Pagi di Desa Shuiyuan, Hebei
Matahari pagi perlahan menyinari desa kecil Shuiyuan di Provinsi Hebei. Shim Wol, seorang anak laki-laki berusia enam tahun, sedang membantu ayahnya memanen sayuran di kebun kecil di belakang rumah mereka. Dengan tangan kecilnya, dia memetik tomat yang matang, sementara ayahnya sibuk memindahkan hasil panen ke keranjang.
"Ayah, aku ingin bertanya sesuatu," ucap Shim Wol, suaranya terdengar ragu.
Ayahnya, yang tengah memeriksa tomat di tangannya, menoleh dan tersenyum. "Apa yang ingin kamu tanyakan, Shim Wol?"
Shim Wol mendekati ayahnya dengan wajah serius, tatapan matanya penuh tekad. "Ayah, bolehkah aku menjadi pendekar bela diri dan mengembara di dunia murim?"
Ayahnya terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia meletakkan tomat di keranjang dan menatap anaknya. "Kenapa tiba-tiba ingin menjadi pendekar bela diri?"
Shim Wol menjawab dengan mantap, "Karena aku ingin mengelilingi dunia dan melindungi orang-orang yang berharga bagiku."
Ayahnya tersenyum, terharu oleh semangat anaknya. Dalam hati, dia berkata, Aku hanya ingin melihatmu tumbuh sehat dan menjadi kebanggaan keluarga. Namun, dia menjawab, "Tapi, di desa kecil ini tidak ada sekolah bela diri atau guru yang bisa mengajarkanmu."
Shim Wol tersenyum cerah, tidak kehilangan semangatnya. "Ayah, kalau Ayah membelikanku buku seni bela diri, aku akan belajar sendiri!"
Tertawa kecil, ayahnya mengangguk. "Baiklah, nanti jika Ayah pergi ke kota, Ayah akan membelikannya untukmu."
"Janji, ya, Ayah!" Shim Wol berseru penuh semangat. Ayahnya hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.
---
Seminggu Kemudian
Ayah Shim Wol pergi ke kota untuk memenuhi janjinya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu seorang kakek tua yang sedang berjalan pelan ke arah desa.
"Pak, bolehkah saya tahu, Anda akan pergi ke mana?" tanya ayah Shim Wol, menghentikan kudanya di samping pria tua itu.
Kakek tersebut tersenyum hangat. "Aku sedang mencari Desa Shuiyuan. Katanya desa itu indah dan tenang. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sana."
Ayah Shim Wol tersenyum. "Desa itu adalah tempat tinggalku. Anda tidak salah memilih, Desa Shuiyuan memang sangat menenangkan."
"Syukurlah," balas sang kakek. "Tampaknya perjalanan ini tidak sia-sia."
"Kalau begitu, ikutlah bersamaku. Saya akan mengantar Anda ke sana," ujar ayah Shim Wol.
Dengan senang hati, kakek itu menerima tawaran tersebut. Mereka pun melanjutkan perjalanan bersama.
---
Kembali ke Rumah
Ketika sore tiba, mereka sampai di rumah Shim Wol. Ayahnya membuka pintu sambil berkata, "Ayah pulang!"
Shim Wol kecil berlari keluar dengan wajah ceria. "Ayah!" serunya, memeluk ayahnya dengan penuh kebahagiaan.
Ibu Shim Wol mendekat. "Bagaimana perjalananmu, Sayang?"
"Lancar, untungnya," jawab ayahnya.
Shim Wol memandang ayahnya penuh harap. "Ayah, bagaimana dengan itu?" tanyanya tidak sabar.
Ayahnya tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. "Tada!"
Dengan mata berbinar, Shim Wol mengambil buku itu. Ia membuka halaman pertamanya dengan antusias. "Ini buku teknik kultivasi dasar," jelas ayahnya.
Ibu Shim Wol, yang penasaran, bertanya, "Kenapa kamu ingin buku itu, Shim Wol?"
Shim Wol menjelaskan keinginannya menjadi pendekar bela diri, seperti yang telah ia sampaikan pada ayahnya. Sang ibu menatap anaknya dengan bingung, tetapi tidak marah. "Ibu tidak akan melarangmu, tapi ingatlah, gunakan kekuatanmu untuk kebaikan. Jangan pernah menyakiti orang lain atau bertindak semena-mena."
Shim Wol mengangguk, menyerap nasihat ibunya. "Aku mengerti, Bu," jawabnya.
Sementara itu, ayah Shim Wol mengingat sang kakek yang masih menunggu di luar. Ia segera keluar dan mengundangnya masuk. "Pak, silakan bermalam di rumah kami," ajaknya.
Sang kakek tersenyum. "Terima kasih. Aku akan menerima tawaranmu dengan senang hati."
---
Keesokan Harinya
Di halaman rumah, Shim Wol membaca buku teknik kultivasi dasar dengan penuh semangat. Sang kakek, yang sedang menikmati udara pagi, mendekatinya.
"Apa yang sedang kamu baca, Nak?" tanya kakek itu.
"Buku teknik kultivasi yang ayahku belikan dari kota," jawab Shim Wol.
"Kenapa kamu ingin belajar seni bela diri?"
Shim Wol menatap kakek itu dengan mata penuh tekad. "Karena aku ingin menjadi pendekar bela diri yang kuat," jawabnya mantap.
Kakek itu tertawa kecil. "Kalau begitu, maukah kau belajar dariku?"
Shim Wol terkejut. "Kakek bisa bela diri?" tanyanya penasaran.
"Sedikit," jawab sang kakek sambil tersenyum.
Shim Wol memperlihatkan bukunya. "Kakek juga tahu teknik kultivasi ini?"
"Tentu saja. Itu adalah teknik dasar yang kupelajari ketika aku masih kecil," jawab sang kakek dengan bangga.
Mata Shim Wol berbinar. "Kalau begitu, bisakah Kakek mengajarkanku?"
Sang kakek tertawa, lalu menepuk bahu Shim Wol. "Baiklah, mulai hari ini, aku akan menjadi gurumu."
Dengan penuh hormat, Shim Wol membungkuk. "Terima kasih, Guru!"
Sejak saat itu, hubungan antara Shim Wol dan sang kakek dimulai. Petualangan baru Shim Wol menuju dunia murim pun dimulai dari sini.
Di sebuah tempat yang tenang dan tersembunyi, di mana sebuah sungai mengalir deras di bawah air terjun yang megah, Shim Wol kecil memulai pelatihan seni bela dirinya. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan rindang, dengan udara yang dipenuhi aroma embun pagi dan suara gemericik air yang menenangkan. Sang master berdiri di dekatnya, tatapannya penuh ketenangan namun juga mengandung harapan.
"Langkah pertama dalam perjalananmu adalah memahami tubuhmu sendiri," ujar sang master, suaranya tegas namun lembut. Ia menjelaskan tentang teknik kultivasi dasar yang akan menjadi fondasi Shim Wol di masa depan. Teknik itu dikenal sebagai Teknik Pernafasan Dasar, sebuah metode untuk menyerap energi alam dan mengalirkannya ke seluruh tubuh. Teknik ini bertujuan untuk memperkuat otot, tulang, dan meningkatkan stamina seseorang. Namun, keberhasilannya tidak dijamin bagi semua orang.
"Jika kau tidak bisa menemukan ritme pernafasanmu sendiri, itu berarti bakatmu dalam seni bela diri sangat terbatas," lanjut sang master, memberi Shim Wol tantangan pertama dalam hidupnya.
Dengan penuh semangat dan sedikit rasa cemas, Shim Wol duduk bersila di atas batu besar di dekat sungai. Ia memejamkan matanya, mencoba merasakan udara dingin yang menyelimuti kulitnya dan mendengarkan suara alam di sekitarnya. Meditasi ini tidak hanya menguji kemampuannya menyerap energi alam, tetapi juga menuntutnya memahami tubuhnya sendiri hingga ke tingkat terdalam.
"Tarik napas... perlahan," suara sang master terdengar lembut, membimbingnya. "Biarkan energimu mengalir, seiring dengan aliran udara yang kau hirup."
Shim Wol menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan ritme yang cocok dengan tubuhnya. Namun, setiap kali ia merasa hampir berhasil, pikirannya terganggu oleh keraguan. Ia membuka matanya sejenak, menatap air terjun yang menjulang tinggi di depannya.
"Apa aku benar-benar bisa melakukannya?" gumamnya pelan, namun sang master mendengarnya.
"Jangan biarkan pikiranmu menjadi penghalang. Percaya pada dirimu sendiri," jawab sang master tegas.
Dengan tekad yang baru, Shim Wol kembali menutup matanya. Kali ini, ia tidak hanya fokus pada napasnya, tetapi juga membiarkan dirinya larut dalam harmoni alam di sekitarnya. Perlahan, ia mulai merasakan sesuatu. Sebuah ritme halus yang seakan menyatu dengan denyut nadinya. Tubuhnya mulai terasa hangat, seolah energi dari alam meresap melalui setiap pori-porinya.
"Ini dia... aku menemukannya," pikir Shim Wol, matanya tetap terpejam. Sebuah senyuman kecil terbit di wajahnya. Meski ini baru permulaan, Shim Wol telah mengambil langkah pertama dalam perjalanan panjangnya menuju puncak seni bela diri.
Shim wol awalnya kesulitan dalam mencari ritme pernafasan nya, lalu sang guru pun berkata "tenang kan dirimu dan rasakan alam membimbing mu bayangkan semua kehidupan yang ada disekitar mu ber resonansi dan mencipta kan harmoni yang menghasilkan energi alam lalu tarik energi itu secara perlahan-lahan dengan begitu kau akan bisa mengerti cara menemukan ritme pernafasan mu sendiri" sambil mendengarkan nasihat gurunya, shim wol kecil pun sedikit demi sedikit mulai menemukan ritme nya sendiri dan mulai bisa menguasai teknik pernafasan yang menjadi teknik kultivasi dasar.
Seminggu telah berlalu sejak Shim Wol memulai latihannya. Dengan dedikasi yang luar biasa, ia akhirnya berhasil menguasai Teknik Pernafasan Dasar. Kini, energi spiritual mengalir dengan lancar di dalam tubuh kecilnya, memberikan kekuatan dan vitalitas yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.
Sang guru memandang Shim Wol dengan tatapan penuh kebanggaan. "Luar biasa, Shim Wol," katanya sambil tersenyum lebar. "Menguasai teknik ini dalam waktu seminggu adalah pencapaian yang jarang terjadi, terlebih lagi untuk anak seusiamu. Kau benar-benar seorang jenius bela diri."
Mendengar pujian itu, Shim Wol merasa bangga, tetapi juga semakin menyadari tanggung jawab yang ia emban. Namun, kebanggaannya tak berlangsung lama, karena gurunya segera memberi perintah baru.
"Kini, kau harus melatih tubuh fisikmu agar seimbang dengan kekuatan spiritual yang telah kau bangun," ujar sang guru tegas. "Latihanmu meliputi: push-up 100 kali sehari, naik turun gunung 10 kali, dan melatih pukulan dengan posisi kuda-kuda sebanyak 100 kali."
Mata Shim Wol membelalak. "Apa? Sebanyak itu? Guru, bukankah itu terlalu berat untuk anak enam tahun sepertiku?" keluhnya dengan nada protes.
Sang guru hanya tertawa kecil. "Justru karena kau masih muda, tubuhmu dapat beradaptasi lebih cepat. Ingat, jalan menuju menjadi pendekar hebat tidak pernah mudah."
Dengan berat hati, Shim Wol memulai rutinitas baru tersebut. Hari pertama, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Otot-otot kecilnya terasa seperti terbakar, dan bahkan berdiri saja menjadi tantangan. Setiap malam, ia tertidur dengan kelelahan yang luar biasa.
Namun, sang guru tidak tinggal diam. Ia menyiapkan ramuan herbal khusus yang terdiri dari berbagai tanaman obat yang ia kumpulkan sendiri dari hutan. "Minumlah ini setiap selesai latihan. Ini akan mengurangi kelelahan ototmu dan memulihkan energimu," ujar sang guru sambil memberikan mangkuk kayu berisi cairan hijau yang sedikit pahit.
Walaupun rasanya tidak enak, Shim Wol meminumnya dengan patuh, dan efeknya langsung terasa. Tubuhnya yang tadinya terasa seperti batu kini mulai terasa ringan, dan ia bangun setiap pagi dengan semangat baru.
Malam itu, setelah menyelesaikan rutinitas harian yang melelahkan, Shim Wol berjalan pulang bersama gurunya. Dengan napas yang masih terengah-engah, ia bertanya, "Guru, sampai kapan pelatihan fisik ini berlangsung? Aku merasa sangat kerepotan dengan latihan ini!"
Sang guru tertawa mendengar keluhan muridnya. "Latihan ini akan berlangsung selama satu tahun," jawabnya santai.
"Apa?! Selama itu?" teriak Shim Wol, matanya melebar. "Apa memang harus selama itu, Guru?"
Sang guru mengangguk. "Bukankah kau sendiri yang bilang ingin menjadi pendekar bela diri yang hebat? Jika kau tidak bisa melewati langkah kecil ini, bagaimana kau bisa berdiri di puncak gunung?"
Shim Wol tertunduk malu mendengar ucapan gurunya. Ia menggenggam tangannya erat, lalu berkata dengan penuh semangat, "Baiklah, Guru. Aku akan berusaha keras. Terima kasih atas bimbinganmu!"
Sang guru tersenyum puas. "Itu semangat yang aku harapkan darimu. Ingat, tidak ada jalan pintas untuk menjadi kuat. Kau harus bekerja keras dan tak kenal menyerah."
Dengan tekad yang baru, Shim Wol melanjutkan perjalanan pulangnya, kali ini dengan langkah yang lebih ringan. Ia tahu, jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan, tetapi ia tidak akan mundur.
Satu tahun berlalu, Shim Wol kini berusia 7 tahun. Latihan keras selama setahun penuh telah membuat tubuhnya berkembang dengan baik, seimbang antara kekuatan fisik dan energi spiritualnya.
Suatu pagi, di tempat latihan biasa, Shim Wol dan gurunya duduk bersantai sambil menikmati teh hangat yang dibuat oleh ibu Shim Wol. Udara pagi terasa segar, diselingi suara gemericik sungai yang mengalir tak jauh dari sana.
"Guru," Shim Wol membuka percakapan, menatap gurunya dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Setelah ini, apa yang akan Anda ajarkan padaku?"
Sang guru tersenyum ringan, lalu berdiri dan menepuk bahu Shim Wol. "Ikuti aku," ucapnya singkat.
Shim Wol bingung, tetapi ia segera berdiri dan mengikuti gurunya. "Kemana kita pergi, Guru?" tanyanya, namun sang guru tetap melangkah tanpa memberikan jawaban.
Perjalanan mereka berlangsung selama setengah jam, melalui jalan setapak yang semakin jarang dilalui orang. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang menakjubkan—padang rumput hijau yang luas dengan pemandangan hutan bambu di sisi kanan, dan tebing tinggi menjulang di sisi kiri. Angin sepoi-sepoi membawa aroma dedaunan yang segar, membuat suasana terasa tenang dan damai.
"Di sinilah kau akan berlatih mulai sekarang," ujar sang guru, tangannya terentang seolah memperkenalkan tempat itu.
Shim Wol menatap sekeliling dengan takjub. "Guru, latihan seperti apa yang akan kita lakukan di sini?" tanyanya penuh semangat.
"Semua teknik bela diri yang akan kau kuasai," jawab gurunya sambil tersenyum.
Mendengar itu, mata Shim Wol berbinar-binar. "Hore! Akhirnya aku akan belajar bela diri yang sesungguhnya!" serunya riang, membuat sang guru tertawa melihat antusiasmenya.
Setelah beberapa saat, sang guru berdiri di hadapan Shim Wol dan mulai menjelaskan, "Teknik pertama yang akan kau pelajari disebut Soundless Step. Ini adalah teknik gerakan yang memungkinkanmu bergerak secepat suara tanpa menghasilkan suara sedikit pun. Teknik ini membutuhkan kontrol qi yang sangat baik, terutama untuk memusatkannya di kaki dan paha."
Untuk memberi gambaran, sang guru mempraktikkan Soundless Step di depan Shim Wol. Dalam sekejap, ia menghilang dari pandangan, hanya menyisakan desiran angin yang hampir tak terdengar. Shim Wol terkejut, mulutnya terbuka lebar. "Guru! Bagaimana Anda melakukannya? Saya bahkan tidak bisa melihat Anda sama sekali!"
Sang guru tersenyum kecil. "Gunakan qi-mu, pusatkan ke matamu. Jika kau mampu melakukannya, kau akan bisa melihat gerakanku, meskipun hanya sekilas."
Shim Wol mencoba memusatkan qi-nya ke matanya seperti yang diajarkan. Sang guru kembali menggunakan Soundless Step, dan kali ini Shim Wol berhasil melihat sekilas gerakan gurunya, meskipun masih kabur.
"Guru, saya bisa melihatnya sekilas, tapi belum jelas," katanya dengan nada kagum.
Sang guru tertawa kecil. "Luar biasa! Kau bahkan bisa melihat sekilas pada percobaan pertama. Tidak perlu terburu-buru, pelan-pelan saja. Menguasai teknik ini membutuhkan waktu dan latihan yang konsisten."
Shim Wol mengangguk penuh semangat. "Guru, apa yang harus saya lakukan pertama kali agar bisa menguasai teknik Soundless Step?"
Sang guru menjawab, "Mulailah dengan memusatkan qi-mu di kedua kakimu. Kemudian, cobalah berlari secepat mungkin, fokuskan untuk menjaga langkahmu tetap ringan. Ulangi terus setiap hari, dan aku akan mengamati perkembanganmu."
"Baik, Guru! Saya akan melakukannya," jawab Shim Wol dengan semangat.
Sejak hari itu, Shim Wol memulai latihan intensifnya dengan penuh antusias. Meski pada awalnya langkahnya masih berat dan tak terkontrol, ia bertekad untuk menguasai teknik Soundless Step. Sang guru tetap mengawasinya setiap hari, memberikan arahan dan dorongan yang dibutuhkan. Tempat latihan yang damai dan penuh inspirasi itu kini menjadi saksi perjuangan Shim Wol menuju langkah yang lebih besar dalam dunia bela diri.
Setelah empat hari berusaha keras, Shim Wol mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam menguasai Soundless Step. Setiap gerakan kini semakin ringan dan cepat, meskipun masih ada sedikit kesulitan dalam menjaga konsistensi kecepatan. Pada hari kelima, ketika ia merasa gerakannya semakin terkontrol, sang guru pun memberinya arahan penting untuk menyempurnakan teknik tersebut.
"Fokuskan qi-mu di kaki dan paha, lalu pertahankan kecepatan yang konstan di setiap langkahmu," kata sang guru dengan penuh harapan.
Shim Wol mengangguk dan mencoba menerapkan arahan tersebut. Dengan penuh konsentrasi, ia berlari, menjaga setiap langkah agar tetap ringan dan cepat, memastikan aliran qi mengalir dengan lancar di sepanjang tubuhnya. Hari demi hari, usaha dan latihannya semakin membuahkan hasil. Lima hari kemudian, Shim Wol akhirnya berhasil menguasai Soundless Step dengan sempurna. Ia dapat bergerak secepat suara tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Sang guru berdiri dengan bangga dan memberi tepuk tangan. "Hebat, Shim Wol! Kamu telah menguasai teknik pertama dengan sangat cepat. Ini adalah awal yang sangat baik."
Shim Wol merasa sangat senang, tak sabar untuk melanjutkan pelatihan selanjutnya. Teknik ini mungkin baru permulaan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju tujuannya untuk menjadi pendekar beladiri yang hebat.
Setelah keberhasilannya dengan Soundless Step, sang guru memberikan pelatihan baru. Kali ini, pelatihan tersebut berkaitan dengan pedang, senjata yang akan menemani Shim Wol dalam perjalanan beladirinya. Guru Shim Wol memberinya sebuah pedang kayu sederhana, yang meskipun tidak seberat pedang asli, cukup untuk latihan awal.
"Akan aku ajarkan padamu teknik pedang yang sangat sulit, bahkan aku membutuhkan sepuluh tahun untuk menguasainya. Ini adalah teknik pedang api," ujar sang guru dengan serius.
Shim Wol mengangkat alisnya, tertarik dan sedikit terkejut. "Teknik pedang api?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Sang guru menjelaskan dengan tenang, "Ya, teknik ini menggunakan Sword qi, yang akan kau sematkan ke dalam pedang. Untuk menguasainya, pertama-tama kamu harus menguasai Sword qi itu sendiri, lalu mengarahkannya ke dalam pedang. Kemudian, kamu akan belajar mengendalikan elemental qi—elemen api dalam hal ini. Pada akhirnya, puncak dari teknik ini adalah menguasai setiap gerakan dengan api yang membara."
Shim Wol mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun ia merasa sedikit takut dengan kesulitan yang dijelaskan, ia tahu bahwa ini adalah jalannya untuk menjadi pendekar yang lebih kuat.
Tahun pertama berlalu dengan cepat, dan meskipun Shim Wol mengalami kesulitan dalam menguasai teknik pedang api, ia tak pernah menyerah. Fokus utamanya adalah menguasai dasar dari teknik ini, yaitu Sword qi. Prosesnya tidak mudah—untuk memusatkan qi ke dalam pedang dan mempertahankannya cukup lama membutuhkan latihan yang sangat intensif. Meskipun qi spiritual miliknya masih terbatas, Shim Wol bisa merasakan perubahannya.
Akhirnya, setelah satu tahun, Shim Wol berhasil menguasai dasar dari Sword qi. Ia mampu memusatkan qi ke dalam pedang dan mempertahankannya selama sepuluh menit. Meskipun waktunya masih terbatas, guru Shim Wol sangat bangga dengan pencapaiannya.
"Sangat baik, Shim Wol! Kamu telah menguasai dasar yang sangat penting. Sekarang, kita akan terus meningkatkan kapasitas qi-mu, karena semakin besar qi yang kamu miliki, semakin lama kamu bisa mempertahankan Sword qi ini. Lanjutkan meditasi dan latihanmu, dan kamu akan semakin mendekati puncak dari teknik pedang api."
Shim Wol merasa semangatnya semakin membara. Meskipun jalannya masih panjang dan penuh tantangan, ia yakin bahwa dengan tekad dan usaha keras, ia bisa menguasai teknik pedang api dan melangkah lebih jauh dalam perjalanan menjadi pendekar beladiri yang hebat.
Setelah mendapatkan ginseng berumur ratusan tahun yang diberikan oleh gurunya, Shim Wol merasa semangatnya kembali membara. Rasa khawatir yang ia rasakan selama ini karena tidak kunjung menguasai teknik-teknik yang diajarkan mulai menghilang. Dengan penuh tekad, ia memutuskan untuk mengonsumsi ginseng tersebut dan segera melakukan kultivasi pernafasan.
Sambil duduk dalam posisi meditasi, Shim Wol memusatkan perhatian pada aliran qi dalam tubuhnya. Ia merasakan energi spiritual yang mengalir dengan deras setelah mengonsumsi ginseng itu. Qi miliknya kini mengalir lebih kuat dan lebih murni, dan ia merasa tubuhnya dipenuhi oleh kekuatan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.
Setelah beberapa waktu berkultivasi, Shim Wol merasakan perubahan yang signifikan dalam kapasitas qi-nya. Qi spiritualnya meningkat pesat, bahkan sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Kekuatan ini memberinya kemampuan untuk mempertahankan Sword qi jauh lebih lama—sekarang ia mampu mempertahankan qi tersebut selama 100 menit, sebuah pencapaian yang luar biasa mengingat usianya yang masih sangat muda.
Sang guru yang mengamati perkembangan Shim Wol merasa sangat bangga. "Kamu sudah melewati langkah pertama untuk menguasai teknik pedang api. Sekarang, kemampuanmu dalam mempertahankan Sword qi sudah meningkat pesat. Selamat, Shim Wol, kau telah mengambil langkah besar menuju tujuanmu."
Shim Wol yang merasa sangat bahagia dan terharu mendengar pujian tersebut, berlutut dengan penuh rasa hormat. "Terima kasih, guru! Aku akan terus berlatih dan tidak akan mengecewakanmu."
Sang guru tersenyum bangga. "Ingat, ini baru langkah pertama. Masih banyak yang harus kau pelajari dan kuasai. Teknik pedang api bukanlah hal yang mudah, dan hanya dengan latihan tanpa henti serta ketekunan, kamu akan mencapainya."
Sejak saat itu, Shim Wol semakin giat berlatih, memanfaatkan peningkatan qi yang didapatkan dari ginseng tersebut untuk memperkuat teknik Sword qi dan persiapannya untuk teknik pedang api. Ia berlatih setiap hari, mengasah keterampilan dan mengembangkan kemampuan pedangnya. Dengan tekad yang semakin kuat dan bimbingan dari sang guru, Shim Wol merasa semakin dekat untuk menguasai teknik pedang api yang legendaris itu.
Hari demi hari, usahanya semakin membuahkan hasil. Kini, ia tidak hanya mampu mempertahankan Sword qi dalam waktu yang lebih lama, tetapi juga mulai mengembangkan teknik-teknik serangan yang lebih kuat dan lebih terkontrol. Guru Shim Wol terus memberinya tantangan baru, mengajarkan teknik-teknik lanjutan, dan memperkenalkan elemen api secara bertahap ke dalam gerakan pedangnya.
Namun, meskipun langkah-langkah yang ia tempuh sudah semakin mantap, Shim Wol tahu bahwa jalan menuju penguasaan pedang api masih panjang. Ia tidak boleh lengah dan harus terus berlatih dengan semangat yang sama, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Kini, dengan peningkatan qi spiritual yang pesat dan teknik dasar pedang api yang semakin matang, Shim Wol merasa yakin bahwa suatu saat ia akan mencapai puncak dari teknik legendaris ini, dan siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
Shim Wol pun mulai mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan api, elemen yang akan ia kuasai. Ia bertanya pada gurunya, membaca buku-buku yang ditemukan di perpustakaan desa, dan menyaksikan api yang menyala di sekitar rumahnya. Ia mengamati dengan saksama bagaimana api menyala, bagaimana api bisa terus hidup, dan bagaimana ia bisa dipadamkan.
Guru Shim Wol menjelaskan dengan detail tentang api, menjelaskan bagaimana api adalah hasil dari reaksi kimia yang memerlukan bahan bakar, oksigen, dan panas. "Api hanya bisa ada jika ada ketiga unsur ini," kata sang guru. "Begitu kamu memahami unsur dasar ini, kamu akan dapat mengendalikan api. Namun, yang paling penting adalah bagaimana cara kamu menyalakan, mempertahankan, dan memadamkannya dengan qi spiritual."
Selama beberapa hari, Shim Wol mengamati api dengan penuh perhatian. Ia menyaksikan api menyala dari percikan kecil yang tiba-tiba menyebar menjadi api yang besar, bagaimana api membutuhkan bahan bakar untuk bertahan, dan bagaimana api bisa padam dengan kekurangan oksigen atau penghentian pasokan bahan bakar. Dari sini, ia mulai menyadari bahwa api memiliki dua sifat dasar yang sangat penting: ia bisa berkembang dan meluas, tetapi juga bisa dimatikan jika tidak dijaga dengan benar.
Setelah itu, sang guru meminta Shim Wol untuk mulai mengaplikasikan pengetahuannya tentang api dengan qi spiritual. Guru Shim Wol mengingatkan, "Kamu harus menyalurkan qi spiritualmu ke dalam elemen api, membiarkannya mengikuti pola alami api, dan kemudian kamu bisa mulai mengendalikannya."
Shim Wol pun duduk dengan tenang di sebuah area terbuka, memusatkan pikirannya dan mulai melakukan meditasi untuk menyatukan qi spiritualnya dengan api. Awalnya, ia merasakan sedikit kesulitan. Qi-nya bergejolak dan tidak dapat dipusatkan dengan baik. Namun, ia terus mencoba dan mengingat apa yang telah ia pelajari tentang api.
Dengan perlahan, Shim Wol mulai merasakan perubahan. Qi spiritualnya mulai berinteraksi dengan elemen api yang ada di dalam dirinya. Api yang semula sulit untuk dikendalikan mulai menyatu dengan qi-nya, membentuk api kecil yang melayang di tangannya. Meskipun api itu hanya sebesar ujung jari, Shim Wol merasakan kepuasan yang luar biasa. Ia mulai merasakan koneksi yang lebih kuat dengan api, seolah-olah ia bisa mengendalikan unsur tersebut.
Hari demi hari, Shim Wol melatih teknik elemental qi dengan penuh kesungguhan. Dengan bantuan gurunya yang terus mengarahkan dan memberi semangat, ia berhasil meningkatkan kemampuannya untuk memanipulasi api dengan lebih kuat. Namun, meskipun ia mulai bisa mengendalikan api, masih banyak rintangan yang harus ia lewati. Api yang ia ciptakan kadang-kadang masih sulit dipertahankan, atau ia gagal untuk mengendalikannya dengan sempurna.
Guru Shim Wol mengingatkan, "Kamu harus sabar dan tidak terburu-buru. Menguasai elemental qi bukanlah hal yang mudah. Kamu harus belajar untuk mengenal lebih dalam bagaimana elemen tersebut bekerja dan bagaimana cara menyelaraskan qi spiritualmu dengan elemen tersebut. Hanya dengan penguasaan yang sempurna, api itu akan menjadi senjata yang sangat kuat dalam pertempuran."
Dengan tekad yang semakin kuat, Shim Wol melanjutkan latihannya, menembus batasan dirinya dan berusaha menguasai elemen api dengan lebih sempurna. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia merasa semakin yakin bahwa ia akan berhasil menguasai teknik elemental qi dan mencapai puncak kemampuan beladirinya.
Tak lama setelah itu, di bawah bimbingan guru yang sabar, Shim Wol mulai bisa menciptakan api dengan qi-nya dalam jumlah yang lebih besar dan mempertahankannya lebih lama. Walaupun ia belum sepenuhnya menguasainya, perkembangan yang dicapainya membuatnya merasa lebih dekat dengan tujuannya. Teknik pedang api semakin terasa dalam jangkauannya, dan ia semakin tidak sabar untuk melangkah ke tahap selanjutnya dalam pelatihannya.
Di waktu yang sama, di sebuah kastil megah bernama Kastil Naga Kegelapan, yang merupakan markas besar dari Sekte Naga Hitam, sekte unortodoks terbesar dan terkuat, diadakanlah pertemuan penting antara para tetua sekte dan individu-individu berpengaruh dalam sekte tersebut. Pertemuan ini dipimpin oleh Jung Tae, patriark sekaligus pemimpin dari Sekte Naga Hitam, yang merupakan orang terkuat di sekte tersebut.
Di dalam sebuah ruangan besar yang penuh dengan aura kekuatan, terdapat sembilan kursi: lima untuk para tetua sekte, tiga untuk murid-murid terkuat, dan satu kursi lagi untuk Jung Tae, sang patriark. Setelah semua yang diundang berkumpul dan duduk di kursi mereka masing-masing, Jung Tae memulai perbincangan dengan suara tegas.
"Sekte Naga Hitam kini telah pulih, bahkan lebih kuat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Aku ingin kita memulai pengambilalihan seluruh sekte unortodoks dan menantang dominasi aliansi murim," ujarnya.
Tetua kedua, yang lebih senior, langsung memberi tanggapan. "Aku setuju untuk memulainya dari sekarang, namun lebih bijaksana jika kita mengurangi kekuatan aliansi murim dengan menyulut peperangan antara fraksi unortodoks dan aliansi murim."
Tetua pertama pun menambahkan, "Benar, jika kita langsung mengalihkan fokus ke pengambilalihan sekte unortodoks, aliansi murim akan langsung berada di atas angin dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan kita dan semua fraksi unortodoks."
Jung Tae mengangguk, menyetujui pendapat mereka. "Kalian benar. Kita perlu mengurangi sedikit kekuatan aliansi murim dengan menciptakan sedikit ketegangan dan konflik antara fraksi unortodoks dan aliansi murim."
Murid ketiga yang sangat terampil, Zhong Li, kemudian berbicara. "Bagaimana jika aku mengumpulkan beberapa pasukan dan mengambil alih Sekte Mawar Hitam? Dengan begitu, kita bisa memanfaatkan mereka untuk menyulut konflik di perbatasan."
Para tetua dan pemimpin sekte pun berpikir sejenak sebelum salah satu tetua bertanya, "Berapa banyak pasukan yang kamu butuhkan?"
Zhong Li menjawab dengan tegas, "Aku hanya membutuhkan pasukan Naga Bayangan untuk mengambil alih Sekte Mawar Hitam."
Setelah mendengar penjelasan itu, para tetua dan Jung Tae menyetujui usulan tersebut. "Baik, lakukan yang terbaik, Zhong Li," kata Jung Tae menutup pertemuan dengan nada penuh keyakinan.
Zhong Li, dengan wajah penuh tekad, menjawab, "Saya tidak akan mengecewakan Anda, Patriark."
Pada malam itu, setelah hari yang penuh latihan dan pembelajaran, Shim Wol bersama dengan gurunya, yang juga ikut diundang, duduk di meja makan yang dipenuhi hidangan lezat. Ibu Shim Wol, Seojin, yang terkenal dengan keterampilan memasaknya, telah menyiapkan hidangan daging sapi dengan sayuran segar dari kebun milik mereka. Aroma masakan itu memenuhi ruang makan, membuat siapa saja yang mencium baunya merasa lapar.
Ayah Shim Wol, Kyung Soo, seperti biasa tidak bisa berhenti memuji masakan istrinya. Dengan senyum lebar, ia berkata, "Seojin, ini masakanmu selalu yang terbaik! Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukannya, tapi setiap suapan terasa seperti surga." Suaranya yang ceria mengisi ruang makan, membuat suasana semakin hangat.
Seojin tersenyum bahagia, sambil menyajikan sepiring besar makanan kepada suaminya dan gurunya Shim Wol. "Ah, Kyung Soo, kamu selalu saja memuji, tapi aku cuma memasak apa yang ada di rumah," jawab Seojin dengan rendah hati, meski jelas terlihat kebahagiaannya mendengar pujian itu.
Shim Wol, yang duduk di samping mereka, juga ikut tersenyum, merasa senang dengan kebersamaan malam itu. Gurunya, yang selama ini hidup mengembara, tampak lebih santai dan merasa nyaman dengan suasana rumah yang penuh kasih sayang. "Memang, suasana seperti ini sangat jarang aku rasakan dalam perjalanan panjangku," katanya sambil menikmati hidangan. "Keluarga yang penuh kasih, seperti kalian, adalah sesuatu yang luar biasa."
Kyung Soo tertawa riang, "Apa kau belum pernah merasakan makan malam seperti ini, Guru? Ayo, coba lebih banyak lagi. Kami akan selalu menyambutmu jika ingin makan bersama!"
Malam itu menjadi momen yang menyenangkan dan penuh kehangatan. Meskipun perjalanan hidup guru Shim Wol selalu penuh dengan tantangan dan kesepian, malam itu ia bisa merasakan sedikit ketenangan dan kedamaian yang datang dari sebuah keluarga yang saling menyayangi. Shim Wol merasa bersyukur memiliki orang tua seperti Kyung Soo dan Seojin, serta seorang guru yang peduli padanya, yang membantu dirinya tumbuh dan belajar untuk menjadi seorang pendekar yang hebat.
Saat makan selesai, mereka melanjutkan percakapan ringan, bercerita tentang hari-hari biasa dan juga berbagai hal yang terjadi di luar sana. Shim Wol mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa ini adalah waktu yang berharga, yang tidak selalu bisa ia rasakan.
Waktu terus berlalu, dan setelah lima tahun yang penuh dengan perjuangan dan latihan keras, Shim Wol kini berusia 12 tahun dan berhasil menguasai teknik elemental qi dengan sempurna. Dalam waktu yang sama, ia juga diam-diam berhasil menguasai elemen angin selain elemen api yang diajarkan oleh gurunya. Kemajuan ini tidak diketahui oleh sang guru, yang tetap memfokuskan Shim Wol pada elemen api.
Pada suatu hari, sang guru memutuskan untuk melanjutkan pelatihan akhir untuk teknik pedang api, teknik yang sangat sulit dan membutuhkan ketekunan serta konsentrasi luar biasa. Sang guru mulai mempraktekkan setiap gerakan utama yang harus dikuasai oleh Shim Wol. Ada lima gerakan penting yang harus dikuasai, dan masing-masing gerakan memiliki kekuatan yang luar biasa.
"Gerakan pertama adalah Flame Slash," ujar sang guru sambil memperagakan gerakan tersebut. "Sayatan api ini akan memotong musuh dari jarak jauh dengan ayunan pedang yang terbungkus api. Serangan ini akan membakar musuh yang terjangkau."
Sang guru melakukan ayunan pedang diagonal dengan kecepatan tinggi, menciptakan gelombang api yang memotong udara dan membakar benda yang ada di sekitarnya. "Gerakan ini membutuhkan ketepatan dan kecepatan."
Gerakan kedua adalah Inferno Spin, di mana sang guru memutar tubuhnya dan pedangnya, menciptakan pusaran api di sekelilingnya. "Ini adalah gerakan bertahan dan menyerang pada jarak dekat. Pusaran api ini akan membakar musuh yang berani mendekat," jelas guru itu.
Gerakan ketiga, Blazing Wave, adalah sebuah ayunan pedang dengan kekuatan tinggi yang menghasilkan gelombang api besar menuju musuh. "Serangan ini bisa meluncur ke arah musuh dalam kecepatan yang luar biasa, menghancurkan apa saja yang ada di jalannya," katanya dengan serius.
Kemudian guru itu memperagakan Phoenix Strike, serangan yang lebih rumit, di mana api membentuk sosok burung phoenix yang terbang ke arah musuh. "Ledakan api yang tercipta dari serangan ini akan sangat dahsyat dan mengarah langsung ke musuh dengan kekuatan yang mematikan."
Gerakan terakhir adalah Volcanic Burst, di mana guru Shim Wol mengumpulkan energi api dalam jumlah besar pada ujung pedang. "Ini adalah teknik pemusnah. Setelah mengumpulkan energi api, kamu akan melepaskannya dalam letusan yang membakar segala sesuatu yang ada di radiusnya," jelas guru Shim Wol dengan penuh keyakinan.
Shim Wol, yang mengamati setiap gerakan dengan seksama, merasa kagum dengan kekuatan teknik tersebut. Namun, setelah melihat kehebatan teknik itu, ia merasa ragu akan kemampuannya sendiri. Dengan nada rendah hati, ia bertanya, "Guru, apa aku benar-benar bisa menguasai teknik pedang api ini?"
Sang guru tersenyum dengan lembut dan meletakkan tangan di bahu Shim Wol, memberi semangat. "Tentu saja. Kamu adalah murid kebanggaanku, Shim Wol. Aku percaya bahwa kamu bisa menguasainya. Dengan kerja keras dan ketekunan, tak ada yang tidak mungkin bagimu."
Mendengar kata-kata tersebut, Shim Wol merasa lebih yakin dan semakin termotivasi. Ia bertekad untuk berlatih keras, tidak hanya untuk menguasai setiap gerakan teknik pedang api, tetapi juga untuk melampaui batasannya sendiri. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam berlatih, mencoba menyempurnakan setiap gerakan yang diajarkan oleh gurunya.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun kelelahan mulai terasa, Shim Wol tidak pernah menyerah. Ia menyadari bahwa meskipun perjalanan ini sulit, setiap pelajaran yang ia terima, setiap gerakan yang ia kuasai, membuatnya semakin dekat untuk menjadi seorang pendekar yang sesungguhnya.
Dengan tekad yang kuat, Shim Wol melanjutkan latihannya, berharap suatu hari nanti ia akan menguasai teknik pedang api ini dengan sempurna dan menjadi seorang pendekar yang layak diakui oleh semua orang.
Di waktu yang sama ketika Shim Wol tengah berlatih dengan tekun untuk menyempurnakan gerakan teknik Pedang Api, di belahan lain dunia seni bela diri, Zhong Li berhasil menyelesaikan misinya. Setelah satu tahun meninggalkan Sekte Naga Hitam, Zhong Li dan pasukan Naga Bayangan berhasil menguasai Sekte Mawar Hitam, sebuah sekte kecil namun strategis yang terletak di perbatasan wilayah unortodoks dan Aliansi Murim. Dengan keberhasilan itu, mereka memulai konflik yang perlahan merambat dari perbatasan ke wilayah-wilayah terdekat.
Awalnya, konflik ini hanya mengancam desa-desa kecil, tetapi kini ketegangan telah meluas ke kota-kota yang lebih besar, menciptakan keresahan di seluruh negeri. Aliansi Murim bergerak cepat untuk menekan gejolak tersebut dengan mengirim pasukan pendekar yang memiliki kemampuan tinggi untuk memulihkan kestabilan di wilayah-wilayah yang terdampak. Namun, tindakan ini hanya berhasil memperlambat, bukan menghentikan, laju ancaman dari Sekte Naga Hitam.
---
Lima tahun berlalu.
Shim Wol kini berusia 17 tahun dan telah menyempurnakan teknik Pedang Api hingga ke tingkat tertinggi. Setiap gerakan yang dulu tampak mustahil kini menjadi bagian dari dirinya, mencerminkan kerja keras dan dedikasi yang ia curahkan selama bertahun-tahun. Namun, kebahagiaan atas pencapaiannya ini tidak sepenuhnya lengkap. Gurunya, yang selama ini menjadi pemandu hidupnya, telah sakit-sakitan selama satu tahun terakhir. Penyakit misterius yang diderita gurunya membuatnya terbaring lemah di atas kasur.
Shim Wol tidak tinggal diam. Ia menghabiskan banyak waktu mencari herbal langka dan bahkan memanggil beberapa tabib terbaik yang ia temui. Sayangnya, semua usaha itu tidak membuahkan hasil. Kondisi sang guru terus memburuk.
Pada suatu malam, saat tubuh gurunya semakin lemah, ia memanggil Shim Wol ke sisinya. Dengan suara yang lirih, ia berkata, "Shim Wol, kamu telah menjadi murid yang luar biasa. Aku bangga padamu. Ingatlah, kekuatanmu adalah anugerah, dan aku berharap kamu menggunakan kekuatan itu untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan. Jadilah seseorang yang membawa harapan bagi orang-orang di sekitarmu."
Air mata menetes dari mata Shim Wol. Ia menggenggam tangan gurunya erat, berjanji dalam hatinya untuk menjalankan pesan terakhir itu. Beberapa jam setelah memberikan nasihat terakhirnya, sang guru mengembuskan napas terakhir di sisi Shim Wol.
Tangisan Shim Wol pecah. Suaranya menggema ke seluruh rumah, membuat ibunya, Seojin, datang menghampiri. Ketika melihat Shim Wol yang menangis di samping gurunya, Seojin pun tidak bisa menahan air matanya. Sang guru telah menjadi bagian dari keluarga mereka selama bertahun-tahun, dan kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam.
Ayah Shim Wol, Kyung Soo, yang saat itu sedang berada di kota untuk menjual hasil panen, baru mengetahui kabar duka ini saat ia kembali ke rumah. Dengan raut wajah penuh duka, ia memeluk Shim Wol erat, berusaha menguatkan putranya di tengah kesedihan yang melanda.
Shim Wol dan Kyung Soo memulai perjalanan mereka ke kota dengan kereta penuh sayuran segar. Langit cerah, dan angin lembut bertiup, membuat suasana perjalanan terasa nyaman. Ayah dan anak itu duduk berdampingan di depan kereta, sementara kuda yang menarik kereta berjalan dengan langkah tenang.
Di sepanjang jalan, Kyung Soo terus berbicara, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai. "Shim Wol, perjalanan ini adalah pengalaman baru bagimu. Lihatlah betapa indahnya dunia di luar desa kita. Mungkin suatu hari nanti kamu akan melihat lebih banyak lagi," katanya sambil menunjuk hamparan ladang hijau di sekitar mereka.
Shim Wol hanya mengangguk, meskipun matanya tampak termenung. Ayahnya sadar bahwa anaknya masih memikirkan kepergian sang guru, tetapi ia tidak ingin menekan Shim Wol. "Kalau kamu ingin bicara atau bertanya apa saja, Ayah selalu di sini untukmu," tambah Kyung Soo dengan senyuman hangat.
Perjalanan menuju kota berjalan lancar tanpa hambatan. Sesekali mereka bertemu dengan beberapa pedagang lain yang juga menuju kota untuk berdagang. Beberapa dari mereka bahkan mengenal Kyung Soo dan menyapanya dengan ramah. "Kyung Soo! Lama tidak bertemu! Ini putramu, ya? Wah, dia sudah besar sekarang," kata salah satu pedagang yang melintas.
Kyung Soo hanya tertawa dan membalas, "Iya, dia sekarang menemani ayahnya bekerja. Biar belajar sedikit tentang dunia luar."
Shim Wol merasa sedikit canggung saat diperhatikan, tetapi ia tetap sopan membalas sapaan orang-orang yang mereka temui.
---
Saat mereka sampai di gerbang kota, suasana mulai lebih ramai. Jalanan dipenuhi oleh para pedagang, pembeli, dan penjaga kota yang berpatroli. Kota itu jauh lebih besar dan sibuk dibandingkan desa kecil mereka. Shim Wol terkesima dengan keramaian dan keanekaragaman orang-orang yang berlalu lalang. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dunia luar dengan matanya sendiri.
Kyung Soo memarkir kereta di sebuah area yang disediakan untuk para pedagang. "Shim Wol, bantu Ayah menurunkan sayuran ini, ya. Setelah selesai, kita bisa jalan-jalan sebentar," katanya sambil mulai memindahkan karung-karung sayuran ke tempat penjualannya.
Shim Wol membantu dengan cekatan, meskipun sesekali ia mencuri pandang ke arah jalanan yang dipenuhi toko-toko dan orang-orang dari berbagai kalangan. Ia merasa ada dunia yang begitu luas di luar sana, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan selama ini.
Setelah selesai menjual sayuran, Kyung Soo menepuk pundak putranya. "Kamu sudah bekerja keras hari ini. Bagaimana kalau kita membeli sesuatu yang enak untuk dimakan? Ada kedai sup daging di ujung jalan sana yang terkenal di kota ini."
Shim Wol hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mengikuti ayahnya menyusuri jalanan kota yang ramai. Meskipun hatinya masih terasa berat oleh duka, pengalaman ini mulai memberinya sedikit semangat. Dunia luar yang baru saja ia lihat mengingatkannya bahwa hidup terus berjalan, dan ia harus terus maju—seperti yang selalu diajarkan gurunya.
Keesokan harinya, setelah sarapan sederhana di penginapan, Shim Wol dan ayahnya bersiap untuk mengunjungi Sekte Bulan Bintang, sekte bela diri yang terkenal di sekitar Kota Handan. Sekte ini dikenal karena keindahan arsitektur bangunannya yang terletak di atas bukit kecil di pinggiran kota, serta reputasi mereka dalam menghasilkan pendekar-pendekar hebat dengan teknik bela diri yang elegan dan kuat.
"Shim Wol, ini mungkin akan menjadi pengalaman yang bagus untukmu," ujar Kyung Soo sambil menyiapkan kuda mereka. "Selain belajar tentang dunia luar, kamu juga bisa melihat bagaimana sekte besar itu berfungsi. Tapi ingat, tetaplah bersikap sopan dan jangan membuat masalah."
"Baik, Ayah," jawab Shim Wol sambil menaiki kudanya.
Perjalanan menuju sekte memakan waktu sekitar setengah hari. Mereka melewati jalan berbatu yang menanjak, diapit oleh hutan lebat di kedua sisinya. Udara semakin segar ketika mereka semakin dekat ke lokasi sekte. Sesampainya di sana, pemandangan yang megah menyambut mereka. Bangunan utama sekte terlihat seperti istana kecil, dengan atap berwarna biru tua yang menyerupai langit malam bertabur bintang. Para murid sekte terlihat berlatih di halaman utama, gerakan mereka anggun namun penuh kekuatan.
Kyung Soo berbicara kepada salah satu penjaga di gerbang. "Kami datang untuk melihat-lihat. Anak saya, Shim Wol, ingin tahu lebih banyak tentang sekte ini."
Penjaga itu mengangguk sopan. "Selamat datang di Sekte Bulan Bintang. Silakan masuk, tetapi harap mengikuti aturan sekte selama berada di dalam."
Mereka dipersilakan masuk dan diajak berkeliling oleh seorang murid senior. Sang murid memperkenalkan sekte tersebut dan menunjukkan beberapa tempat penting, seperti aula latihan, perpustakaan sekte, dan tempat meditasi. Shim Wol memperhatikan dengan seksama, merasa terinspirasi oleh disiplin dan harmoni yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari para murid di sekte tersebut.
Saat mereka berjalan di sekitar aula latihan, seorang instruktur yang sedang mengawasi para murid berhenti sejenak dan menoleh ke arah Shim Wol. "Kamu tampaknya seorang pendekar muda. Apakah kamu ingin mencoba latihan singkat di sini?" tanyanya dengan ramah.
Shim Wol terkejut dengan tawaran itu, tetapi Kyung Soo menyemangatinya. "Cobalah, Shim Wol. Ini kesempatan yang langka."
Dengan rasa gugup bercampur antusias, Shim Wol mengambil pedangnya dan bergabung dengan para murid yang sedang berlatih. Sang instruktur mengajarinya gerakan dasar salah satu teknik khas sekte, "Crescent Moon Slash", sebuah gerakan yang menggabungkan kecepatan dan ketepatan. Shim Wol, meskipun baru mempelajari gerakan itu, mampu menguasainya dengan cepat berkat dasar teknik pedang api yang dia pelajari dari gurunya.
Para murid lain terkesan melihat Shim Wol, dan sang instruktur tersenyum. "Kamu memiliki potensi besar. Teknikmu kuat dan terarah. Jika kamu tertarik, kamu selalu bisa kembali dan belajar lebih banyak di sini."
Setelah sesi latihan singkat itu, Shim Wol kembali ke ayahnya dengan wajah penuh semangat. "Ayah, aku merasa seperti mendapatkan pengalaman berharga di sini," katanya.
Kyung Soo tersenyum. "Bagus, Shim Wol. Gurumu pasti bangga melihat perkembanganmu. Ini baru awal dari perjalananmu."
Mereka pun berpamitan kepada murid senior yang menjadi pemandu mereka dan memulai perjalanan pulang ke desa dengan perasaan puas. Shim Wol merasa bahwa kunjungannya ke Sekte Bulan Bintang membuka matanya akan dunia yang lebih luas, memberinya dorongan untuk terus berlatih dan mengejar mimpinya menjadi pendekar hebat seperti yang diinginkan oleh gurunya.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan pertarungan. Sekelompok orang berpakaian serba hitam menyerang murid-murid Sekte Bulan Bintang. Shim Wol, yang melihat situasi tersebut, meminta ayahnya untuk bersembunyi, sementara dia bergegas membantu.
Dengan gerakan cepat, Shim Wol menggunakan teknik bela diri yang ia pelajari untuk menghentikan beberapa serangan dan menebas tangan mereka satu persatu. Semua perhatian tertuju padanya, dan mereka terkejut dengan kecepatan dan keahliannya.
Salah seorang dari mereka berteriak, "Mundur! Dia adalah seorang master!" Ekspresi ketakutan tampak jelas di wajah mereka saat menyadari bahwa mereka menghadapi seseorang yang jauh lebih kuat dari mereka.
Setelah pertarungan selesai, seorang wanita muda dari Sekte Bulan Bintang, Mei Mei, mendekat dan memberi hormat kepada Shim Wol.
"Terima kasih atas bantuanmu. Kami berhutang padamu," kata Mei Mei.
Shim Wol sedikit gugup menjawab, "Ah, senang bisa membantu."
Mei Mei bertanya, "Boleh tahu kamu berasal dari sekte atau keluarga mana?"
Shim Wol menjawab dengan rendah hati, "Aku hanya seorang pemuda biasa yang sedikit belajar bela diri."
Mei Mei tersenyum dan kemudian menjelaskan, "Mereka yang menyerang tadi adalah bagian dari Kultus Demon. Mereka berencana melakukan ritual untuk mendapatkan kekuatan besar."
Shim Wol terkejut, "Ritual seperti apa?"
"Ritual untuk menyerap energi gelap dengan mengorbankan orang," jawab Mei Mei.
Shim Wol terdiam, merenung tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Mei Mei kemudian mengundang Shim Wol untuk datang ke Sekte Bulan Bintang, tetapi Shim Wol menolak karena ingin segera pulang. Sebelum berpisah, Mei Mei dan murid lainnya memberi hormat kepada Shim Wol dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!