NovelToon NovelToon

The Dark Prince

BAB 1 PERTEMUAN

Hutan Abyssal, perbatasan antara Solaria yang bercahaya dan Umbrahlis yang penuh kegelapan, berdiri megah dengan pepohonan tinggi yang memeluk bayangan pekat. Arlina Solstice, gadis Solaria dengan rambut sewarna madu yang diikat asal-asalan, menatap jalanan gelap di depannya dengan tekad bulat.

"Aku harus menemukannya," gumamnya pelan sambil menggenggam erat liontin yang diberikan kakaknya, Aelric, sebelum ia menghilang tiga minggu lalu.

Arlina tahu ia melanggar aturan Solaria. Hutan Abyssal adalah tempat terlarang, rumah bagi makhluk magis yang hanya hidup dalam bayangan. Tapi ia tidak peduli. Kakaknya satu-satunya keluarganya, dan ia tidak akan duduk diam sementara Aelric bisa saja dalam bahaya.

Angin dingin menggerayangi kulitnya saat ia melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Ranting-ranting berderak di bawah kakinya, memecah kesunyian yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Tenang, Arlina. Ini hanya pohon," ia berbisik pada dirinya sendiri, meski tangannya gemetar.

Tiba-tiba, semak di sebelahnya bergerak. Arlina membeku.

“Siapa di sana?” tanyanya, mencoba terdengar tegas.

Tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik yang semakin dekat. Ia melangkah mundur, tetapi kakinya terantuk akar pohon, membuatnya jatuh ke tanah. Sebelum sempat bangkit, makhluk besar dengan mata merah menyala keluar dari bayang-bayang.

Makhluk itu memiliki tubuh menyerupai serigala, tetapi dengan tanduk tajam dan cakar sebesar belati. Arlina tertegun, tubuhnya kaku.

"Jangan bergerak," gumamnya pelan, tetapi rasa takutnya membuat nafasnya tercekat.

Makhluk itu melangkah maju, menggeram dengan taring tajam yang berkilau di bawah sinar bulan.

“Apa yang kau lakukan di sini, gadis Solaria?” suara rendah dan dingin memecah ketegangan.

Arlina menoleh cepat. Di sana, berdiri seorang pria dengan jubah hitam berkilauan seperti langit malam, dengan mata keperakan yang memancarkan kekuatan dingin. Tangan pria itu menggenggam pedang berwarna obsidian yang memancarkan aura menakutkan.

“Si-siapakah Anda?” Arlina tergagap, tatapannya berpindah antara pria itu dan makhluk yang kini berhenti mendekat.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, pedangnya bersinar saat ia mengarahkannya pada makhluk itu.

“Pergi, sebelum aku memusnahkanmu.”

Makhluk itu menggeram, tetapi tidak berani melawan. Dengan satu loncatan besar, ia kembali ke dalam bayang-bayang hutan.

Arlina menghela nafas lega, tetapi sebelum ia sempat berdiri, pria itu sudah berada di hadapannya.

“Kenapa seorang gadis lemah sepertimu ada di sini? Hutan Abyssal bukan tempat bermain,” katanya dingin, menatapnya dari atas dengan sorot tajam.

Arlina menggigit bibirnya, merasa harga dirinya terluka. “Aku tidak lemah! Aku mencari kakakku. Ia menghilang di sini.”

Pria itu mengangkat alis. “Kakakmu? Dan kau berpikir kau bisa menemukannya sendirian di hutan ini?”

Arlina berdiri, meski lututnya masih gemetar. “Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak mencarinya, siapa yang akan melakukannya?”

Pria itu memperhatikannya sejenak, lalu mendesah pelan. “Gadis bodoh.”

“Jangan panggil aku bodoh!” Arlina memprotes dengan wajah memerah.

Pria itu mengabaikan kemarahan kecilnya dan berbalik. “Kembali ke tempat asalmu. Hutan ini bukan untukmu.”

“Aku tidak akan pergi tanpa kakakku!” Arlina mengejarnya, tetapi pria itu berjalan dengan cepat.

Pria itu berhenti tiba-tiba, membuat Arlina hampir menabraknya. Ia menatapnya dengan mata dingin yang membuatnya terdiam.

“Kalau begitu, kau akan mati di sini. Hutan ini tidak akan mengampuni orang lemah.”

“Tunggu!” Arlina mengangkat tangannya. “Setidaknya… bantu aku. Kau jelas tahu tentang tempat ini.”

Pria itu mengangkat alis, tampak ragu. “Kenapa aku harus membantumu?”

“Karena aku tidak akan pergi sampai aku menemukan Aelric!” Arlina menjawab dengan tegas.

Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat terkejut. “Aelric?”

Arlina mengangguk. “Kakakku, Aelric Solstice. Kau mengenalnya?”

Pria itu tidak menjawab, tetapi ada perubahan kecil dalam ekspresinya. Akhirnya, ia mendesah. “Namaku Kael Nocturne. Aku pangeran Umbrahlis. Jika kau ingin mencari kakakmu, kau harus patuh pada perintahku.”

Arlina melongo. “Pangeran… kegelapan?”

Kael mendengus. “Kau menyebutku apa pun yang kau mau. Sekarang, kalau kau tidak ingin diserang makhluk lain, ikuti aku.”

Arlina ragu sejenak, tetapi ia tahu tidak ada pilihan lain. “Baiklah. Tapi kalau kau berusaha mencelakaiku…”

“Aku tidak punya waktu untuk bermain-main,” potong Kael. “Jangan terlalu percaya diri.”

---

Mereka berjalan dalam diam, kecuali suara langkah kaki Arlina yang sering tersandung akar pohon. Kael meliriknya beberapa kali dengan ekspresi tidak sabar.

“Kau benar-benar tidak cocok berada di sini,” gumamnya.

“Terima kasih atas kritiknya,” balas Arlina sarkastis.

Kael berhenti dan menoleh, membuat Arlina hampir menabraknya lagi. “Kalau kau tidak bisa menjaga mulutmu, aku bisa meninggalkanmu di sini.”

Arlina menggigit bibirnya, menahan protes. “Aku hanya ingin menemukan Aelric. Itu saja.”

Kael memperhatikannya dengan tatapan yang sulit ditebak. Akhirnya, ia berbalik. “Kalau begitu, diam dan ikuti aku.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, suara gemerisik kembali terdengar. Kael berhenti dan mengangkat tangan, memberi isyarat pada Arlina untuk diam.

“Apa itu?” Arlina berbisik.

Kael tidak menjawab. Ia mengangkat pedangnya, dan bayangan besar muncul dari kegelapan. Kali ini, makhluk itu jauh lebih besar daripada yang pertama, dengan tubuh bersisik dan taring yang memancarkan cahaya hijau beracun.

“Diam di belakangku,” perintah Kael dengan nada tegas.

“Tapi—”

“Diam!”

Arlina mundur beberapa langkah, menahan nafas saat Kael maju dengan percaya diri. Dengan gerakan cepat, ia melompat dan mengayunkan pedangnya, memotong makhluk itu dengan presisi yang mematikan. Darah hijau memercik ke tanah, dan makhluk itu menghilang dalam asap.

Kael menurunkan pedangnya, tetapi napasnya masih stabil. Ia menoleh pada Arlina yang menatapnya dengan mulut ternganga.

“Apakah kau selalu seberani ini, atau hanya bodoh?” tanyanya dingin.

Arlina mengerjap. “Aku… tidak tahu apa yang harus kukatakan.”

Kael mendengus. “Teruslah di belakangku. Aku tidak ingin membuang tenaga lagi.”

---

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah celah besar yang dipenuhi bayangan pekat.

“Kita sudah dekat,” kata Kael.

“Dekat dengan apa?” tanya Arlina.

Kael menoleh dengan tatapan serius. “Dengan jawaban yang kau cari. Tapi aku memperingatkanmu, mungkin kau tidak akan menyukainya.”

Arlina menggenggam liontinnya erat-erat, menahan rasa takut yang mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu risikonya, tetapi ia tidak akan mundur.

“Tidak peduli apa pun itu, aku harus tahu.”

Kael mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke dalam kegelapan, sementara Arlina mengikutinya dengan hati yang dipenuhi ketegangan dan harapan.

Kael berhenti di depan sebuah pohon besar dengan akar menjalar ke mana-mana. Bayangan pekat berkumpul di sekitarnya, memancarkan aura magis yang berat. Ia meletakkan tangannya di batang pohon itu.

“Ini tempat terakhir yang dicatat penjaga perbatasan,” kata Kael pelan, menoleh pada Arlina. “Kau yakin ingin tahu apa yang ada di sini?”

Arlina melangkah maju. “Tentu saja! Jika itu membawaku pada Aelric, aku harus tahu!”

Kael menatapnya lama. “Kebenaran mungkin lebih menyakitkan daripada bayanganmu.”

“Aku lebih takut kehilangan kakakku daripada kebenaran itu,” balas Arlina tegas.

Kael mengangguk kecil, lalu mengangkat pedangnya. Ia menggores batang pohon dengan simbol aneh, dan perlahan sebuah pintu berbentuk cahaya terbuka di hadapan mereka.

“Masuklah,” katanya.

Arlina ragu sejenak. “Apa kau tidak ikut?”

Kael mendesah. “Aku penjaga pintu ini. Kalau kau mau hidup, aku harus tetap di sini.”

“Tapi—”

“Percaya padaku,” potong Kael tegas. “Aku akan melindungimu dari sini.”

Arlina menggenggam liontinnya erat. “Baik. Jangan biarkan apa pun menyerangku.”

Kael tersenyum samar. “Aku tidak akan membiarkanmu mati.”

BAB 2 TAWANAN DI NOCTIS HALL

Langit di Umbrahlis selalu kelabu, seolah menolak sinar matahari. Arlina menatap takjub pada kastil megah di hadapannya, Noctis Hall, berdiri angkuh di atas tebing yang dikelilingi kabut tebal. Batu hitam yang menyusunnya berkilauan seperti obsidian di bawah cahaya bulan.

“Jadi, ini tempat tinggalmu?” Arlina bertanya, mencoba memecah kesunyian.

Kael yang berjalan di depannya menoleh, tatapannya dingin. “Ya. Dan sekarang kau juga bagian dari tempat ini, meskipun bukan sebagai tamu.”

“Maksudmu apa?” Arlina menghentikan langkahnya.

Kael menatapnya datar. “Kau pikir aku percaya begitu saja pada ceritamu tentang mencari kakakmu? Kau mungkin mata-mata dari Solaria.”

“Mata-mata?” Arlina mendekatkan dirinya ke Kael. “Apa kau serius? Aku bahkan hampir dimakan makhluk di hutanmu tadi!”

“Bisa jadi itu bagian dari rencanamu untuk mendapatkan simpatiku,” balas Kael tenang.

Arlina mendengus. “Kau jelas terlalu paranoid.”

Kael tidak menjawab. Ia memberi isyarat pada penjaga di gerbang untuk membuka jalan. Dua prajurit berpakaian zirah hitam dengan wajah tertutup helm topeng segera bergerak. Gerbang besar berderak terbuka, memperlihatkan aula besar yang dihiasi lilin-lilin hitam dan kristal bercahaya biru.

Arlina melangkah masuk dengan hati-hati, merasa dirinya seperti tikus kecil di sarang naga.

“Jadi, kau akan mengurungku di ruang bawah tanah?” tanya Arlina dengan nada sarkastis.

Kael mengangkat alis. “Aku tidak sekejam itu. Kau akan mendapat kamar yang nyaman, meskipun kau tetap seorang tawanan.”

“Betapa murah hati,” gumam Arlina.

Kael tidak peduli pada komentar sinisnya. Ia memanggil seorang pelayan yang mengenakan jubah hitam panjang. Wanita itu membungkuk dalam di depan Kael.

“Bawa dia ke kamar tamu di sayap timur,” perintah Kael.

“Baik, Yang Mulia,” jawab pelayan itu, suaranya lembut tetapi penuh rasa hormat.

Kael berbalik pada Arlina. “Kau akan tinggal di sini sampai aku yakin kau tidak membawa ancaman bagi Umbrahlis.”

Arlina mendekat, berdiri di depan Kael dengan tangan di pinggang. “Dan bagaimana kau akan membuktikannya? Menginterogasiku setiap hari?”

Kael tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak menyenangkan. “Aku punya cara sendiri. Jangan khawatir, kau tidak akan terluka… jika kau tidak membuat masalah.”

Arlina membuka mulut untuk membalas, tetapi pelayan menarik lembut lengannya. “Silakan ikut, Nona.”

Arlina mendengus kesal, tetapi ia mengikuti pelayan itu, meninggalkan Kael yang tetap berdiri dengan tatapan tajam.

---

Kamar tamu di sayap timur lebih mewah daripada yang Arlina bayangkan. Tempat tidurnya besar dengan tirai hitam dan emas, karpet lembut menutupi lantai, dan ada balkon yang menghadap ke hutan Abyssal.

“Kalau ini disebut penjara, aku bisa terbiasa,” gumam Arlina, duduk di tepi tempat tidur.

Pelayan yang membawanya menunduk kecil. “Apakah ada yang Anda butuhkan, Nona?”

Arlina menggeleng. “Hanya satu hal. Apa benar Pangeran Kael selalu seserius itu?”

Pelayan itu tersenyum tipis. “Yang Mulia adalah pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Beliau tidak pernah mengambil risiko, terutama dalam urusan yang menyangkut Solaria.”

“Jadi, karena aku dari Solaria, dia pikir aku mata-mata?”

“Bukan itu saja,” jawab pelayan dengan nada hati-hati. “Beberapa tahun lalu, Solaria pernah mengirimkan penyusup yang nyaris menghancurkan keamanan Umbrahlis. Sejak itu, Yang Mulia selalu curiga pada siapa pun yang datang dari luar.”

Arlina terdiam. Ia tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu, tetapi jelas dendam lama antara dua negeri ini lebih dalam dari yang ia kira.

“Baiklah, aku mengerti sekarang,” katanya, menghela napas. “Terima kasih sudah menjelaskan.”

Pelayan itu membungkuk lagi sebelum meninggalkan kamar, membiarkan Arlina sendiri.

---

Beberapa jam kemudian, pintu kamarnya diketuk.

“Masuk saja,” kata Arlina malas.

Kael muncul di pintu, tanpa jubah hitamnya, hanya mengenakan pakaian sederhana berwarna gelap. Tapi bahkan tanpa atribut kerajaan, ia tetap terlihat memancarkan aura berbahaya.

“Apa kau menikmati kamarmu?” tanyanya datar.

Arlina menatapnya dengan ekspresi datar pula. “Kurang satu hal, kebebasan.”

Kael mendekat, tangannya menyentuh meja kecil di dekat tempat tidur. “Kalau kau menjawab pertanyaanku dengan jujur, mungkin aku bisa mempertimbangkannya.”

“Pertanyaan seperti apa?”

“Dimulai dengan ini, Apa alasan sebenarnya kau ada di sini?”

Arlina menghela napas. “Sudah kubilang, aku mencari kakakku, Aelric. Dia menghilang, dan petunjuk terakhir membawaku ke hutan Abyssal.”

“Dan kau tidak berpikir untuk meminta izin atau membawa bantuan?” Kael menatapnya tajam.

“Bagaimana aku bisa meminta izin ke tempat yang dianggap musuh oleh negeriku sendiri?”

Kael menyipitkan matanya. “Jawaban yang cerdas, tetapi itu tidak cukup.”

“Apa yang kau inginkan dariku, Kael? Aku tidak punya senjata, tidak punya kekuatan. Apa aku terlihat seperti ancaman bagimu?” Arlina berdiri, menatap langsung ke matanya.

Kael mendekat, jarak mereka hanya beberapa inci. Tatapannya tajam seperti pisau. “Kadang, ancaman terbesar adalah yang tampak paling tidak berbahaya.”

Arlina menelan ludah, merasa keberaniannya sedikit goyah di bawah tatapan itu. “Kalau begitu, aku tidak bisa membuktikan apa-apa kecuali dengan waktu. Kau harus percaya padaku.”

Kael mengangkat alis. “Kepercayaan tidak datang begitu saja. Tapi untuk sekarang, aku akan mengawasimu.”

“Awas saja kalau aku menangkapmu mengintip di malam hari,” balas Arlina cepat, mencoba menutupi kegugupannya.

Kael tertawa kecil untuk pertama kalinya, tetapi tawanya penuh sinisme. “Kau gadis aneh. Baiklah, nikmati malammu.”

Ia berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Arlina dengan perasaan campur aduk.

---

Ketika Kael kembali ke aula utama, seorang pria berseragam penjaga menghampirinya.

“Yang Mulia, kami menemukan sesuatu di perbatasan dekat hutan. Anda mungkin ingin melihat ini.”

Kael mengambil gulungan kertas yang diserahkan penjaga itu. Saat membacanya, matanya menyipit.

“Apa dia tahu tentang ini?” tanya Kael.

Penjaga itu menggeleng. “Sepertinya tidak, Yang Mulia.”

Kael menatap gulungan itu lama sebelum akhirnya berbicara. “Kita perlu memastikan dia tidak menyentuh bagian tertentu dari hutan itu. Perhatikan setiap gerakannya.”

“Siap, Yang Mulia.”

Ketika penjaga itu pergi, Kael kembali memandang lorong menuju kamar Arlina. Wajahnya berubah serius.

“Siapa sebenarnya kau, Arlina Solstice?” bisiknya pelan.

Kael berjalan menuju balkon besar di aula utama, pikirannya berkecamuk. Gulungan kertas di tangannya terasa lebih berat dari seharusnya.

“Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan sekarang?” suara seorang pria tua menghentikan langkahnya.

Kael menoleh, melihat Velric, penasehat istananya yang sudah setia selama bertahun-tahun. “Kita harus memastikan gadis itu tidak berbohong.”

Velric mengangkat alis. “Apa Anda berpikir dia mata-mata? Dia terlihat terlalu ceroboh untuk itu.”

“Itu yang membuatku ragu. Dia bisa jadi terlalu pintar, menyembunyikan niat sebenarnya di balik kepolosan,” jawab Kael tegas.

Velric tersenyum kecil. “Atau mungkin dia memang polos, dan Anda hanya terlalu curiga.”

Kael mendengus. “Aku tidak bisa mengambil risiko. Umbrahlis tidak akan selamat dari pengkhianatan kedua.”

Velric mengangguk pelan. “Kalau begitu, apa langkah selanjutnya?”

Kael memandang gulungan itu lagi. “Aku ingin dia diawasi sepanjang waktu. Tapi jangan membuatnya merasa terancam. Jika dia tidak bersalah, aku tidak ingin membuat musuh baru.”

“Dan jika dia bersalah?”

Kael menatap Velric tajam. “Kita akan tahu sebelum dia bertindak lebih jauh.”

Velric membungkuk hormat. “Seperti yang Anda inginkan.”

Setelah Velric pergi, Kael menghela napas panjang, matanya menatap ke arah jendela yang mengarah ke sayap timur.

---

Di kamar tamu, Arlina mondar-mandir dengan gelisah. Ketukan di pintu membuatnya tersentak.

“Siapa itu?” tanyanya hati-hati.

“Pelayan istana, Nona,” jawab suara lembut dari luar.

Pintu terbuka, memperlihatkan pelayan yang membawa nampan makanan. “Yang Mulia mengirimkan makan malam untuk Anda.”

Arlina memandang nampan itu dengan tatapan curiga. “Apakah dia menyuruhmu menaruh racun di sini?”

Pelayan itu terkejut. “Tidak, Nona! Yang Mulia tidak akan melakukan hal seperti itu!”

Arlina tertawa kecil. “Aku hanya bercanda. Letakkan saja di meja.”

Pelayan menuruti perintahnya, lalu membungkuk. “Jika Anda membutuhkan sesuatu, silakan panggil saya.”

“Terima kasih,” kata Arlina sambil menghela napas.

Saat pelayan itu pergi, Arlina menatap makanan di depannya. Ia mencicipi sedikit roti yang empuk dan lezat.

“Setidaknya mereka tidak membiarkanku kelaparan,” gumamnya.

Namun pikirannya terus berputar. Kenapa Kael begitu curiga padanya? Apa yang sebenarnya dia takutkan?

“Kalau aku tetap di sini lebih lama, aku harus mencari tahu sendiri,” bisiknya sambil menatap jendela yang mengarah ke malam kelam Umbrahlis.

Lorong-Lorong Gelap Noctis Hall

Langit malam di Umbrahlis semakin pekat, seakan menghalangi setiap cahaya yang ingin masuk. Arlina duduk di tepi tempat tidur, tatapannya terpaku pada pintu besar yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari kamarnya.

"Haruskah aku mencobanya?" gumamnya pada diri sendiri.

Pikirannya penuh dengan rasa frustrasi. Ia tidak tahan menjadi tawanan, bahkan jika kamarnya lebih nyaman daripada rumahnya sendiri di Solaria. Dengan tekad bulat, ia berdiri, mengenakan jubah sederhana yang diberikan pelayan tadi pagi.

“Tidak ada salahnya mencoba,” bisiknya sambil membuka pintu perlahan.

Lorong di luar kamar gelap dan sunyi, hanya diterangi oleh lilin-lilin biru yang menyala redup. Arlina melangkah perlahan, memastikan kakinya tidak menimbulkan suara.

“Baiklah, ke mana sekarang?” gumamnya, mencoba mengingat arah yang diambil pelayan saat membawanya ke sini.

Namun, setelah beberapa belokan, ia sadar dirinya tersesat. Lorong-lorong itu terlihat sama, dengan dinding batu hitam yang dingin dan tidak ada tanda apa pun untuk membedakan arah.

“Astaga, kenapa istana ini seperti labirin?” Arlina mendesah frustrasi, menghentikan langkahnya di depan sebuah persimpangan.

Saat ia ragu-ragu, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Panik, Arlina cepat-cepat masuk ke salah satu lorong gelap, menahan napas.

“Siapa di sana?” suara berat seorang pria bergema.

Arlina mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. Tapi suara langkah itu semakin dekat, dan bayangan seseorang mulai terlihat di ujung lorong.

“Kalau kau pikir bisa kabur dari Noctis Hall tanpa tertangkap, kau sangat naif.”

Arlina mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat seorang pria tinggi dengan mata tajam berdiri di depannya. Ia mengenakan zirah hitam berukir simbol Umbrahlis.

“Eryx…” gumam Arlina, mengingatnya sebagai pengawal pribadi Kael.

Eryx menyilangkan tangan di dadanya, menatapnya dengan ekspresi campuran antara penasaran dan kesal. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona Solstice?”

“Aku… hanya berjalan-jalan,” jawab Arlina gugup.

Eryx tertawa kecil, tetapi nadanya sarkastik. “Berjalan-jalan di tengah malam? Di lorong paling terpencil istana? Itu jawaban terbaikmu?”

Arlina mengerutkan kening. “Baiklah, aku mencoba kabur. Tapi itu bukan urusanmu.”

Eryx melangkah mendekat, membuat Arlina mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. “Kau tahu tindakanmu ini sangat berbahaya?”

“Berbahaya? Untuk siapa? Aku hanya ingin kembali ke rumahku!”

Eryx mendesah panjang, seolah berbicara dengan anak kecil. “Kalau kau berhasil keluar dari sini dan tertangkap oleh penjaga perbatasan, mereka mungkin menganggapmu mata-mata Solaria. Itu bisa memicu perang. Apa kau ingin itu terjadi?”

Arlina terdiam, merasa dadanya sesak. “Aku… aku hanya tidak tahan terkurung di sini.”

“Kalau begitu, kau harus bicara dengan Yang Mulia Kael, bukan bertindak gegabah seperti ini,” ujar Eryx dengan nada tegas.

Arlina mengalihkan pandangannya, merasa malu. “Aku tidak percaya dia akan mendengarkanku.”

“Percayalah, dia akan lebih mendengarkan daripada penjaga perbatasan yang tidak mengenalmu,” balas Eryx.

Ia meraih lengan Arlina dengan lembut tetapi tegas. “Ayo, aku akan membawamu kembali ke kamarmu.”

Arlina mencoba melepaskan diri. “Aku bisa kembali sendiri!”

Eryx mendekatkan wajahnya, membuat Arlina mundur lagi. “Dengar, Nona. Aku sedang membantumu. Jangan membuatku menyesal melakukannya.”

Arlina mendengus tetapi berhenti melawan. “Baiklah. Tapi aku tidak akan berterima kasih padamu.”

“Tidak masalah. Aku juga tidak mengharapkannya.”

---

Eryx memimpin Arlina kembali melalui lorong-lorong gelap, langkahnya mantap seperti seseorang yang sudah hafal setiap sudut istana.

“Kau tahu,” kata Arlina tiba-tiba, mencoba memecah keheningan, “kenapa Kael begitu curiga padaku? Aku bahkan tidak membawa apa pun yang bisa membahayakan Umbrahlis.”

Eryx meliriknya sekilas tetapi tidak menjawab.

“Apa dia selalu seperti itu? Selalu berpikir setiap orang dari Solaria adalah ancaman?” Arlina melanjutkan.

Eryx akhirnya menjawab dengan nada datar. “Kael punya alasan. Kau tidak tahu seberapa banyak yang telah dia korbankan untuk menjaga kedamaian di Umbrahlis.”

“Lalu apa salahku? Aku tidak pernah melakukan apa pun padanya!”

“Bukan kau, tapi negerimu,” balas Eryx tajam. “Solaria dan Umbrahlis memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dijelaskan hanya dalam satu malam.”

Arlina terdiam, merasa argumen apa pun yang ia miliki tidak akan berguna.

“Kalau begitu,” gumamnya, “apa aku tidak akan pernah bisa mendapatkan kepercayaan kalian?”

Eryx berhenti tiba-tiba, membuat Arlina hampir menabraknya. Ia berbalik dan menatapnya serius. “Kepercayaan bisa didapat, tapi butuh waktu. Dan tindakan seperti mencoba kabur ini tidak membantu.”

Arlina menggigit bibirnya, merasa dirinya seperti anak kecil yang dimarahi. “Aku mengerti. Aku akan berhenti mencoba.”

“Bagus,” balas Eryx sambil melanjutkan langkahnya.

Ketika mereka akhirnya sampai di kamar Arlina, Eryx membuka pintu dan mengisyaratkan agar ia masuk.

“Jangan mencoba hal bodoh lagi, Nona,” katanya tegas.

“Aku tidak janji,” balas Arlina dengan nada memberontak.

Eryx hanya menggeleng pelan. “Istirahatlah. Kau butuh itu lebih dari apa pun sekarang.”

Sebelum Arlina bisa menjawab, ia sudah pergi, meninggalkan gadis itu sendirian di kamarnya.

---

Ketika Eryx kembali ke aula utama, ia mendapati Kael berdiri di depan jendela besar, memandang keluar ke arah hutan Abyssal.

“Dia mencoba kabur,” lapor Eryx tanpa basa-basi.

Kael menoleh, wajahnya tetap dingin. “Aku sudah menduga.”

“Aku membawanya kembali ke kamarnya. Tidak ada yang terluka, dan dia berjanji tidak akan mencoba lagi.”

Kael mengangkat alis. “Kau percaya pada janjinya?”

Eryx tersenyum tipis. “Tidak sepenuhnya. Tapi aku juga tidak berpikir dia cukup bodoh untuk mencoba lagi setelah tahu konsekuensinya.”

Kael menghela napas panjang. “Aku akan bicara dengannya besok. Jika dia benar-benar tidak bersalah, aku tidak ingin dia merasa seperti tahanan selamanya.”

“Itu keputusan yang bijak, Yang Mulia,” kata Eryx, membungkuk sedikit sebelum pergi.

Kael kembali menatap keluar jendela, pikirannya dipenuhi oleh sosok gadis Solaria yang berani tetapi ceroboh itu.

“Arlina Solstice,” bisiknya pelan. “Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?”

*****

Setelah Eryx pergi, Arlina duduk di tepi tempat tidurnya, mengutuki nasib buruknya.

“Kenapa aku harus bertemu dengan pria berzirah itu? Kalau bukan dia, mungkin aku sudah jauh dari sini!” gumamnya kesal.

Namun, saat ia melihat ke luar jendela, rasa frustrasi berganti dengan keingintahuan. Umbrahlis terlihat sangat berbeda dari Solaria. Langit malamnya hampir selalu gelap, tetapi dihiasi dengan cahaya biru yang berasal dari kristal-kristal besar di kejauhan.

“Tempat ini… indah, tapi juga menyeramkan,” bisiknya.

Ketukan di pintu mengejutkannya. “Siapa di sana?” tanyanya dengan nada waspada.

“Ini aku,” jawab suara tegas Eryx dari luar.

Arlina mengerutkan kening. “Untuk apa kau kembali? Aku sudah di kamar!”

“Aku ingin memastikan kau tidak mencoba hal bodoh lagi.”

Pintu terbuka, dan Eryx masuk tanpa menunggu izin. Ia membawa nampan berisi secangkir teh dan beberapa kue kecil.

“Aku bukan tahananmu,” protes Arlina sambil menyilangkan tangan.

“Benar, tapi kau juga bukan tamu kehormatan,” balas Eryx sambil meletakkan nampan di meja. “Minumlah ini. Teh Umbrahlis dikenal bisa membantu menenangkan pikiran.”

Arlina menatapnya dengan tatapan curiga. “Apa ini cara lain untuk mengawasiku?”

Eryx mendesah panjang, duduk di kursi di dekat jendela. “Aku hanya menjalankan tugasku, Nona. Kau bisa minum atau tidak, terserah.”

Arlina mendekati meja, mengambil cangkir teh itu, dan mencium aromanya. “Hm, baunya tidak seperti racun.”

“Kalau aku ingin meracunimu, kau sudah mati sejak tadi,” jawab Eryx datar, membuat Arlina hampir tersedak.

“Kau tidak perlu mengatakan itu dengan santai!” serunya marah.

Eryx tersenyum tipis, seolah menikmati reaksinya. “Kau terlalu paranoid. Tidak semua orang di Umbrahlis ingin menyakitimu.”

Arlina meminum teh itu sedikit, dan matanya melebar. “Ini… enak.”

“Sudah kubilang,” balas Eryx sambil menyilangkan kakinya. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?”

Arlina memiringkan kepalanya. “Rencana? Apa maksudmu?”

“Kau tidak terlihat seperti orang yang menyerah begitu saja. Apa kau akan mencoba kabur lagi?”

Arlina tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi kali ini aku akan memastikan tidak ada pengawal menjengkelkan yang menangkapku.”

Eryx tertawa pendek. “Kalau begitu, aku akan menunggumu di lorong berikutnya.”

Arlina mendengus, tetapi ada sedikit senyum di wajahnya. “Kau ini selalu serius atau bagaimana? Tidak pernah santai sedikit pun?”

“Pekerjaanku tidak memungkinkan untuk bersantai,” jawab Eryx. “Tapi kau, Nona, harus berhenti membuat masalah. Kau sudah cukup menarik perhatian Kael, dan itu belum tentu hal baik.”

“Kenapa? Apa dia sangat berbahaya?” tanya Arlina, setengah bercanda.

Eryx menatapnya tajam. “Kael bukan orang yang bisa dianggap remeh. Tapi dia juga bukan monster. Jika kau jujur, mungkin kau bisa memenangkan kepercayaannya.”

Arlina menghela napas panjang. “Aku tidak tahu bagaimana caranya. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk berbicara.”

“Beri dia waktu,” ujar Eryx sambil berdiri. “Dan sementara itu, jangan lakukan hal-hal bodoh lagi. Kalau kau butuh sesuatu, panggil aku.”

Arlina memandangnya dengan tatapan bingung. “Kenapa kau begitu peduli padaku? Bukankah aku hanya seorang gadis asing yang tersesat di tempat ini?”

Eryx berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Karena aku tahu seperti apa rasanya kehilangan tempatmu di dunia ini. Aku tidak ingin kau membuat kesalahan yang akan kau sesali.”

Sebelum Arlina bisa menjawab, Eryx membungkuk hormat dan pergi, meninggalkan gadis itu termenung di kamarnya.

---

Di tempat lain, Kael berdiri di ruangannya, memandangi peta besar di dinding. Velric berdiri di sampingnya, membawa laporan tentang situasi Solaria.

“Apa kau yakin dia tidak berbahaya?” tanya Velric hati-hati.

Kael mengangguk perlahan. “Aku tidak yakin. Tapi aku tahu satu hal, dia terlalu ceroboh untuk menjadi mata-mata.”

“Namun, keberadaannya di sini tetap menjadi risiko,” kata Velric. “Solaria bisa memanfaatkan ini untuk menuduh kita menahan salah satu warga mereka.”

Kael tersenyum tipis. “Jika mereka ingin menggunakan itu sebagai alasan perang, biarkan mereka mencoba. Umbrahlis tidak akan gentar.”

Velric mengangguk, meskipun masih terlihat cemas. “Bagaimana dengan gadis itu? Apa rencanamu?”

Kael memandang keluar jendela, ke arah kamar Arlina. “Aku akan berbicara dengannya besok. Jika dia benar-benar tidak bersalah, aku akan memutuskan apa yang harus kulakukan.”

Velric mengangkat alis. “Kau mulai melunak, Yang Mulia.”

Kael tertawa pelan. “Jangan salah paham. Aku hanya ingin memastikan semua ancaman diidentifikasi dengan jelas.”

“Tentu saja,” balas Velric, meskipun nada skeptisnya terdengar jelas.

Kael mengabaikannya, pikirannya kembali pada gadis berani dari Solaria yang kini berada di bawah pengawasannya.

“Arlina Solstice,” gumamnya pelan. “Apa rahasia yang kau sembunyikan dariku?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!