“Sudah siap,?” tanyaku pada pria paruh baya yang baru saja masuk ke dalam mobilku.
“Sudah,” jawabnya sambil memakai sabuk pengamannya. “Kita lanjut makan sate padang di tempat biasa ya, sayang,” lanjutnya.
“Siap bosku,” jawabku. Aku langsung menghidupkan mobilku dan membawanya keluar dari area pemakaman.
Inilah rutinitas wajib tiap bulan pria disampingku ini. Davin Setia Nugraha adalah namanya. Jika kalian memikirkan beliau adalah sugar daddyku, kalian salah besar.
Beliau daddy tanpa sugar. Beliau adalah papaku. Pria yang menjadi cinta pertamaku. Tetap manis dan tampan walau usianya tak muda lagi.
Tak jarang setiap aku dan papa jalan berdua, orang mengira kalau aku adalah istri muda, pacar, atau bahkan selingkuhan papa. Memang wajahku tak terlalu mirip dengan papa. Aku lebih mirip dengan mamaku. Rasanya aku ingin setiap jalan bareng dengan papa, aku akan membawa tulisan 'Ini Papaku'.
Sekali sebulan, di minggu awal tiap bulannya, kami secara bergantian menemani beliau untuk mengunjungi cinta terakhirnya yang sudah beristirahat dengan tenang disana. Kami? Ya kami. Aku dan adik bungsuku.
Aku lima bersaudara. Cukup banyak dan melebihi program pemerintah yang mengkampanyekan dua anak lebih baik. Tapi bundaku memang hebat, bisa melahirkan adik-adikku dan membesarkan kami hingga menjadi sukses seperti sekarang.
Wanita sederhana, tangguh, lembut hatinya, dan pemaaf. Itulah sedikit gambaranku tentang bunda.
Sedikit perkenalan, namaku Aziza Nugraha, biasa dipanggil Aziza. Usiaku saat ini 31 tahun. Aku sudah menikah, Diko nama suamiku. Ia bekerja di sebuah rumah sakit swasta dan menjabat sebagai direktur disana. Aku juga dulu bekerja di rumah sakit itu sebagai terapis wicara di poli tumbuh kembang anak.
Beberapa kali bertemu secara tidak sengaja di rumah sakit, tiba-tiba pada suatu malam ia datang kerumahku dan melamarku. Tentu saja sangat mudah baginya yang Direktur mengetahui alamat rumahku.
Niat baiknya tentu disambut baik oleh kedua orangtuaku. Kini aku juga sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia 5 tahun, Vino namanya.
Anak kedua dikeluargaku namanya Ayani Putri dan biasa dipanggil Aya. Usianya dibawahku 2 tahun, dan sekarang ia sedang berada di negara Tiongkok untuk melanjutkan program dokter spesialisnya. Entah kenapa ia memilih negara itu ketika memasukkan program beasiswanya. Mungkin karena hobinya menonton drama cina membuatnya ingin merasakan mengenyam pendidikan dan tinggal di negara asal drama itu. Papa dan bunda tidak masalah, asal Aya bisa menjaga dirinya.
Anak ketiga, seorang pria tegap dan gagah. Aditya Ramadhan. Usianya beda 2 tahun dari Aya. Sekarang ia sedang berada di Lebanon dalam misi perdamaian dunia. Ya, ia pasukan 'halo dek', oh bukan. Pasukan tentara maksudnya. Awas saja kalau ia menjadi tim halo dek, papa orang pertama yang akan memarahi, memukul dan menceramahinya semalaman.
Sesuai jadwal, beberapa hari lagi ia akan balik ke Indonesia. Pada saat berangkat dulu kondisi rumah masih dalam suasana berduka karena kami kehilangan malaikat kami, tapi karena ini tugas negara, Adit harus selalu siap berangkat. Dirinya bukan milik kami seutuhnya lagi, tapi milik negara. Jadi kami harus memahaminya.
Anak keempat, Alif Putra, si kutu buku dan seorang yang ahli coding dan sekarang ia bekerja di sebuah perusahaan di Singapura. Usianya juga beda 2 tahun dari Adit. Bunda sepertinya kejar target dulunya, tiap tahun beranak karena beda usia mereka 2 tahun.
Si bungsu, yang baru saja menyelesaikan skripsinya. Ia kuliah mengambil jurusan teknik elektro. Dulu sewaktu kami menanyakan alasannya mengapa ambil jurusan ini, jawabannya adalah, “Aku mau seluruh negri dialiri listrik dan listrik negara kita harus stabil. Jangan ada pemadaman listrik lagi tiap kemarau. Udah hari panas, harus juga listrik mati. Udah jadi udang rebus aja kita jadinya.” Cita-cita yang mulia, semoga tercapai ya, dek.
Random sekali bukan profesi keluargaku. Alhamdulillah mereka menjadi orang sukses, dan tentu saja ini semua tidak lepas dari peran papa dan bunda yang berhasil mendidik kami. Walaupun papa selalu bilang ini hasil didikan bunda karena papa jarang dirumah, tapi menurutku papa juga tidak kalah jauh pentingnya dari bunda. 9 tahun aku selalu bersama papa. Walaupun suatu hari papa melakukan kesalahan, tapi papa menebusnya dengan lebih.
Rumah tangga papa dan bunda tidak selalu mulus. Pasti ada lika-liku yang mereka alami. Aku menjadi salah satu saksi di setiap kejadian.
Sewaktu bunda masih hidup, banyak orang yang mengatakan kalau bunda sangat beruntung memiliki papa sebagai suami. Tapi papa selalu bilang, “Papa yang jauh lebih beruntung mendapatkan bunda kalian. Bunda adalah malaikat untuk papa.”
Aku setuju sama papa, papa yang beruntung mendapatkan bunda. Kalau aku yang jadi posisi bunda, aku pasti sudah meninggalkan papa dulu. Ogah banget untuk balikan dengan papa. Itu kalau aku, tapi tidak dengan bunda.
Aku sempat marah pada papa dulu ketika papa menceritakan kisahnya pada kami. Waktu kejadian umurku rasanya masih 9 tahunan, tidak terlalu paham dengan masalah yang terjadi, walau tahu sesuatu telah terjadi.
Rasanya percuma ada unsur setia pada nama papa. Tapi untungnya tidak berlangsung lama, dan papa bisa kembali pulang bersama kami. Untung bunda bisa bertahan ditengah badai. Aku kagum, bunda memiliki hati seluas samudra.
Papa tidak pernah malu menceritakan kebodohan yang pernah beliau lakukan dulu pada kami anaknya. Ketika usia kami sudah 18 tahun, papa pasti selalu bercerita. Kata papa, papa tidak mau anak laki-lakinya turut menjadi pria bodoh, walau hanya sebentar.
Aku mengemudikan mobilku pelan. Papa duduk di samping sambil memainkan ponsel pintarnya. Sepertinya sedang memeriksa email yang berkaitan dengan pekerjaannya. Papa masih bekerja sampai saat ini. Memang umurnya belum memasuki umur pensiun, tapi kami sebagai anak ingin rasanya papa istirahat saja dirumah. Namun papa tidak mau, katanya akan bosan dirumah saja, apalagi tidak ada bunda.
Di umurnya yang sudah 53 tahun, papa masih sangat terlihat tampan. Bulu-bulu tipis yang menggantung di dagunya menambah kesan manis. Belum lagi isi dompetnya yang tebal karena papa menjabat sebagai COO atau Direktur Operasional di perusahaan tempatnya bekerja. Tipikal yang disukai para sugar baby diluaran sana.
Atensi papa pada ponselnya terganggu akibat suara gitar yang keluar dari radio mobilku. Aku bisa melihat papa tersenyum. Lagu favorit papa sedang diputar, D'cinnamons - Selamanya Cinta.
Lagu yang dirilis tahun 2007 ini menjadi favorit papa karena katanya sesuai dengan isi hati papa. Tentang pengungkapan seluruh perasaan papa pada bunda, agar bunda percaya rasa cinta papa ke bunda utuh selamanya.
Sejak aku kelas 6 SD, ketika aku mengerti tentang hubungan suami dan istri, disitu aku selalu melihat mata papa berbinar setiap bersama dengan bunda. Dan sekarang disaat bunda sudah tiadapun, mata papa tetap berbinar ketika ada yang berhubungan dengan bunda.
Tuhan jalinkanlah cinta
Bersama s'lamanya
Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku beriakan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya
Tak terasa mobil yang kubawa sudah sampai di tempat makan favorit papa dan bunda. Yap, makan siang ku hari ini adalah sate padang dan es tebak. Es tebak adalah varian es campur dari Sumatera Barat. Yang dimaksud dengan istilah "tebak" adalah olahan dari tepung beras ketan yang dicampur dengan tepung sagu dan dimasak dengan air garam dan kapur sirih. Setelah matang, adonan tersebut dicetak tipis seperti cendol. Barulah pelengkap lainnya seperti sirup merah, susu kental manis, dan es batu serut ditambahkan.
Kami langsung masuk dan papa langsung menuju spot favoritnya. Kata papa ini tempat duduk ketika papa dan bunda pertama kali makan disini, sekitar 22 tahun yang lalu.
Tempat ini sudah terkenal sejak tahun 90an. Pemiliknya masih satu daerah dengan daerah asal bunda, yaitu Sumatra Barat. Urang awak kata bunda.
Bunda memang berasal dari pulau sumatra, tepatnya di kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Sedang papa asli sunda. Kesamaan mereka sama-sama orang barat. Satu Sumatra Barat dan satu lagi Jawa Barat.
Tidak lama kami duduk, sate dan es tebak kami sudah siap dihidangkan. Karena memang papa adalah langganan setia disini, mereka jadi tahu apa saja pesanan aku dan papa. Papa selalu minta untuk bawang gorengnya dilebihkan. Bunda juga suka begitu katanya.
"Hmm."
"Kenapa, Pa?" tanyaku.
"Rasanya tidak pernah berubah sejak dulu. Kata bunda ini yang baru namanya sate padang."
Aku ingat itu. Tempat ini menjadi favorit bunda karena memang rasanya yang asli minang.
"Ha iko baru yang namonyo sate. Taraso bumbunyo tu," ucap bunda dulu.
"Kenapa kamu lihatin papa?" tanya papa. Tanpa kusadari aku melamun sambil melihat papa.
"Aku iri sama bunda," jawabku.
"Iri kenapa?" tanya papa bingung.
"Iya aku iri karena bunda dicintai secara ugal-ugalan sama papa," jawabku.
Papa menghabiskan makanan yang ada dimulutnya dan kemudian meminum air putih yang ada di depannya sebelum merespon ucapanku tadi.
"Kamu mau dicintai ugal-ugalan juga sama suami kamu?" tanya papa padaku. Aku mengangguk tanda iya. Siapa coba yang tidak mau dicintai pasangannya seperti papa yang mencintai bunda. Aku saksi hidup bagaimana besarnya cinta papa pada bunda. Menurutku cerita mereka lebih bagus daripada cinta romeo dan juliet yang terkenal itu.
"Kamu memang tidak sadar kalau selama ini suami kamu sangat mencintai kamu? Papa yang melihat saja bisa tau kok, kamu memang tidak merasakannya?"
Setelah kupikir sepertinya betul, suamiku juga mencintaiku. Tapi bukankah memang orangnya langsung tidak terlalu merasa dibandingkan orang lain yang melihat? Seperti aku melihat papa dan bunda.
Kalau kalian bisa melihat, di pergelangan tangan kiri papa ada sebuah ikat rambut warna hitam berbandul bola-bola kecil yang melingkari tangannya. Ikat rambut itu milik bunda. Kesukaan bunda sebelum bunda kehilangan rambut indahnya. Rasanya sejak bunda mulai tidak sadarkan diri papa memakai ikat rambut itu dan menjadikannya gelang.
Pernah dua bulan lalu, adik bungsuku, Affan memberi papa sebuah ikat rambut berwarna hitam yang tidak ada bandulnya. Namun saat itu papa menolaknya.
"Walaupun punya kamu itu lebih bagus dan mahal, tetap punya papa ini yang paling mahal menurut papa. Terlalu banyak kenangannya untuk papa. Kamu berikan saja itu nanti pada calon istrimu."
Dunia papaku sudah berhenti pada bunda. Secinta itu papa sama bunda. Seingatku papa tidak pernah bicara kasar atau bernada keras pada bunda. Malah papa akan memarahi aku dan adik-adik jika kami melawan pada bunda. Bundapun begitu.
Bunda tidak pernah marah sama papa dan kami. Bunda juga tidak pernah mengomel seperti ibu-ibu yang lainnya. Contohnya misal kami lupa menaruh piring kotor ke tempatnya, atau tidak membuang bungkus makanan ringan yang kami makan dan membiarkannya berantakan diruang keluarga, bunda tidak akan meneriaki kami. Tanpa banyak bicara bunda langsung membersihkannya. Malah karena bunda seperti itu kami menjadi tidak enak sendiri dan selalu mengingatkan satu sama lain untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian.
Bunda orangnya jarang mengeluh. Seperti tentang penyakitnya itu. Sudah berjalan beberapa bulan kami baru tau ternyata bunda sakit. Bunda bilang beliau tidak mau merepotkan kami, yang memang pada saat itu kami semua termasuk papa sedang direpotkan dengan urusan kami. Kami merasa bersalah dan meminta maaf pada bunda. Papa bahkan lebih sering bekerja dirumah daripada ke kantor.
Papa pernah bercerita, hampir di setiap malam bunda merasa kesakitan dan gelisah, tapi tidak pernah memberitahukan pada papa. Papa tidak banyak tanya. Papa hanya bilang ke bunda kalau kami semua selalu ada bersama bunda, dan meminta untuk jangan terlalu memikirkan kami karena kami yang sudah dewasa. Kini saatnya kami yang mengurus bunda.
Bun, aku benar-benar berterimakasih karena bunda sudah mau memaafkan dan menerima papa kala itu. Aku tidak tau bagaimana jadinya kami kalau bunda meninggalkan kami. Kalau aku jadi bunda, mungkin sangat sulit bagiku untuk menerima papa kembali.
Aku memang tidak ada sewaktu kejadian itu karena bertepatan dengan libur sekolah, aku dan adik-adik menginap dirumah nenek. Tapi sebelum kami berpisah, aku ingat kalau bunda terlalu banyak diam dengan wajah yang pucat. Bahkan bunda sampai dirawat dirumah sakit dan kami tidak diperbolehkan untuk melihat kondisi bunda seperti apa.
"Kamu kenapa sih daritadi melamun terus?" tanya papa lagi. Kenapa aku tidak sadar, ya daritadi sedang melamun mengingat kisah cinta papa dan bunda.
Aku menggeleng dan melanjutkan makanku.
"Cepat habiskan makannya, setelah itu kita jalan berdua. Hari ini pekerjaan papa tidak terlalu banyak. Papa ingin menghabiskan waktu bersama anak perempuan papa," ucap papa yang membuatku sedikit terkejut.
"Tumben."
"Tidak ada. Anakmu sudah dijemput sama Diko, kan?"
"Sudah. Vino sekarang lagi dikantor mas Diko."
"Papa hanya ingin mengenang kita dulu kemana-mana selalu berdua."
Benar kata papa, terakhir sewaktu umurku 9 tahun aku jalan hanya berdua dengan papa. Sebelum bunda hadir dalam hidup kami dan akhirnya mengubah hidup kami.
"Baiklah, Om. Tapi nanti jajanin sugar babymu ini, ya," kataku dengan manja dan menggoda ala-ala bocah genit diluaran sana.
Papa hanya tertawa mendengar ucapan nyelenehku. Senyuman papa selalu menggoda bagi yang melihat. Kata bunda, senyuman termanis yang pernah bunda lihat dan miliki.
*****
Hai hai.. Maaf menghilangnya terlalu lama ya, hampir 2 tahun :) banyak kejadian yang terjadi selama beberapa waktu lalu. Doakan saya bisa menyelesaikan kisah ini ya.
oh iya, baca bab ini coba sambil dengerin lagunya D'Cinnamons juga yang Selamanya Cinta. Kisah ini tercetus ketika saya lagi mendengar lagu itu. Entah kenapa kena aja di hati, padahal pas zamannya dulu biasa saja. Fakto r usia dan pengalaman hidup kali ya hehehe.
Pokoknya selamat membaca dan menikmati karya otor ini ya. Semoga bisa menghibur :)
7 Januari 2002
"Sudah siap, sayang?" tanya Davin yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Sudah, Pa," jawab Aziza. Gadis yang mengenakan pakaian merah putih khas murid SD itu segera turun dari kursi meja makan dan segera berjalan menuju Davin yang sudah berdiri di depan pintu.
Davin mengunci pintu rumahnya setelah Aziza keluar dari rumah. Mereka masuk ke dalam mobil dan Davin segera menjalankan mobilnya.
"Nanti seperti biasa ya, sayang pulang sekolah dijemput bang Wawan dan tunggu di rumah sama mbak Weni," ucap Davin sambil menyetir. Kepalanya sesekali menghadap Aziza yang duduk di sebalahnya.
Aziza hanya mengangguk tanda mengerti. Davin menghembus nafasnya pelan. Hubungannya dengan sang putri memang kurang berjalan dengan baik. Davin selalu disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Terkadang ia harus meninggalkan sendiri sang putri di rumah karena harus lembur di kantor, sedang ART yang membantu dirumahnya akan pulang ketika pukul 6 petang.
Memang inilah susahnya menjadi orangtua tunggal. Davin sudah mengurus Aziza sendirian sejak Aziza berumur 14 bulan. Ketidaksiapan ibunya Aziza dulu karena menikah muda membuatnya tega meninggalkan Davin dan Aziza.
Davin hidup sendirian di kota ini. Ibunya sudah meninggal, sedang sang ayah tinggal bersama kakak Davin di kota asal mereka. Kalau harus keluar kota, terpaksa Davin harus menitipkan Aziza ke rumah sang sahabat.
Davin sama sekali belum terfikirkan untuk menikah lagi. Padahal usianya masih muda, 31 tahun, pekerjaan yang mapan dan rupa yang rupawan membuatnya gampang untuk menggaet wanita muda di luaran sana. Namun entah apa yang membuat Davin masih setia menduda hingga usia Aziza kini yang sudah 9 tahun.
Tak butuh waktu lama mobil yang dikendarai oleh Davin sudah tiba di sekolah Aziza.
"Ziza turun dulu, ya Pa," pamit Aziza setelah mencium tangan Davin. Davin mencium kening Aziza sebentar dan baru Aziza keluar dari mobil, berjalan menuju gedung sekolahnya.
Davin kemudian melanjutkan perjalanannya kembali menuju kantornya. Setelah menempuh waktu 45 menit Davin tiba digedung yang sudah menjadi tempatnya mencari nafkah selama 10 tahun ini. Davin menjabat sebagai Manajer Operasional disana.
Davin berjalan dengan gagah, masuk ke dalam lift dan menekan tombol 5, lantai tempat dirinya bekerja. Setelah sampai pada lantai dituju, pintu terbuka. Davin berjalan dan berbelok ke arah kiri dimana divisinya berada. Di dalam ruangan itu, Davin memiliki ruangan tersendiri lagi.
Ketika Davin masuk, baru ada sang asisten manajer dan 2 orang karyawan lainnya yang sudah tiba.
"Rin, sudah siap kah proposal yang mau dikasih ke Pak Dipta?" tanya Davin pada asistennya.
"Sudah, Pak," jawabnya.
"Kalau yang untuk Pak Dirga?" tanya Davin lagi.
"Kalau yang untuk Pak Dirga belum selesai, Pak karena masih ada data yang kurang dari Angga. Insya Allah jam 10 ini sudah siap, Pak."
"Oke." Davin kemudian melanjutkan langkah menuju ruangannya, sedang Arini ikut menyusul di belakang Davin.
Davin langsung duduk di meja kerjanya. Ia segera menerima berkas yang diberikan oleh Arini. Pintu ruangan Davin terbuka, karena memang Arini selalu membuka pintu ruangan Davin dengan lebar. Bukankah tidak baik pria dan wanita bukan mahram berduaan diruangan tertutup?
Setelah Davin selesai memeriksa dan menanda tangani berkas yang dibawa Arini, Arini segera keluar dan menutup kembali pintu ruang kerja Davin.
"Ini emang tidak ada hubungan spesial, Kak?" tanya Indah, salah seorang karyawan penghuni divisi operasional.
"Yang bilang ada spesial siapa?" tanya Arini balik.
"Yah kirain. Padahal kak Arini sama Pak Davin cocok lho. Sama-sama single dan bisa saling melengkapi," ujar Indah.
"Kamu juga single. Kenapa nggak kamu saja yang dengan Pak Davin?" tanya Arini lagi.
"Aku nggak doyan usia jauh, kak. Kalau Kakak dan Pak Davin kan seumuran."
"Lanjut kerja. Itu langsung kerjain yang aku kasih tadi. Nanti siang sudah harus aku laporin ke Pak Davin."
"Kak Arin nggak asik ah," keluh Indah. Gadis itu langsung mengalihkan perhatiannya pada komputer yang ada di depannya.
Arini hanya tersenyum menanggapi keluhan Indah. Entah bagaimana awal mulanya, anggota ruangan itu menjodohkan Arini dengan Davin. Di ruangan itu hanya berisikan 4 orang. Ada Arini, Indah, Angga, dan Hendri.
Arini tidak pernah memikirkan perjodohan itu. Ia hanya ingin bekerja dengan tenang, mengumpulkan rupiah sebanyak mungkin untuk keluarganya. Arini sudah tidak ingin memikirkan tentang jodohnya lagi.
Malam itu Davin pulang sedikit terlambat dari jadwal pulang kantoran umumnya. Pukul 7 malam ia baru sampai di rumahnya. Rumahnya sudah terkunci dari dalam, karena memang ART yang berkerja hanya sampai pukul 6 sore. Davin sudah mengajarkan Aziza untuk selalu mengunci pintu ketika ART nya sudah pulang.
Davin membuka pintu dengan kunci miliknya. Tampak ruang tamu dan tengah sepi. Davin berpikir mungkin Aziza sedang berada di dalam kamar tidurnya. Benar saja, sang putri terlihat duduk diatas ranjang sambil melihat sebuah album foto.
"Lagi liatin apaan, sayang?" tanya Davin lembut.
"Lagi lihat album foto punya papa. Tante Angel cantik ya, Pa," ungkap Aziza.
"Masih cantikan putri papa."
Gadis berusia 9 tahun itu hanya tersenyum mendengar perkataan Davin.
"Kalau papa nanti bertemu dengan Tante Angel, apa Papa mau menikah dengan Tante Angel?"
Davin cukup terkejut dengan pertanyaan putrinya. Kenapa tiba-tiba sekali Aziza memintanya untuk menikahi mantan kekasihnya dulu.
"Sayang, itu sudah lama sekali. Sudah 10 tahun lebih papa tidak bertemu lagi dengan Tante Angel. Bisa jadi Tantenya sekarang sudah menikah," jelas Davin.
Aziza hanya diam mendengar jawaban Davin. Ia hanya iri dengan teman-teman sekolahnya, yang setiap hari diantar jemput oleh ibunya. Sedang dirinya diantar oleh sang papa, dan pulangnya dijemput oleh suami mbak Weni.
"Kamu kenapa? Ada yang mau diceritakan sama papa?" tanya Davin pelan.
Aziza menggelengkan kepalanya. "Aku mau tidur dulu ya, Pa," kata Aziza.
"Sudah mau tidur?" tanya Davin. Pria itu melihat kearah dinding yang ada jamnya, dan waktu baru menunjukkan pukul 7 lewat 10 malam.
"Tumben cepat tidurnya?" tanya Davin lagi.
"Aku capek, Pa. Tadi ada pelajaran olahraga di sekolah," jawab Aziza.
Aziza langsung berbaring memunggungi Davin. Davin membantu Aziza menarik selimutnya setelah sebelumnya Davin memindahkan album foto tadi ke meja nakas disamping ranjang Aziza.
Davin mencium kening Aziza sejenak. "Selamat tidur, sayang."
Davin mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Setelah itu baru Davin keluar dari jamar Aziza dan pindah ke kamarnya. Disana Davin kembali termenung, memikirkan keadaan dirinya. Sungguh Davin tidak ingin hidupnya seperti ini, menjadi orangtua tunggal untuk anak gadisnya.
Sang istri pergi menceraikan Davin tanpa membawa putri mereka turut serta. Menurutnya karena Davin dan putrinya lah ia menjadi kehilangan masa mudanya. Saat itu usia Davin baru 21 tahun, baru selesai menyelesaikan S1 nya, sedang Tamara, sang mantan istri berusia 20 tahun.
Sebelumnya Davin mempunyai kekasih yang bernama Angel. Mereka sudah lama menjalin hubungan, semenjak semester 4. Davin yang ketika lulus sudah diterima kerja, menyampaikan niatnya untuk segera menikah dengan Angel. Namun Angel menolak karena merasa belum siap, dan ia ingin berkarir terlebih dulu.
Bukannya bertahan dengan Davin, Angel malah memutuskan hubungan mereka. Davin yang setelah putus kenal dengan Tamara, yakni teman dari kekasih temannya. 5 bulan menjalani hubungan akhirnya mereka menikah. Tak lama Tamara hamil dan melahirkan seorang putri yang sangat cantik.
Tamara yang sebenarnya belum siap secara emosi dan mental untuk menjadi istri dan ibu, memutuskan untuk pergi dari rumah kecil mereka. Davin yang awalnya sudah membujuk Tamara, namun Tamara tetap pada pilihan akhirnya. Davin tidak dapat memaksa dan akhirnya membiarkan Tamara dengan pilihannya itu. Herannya Tamara tidak pernah menghubunginya lagi sejak itu. Ia benar-benar hilang seperti di telan bumi. Tak pernah jua menanyakan kabar putri kecilnya.
"Apa aku harus menikah lagi? Angel apa kabar ya?" tanya Davin pada dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!