Nagita seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang sudah setahun ini bekerja di perusahaan ternama sebagai seorang Office Girl. Ijazah yang ia punya hanya lulusan SMA, akan tetapi itu bukan jadi masalah untuk dirinya bekerja sebagai seorang office girl di perusahaan milik bos besar yang dikenal memiliki watak dingin dan tidak peduli.
Meski seringkali menjadi sasaran amarah ia tidak pernah berniat berhenti dari perusahaan tersebut. Mengingat bahwa hanya ia yang bekerja dengan penghasilan yang cukup tinggi dibandingkan kakaknya yang hanya sebagai sopir angkot.
Kakaknya dulu bekerja di salah satu perusahaan akan tetapi perusahaan tersebut bangkrut hingga pada akhirnya kakaknya memilih menjadi sopir angkot sementara mendapatkan pekerjaan yang lebih layak sesuai pada bidangnya.
Namun, hingga detik ini sang kakak tidak pernah tahu kantor tempat Nagita bekerja. Ia selalu menolak untuk di antar karena tahu bahwa pekerjaannya itu tidak akan disetujui oleh kakaknya. Nagita selalu diminta melanjutkan pendidikan. Tetapi menolak karena ia tahu tidak mungkin menyulitkan kakaknya.
"Gita, kok melamun? Disuruh buat teh sama, Bapak!"
"Oke siap Mbak, saya selesaikan ini dulu,"
Selain sebagai office girl ia juga ambil alih untuk urusan dapur. Menyiapkan minuman untuk para tamu dan bosnya sendiri.
Selesai mengepel dibagian depan dapur, ia menuju dapur untuk membuatkan pesanan bosnya tadi. Dan setelah selesai ia membawa secangkir teh menuju ruangan bosnya. Sebelum masuk ia menghela napas panjang. Bagaimana tidak, minumannya beberapa kali ditolak, dilempar di depannya. Bahkan ditumpah begitu saja lalu disuruh membersihkannya oleh sang bos.
"Selamat siang, Pak?"
"Siang,"
"Minumannya pak,"
"Taruh saja disitu!"
Nagita meletakkan minuman di atas meja lalu berbalik melangkah pelan dan jantungnya terasa mau copot setiap kali melakukan hal ini.
"Gita tunggu!!"
"Ada yang kurang, Pak?"
"Buatan kamu sudah cukup, terima kasih. Hari ini tidak ada lempar-lemparan gelas lagi,"
Nagita tersenyum.
"Kenapa senyum?"
"Enggak ada pak. Saya pergi dulu,"
-------
Azka Winata, pria berusia kurang tiga puluh tahun yang ada di kepalanya hanya bekerja dan bekerja. Tidak peduli dengan urusan hati yang bahkan ia sendiri sudah enggan dengan cinta. Setiap kali ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya, ia mencari wanita satu malam atau biasa disebut One Night Stand yang seringkali membuatnya membuang wanita begitu saja tanpa peduli apa yang terjadi selanjutnya.
Usianya yang terbilang mapan, bukan berarti ada rencana menikah di kepalanya. Yang ada hanya mencari uang uang dan uang.
Azka sendiri selalu bersikap dingin kepada seluruh karyawannya. Tidak peduli dengan hati orang lain. Meski ucapannya menyayat hati tetapi tidak pernah ada orang yang keluar dari perusahaannya.
Orang yang paling sering ia buat menderita adalah Nagita. Bagaimana tidak, jika tidak melempar minuman. Ia melemparkan makanan di depan Nagita. Beruntunglah perempuan itu masih betah bekerja padanya. Akan tetapi meski begitu, seringkali ia menyelipkan bonus pada Nagita setiap gajian. Ia tahu bahwa Nagita masih sangat muda dan bahkan paling muda diantara puluhan karyawannya.
Azka sendiri pernah memiliki kekasih seorang model majalah dewasa. Semenjak itu Azka mulai depresi dan tidak peduli terhadap wanita. Menganggap wanita bisa dibeli dengan uang. Kejadian yang menyayat hatinya adalah ketika ingin memberikan kejutan ulang tahun. Yang ia temukan perempuan yang ia cintai memeluk seorang laki-laki diatas ranjang yang tubuhnya ditutupi selimut dan pakaian berserakan. Semenjak itu ia menjadi brengsek dan tidur dengan banyak wanita.
"Az, lo keluar malam ini?" Ucap seseorang tiba-tiba tanpa permisi masuk ke ruangan Azka. Ia adalah Damar, orang terpercaya Azka selama ini.
"Enggak lo cariin gue perempuan untuk malam ini suruh ke apartemen gue!"
"Usia?"
"Tentu di bawah gue, lo pikir gue apaan mau yang tua,"
"Noh yang dibawah cantik. Enggak minat lo?"
"Siapa?"
"Nagita."
"Brengsek lo, dia perempuan baik-baik. Polos dan lagi dia karyawan gue mana mungkin gue nyentuh dia,"
"Lo tahu enggak? Dia enggak pernah pacaran sama sekali itu artinya dia masih perawan,"
"Sekali enggak tetap enggak. Gue enggak mau hancurin hidup orang. Biarin dia punya hidup sendiri. Lagian gue mau yang seperti biasa,"
"Oke deh."
Damar keluar dari ruangannya. Azka kembali fokus pada pekerjaannya. Ingatan tentang kekasihnya itu selalu membuat suasana hatinya keruh dan emosian.
Tiba pukul delapan malam hari. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.
Karena terlalu lelah, Azka turun untuk melihat keadaan yang sangat sepi di kantornya.
Bugh
Terdengar suara berasal dari dapur. Dengan segera ia berlari menuju dapur.
"Nagita apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa belum pulang?"
"Bagaimana saya mau pulang Bapak sendiri masih di kantor. Saya harus bersih-bersih, Pak."
"Saya sudah selesai, kamu ngapain?"
"Oh itu saya tadi abis mandi pak. Enggak sengaja embernya kesenggol sikut saya jadi jatuh,"
Azka menarik napas panjang.
"Ya udah kamu pulang!"
"Iya pak,"
"Kamu pulang sama siapa?"
"Sendiri."
Azka melongo mendengar ucapan gadis itu. Pulang malam sendirian di tengah kota Jakarta adalah hal yang luar biasa.
"Ikut saya!"
Azka menyeret tangan Nagita untuk menuju parkiran.
"Ke mana pak? Saya mau pulang,"
"Temani saya makan malam, saya lapar."
Azka membuka pintu mobil dan langsung menghempaskan tubuh perempuan itu di dalam mobil. Tidak biasanya ia bersikap seperti itu pada karyawannya. Akan tetapi karena suasana sudah sepi, itu berarti ia bebas dengan siapa saja.
Setelah makan malam bersama lewat begitu saja. Suasana hati Azka kembali lagi seperti es batu. Bahkan Nagita hanya tersenyum kecut mengingat kejadian semalam yang membuatnya terheran-heran karena sikap bosnya yang cukup mengejutkan.
Hari ini pukul tujuh malam. Suasana kantor sudah sangat sepi. Tapi tidak dengan ruangan Azka.
"Pak, saya permisi pulang ya?"
Azka hanya menoleh. Ia ingat permintaan Azka untuk menemaninya jika lembur dengan iming-iming gaji di naikkan.
"Gajimu saya potong,"
"Kampret, mana perut gue lapar lagi," gerutunya pelan.
"Saya dengar Gita, sebentar lagi saya akan selesai. Jadi tolong tunggu di sini sebentar saja!"
"Iya pak."
Nagita hanya scroll ponselnya berkali-kali. Ponsel pertama yang dapat ia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Sebelum diterima bekerja diperusahaan sebesar ini. Dulu ia merupakan seorang sopir angkot bersama kakaknya. Mengingat itu membuat Nagita sedikit mengernyit. Hidup dalam keadaan sulit.
"Ayo pergi!" Nagita menoleh ketika mendengar suara tersebut. Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
Sudah hari ketiga ia menemani bosnya ini di kantor hingga larut malam.
Mereka berada di dalam lift hanya berdua. Nagita menjauhkan langkahnya dari Azka.
"Kenapa Gita? Kamu menjauh dari saya, kamu mikirnya saya akan perkosa kamu, gitu?"
"Pak saya enggak pernah berpikiran seperti itu lho ya, saya hanya berpikir kenapa harus saya yang nemenin Bapak itu makan malam?" Protes Nagita.
"Itu karena kamu karyawan saya yang enggak pembangkang. Jadi nurut aja kenapa sih?"
Nagita memutar bola matanya bosan dengan jawaban itu.
Mereka tiba di parkiran kantor. Dengan langkah sedikit malas ia tetap masuk ke dalam mobil dan memainkan ponselnya di samping Azka.
"Lepas ponselmu atau saya banting!"
"Memangnya bapak mau ganti rugi?"
"Segudang juga saya beliin model yang kayak gitu. Tapi kamu lagi sama saya, jadi tolong kamu hargai saya di sini. Kalau mau pacaran, nanti aja. Lepas enggak ponsel kamu!"
"Galak banget sih pak? Masih untung saya mau nemenin bapak. Saya lagi main game, jadi jangan mikir saya pacaran." Jelas Nagita.
Ia meletakkan ponselnya dan memandang ke arah luar jendela mobil. Kota Jakarta selalu saja sepertu ini malam hari, 24 jam tidak pernah sepi. Selalu ada saja kendaraan yang berlalu lalang. Ia ingat kembali bagaimana perjuangannya narik angkot dulu.
"Gita, kamu kenapa melamun?"
"Saya hanya teringat dulu saya pernah jadi sopir angkot sebelum kerja di perusahaan bapak," suara Nagita parau. Ia juga tiba-tiba melontarkan ucapan itu kepada Azka. Padahal tiada orang yang tahu tentang masa lalunya yang menyakitkan.
"Serius? Kamu jadi sopir?" tanya Azka.
"Maaf pak. Saya keceplosan, oh ya pak saya berterima kasih untuk karena telah di izinkan bekerja di kantor bapak. Saya janji akan terus berusaha belajar dari kesalahan, Pak."
Laki-laki itu tak bergeming. Hanya fokus menyetir tanpa peduli dengan apa yang Nagita katakan.
Tiba di sebuah restoran Jepang. Nagita mengedarkan pandangannya karena untuk pertama kalinya ia masuk ke restoran mewah seperti sekarang ini. Ia kagum dengan restoran ini. Besar dan juga begitu indah, tidak membosankan.
Mereka berdua duduk dan seorang pelayan menghampiri mereka dan memberikan buku daftar menu.
Nagita yang tadinya kagum kini harus menelan ludah dan membuka tasnya untuk menghitung jumlah uangnya.
"Sialan, harganya mahal. Bisa dipake makan selama seminggu hanya untuk satu menu doang" gumamnya.
Ia meletakkan buku daftar menu.
"Pesan apa?"
"Bapak aja yang makan, saya sudah kenyang pak. Tadi udah makan di kantor," ia mengelak padahal dirinya sudah sangat lapar. Namun melihat daftar harga yang tertera membuatnya berpikir seribu kali untuk membeli makanan tersebut.
"Pesan, saya yang bayar,"
"Hehehe enggak usah pak," ia menelan ludahnya sendiri.
Beberapa saat kemudian Azka memesan makanan pada pelayan dan sekitar 5 menit kemudian makanan begitu banyak tertata di meja makan.
"Makan!!! Saya enggak mau kamu protes lagi,"
Nagita menyeringai dan menyantap makanannya dengan sangat lahap.
"Dasar perempuan rakus gitu,"
"Daripada sia-sia kan," jawabnya tidak peduli dengan ucapan 'rakus' yang menjurus kepadanya.
Selesai makan malam. Mereka berdua dari restoran dan pulang. Nagita yang selalu menolak di antar ke rumahnya. Selalu turun di tempat yang terbilang berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya.
Ketika sedang berjalan dan merapikan pakaiannya.
Bruuugh
Tiba-tiba badannya bertabrakan dengan laki-laki yang tiba-tiba saja berhenti di depannya.
"Bapak apa-apaan sih berhenti mendadak gitu?"
Ia menoleh ke salah seorang perempuan yang begitu cantik dan seksi.
"Jadi ini selera kamu Azka? Sudah turun semenjak aku pergi dari kamu?"
"Tutup mulut kamu wanita jalang!"
"Setidaknya aku pernah membuatmu jatuh cinta."
Seketika tangan Nagita ditarik oleh Azka dan ia berusaha menyeimbangi langkah pria itu hingga mobil. Seketika raut wajah pria itu berubah menjadi penuh emosi. Dan Nagita hanya diam tanpa berani bertanya perempuan itu siapa?
Ketika mereka pergi tadi. Sekarang mereka tiba di salah satu club.
"Ini tempat apa?"
"Temani saya!"
"Tapi pak saya ngeri sama tempat ini,"
"Ada saya, kalau kamu enggak ikut. Mulai detik ini kamu saya pecat."
Nagita hanya mengikuti perintah itu. Ia benar-benar butuh pekerjaan itu untuk biaya hidupnya sehari-hari dan tabungannya untuk melanjutkan kuliahnya.
Ketika berada di dalam Nagita hanya geleng-geleng dan telinganya terasa sakit karena suara bising itu menembus gendang telinganya.
Beberapa orang menggodanya akan tetapi ia berusaha menolak dengan sebaik mungkin. Azka yang berada di depannya kini sudah mabuk berat.
"Pak kita pulang." Nagita berusaha membantu Azka berjalan menuju mobilnya. Ia akan mengutuk pria ini karena telah menyusahkannya. Hingga di dalam mobil a menggerutu karena tidak tahu ke mana akan mengantarkan pria ini. Ia pun berinisiatif menghubungi Damar untuk menanyakan alamat lengkap Azka.
Setelah mendapatkan alamat lengkap tersebut. Ia segera melaju ke alamat yang diberitahukan oleh Damar.
Ia berhenti di salah satu apartemen mewah di pusat kota.
"Pak tolong bantu saya bawa pria sialan ini ke kamarnya, bantu saya pak, pinggang saya hampir copot karena nahan badan dia yang berat banget pak."
Kedua security itu langsung membantunya untuk ke kamar milik Azka.
"Terima kasih pak,"
Nagita kembali membawa Azka masuk ke kamarnya. Ketika berada di kamar justru Azka menarik tubuhnya dan melumat bibirnya dengan kasar. Nagita terkejut dan mendorong tubuh Azka. Namun lagi-lagi tenaga Azka lebih besar darinya hingga tubuhnya di dorong hingga terlempar di ranjang. Dan tubuh itu langsung menerjang dirinya.
Nagita memberontak, dengan air mata yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Ini suatu musibah yang ia tidak pernah bayangkan akan terjadi.
"Ingat jalang, kau pernah memberikan tubuhmu pada pria yang bersamamu tadi,"
"Pak sadar pak, ini saya Nagita,"
"Jangan mengelabuiku, Nagita itu tidak secantik kamu. Dia hanya perempuan polos yang tidak tahu apa-apa."
Bibirnya kembali dilumat paksa oleh Azka. Kedua tangannya terkunci hanya dengan satu tangan Azka, sedangkan tangan pria itu bergrilya di dalam kaosnya. Sedangkan kedua pahanya dibuka hingga sepenuhnya ia tidak bisa menolak.
Nagita benar-benar merasa malu saat tidak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Lagi-lagi serangan itu secara kasar mengunci tubuhnya. Dari ciuman, menurun hingga gundukan kenyal itu dimainkan oleh lidah Azka hingga membuat Nagita tak bisa melawan.
Tiba saatnya penyatuan itu dilakukan. Nagita menangis beberapa kali saat Azka mencoba menerobos memasukinya. Nagita yang merasakan sakit dibagian kewanitaannya hanya bisa pasrah. Bukan berarti ia tidak melawan, akan tetapi tenaganya sudah habis ia gunakan untuk perlawanan diawal.
Ia meringis kesakitan saat milik Azka sudah benar-benar masuk sepenuhnya ke dalam dirinya.
"Sayang kau perawan sayang. Berarti aku adalah pria pertama yang melakukan ini sayang. Terima kasih telah menjaganya untukku, Deana."
Jantung Nagita mencelos bagaikan dipukul bertubi-tubi. Kehormatan yang harusnya ia jaga dengan baik kini telah direnggut oleh orang yang sama sekali bukan suaminya bahkan bosnya sendiri tega melakuan hal itu.
Andai ia tidak mau menemani bosnya. Andai ia tidak mengantarkan Azka masuk ke apartemennya sendirian. Semua itu hanyalah penyesalan.
Hingga dipuncak pencapaian, Nagita merasakan bahwa Azka mengeluarkan spermanya di dalam. Setelah percintaan panas itu usai, Nagita merutuki dirinya dan melihat ke arah sampingnya.
-----
Keesokan harinya
Ia terbangun terlebih dahulu dan mengenakan pakaiannya yang berserakan.
"Mau pergi?" Suara parau itu mengejutkan Nagita dan tangannya ditarik hingga berbaring lagi di samping pria itu. Andai saja ia tidak lelah, tentu tidak akan tidur dan langsung pulang. Akan tetapi ia merasa sangat lelah hingga ia ketiduran.
"Pak saya mau pulang."
Nagita menangis setelah mengingat kejadian semalam. Dan berusaha bangkit dari pelukan pria itu.
"Nagita!!!" Teriak pria itu terkejut. "Apa yang terjadi?"
Nagita mengernyit setelah pertanyaan itu.
"Nagita, apa saya yang perkosa kamu semalam?"
Nagita hanya mengangguk. Dan pria itu beranjak dari tempat tidurnya.
"Ini ada cek senila 5M kamu cairin, tapi tolong kamu berhenti dari perusahaan saya dan anggap ini tidak pernah terjadi."
Mata Nagita memanas. Tiba-tiba air matanya terjatuh dan mengambil cek tersebut lalu merobeknya. "Terima kasih atas hinaan anda tuan. Saya pergi dan saya keluar dari perusahaan anda."
Sudah beberapa hari kejadian itu seolah terus memutar diingatannya.
Nagita merasa sakit hati dengan kejadian itu dan tidak akan memaafkan mantan bosnya yang telah melecehakannya. Setelah berhenti bekerja ia berjualan dengan modal seadanya di sore hari. Pagi hingga siang ia menjadi sopir angkot lagi. Berbeda dengan kakaknya yang hari ini pergi untuk melalukan tes wawancara disebuah perusahaan ternama di Jakarta.
Ia tidak mungkin mengatakan hal itu kepada sang kakak. Mengingat bahwa orang yang ia miliki adalah kakaknya. Matanya memanas mengingat betapa terlukanya ia dengan kejadian Malam itu. Lagi-lagi matanya mengeluarkan kristal bening yang membasahi pipinya. Ia merenung di teras depan.
"Nagita, kok melamun. Lihat kakak bawa makanan enak hari ini. Kita makan ya!"
Nagita mengangguk dan mengikuti kakaknya masuk ke dalam rumah.
Ia menyiapkan piring, sendok dan juga minuman untuk mereka berdua. Benar-benar beban itu membuatnya merasa tidak pernah baik-baik saja.
Alasan pada kakaknya adalah ia dipecat karena perusahaan tersebut
bangkrut. Dan kakaknya hanya ber-oh ria tanpa berkomentar lebih.
"Kakak di terima di perusahaan itu dek. Sebentar lagi kamu bisa lanjutin kuliah kamu,"
"Ah yang benar kak?"
Nagita begitu riang mendengar kabar bahagia itu.
"Iya, kamu harus kuliah lagi. Kejar apa yang tertunda, kakak akan berusaha untuk lanjutkan pendidikan kamu,"
"Ba-baik kak,"
Nagita hancur, masa depannya hancur. Mahkotanya terenggut seseorang dengan sangat bejat. Nagita seolah kehilangan arah untuk hidupnya.
"Kamu kenapa dari tadi melamun?"
"Aku nungguin kakak pulang, kakak lama banget,"
"Hehehe, kakak harus beli makanan enak untuk adik kakak. Ohya belajar yang rajin. Kakak usahakan tahun ini kamu kuliah, jangan nolak ya dek!"
Nagita mengangguk, tidak mungkin baginya untuk mengecewakan kakaknya.
"Kak Dimas?"
"Iya?"
"Enggak apa-apa. Nagita sayang sama kakak, jangan pernah tinggalin aku ya kak. Apapun keadaannya,"
"Hey, ngomong apa sih. Yang kakak punya hanya kamu, jadi tolong jangan aneh-aneh. Kakak akan bahagiain kamu dengan usaha kakak,"
Nagita mengangguk dan melanjutkan kegiatannya ke dapur untuk membuat gorengan.
"Mau ngapain?"
"Kan buat gorengan, kakak lupa?"
"Enggak usah, kamu terlalu lelah. Cukup narik angkot, setelah kakak gajian kamu enggak boleh kerja lagi!"
"Iya kak,"
Nagita berlalu ke kamarnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan menarik selimutnya menutupi kepala. Ingatannya benar-benar tidak bisa hilang. Ketika membuka mata, ingatannya kembali pada saat lelaki itu menindihnya. Tiba-tiba saja air matanya lolos terjatuh begitu saja.
-----
2 bulan berlalu, Nagita sudah tidak diperbolehkan lagi untuk bekerja. Ketika Dimas berangkat bekerja, ia merasa mual dan segera ke kamar mandi. Cairan bening itu tidak segera usai, sudah tiga hari ia merasakannya. Bahkan ia belum datang bulan hingga saat ini.
Nagita keluar untuk membeli alat tes kehamilan. Dengan perasaan yang hancur ia menuju apotek dan membeli tiga alat sekaligus. Jaga-jaga jika alat tersebut hasilnya berbeda-beda. Karena tidak menjamin untuk hasil akurat hanya dengan satu alat.
Ia kembali lagi ke rumah dan langsung mengeceknya ke kamar mandi.
Karena ada dua garis yang begitu terang, tubuhnya lemas seketika karena itu berarti ia positif hamil. Ia memeluk lututnya dan menangis, hancur adalah kata yang tepat untuk dirinya.
Tiba-tiba saja ia terbangun dengan posisi sudah berada diatas ranjangnya.
"Dek makan dulu ya!"
Nagita menggeleng.
"Kenapa? Nanti kamu sakit,"
Nagita menggeleng. Justru terbangun dan langsung memeluk kakaknya dan meminta maaf dengan penuh rasa sesal di hatinya.
"Kakak sudah lihat, kakak sakit hati lihat benda itu. Dek, kenapa kamu enggak pernah bilang? Siapa yang melakukannya? Selama ini kamu belum pernah pacaran,"
Ia mameluk tubuh kakaknya dengan perasaan sakit dan tubuhnya bergetar hebat. Ia mendegar isakan kakaknya. Ia tahu kakaknya sangat kecewa padanya. Tapi apa yang bisa dilakukan, selain menerima kenyataan itu.
Setelah ia menceritakan semuanya dengan rinci. Dimas memeluk tubuhnya penuh sayang.
"Kita rawat, jangan digugurin itu dosa besar sama halnya dengan bunuh dia. Kakak akan rawat dia dan kamu, rumah kita nanti akan ada suara tangis bayi, kamu akan jadi Mama Muda," ucap Dimas di sela-sela rasa sakitnya.
"Kakak yakin?"
"Bagaimanapun juga ia adalah milikmu. Kita akan rawat. Kamu tetap di rumah jangan ke mana-mana. Seluruh kebutuhan kamu kakak yang penuhi, apa pun yang kamu minta akan kakak belikan, makanan apalah pokoknya kamu harus ngomong, oke!"
Nagita mengangguk.
"Sekarang kamu makan, terus istirahat. Jangan pikirkan apapun itu."
Ia mengangguk lagi dan makan. Malam itu ia merasa sesak di dadanya. Tidak sadar bahwa tadi ia menangis hingga pingsan selama itu di kamar mandi. Sudah begitu banyak beban yang ia berikan kepada kakaknya dan kini harus menanggung beban lebih berat lagi. Yaitu mengandung bayi yang sama sekali tidak pernah diharapkan kehadirannya yang hadir karena sebuah kesalahan dan harus lahir ke dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!