap perutnya yang masih rata. Harapan hamil harus ditunda saat mengingat kesepakatan dengan Leo.

Saat membereskan lemari, tiba-tiba matanya menatap beberapa tas kecil yang berjejer. Ia tersenyum tipis dan meraih sebuah tas. Warna hitam dengan aksesoris gold di bagian depannya. Reca mencoba mengaitkan tali tas tersebut di bahunya. Kembali ia menatap cermin.

"Kalau begini aku kayak anak kuliahan ya!" ucap Reca pelan.

Reca memang tidak sempat kuliah karena memilih untuk menikah dengan Leo. Hanya enam bulan setelah lulus sekolah, Leo menikahinya dan menjadikannya wanita paling bahagia. Ia segera membuang harapannya yang sudah pupus itu. Saat akan menyimpan tas itu, tiba-tiba cermin kecil terjatuh dan pecah.

"Aduh," ucap Reca terkejut.

Dengan cepat Reca membereskan serpihan cermin yang berserakan di lantai. Di saat yang beramaan, bayangannya tentang cermin itu muncul. Cermin yang pecah itu adalah hadiah dari teman sekolahnya dulu. Bukan tanpa alasan, cermin adalah benda kesukaan Reca. Tak lama, ia mencari cermin lain yang mungkin ada di dalam tas-tas yang lain.

Benar saja, banyak cermin yang berhasil Reca kumpulkan pagi itu. Senyumnya melebar saat mengingat kenangan dari masing-masing cermin yang ada di hadapannya. Meskipun ia tidak mengingat semuanya, namun beberapa membuatnya merindukan masa-masa sekolah dulu.

Terlalu santai, Reca mempercepat pekerjaannya saat melihat jam sudah pukul sebelas siang. Sampai akhirnya ia mandi dan menyimpan koleksi cerminnya itu di dalam dus kecil di kamarnya. Ada dua cermin yang ia letakkan di atas meja rias juga karena bentuknya yang lucu.

Setelah selesai, Reca mandi dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya sambil memegang cermin kecil. Ia menatap wajahnya dengan seksama. Merapikan anak rambutnya yang masih basah. Senyumnya kembali terukir saat membayangkan ia berada bersama teman-temannya di kampus.

Bayangan itu kini masuk ke alam mimpi setelah Reca terlelap dengan harapan hampanya itu. Dalam mimpi, semua terasa indah. Sampai akhirnya mimpi itu usai saat kecupan singkat Leo mendarat di pipinya.

"Mas," ucap Reca.

"Kamu capek ya?" tanya Leo sambil mengusap kepala Reca.

Hal kecil itu yang membuat Reca bersyukur meskipun tidak melanjutkan mimpinya untuk kuliah. Keberadaan Leo membuatnya selalu merasa menjadi wanita yang paling sempurna. Tampan dan perhatian. Begitulah Leo. Bahkan setelah pulang bekerja saja, Leo justru berpikir bahwa Reca kelelahan karena sedang tertidur saat ia pulang bekerja.

"Mas gimana kerjanya?" tanya Reca.

Mendengar pertanyaan Reca, Leo memperbaiki posisinya. Ia duduk dengan nyaman dan menceritakan pengalaman kerja pertamanya di tempat baru. Reca memperhatikan dengan antusias Leo saat bercerita. Terlihat bahagia sekali.

"Terima kasih ya buat doa dan dukungannya," ucap Leo mengakhiri ceritanya.

Pelukan hangat Leo membuat Reca tersenyum di dada bidang pria pujaannya itu. Sore itu menjadi waktu yang hangat untuk mereka. Sampai akhirnya Reca mengajak Leo untuk makan.

Langkah Leo terhenti saat melihat dus kecil yang asing baginya. Reca segera menjelaskan jika itu adalah koleksi cerminnya sejak ia masih sekolah.

"Koleksi? Aneh kamu yank, masa cermin dikoleksi." Leo menggelengkan kepalanya sambil berlalu begitu saja.

Reca menghela napas cukup panjang saat melihat respon suaminya. Padahal ia berharap Leo bertanya atau bahkan sudah tahu kebiasaannya di masa lalu. Tidak seperti Reca yang mencari tahu banyak hal tentang Leo, suaminya itu tidak tampak bersikap sama dengannya.

"Sayang," panggil Leo yang berhasil membuyarkan lamunannya.

"Iya," jawab Reca.

Dengan cepat Reca menghampiri Leo dan makan bersama. Seperti rutinitas biasanya, Leo akan membantu Reca membereskan dan mencuci piring. Terasa sangat menyenangkan saat bisa melakukan semuanya bersama.

"Mas, sabtu dan minggu libur kan kerjanya?" tanya Reca.

Bukan tanpa alasan, setelah Reca membereskan beberapa tas yang sedikit berjamur membuatnya rindu jalan-jalan. Ia berharap dengan pekerjaan baru Leo, sabtu dan minggu tidak digunakan lagi untuk bekerja. Menurut Reca, gaji Leo di tempat barunya sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

"Harusnya sih libur. Memangnya kenapa?" Leo balik bertanya.

"Kok harusnya sih? Bisa gak pasti gitu ya?" ucap Reca kecewa.

"Bukannya begitu sayang, tapi Mas kan karyawan baru. Takutnya bilang libur tapi tiba-tiba ada panggilan dari bos kan nanti repot. Memangnya kenapa?" tanya Leo.

Reca memberanikan diri mengungkapkan keinginannya untuk bisa jalan-jalan berdua. Ia merindukan masa-masa pacaran yang hanya berlangsung enam bulan saja. Anggap saja Reca belum puas pacaran. Leo menanggapinya dengan gemas. Usianya yang terpaut sepuluh tahun membuat Leo memperlakukan Reca seperti anak kecil.

"Oke kalau begitu malam minggu kita pacaran ya!" ucap Leo.

Ucapan Leo berhasil membuat mata Reca berbinar. Senang sekali. Akhirnya Reca akan menikmati masa pacaran itu lagi. Ah, padahal ini baru hari senin. Waktu pasti akan terasa lama untuk Reca.

Malam ini diakhiri dengan Reca yang ditinggalkan tidur lebih dulu oleh Leo. Reca menatap wajah Leo yang tengah tertidur. Terlihat sangat tampan dengan kulit putih dan bibir yang tidak gelap karena Leo tidak merokok.

Gagal Kencan

Seminggu terasa begitu lama bagi Reca yang menantikan malam mingguan dengan suaminya. Hari ke hari Reca lalui dengan penuh semangat. Bahkan di hari kamis saja, Reca sudah menyiapkan pakaian lengkap dengan sendalnya untuk malam mingguan dengan Leo.

Tiba waktunya, sabtu pagi Reca membersihkan rumah dengan semangat. Beberapa kali ia melihat pakaian yg sudah siap pakai tergantung d balik pintu. Senyumnya merekah saat melihat Leo selesai mandi.

"Sayaaaang," panggil Reca sambil berlari memeluk Leo yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.

"Apa cantik?" jawab Leo sambil membalas pelukan Reca.

"Mas ganteng banget deh pagi ini," ucap Reca sambil mengusap dagu Leo yang sudah mulai tumbuh janggut.

"Pasti ada maunya ya?" ucap Leo sambil mengusap lembut wajah Reca.

Reca membenamkan wajahnya d pelukan Leo. Wajah tampan yang menatapnya penuh cinta membuat Reca tak mampu membalasnya. Sampai saat ini, Reca masih selalu salah tingkah saat Leo mesra padanya.

Laki-laki di hadapannya terlihat semakin tampan sejak pertama kali mereka bertemu. Ah lebih tepatnya dipertemukan oleh orangtuanya. Saat itu, ada acara reuni ibu mereka. Dengan sengaja, baik Bu Rani dan Bu Lena meminta anak mereka yaitu Reca dan Leo untuk menjemputnya.

Sejak pertemuan pertama, Reca sudah menyimpan hati pada Leo. Tapi tidak dengan Leo. Laki-laki dingin seperti kulkas dua pintu itu, membutuhkan waktu berkali-kali bertemu dengan Reca untuk membuatnya tertarik. Dengan berat hati, Reca harus mengakui jika dirinya adalah orang yang pertama jatuh cinta. Bahkan Leo mulai mencintainya saat ibunya mengabari jika Reca menyukainya.

"Mas, cinta gak sih sama aku?" tanya Reca tanpa menatap wajah Leo.

"Pertanyaan konyol macam apa itu?" Leo balik bertanya.

Reca selalu butuh validasi bahwa Leo mencintainya. Tapi bagi Leo, dengan menikahi Reca sudah menjadi bukti bahwa rasa cinta itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Hal seperti itulah yang kadang menjadi bumbu dalam pernikahan yang baru seumur jagung itu.

Perdebatan itu berakhir dengan Leo yang mengalah. Ia berdiri dengan tegak dan mengangkat tangannya. Menghormat pada Reca layaknya sedang berhadapan dengan atasannya.

"Lapor, saya Leonata Sumardi memohon maaf. Saya mencintai istri saya yang paling cantik yaitu Tuan Putri Recalia Dinata, dulu sekarang dan selamanya." Leo menurunkan tangannya sambil tersenyum lebar.

Reca merasa geli sendiri melihat tingkah suaminya. Rasa takut karena berbeda usia sepuluh tahun, kini sudah pupus. Ternyata sepuluh tahun bukan jarak yang terlalu jauh. Kalau orangnya seperti Leo, Reca berpikir berbeda dua puluh tahun pun tidak masalah.

"Mau jalan kemana hari ini cantik?" goda Leo.

Setelah melakukan kesalahan, Leo segera memperbaikinya. Ia tidak mau hari ini Reca kehilangan moodnya hanya karena hal sepele seperti tadi. Lagi pula, hari ini libur. Tidak ada salahnya menikmati kebersamaan dari pagi hingga malam dengan istri kecilnya itu.

"Gak kemana-mana. Aku mau cuci sprei dan lap kaca dulu. Nanti malam kan kita mau kencan," ucap Reca.

Leo tersenyum. Istri yang dinikahinya tiga bulan lalu itu ternyata sudah dewasa. Meskipun Reca sering merengek atas hal kecil, Leo menyadari untuk usia Reca saat ini adalah sebuah prestasi. Teman-temannya masih ada yang nongkrong sana sini, kuliah, kerja, Reca justru menikmati perannya sebagai seorang istri.

"Sudah siap?" tanya Leo saat jam tangannya menunjukkan pukul tujuh malam.

"Sebentar lagi," jawab Reca sambil menata rambutnya.

Leo menunggu d depan kamar. Memperhatikan setiap gerakan Reca. Baju yang dipakai istrinya sangat cocok dengan tubuhnya yang putih dan langsing. Senyum penuh arti nampak di wajah tampan Leo.

"Kenapa Mas? Ayo berangkat!" ajak Reca yang mengerti senyuman suaminya.

"Ayo! Tapi nanti ya jangan lupa," goda Leo.

Ucapan Leo membuat Reca menggelengkan kepalanya. Tak ingin kencannya gagal dengan Leo, Reca segera menarik tangan suaminya itu. Dengan motor kesayangannya, sepasang suami istri itu tiba di depan sebuah cafe kecil. Tidak mewah namun nyaman. Tidak terlalu sepi juga. Harga yang terjangkau membuat cafe itu diminati muda mudi yang tengah berkencan.

"Kita di sana ya Mas," ucap Reca menunjuk salah satu tempat yang masih kosong.

Belum sempat Leo menjawab ucapan Reca, lengannya sudah ditarik. Duduk tepat dimana Reca menunjuk. Sebuah daftar menu segera dibuka dan Reca yang begitu antusias segera memesan beberapa makanan dan minuman. Leo hanya mengikuti apa yang Reca pesan.

"Ah, ini sweet sekali Mas. Aku rindu loh masa-masa begini," ucap Reca.

Wajah ceria Reca membuat Leo bahagia. Ia merasa berhasil menjadi suami idaman. Namun ekspresi Leo berubah saat Reca membuka tas kecil dan membawa cermin. Beberapa saat Reca menatap wajahnya di cermin. Hal itu terjadi berulang sampai Leo merasa risih.

"Kamu kenapa sih harus ngaca di tempat umum gini?" bisik Leo.

"Memangnya ada aturan ya kalau di tempat umum gini dilarang ngaca? Lagian ini cerminnya lucu, Mas." Reca memamerkan cermin di tangannya.

Beruntung makanan pesanan mereka sudah tiba. Hal ini menyudahi perdebatan tentang cermin yang membuat Leo nyaris kehilangan nafsu makannya. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba ponsel Leo berbunyi. Nama "Pak Alam" muncul di layar ponsel Leo. Tanpa aba-aba, Leo langsung menekan tombol hijau.

"Siap Pak, saya segera ke sana." Leo mengakhiri panggilan itu.

"Maaf ya sayang, Mas harus ke kantor. Ini uang untuk bayar pesanannya. Kalau keburu, Mas jemput kamu. Kalau telat, kamu pulang naik gojek aya ya!" ucap Leo buru-buru.

"Mas mau kemana? Ini makanannya baru datang," ucap Reca sambil meraih tangan Leo yang sudah berdiri dari duduknya.

"Ini urusan kerjaan. Mas harap kamu ngerti ya," bujuk Leo.

"Tapi ini kencan pertama kita setelah menikah loh Mas. Katanya Mas janji malam minggu kita mau pacaran. Aku nunggu seminggu loh buat semua ini," rengek Reca.

Leo menghela napas panjang. Batinnya tidak tega melihat Reca kecewa. Namun logikanya tidak sama. Ini menyangkut masa depannya. Dengan lembut, Leo menjelaskan bahwa semua ini ia lakukan untuk Reca juga. Akhirnya Leo menawarkan untuk pulang dan membungkus pesanan mereka. Namun Reca menggeleng. Ia memilih untuk menikmati makanan itu di cafe. Ya, meskipun sendirian. Paling tidak, ada banyak orang di sana. Itu lebih baik dari pada ia makan di rumah ditemani air mata.

"Maaf ya sayang!" ucap Leo lembut sembari mengecup punggung tangan Reca.

Reca mengangguk sembari menyunggingkan senyum yang penuh dengan keterpaksaan. Pada akhirnya Reca harus menerima kenyataan jika Leo sudah pergi. Meninggalkannya dengan makanan dan minuman di atas meja.

Cermin kecil itu diraih dan diangkat. Kembali Reca menatap cermin. Mengamati wajahnya dari pantulan benda kesukaannya itu. Hatinya menjerit. Ada rasa kasihan atas raga yang tengah ditatapnya. Namun, semua ini harus dijalani.

"Ca," panggil seseorang yang wajahnya tidak asing bagi Reca.

Seketika wajah Reca berubah menjadi lebih ceria.

Kucing Nakal

"Ngapain di sini sendirian?" tanya Dini, teman sekolah Reca.

"Gak mungkin sendiri dong. Ini makanan d meja porsi dua orang loh," ucap Resi sambil menunjuk makanan di meja.

"Tadi sama suami. Tapi Mas Leo pergi katanya ada urusan mendadak. Biasalah kalau kerja di bawah telunjuk orang. Susah," keluh Reca.

"Urusan apa sih sampai-sampai ninggalin istrinya. Malam minggu lagi. Apa gak malam mingguan sama bosnya?" goda Dini.

"Heh, sembarangan kalau ngomong." Resi menyikut Dini.

"Iya ih amit-amit," ucap Reca sambil mengetuk-ngetuk meja dengan kepalan tangannya.

Mereka bertiga tertawa bersama. Rasa kecewa Reca akhirnya terobati dengan kehadiran Dini dan Resi. Dua sahabat yang sangat dekat dengannya saat sekolah. Banyak cerita yang Reca dapat dari mereka. Ya, setelah menikah Reca memang mengurangi komunikasi dengan teman-temannya.

Waktunya ia habiskan dengan urusan rumah dan suaminya. Sesekali memang ada komunikasi dengan kedua sahabatnya itu. Namun Reca tidak seakrab dulu. Apalagi saat kedua sahabatnya itu melanjutkan kuliah di tempat yang mereka inginkan. Ada rasa iri saat mereka bercerita tentang pengalaman kuliahnya.

"Din, Res," panggil Danang.

Bukan hanya Dini dan Resi, Reca juga ikut melihat pusat suara itu. Berbeda dengan kedua sahabatnya, Reca terlihat canggung dengan Danang yang semakin mendekat. Danang adalah laki-laki yang sempat Reca dambakan sebelum bertemu dengan Leo.

Bagaimana tidak, Danang adalah laki-laki tampan dan pintar. Bukan hanya di bidang akademik, Danang juga beberapa kali menjuarai perlombaan basket. Namun, sampai saat ini hanya Reca yang tahu perasaan itu. Sahabat dekatnya pun tidak ada yang tahu.

"Ini Reca ya? Kok makin kurus ya?" tanya Danang sembari mengulurkan tangannya.

Reca mengangguk. Matanya berbinar sembari menerima uluran tangan Danang.

"Boleh gabung ya?" tanya Danang.

Tanpa menunggu jawaban, Danang sudah duduk bersama mereka.

"Gabung aja, mumpung suaminya gak ada." Resi menggoda Reca.

"Suami?" tanya Danang dengan wajah penuh tanya.

Danang hanya menganggukkan kepalanya saat tahu Reca sudah menikah. Walaupun ia sempat protes karena tidak diundang saat pernikahan mereka. Semua terlihat menikmati malam minggu ini, kecuali Reca. Ada rasa cemas saat Danang ikut bergabung. Kekhawatiran jika tiba-tiba Leo datang dan melihatnya bersama dengan laki-laki lain.

"Jam sembilan nih. Gak dicariin suaminya?" tanya Danang setelah melihat jam yang melingkar di tangannya.

"Lagi ada kerjaan," jawab Reca.

"Aku pulang sekarang. Mau sekalian dianterin gak? Kita searah loh," ucap Danang.

Ya, setelah obrolan tadi, Danang akhirnya tahu jika rumah kontrakan Reca sering ia lewati saat pulang ke rumahnya. Padahal sudah tiga bulan lebih Reca ngontrak di sana. Namun tak pernah sekalipun Danang berpapasan atau bahkan sekedar melihat sahabatnya itu.

"Ya udah ayo sekalian kita pulang!" ajak Resi yang langsung bersiap.

"Aku nebengnya sama kamu bisa, Res?" tanya Reca.

"Aku sama Dini mau ke rumah temen dulu. Bawa tugas buat besok. Sama Danang aja ya!" ucap Resi.

Dini dan Resi segera pergi saat mendapat telepon dari temannya. Hanya ada Reca dan Danang di sana. Danang kembali menawarkan untuk pulang bersama. Tapi Reca berusaha menolak.

"Lebih percaya ke gojek daripada temen sendiri? Suami kamu cemburuan ya? Aku nanti jelasin sama suami kamu. Janji!" ucap Danang meyakinkan Reca.

Setelah berpikir berulang kali, akhirnya Reca mengiyakan tawaran Danang. Sepanjang perjalanan pulang, hening. Sesekali Danang melihat Reca yang terlihat tegang. Sepertinya Reca memikirkan berbagai kemungkinan respon Leo saat melihatnya pulang dengan laki-laki lain.

"Terima kasih ya Dan," ucap Reca.

"Gak ketemu suami kamu dulu? Aku jelasin biar gak salah faham," ucap Danang.

"Gak perlu. Suami aku belum pulang," ucap Reca.

Danang berpamitan dan segera meninggalkan Reca yang masih mematung. Mata Reca tak beralih hingga Danang benar-benar menghilang dari penglihatannya. Reca bersandar di belakang pintu dan memegang dadanya yang terasa berdebar.

"Mas, maafin aku ya!" ucap Reca lirih.

Setelah mengatur detak jantungnya, Reca melangkah ke kamar. Menatap tubuhnya di depan cermin. Teringat ucapan Danang yang menyebutnya lebih kurus. Reca berputar dan lagi-lagi mengamati tubuhnya dengan semakin seksama.

"Memangnya beneran makin kurus ya?" gumam Reca

"Sayang," panggil Leo.

"Mas," jawab Reca.

"Tadi Mas ke cafe kamu udah gak ada. Maaf ya lama. Mas gak sempat nelepon, ponsel Mas mati. Kamu pulang sama siapa?" tanya Leo.

"Tadi kebetulan ketemu teman Mas. Jadi pulangnya diantar teman," jawab Reca.

Dalam hati, Reca menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia takut kalau Danang akan menjadi masalah dalam rumah tangganya. Namun Reca bersyukur karena Leo tidak memperpanjang pertanyaannya.

Malam itu berlalu begitu saja. Mereka tidur dengan lelahnya masing-masing. Tidak ada pertanyaan atau pernyataan lagi tentang kencan yang gagal itu. Sampai akhirnya pagi hari, Reca kembali menjadi ibu rumah tangga seperti biasanya.

"Pagi sayang. Mau kemana kita pagi ini?" tanya Leo.

"Mas," ucap Reca.

Reca masih kesal dengan kegagalan tadi malam. Tapi Leo terlihat dingin. Mungkin karena sudah minta maaf semalam. Lagi pula Reca juga bertemu dengan temannya. Jadi Leo tidak merasa terlalu bersalah.

"Kamu gak mau jalan-jalan hari ini?" tanya Leo.

"Memangnya mau kemana?" tanya Reca.

"Terserah. Kamu maunya kemana? Aku ikut kemanapun kamu mau," jawab Leo sambil tersenyum lebar.

Seharusnya itu jawaban perempuan.

Reca menghela napas. Tidak sedikitpun ada keinginan untuk keluar rumah hari ini. Reca masih trauma dengan kegagalan kencan itu. Selain itu, Reca juga takut kalau tiba-tiba bertemu dengan Danang lagi.

"Halo Pak. Siap! Saya segera ke sana," ucap Leo sebelum akhirnya mengakhiri panggilan di ponselnya.

"Siapa? Pak Alam lagi?" tanya Reca.

"Wah, kamu jadi dukun sekarang. Kok tahu sih Pak Alam yang telepon?" goda Leo.

"Kenapa lagi Pak Alam? Ini hari minggu loh Mas," ucap Reca kesal.

"Sayang, Pak Alam ini atasan Mas. Mas ini karyawan baru. Gak mungkin nolak kalau atasan Mas minta tolong," jawab Leo.

"Iya tapi tadi baru ngajak aku jalan loh Mas," rengek Reca.

"Sayang, maaf ya! Ini dadakan. Pak Alam gak jadi pulang hari ini. Jadi Mas bantu urus kepulangan Mba Ara dari rumah sakit," ucap Leo.

Tanpa menunggu respon Reca, Leo segera bersiap dan pergi setelah memeluk dan mengecup singkat dahi Reca. Meninggalkan Reca yang menatapnya dengan pikiran berantakan.

Hah? Mba Ara? Dia pasti perempuan yang sudah dewasa. Gak mungkin panggil Mba kalau masih anak kecil. Jadi semalam kamu pergi demi Mba Ara dan sekarang juga berangkat lagi demi dia? Sepenting itu dia, Mas? Kamu jahat. Aku pikir aku yang jahat karena bertemu dengan Danang. Tapi ternyata Tuhan adil. Tuhan sengaja mengirimkan Danang karena tahu kalau Mas memang sedang dekat dengan perempuan lain.

Beberapa saat Reca berdiri dengan dugaan yang tak henti tentang suaminya. Sampai akhirnya ia terperanjat saat sebuh piring pecah disenggol kucing.

"Astaga! Dasar kucing nakal. Awas ya!" teriak Reca.

Reca berlari mengejar kucing itu dengan umpatan yang tidak berhenti. Tampaknya Reca sedang berusaha menumpahkan kekesalannya pada Leo. Kucing yang menjadi korban salah sasaran itu hanya bisa mengeong keras, saat sebuah sendal menghantam tubuhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!