Karina memandangi Mario dengan senyum hangat saat mereka berdua duduk di teras rumah, menikmati senja yang mempesona. Delapan tahun pernikahan mereka berlalu seperti mimpi yang indah. Cinta mereka terus membara, meskipun keinginan memiliki anak masih belum terkabul.
"Mas, apakah kamu nggak ingin memiliki anak?" tanya Karina dengan suaranya yang lembut.
"Kenapa kamu tanyakan itu, Sayang?' Bukannya menjawab pertanyaan sang istri justru Mario balik bertanya.
"Delapan tahun pernikahan, kita belum juga dikaruniai anak," ucap Karina dengan suara pelan. Dia saja sangat merindukan kehadiran seorang anak dalam hidupnya, mustahil jika suaminya tak menginginkan hal yang sama.
Mario mengambil tangan Karina dan menatapnya dengan penuh kasih. "Waktu akan menjawabnya, Sayang. Kita harus sabar dan terus berdoa."
Karina tersenyum, namun di dalam hatinya, keraguan mulai menghampiri. Apakah ada kesalahan yang dia lakukan dalam rumah tangga mereka? Mengapa kehamilan yang diimpikan belum juga terwujud?
Saat itu, ponsel di saku celana suaminya berdering. Mario bangun untuk menjawabnya. Karina memperhatikan ekspresi suaminya yang tiba-tiba berubah. Siapa yang meneleponnya?
"Mas, ada apa?" tanya Karina, merasakan ketidaknyamanan.
Mario tersenyum tipis. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Cuma urusan kantor."
Namun, Karina merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang tersembunyi di balik senyum suaminya. Mario berjalan menjauhi sang istri sambil terus bicara di telepon.
Akhirnya, Karina memutuskan untuk mengikuti Mario ke dalam rumah, meninggalkan senja yang indah dan keraguan yang mulai menghantui hatinya.
Karina melihat Mario yang tampak cemas. Dia terlihat tegang dan tampak sangat kuatir. Sebelum wanita itu berjalan lebih dekat untuk menguping pembicaraan yang sedang suaminya lakukan, pria itu mengakhiri panggilan teleponnya.
Mario membalikan tubuhnya dan tampak terkejut melihat Karina ada di belakangnya. Dia lalu tersenyum mendekati istrinya.
"Sayang, kenapa bengong begitu?" tanya Mario, dia memeluk pinggang istrinya,, membawa ke dalam pelukannya.
"Mas, sedang bicara dengan siapa?" tanya Karina dengan penasaran.
"Rekan kerja. Memangnya kamu pikir aku sedang menghubungi siapa?" Mario balik bertanya.
Karina hanya menggelengkan kepalanya. Dia tak tahu harus bicara apa. Sebenarnya dalam hati wanita itu, dia merasakan ada sesuatu yang di simpan suaminya. Tapi entah apa, dia juga tak tahu harus bertanya bagaimana.
Mario tersenyum manis, dia langsung menggendong Karina dengan kelembutan. "Sayang, kamu begitu ringan," kata Mario dengan mata berbinar.
Karina tertawa, memeluk leher Mario. "Bukan aku yang ringan, tapi Mas yang begitu kuat," jawab Karina dengan wajah yang merona.
Mario membawa Karina ke kamar, langkahnya pelan. Suasana hening, hanya terdengar detak jantung mereka.
Di kamar, Mario meletakkan tubuh Karina di atas tempat tidur dengan pelan. Dia memandang wajah istrinya itu dengan mata berbinar penuh cinta.
"Sayang, kamu begitu cantiknya," bisik Mario dengan suara lembut.
Karina tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Kamu juga begitu tampan, Mas," balas sang istri.
Mario dan Karina terjatuh dalam kecupan panas, hati mereka berdegup kencang. Mereka berdua terlarut dalam cinta, tidak peduli dengan dunia luar.
Karina merasakan kehangatan Mario, memeluknya erat. "Aku sangat mencintai kamu, Mas," kata Karina, dengan suara lembut.
Mario tersenyum, membalas kecupan Karina. "Aku juga sangat mencintai kamu, Sayang," jawabnya, mata berbinar.
Tangan Mario mulai bekerja membuka kancing baju istrinya. Satu persatu kancing dibuka, dan dia melepaskan dari tubuh wanita itu. Pria itu menaiki tubuh istrinya dan mengecup leher dan dada Karina, meninggalkan banyak jejak kepemilikan.
Mario membuka satu persatu kain yang melekat di tubuhnya. Saat ini yang tersisa hanya pakaian dalam. Pria itu kembali melucuti seluruh kain yang tersisa di tubuh istrinya hingga mereka berdua dalam keadaan polos.
Mario menatap Karina dengan binar mata teduh. Jemarinya menyentuh lembut wajah istrinya itu. Seolah dia meminta persetujuan untuk memulai hubungan. Anggukan kecil dari wanita itu sebagai bukti atas jawaban yang diberikan.
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Kini dua tubuh itu telah menyatu dalam kehangatan. Berbagi apa yang seharusnya dibagi oleh dua insan yang telah sah dalam ikatan pernikahan.
Mengalirlah banyak rasa kala tatap mereka beradu ditengah pergulatan mereka. Setelah beberapa saat, Mario akhirnya menumpahkan sesuatu dzat murni ke dalam rahim sang istri sebagai pelepasan. Menuju puncak paling nikmat yang belum pernah pria itu rasakan dan bayangkan sebelumnya.
"Terima kasih, Sayang. Semoga akan menjadi calon bayi kita," ucap Mario dengan mengusap perut istrinya itu.
**
Karina bangun lebih awal dari biasanya, matahari belum juga muncul dari ufuk timur. Dia tersenyum, memikirkan sarapan spesial untuk suaminya, Mario.
Dengan langkah ringan, Karina memasuki dapur, memutar musik lembut untuk menemani. Dia mengambil bahan-bahan untuk membuat sarapan favorit Mario, omelet dengan keju dan sayuran segar, roti panggang, dan kopi hangat.
Sambil memasak, Karina mengenang kembali pergulatannya tadi malam bersama Mario. Hatinya bergetar, Karina menyadari betapa beruntungnya dia memiliki suami seperti pria itu.
Mario selalu memuaskan, baik di ranjang dan di manapun. Dia selalu merasa di ratukan dan dimanjakan pria itu. Hanya saja hatinya selalu bertanya, kenapa mereka belum juga memiliki keturunan, padahal menurut hasil pemeriksaan, keduanya sehat.
Setelah sarapan siap, Karina menghias meja dengan bunga segar. Dia menunggu Mario bangun, tidak sabar untuk melihat reaksi suaminya.
Mario bangun dengan senyum, merasakan aroma sedap dari dapur. "Apa yang kamu masak, Sayang?" tanya Mario dengan suara lembut.
Karina tersenyum misterius. "Tunggu dulu, Mas. Ini kejutan untukmu."
Mario penasaran, berjalan menuju dapur. Matanya terbelalak melihat meja yang dihias indah dan sarapan yang menggugah selera.
"Amanda, ini luar biasa!" kata Mario sambil memeluk istrinya. "Kamu selalu saja tau apa yang menjadi favoritku."
Karina tertawa, membalas pelukan suaminya. "Karena kamu juga selalu tau apa yang menjadi favoritku juga."
Mario mengajak istrinya duduk, mereka berdua duduk berdampingan sambil menikmati sarapan bersama, dan berbagi cerita cinta.
"Nanti aku mungkin pulang agak sedikit telat. Kamu tidur saja dulu," ucap Mario.
"Apa kamu mau keluar kota lagi, Mas?" tanya Karina dengan suara lembut.
"Bukan, aku hanya lembur saja," jawab Mario.
Mereka berdua menyantap hidangan dengan lahap. Setelah itu, Mario pamit pergi kerja. Seperti biasa, sebelum masuk ke dalam mobil, dia mengecup dahi istrinya dan Karina akan mencium tangan suaminya.
"Hati-hati, Mas," ucap Karina saat sang suami akan masuk ke dalam mobil. Dia melambaikan tangannya dan dibalas Mario dengan lambaian tangan juga.
Supir melajukan mobil meninggalkan halaman rumah mereka. Mario memang selalu menggunakan supir apa lagi jika harus keluar kota.
"Pak, kita ke kota X aja, kerumah Zoya," ucap Mario.
"Baik, Pak," jawab Pak Ahmad.
Dengan tanpa banyak pertanyaan, Pak Ahmad melajukan mobil ke kota X yang memakan jarak tempuh sekitar tiga jam.
***
Selamat Siang. Mama datang lagi dengan novel terbaru. Mama mohon dukungannya untuk membaca tiap novel ini update. Dan mohon memberikan like dan komentar setiap habis membaca. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk. ♥️♥️
Tepat jam sepuluh pagi, mobil yang dikendarai Pak Ahmad memasuki halaman sebuah rumah dengan gaya minimalis.
Mario berjalan tergesa, melangkah masuk ke rumah itu, diiringi sunyi yang memelas. Mario merasa cukup heran dengan keadaan rumah saat ini. Biasanya Zoya akan menyambut kedatangannya dan memeluk lengan pria itu dengan manja.
"Selamat datang, Pak Mario," kata Bu Tini dengan suara pelan.
Mario merasakan getaran tidak enak di hatinya. "Apa yang terjadi, Bu Tini?"
Bu Tini menarik napas dalam, dia menelan ludah. Rasanya sangat berat untuk mengatakan apa yang sedang terjadi, "Ibu Zoya ... sudah pergi dari rumah sejak dua hari yang lalu, Pak."
Mario merasa aliran darahnya terhenti mendengar ucapan pembantunya itu. Tak menyangka jika wanita itu akan melakukan hal tersebut.
"Maksud Bu Tini apa?" Mario bertanya lagi untuk memastikan apa yang Zoya telah lakukan.
Sebelum Bu Tini menjawab, terdengar suara tangis dari atas. Aluna, putri kecilnya yang berusia empat tahun, berlari turun tangga dengan wajah merah dan mata bengkak.
"Papi ...!" teriaknya, melompat ke pelukan Mario.
Mario memeluk Aluna erat, mencoba menenangkan tangisnya. "Apa yang terjadi, Nak? Jangan takut, papi di sini!"
Aluna menangis lebih keras, menjawab di antara Isak tangisnya. "Mami pergi, Papi ... aku takut ...."
Mario memandang Bu Tini dengan banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Zoya pergi tanpa pesan? Bu Tini yang berada di rumah ini tak mungkin tak mengetahui alasan wanita itu pergi.
Mario kembali memeluk Aluna dengan erat, mencoba menenangkan tangisnya. "Apa yang terjadi, Nak? Jangan takut, papi ada di sini. Apa Zoya ada mengatakan sesuatu sebelum. pergi?" tanya Mario pada
Bu Tini menggelengkan kepala. "Pak Mario, saya tidak tahu apa yang terjadi. Ibu Zoya pergi pagi-pagi, tanpa mengatakan apa pun. Saya pikir hanya sebentar, hingga tengah malam, Bu Zoya belum juga kembali, hingga hari ini."
Mario merasa kebingungan dan khawatir. Dia memandang sekeliling rumah, berharap menemukan petunjuk.
"Aluna, Sayang, ceritakan apa yang terjadi sebelum Mami pergi," kata Mario, mencoba tetap tenang.
Aluna tampak berpikir, mungkin dia belum bisa merangkai kata yang tepat. "Tak ada ngomong apa-apa," jawab Aluna dengan suara cadelnya.
"Tak apa, Sayang. Mami pasti akan kembali. Sekarang kita duduk dulu," balas Mario.
Mario menggendong putrinya, membawa menuju ruang keluarga. Mereka berdua lalu duduk di sofa.
Aluna menatap papinya dengan mata bengkak. "Papi, kenapa mami pergi?" tanya Aluna.
Mario duduk di samping Aluna, memeluknya erat. "Papi juga tidak tahu, Nak." Mario menjawab dengan suara pelan.
Aluna menangis lagi, suaranya terputus-putus. "Papi, aku takut. Aku mau Mami," ucap Aluna.
Mario memeluk Aluna lebih erat. "Papi akan membawa kamu menemui mami baru. Yang lebih baik. Tapi Aluna harus janji, jangan katakan apa pun. Jangan bilang kalau Luna sering bertemu papi."
"Apa mami baru nanti akan sayang dengan Luna?" tanya bocah itu. Sepertinya dia memiliki trauma pada sosok wanita dewasa.
"Tentu saja. Dia tak seperti mami Zoya yang tega meninggalkan Luna," jawab Mario dengan suara pelan berusaha membujuk putrinya itu.
Mario memutuskan akan membawa putrinya pulang ke rumah. Dia akan meminta Karina menjaganya. Dia yakin istrinya itu akan menjaga Aluna jauh lebih baik dari Zoya.
Setelah membujuk dan merayu Aluna, akhirnya bocah itu bisa mengerti. Tak lupa Mario juga mengajari apa yang harus anak itu lakukan dan katakan jika nanti bertemu Karina.
Mario lalu meminta Bu Tini untuk menyusun baju Aluna. Dia hanya membutuhkan beberapa pasang baju saja. Selebihnya bisa di beli lagi.
"Bu Tini, aku akan bawa Aluna. Tolong jaga dan bersihkan rumah ini. Gaji akan tetap aku kirimkan dan nanti juga aku beri uang buat makan!" seru Mario dengan penuh penekanan.
Dia merasa sangat marah karena Zoya yang tega meninggalkan darah daging mereka. Seharusnya wanita itu berpikir akibat buruk dari apa yang dia lakukan. Seandainya pembantu di sini berniat buruk dan jahat, bagaimana nasib putrinya.
"Bu, jika nanti Zoya kembali, jangan katakan aku yang membawa Aluna. Dan jangan izinkan dia masuk. Kamu minta saja dia menghubungi aku!" seru Mario lagi.
"Baik, Pak. Semoga di tempat yang baru Aluna lebih diperhatikan dan lebih diurus." Bu Tini berdoa dengan tulus. Melihat selama ini Zoya yang tak pernah memperhatikan sang bocah. Hanya memikirkan dirinya sendiri saja.
**
Mario lalu mengajak Aluna. Dia dan bocah itu duduk di bangku belakang. Sepanjang jalan anak itu selalu tersenyum. Sepertinya sangat bahagia.
Mario memang tak pernah membawa bocah itu keluar rumah. Takut ada yang melihatnya. Sehingga waktunya hanya dihabiskan dalam rumah saja.
Saat matahari mulai kembali ke peraduannya, Mario sampai di rumah. Dia tampak sedikit ragu saat memasuki rumahnya. Takut Karina tak bisa menerima kehadiran Aluna.
Mario meminta Aluna keluar dari mobil. Tangan mungilnya di genggam seolah memberikan kekuatan pada bocah itu.
Mereka berdua berjalan masuk ke rumah. Jam segini, Mario yakin sang istri sedang di dapur. Mempersiapkan masakan buat makan malam mereka.
Seperti dugaan, Karina sedang sibuk dengan masakannya. Mario mendekati dan memeluk pinggang istrinya dan mengecupnya dengan lembut.
'Sayang, kamu masak apa? Wanginya membuat perutku lapar," ucap Mario.
"Aku masak lauk kesukaanmu, Mas. Dendeng balado," jawab Karina sambil terus mengaduk cabe di kuali.
Setelah masak, dia mematikan kompor. Karina membalikan tubuhnya menghadap sang suami. Membalas pelukan pria itu.
"Tadi katanya Mas mau lembur?" tanya Karina dengan tatapan menyelidik.
"Rencananya, tapi aku ingat istri tercintaku ini. Aku buru-buru pulang. Aku tak kuat menahan rindu," jawab Mario.
"Gombal aja," ucap Karina.
Karina melepaskan pelukan sang suami. Menyajikan semua masakan ke atas meja.
"Mas, mandilah dulu, baru kita makan malam," ucap Karina.
"Karina, ada yang ingin aku katakan!' seru Mario dengan suara lembut.
Karina mengerutkan dahinya. Tak pernah suaminya bicara seserius saat ini. Raut wajah Mario tampak sangat tegang. Rahangnya terlihat jelas.
"Apa yang ingin kamu katakan, Mas? Sepertinya serius?" tanya Karina.
"Ya, Karin. Aku ...," ucapan Mario terjeda. Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku ingin kita mengadopsi seorang anak. Dia tak memiliki ibu lagi. Apakah kamu keberatan, Sayang?" tanya Mario.
"Aku tak keberatan, Mas. Cuma kenapa Mas baru teringat untuk melakukan itu. Selama ini setiap aku meminta Mas untuk adopsi anak, Mas tak mau. Kenapa kali ini jadi kepikiran untuk melakukan itu?' tanya Karina.
Saat Karina dan Mario sedang bicara, tiba-tiba Aluna muncul. Dia langsung memeluk pria itu.
"Papi, aku haus ...," ucap Aluna dengan suara pelan. Dia lalu melirik ke arah Karina.
Karina menatap bocah itu dengan tersenyum. Tak menyangka jika suaminya telah membawa langsung seorang anak ke rumah mereka. Cuma yang menjadi tanda tanya baginya, kenapa anak itu terlihat sangat akrab dengan sang suami.
Mario tampak salah tingkah. Padahal dalam perjalanan ke sini tadi, dia telah meminta Aluna untuk memanggil dirinya dengan sebutan Om hingga nanti dia minta panggil papi lagi.
"Anak siapa itu, Mas?" tanya Karina menunjuk ke arah bocah itu.
Mario menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia tak menyangka Aluna akan muncul sebelum dia bicara dengan Karina. Padahal tadi telah dia sembunyikan di ruang kerjanya.
Mario lalu memberikan Aluna minum dan memintanya kembali ke ruang kerja. "Nuna, sekarang kembali ke tempat tadi ya. Papi mau bicara dengan bunda Karina," ucap Mario dengan lembut agar sang putri bersedia.
"Apa itu Bundanya Nuna, Papi?" tanya Aluna dengan suara pelan, sepertinya masih takut.
Karina memang sering mengatakan jika suatu hari dia memiliki anak, dia ingin dipanggil bunda. Sehingga Mario mengajari Aluna untuk memanggil Bunda.
"Ya, Sayang. Nanti Nuna bisa bicara dengan bunda. Sekarang papi dulu yang bicara."
"Apa Bunda marah dengan Nuna? Kenapa Bunda tak menyapa Nuna?" tanya bocah itu lagi.
Karina yang mendengarnya jadi merasa tak enak hati. Tak seharusnya dia jutek pada bocah itu. Kalaupun dia memang anak adopsi dari sang suami, yang salah suaminya karena tak kompromi terlebih dahulu.
Karina lalu tersenyum. Sisi keibuannya muncul melihat bocah itu yang ketakutan. Dia mendekati Aluna dan berlutut dihadapannya.
"Hallo, cantik ... siapa namanya?" tanya Karina dengan tersenyum.
Sebelum menjawab pertanyaan dari Karina, bocah itu memandangi Mario. Seperti yang meminta persetujuan. Sepertinya masih ada rasa takut dalam dirinya. Aluna sebenarnya anak yang pemberani. Sehingga tak takut jika didekati orang yang baru pertama dilihat. Saat Mario mengangguk barulah Aluna menjawabnya.
"Aluna, Bunda. Tapi papi dan mami memanggilku Nuna!" seru Aluna dengan ceria.
"Papi dan Mami ...?" tanya Karina dengan dahi berkerut.
Mario menarik napas dalam. Mengatur jawaban buat anak kecil ternyata tak segampang yang dia pikirkan.
"Mami Nuna, Mami Nuna pergi ninggalin Nuna," ucap Aluna dengan manjanya.
"Nuna, sekarang Nuna masuk dulu. Ada yang mau Papi katakan dengan Bunda," ucap Mario sebelum bocah itu banyak bicara.
"Baik, Pi." Nuna menjawab dengan singkat dan langsung berjalan menuju ruang kerja Mario.
Mario memeluk istrinya dan mengecup pipi Karina dengan lembut. "Kita duduk dulu. Capek kalau berdiri terus," ucap Mario, dengan memeluk pinggang istrinya, mengajak wanita itu ke ruang keluarga duduk di sofa.
Karina mengikuti apa yang Mario lakukan. Pria itu tampak menarik napas dalam, sedangkan istrinya hanya menatap dengan intens menantikan suaminya bicara.
Melihat tatapan istrinya yang seakan ingin mengulitinya, Mario merasa gugup. Dia takut kebohongan yang akan dia katakan tidak dapat diterima, mau jujur pun dia belum siap. Dia tak siap melihat kekecewaan sang istri, apa lagi jika sampai Karina memutuskan pergi. Dia sangat mencintainya.
Cukup lama keduanya terdiam. Larut dengan pikiran masing-masing.
"Mas, apa yang ingin kamu katakan? Bukankah tadi kamu bilang ingin bicara?" tanya Karina memecahkan suasana canggung di antara mereka.
"Sayang, pertama, aku minta maaf karena mengambil keputusan sendiri. Aku mengadopsi tanpa persetujuan darimu. Aku sudah lama sebenarnya pergi ke panti melihat anak-anak yang pas buat kita adopsi."
Mario lalu menghentikan ucapannya. Kembali dia terlihat menarik napas. Dalam beberapa saat dia melakukan itu berulang kali. Semua untuk menghilangkan kegugupannya.
"Aku sudah lama mengenal Aluna. Maminya pergi meninggalkan dia, sehingga aku tertarik membawanya ke sini. Aku yakin kamu pasti akan menyukainya, dan menyayangi dirinya!" seru Mario.
"Mas tak pernah cerita tentang Nuna? Mas juga tak pernah mengatakan sering ke panti asuhan. Apa aku yang tak perhatian atau Mas yang memang tak pernah jujur mengatakannya? Yang aku tak bisa terima di sini, adalah tindakan Mas yang mengambil keputusan tanpa komunikasi terlebih dahulu. Kita ini pasangan, Mas. Seharusnya saling jujur!" seru Karina dengan penuh penekanan.
"Maafkan aku, Karina. Aku langsung tertarik saat melihatnya, takut jika ada keluarga lain yang lebih dahulu mengadopsi," jawab Mario.
"Mas, aku tau maksud kamu baik. Tapi seharusnya kamu minta izinku dulu, bukankah nanti saat mengurus surat adopsi, juga harus izin dariku. Berarti kamu berbohong mengatakan kalau kamu akan lembur. Aku harap ini terakhir kali kamu berbohong padaku, jangan sampai kedua apa lagi ketiga. Kamu tau'kan Mas, aku paling tak suka dibohongi!" seru Karina.
Mario meraih tangan istrinya. Mengecupnya berulang kali. Terlihat wajahnya yang penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Sayang. Aku janji tak akan membohongi kamu lagi. Apakah kamu menyukai Nuna?" tanya Mario mengalihkan obrolan.
Mario tak membahas tentang kebohongan karena takut justru kebohongannya di baca sang istri. Dia begitu mencintai wanita itu dan tak sanggup jika kehilangannya.
Kehadiran Zoya dalam kehidupannya adalah kesalahan terbesarnya. Selama ini dia telah mencoba menebus dengan memberikan semua perhatian untuk sang istri. Jika saja di antara dia dan Zoya tidak ada Aluna, pasti dia telah lama meninggalkan wanita itu.
"Sepertinya Nuna sangat akrab denganmu, Mas. Seperti ayah dan anak," ujar Karina. Ucapannya membuat Mario tersedak.
"Kamu kenapa, Mas? Padahal tak ada yang di makan tapi tetap keselek."
Karina lalu berdiri dan mengambil minum untuk sang suami. Saat dia ingin kembali ke ruang keluarga, dia melihat Nuna yang juga keluar dari ruang kerja Mario. Bocah itu berlari kecil mendekati dirinya.
"Bunda, aku lapar ...," ucap Aluna dengan suara manjanya.
"Kamu lapar ya, Sayang? Bunda sudah masak. Nanti kita makan. Bunda beri minum ini buat papi dulu ya," ucap Karina.
Karina berjalan menuju ruang keluarga diikuti Nuna dibelakangnya. Saat dia memberikan minuman pada Mario, pria itu terkejut melihat Aluna yang berdiri di belakang istrinya.
"Papi, aku lapar. Bunda bilang, Bunda telah masak. Tidak seperti mami yang sering pesan makanan aja," ucap Aluna dengan suara yang sedikit keras. Ucapan putrinya membuat Mario kembali tersedak.
"Kamu kenapa sih, Mas? Seperti orang yang sedang kedapatan berbohong saja!" seru Karina.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!